Laman

Kamis, 16 Juni 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (656): Dimana Ada Jejak Kebudayaan Batak di Nusantara? Malaya, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Kebudayaan Batak di Nusantara adalah bagian dari kebudayaan nusantara (baca: Asia Tenggara). Secara khusus kebudayaan (suku) Batak dapat dibedakan dengan kebudayaan (suku) bangsa lainnya. Kebudayaan inti (core culture) suku Batak yang dikenali sekarang yang meliputi elemen budaya adalah bahasa (bahasa Batak); sistem pengetahuan (antara lain aksara Batak); sistem teknologi dan peralatan (antara lain bagas godang); sistem kesenian (antara lain musik gordang dan tari tortor); sistem mata pencarian hidup (antara lain bertani); sistem religi (agama tradisi, penghormatan terhadap leluhur); sistem kekerabatan (marga dan dalihan na tolu); dan organisasi kemasyarakatan (bersifat federasi). Elemen-elemen kebudayaan Batak di Sumatra bagian utara (Tapanuli) ini dapat diperbandingkan di berbagai tempat di nusantara (perbedaan dan persamaan).

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Bentuk lain dari kata budaya adalah kultur yang berasal dari bahasa Latin yaitu cultura. Clyde Kluckhohn mengemukakan ada tujuh unsur kebudayaan secara universal, yaitu bahasa; sistem pengetahuan; sistem teknologi dan peralatan; sistem kesenian; sistem mata pencarian hidup; sistem religi; sistem kekerabatan; dan organisasi kemasyarakatan. Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Sementara itu, menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan dibagi menjadi nilai budaya, sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik. Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora, yaitu: Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora, yaitu: kebudayaan material;kebudayaan nonmaterial; lembaga sosial; sistem kepercayaan; estetika; bahasa. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah jejak kebudayaan Batak di Nusantara? Seperti disebut di atas, kebudayaan Batak berkembang secara turun temurun di wilayah Sumatra bagian utara, khususnya Tapanuli. Pertanyaan serupa juga berlaku seperti jejak kebudayaan Jawa, Sunda dan Minangkabau di Nusantara. Dalam hal ini, bagaimana kebudayaan Batak terakumulasi (terbentuk) adalah satu hal, dalam hal ini apakah telah terjadi penyebaran kebudayaan Batak sejak masa lampau? Lalu bagaimana sejarah jejak kebudayaan Batak di tempat lain di Nusantara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Apakah Ada Jejak Kebudayaan Batak di Nusantara? Toponimi di Semenanjung, Borneo, Filipina, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku

Ada satu masa yang panjang sejak ditemukab data sejarah tertulis sejak zaman kuno hingga sebelum kehadiran pelaut/pedagang Eropa ke Nusantara. Data-data tersebut terutama peta dan catatan geografi sejak era Ptolomeus di Eropa dan catatan Tiongkok serta prasasti-prasasti era Hindoe-Boedha di Nusantara. Informasi tentang nusantara tempo doeloe semakin diperkaya dengan penemuan teks (buku) Negarakertagama (1365 M). Oleh karena era zaman kuno bersinggungan dengan awal kehadiran Eropa di Nusantara maka laporan-laporan Portugis juga menjadi pelengkap data-data yang dibutuhkan untuk memahami zaman kuno. Satu yang penting dalam catatan (teks) tertulis tersebut tentang nama-nama tempat.

Data-data lain tentang zaman kuno yang juga kerap digunakan para ahli sejarah sejak era Hindia Belanda adalah tentang pengetahuan masa kini sendiri, yakni elemen-elemen kebudayaan dari suatu masyarakat (etnik) tertentu relatif terhadap etnik yang lain. Elemen budaya yang paling esensial adalah bahasa, sebab bahasa dapat dibedakan antara satu bahasa dengan bahasa lain, yang mana dalam hal ini bahasa diwariskan (diturunkan dari generasi-generasi secara continuum). Selain bahasa adalah kebudayaan inti (core culture) dari masing-masing etnik yang ada di nusantara. Dalam hal ini core culture dari (kebudayaan) penduduk Batak adalah ‘dalihan na tolu’. Selain itu elemen budaya yang lain yang dapat diperbandingkan adalah produk kebudayaan seperti, penggunaan aksara, bentuk bangunan dan arsitektur, industri tenun dan pengolahan pangan, seni (musik, tari, sastra) dan sebagainya.  

Nama yang sangat khusus dalam sejarah zaman kuno adalah nama Minana (ditemukan dalam prasasti Kedoekan Boekit 682 M). Raja yang terkenal daat itu bernama Dapunta Hyang Nayik. Raja tersebut memiliki kekuatan militer yang kuat, paling tidak dapat mengerahkan pasukan sebanyak 20.000 dalam satu ekspedisi (militer). Para peneliti-peneliti di era Hindia Belanda menyebut nama Minana ini paling sesuai dengan nama kota Binanga di daerah aliran sungai Baroemoen di pantai timur Sumatra (wilayah percandian Padang Lawas, Tapanuli yang sekarang).

Dalam peta dan catatnn terdahulu pada era Ptolomeus (abad ke-2) khususnya pada peta Aurea Chesonesus (Semenanjung Emas), para ahli meyakini peta itu berada di Asia Tenggara, dan merujuk Sumatra (sebagai satu-satunya perhasil emas). Peta lainnya adalah peta Taprobana yang telah saya buktikan sebagai peta Kalimantan (pra Borneo). Dalam catatan geografi yang menjelaskan peta Ptolomeus disebutkan nama tempat bernama Katigara (yang para ahli menyebut itu nama tempat pra Kamboja). Dalam peta Aurea Chersonesus diidentifikasi salah satu nama tempat di arah barat laut sebagai Tacola. Nama Tacola ini mirip dengan nama wilayah Akkola yang sekarang di Tapanuli. Nama Akkola (era Ptolomeus abad ke-2) dan nama Minanga (era prasasti Kedoekan Boekit 682 M) adalah nama yang berdekatan dan sejajar pada masa kini sebagai kecamatan Angkola Barat (ibu kota di Sitinjak) dan kecamatan Barumum Tengah (ibu kota Binanga). Pada zaman era Ptolomeus Sitinjak dan Binanga berada di wilayah pesisir, yang mana Sitinjak (Angkola) tepat berada di muara sungai Batangtoru pantai barat Sumatra, sementara Binanga tepat berada di muara sungai Barumum di pantai timur Sumatra. Hipotesis-1: Ada kerajaan yang kuat antara abad ke-2 hingga abad ke-7 di Sumatra bagian utara; yang mana kerajaan memiliki pelabuhan komodisi (emas, kemenyan, kamper dan gading) baik di pantai barat maupun di pantai timur dimana diduga pusat kerajaan berada di sisi timur danau Angkola dimana ditemukan candi yang dibangun sekitar tahun 800 M (candi Simangambat). Pusat kerajaan ini di daerah aliran sungai Angkola berada diantara gunung Malea di selatan dan gunung Lubu Raya di utara, serta diantara pelabuhan Sitinjak/Sakkunur (dekat danau Siais) di barat dan pelabuhan Binanga di timur. Dalam catatan geografi Prolomeus juga disebut sentra produksi kamper berada di Sumatra bagian utara. Fakta bahwa di wilayah kerajaan itu ditemukan hutan-hutan kamper (bahkan hingga sekarang). Pada masa iini di kawasan Sangkunur terdapat perusahaan tambang emas raksasa PT Agincourt Resources dan di kawasan Binanga terdapat gajah liar.   

Nama Minana (Binanga) dan nama Sangkun (Sangkunur) pada masa ini juga terdapat di India. Dalam hal ini akhiran ‘ur’ dalam Sangkun adalah ‘kota’. Tentu saja dalam hal ini kita berbicara pada era Hindoe/Boedha (yang berasal dari India). Dua kota kuno di wilayah Tapanuli (Tanah Batak) seakan menggambarkan dua kota pelabuhan eskpor, kota Sangkuur (di Angkola) terhubung dengan India, Arab dan Eropa dan kota Binanga (di Baroemoen) terhubung dengan Tiongkok dan Jawa. Saat itu bahasa yang digunakan dalam navigasi pelayaran perdagangan adalah bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa. Dalam hal ini penduduk Batak selain bahasa sendiri juga bahasa Sanskerta (dwibahasa; seperti sekarang bahasa daerah dan bahasa Indonesia).

Sebagai suatu kerajaan di Sumatra bagian utara dengan dua pelabuhan, catatan Tiongkok juga melaporkan pada abad ke-2 bahwa ada utusan raja dari Laut Selatan, Yeh-tiao menghadap Kaisar Tiongkok untuk membuka pos perdagangan di pantai tenggara Tiongkok. Yeh-tiao ini menurut penelit-peneliti era Hindia Belanda adalah Sumatra. Seperti disebut di atas, dalam catatan geografi, Ptolomeus disebut sentra produksi kamper di Sumatra bagian utara, suatu semenanjung/pulau yang kaya emas (Aurea Chersonesus). Dalam catatan Eropa pada abad ke-5 disebut kamper diimpor dari pelabuhan yang disebut Barousai. Nama pelabuhan Barousai ini para peneliti era Hindia Belanda yakin bahwa itu adalah pelabuhan Barus di Tapanuli. Namun dimana letak pelabuhan Barousai ada yang berpendapat di pantai barat Sumatra (Tapanoeli) dan ada juga yang berpendapat di pulau Nias yang sekarang. Dalam hal ini, yang jelas ada nama-nama yang dapat dihubungkan, yakni nama Angkola dan produk kamper (Ptolomeus) dan nama Barus (catatan Eropa abad ke-5) serta nama Binanga (parasasti Kedoekan Boekit 682 M) plus keberadaan candi di Angkola (antara gunung Raya dan gunung Malea) pada abad ke-8..Peta Sebastian Munster, 1550

Nama Minana, Minanga atau Binanga di Sumatra menjadi penting (sejak abad ke-7) dalam hubungannya dengan nama-nama tempat di wilayah timur Sumatra seperti di (semenanjung) Malaya, Filipina dan Sulawesi. Nama Minanga atau Binanga muncul di Filipina pada abad ke-9 (lihat prasasti Laguna, pulau Luzon, Filipina). Dalam prasasti ini disebut raja yang kuat berasal dari Binwangan. Besar dugaan Binwangan adalah Binanga di pantai timur Sumatra dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Sanskerta dengan elemen bahasa Batak. Raja-raja yang tunduk di teluk dalam prasasti adalah Radja Tondo (Tondi di Tapanuli?), Radja Pulilan (Puli?), Radja Pila (Bila?) dan Radja Namayan (Huayan?).

Prasasti Laguna ditemukan di teluk Laguna (Manila yang sekarang). Pada masa ini di kawasan teluk itu ditemukan nama tempat Marivelle (kini menjadi Corregidor) dan masih tersisa sebagai nama gunung. Penduduk awal kawasan ini diduga migran yang berasal dari Batak pada era kerajaan kuno. Etnik Aeta di Marivelles dan etnik Batak di Palawan memiliki kemiripan dalam beberapa aspek. Aeta adakalanya disebut Ayta, Agta atau Atta). Orang Aeta juga ditemukan di Zambales, Tarlac, Pampanga, Panay dan di Bataan sendiri. Marivelles (kini Corregidor) masuk wilayah Bataan, suatu provinsi di region Luzon Tengah (sekitar teluk Manila). Ibu kota Provinsi Bataan adalah Balanga City (Binanga?). Beberapa  munisipalitas (kabupaten) di provinsi Bataan ini adalah Bagac, Hermosa, Mariveles dan Morong. Munisipalitas Mariveles adalah yang terluas di provinsi Bataan, Nah, sekarang, apakah nama Bataan merujuk pada nama Batak? Seperti halnya penduduk asli Aeta mirip dengan etnik Batak di Palawan yang juga ada kemiripan dengan etnik Batak di Tapanuli (Sumatra Utara) Indonesia. Balanga dalam bahasa Batak adalah cekungan (kuali), Bagak dalam bahasa Batak adalah Cantik. Yang jelas ada nama kampong kuno (era Hindoe) dekat Padang Sidempuan, Tapanuli bernama Mosa (mirip Her-mosa) dan kampong kuno (era Moor, Kerajaan Aru) Morang (mirip Morong). Satu lagi, seperti sudah disebut di atas bahwa nama geografis banyak yang berawal Ma (seperti Ma-nila) atau Mar (seperti Mar-ivele), suatu awal dalam kata kerja pada bahasa Batak untuk me dan ber. Awalan ma dan mar hanya ditemukan di Tanah Batak. Untuk sekadar menambahkan aksara Batak mirip dengan aksara Filipina. Secara keseluruhan, nama-nama yang mirip nama Batak banyak ditemukan di Filipina, termasuk nama provinsi kepulauan di sebelah utara pulau Luzon (provinsi Batanes) dan pulau Panai (nama sungai di Padang Lawas yang bermuara ke sungai Barumun).

Dari Filipina, sebelum ke Bornoe, bagaimana dengan nama-nama tempat di (pulau) Sulawesi. Nama-nama tempat di Sulawesi pada masa ini cukup banyak dengan nama-nama tempat di wilayang Angkola/Padang Lawas (pantai timur Sumatra). Tentu saja dalam hal ini dapat duhubungkan kesamaan aksara Batak dengan aksara Filipina dan aksara di Sulawesi. Dalam berbagai aspek yang akan dideskripsikan banyak kemiripian (kebudayaan) Batak dengan di Sulawesi.

Selain nama Minanga ditemukan banyak di Filipina (pulau Luzon), nama Minanga pada masa ini ditemukan di Sulawesi bagian utara seperti di Minahasa, Boloaang Mengondow dan Siau. Di Minahasa terdapat nama gunung Empung (ompung/leluhur?) dan nama danau Tondano (Tor/bukit  Dano/danau?) dan kota Amurang (Morang?). Empoeng sendiri diartikan oleh peneliti Belana N Graafland 1869 sebagai Kasoeroean yang dikaitkan kepercayaan terhadap leluhur penduduk asli Minahasa (Alifoeroen). Pada masa kini sebagai lagu rakyat di Minahasa berjudul Amang Kasuruan, suatu lagu tradisi yang berasal dari zaman kuno dengan syair masa kini. Ada yang mengatakan lagu Amang Kasuruan ini umum ditemukan di penduduk  Tontemboan. Dalam bahasa Minahasa dialek Tontemboan terdapat banyak persamaan mirip dengan bahasa elementer di Tapanuli Selatan, seperti amang=ayah, ina=ibu, ate-hati, lila-lidah, mate=mati, matua=tua, sisei=siapa, waba=mulut, siow=sembilan. Awalan ma juga digunakan di Tapanuli Selatan. Dialek Toutemboan ini juga mirip dengan dialek Tonsea. Apakah ini serba kebetulan? Akan tetapi mengapa sama meski sangat berjauhan secara geografis. Seperti halnya di Filipinan, aksara Minahasa juga mirip aksara Batak.

Di wilayah Sulawesi bagian tengah juga ditemukan nama-nama tempat Minanga. Di wilayah Sulawesi bagian tengah ini mulai dari pantai hingga pegunungan banyak yang mirip dengan nama-nama di Tapanuli Selatan, di wilayah pantai  Di wilayah kabupaten Pasangkayu (Sibatangkayu?) terdapat sungai terpanjang di Sulawesi, sungai Lariang (Gariang?), di muara sungai terdapat suku-suku dengan populasi kecil dengan bahasa sendiri seperti Baras (Barus?), Benggaulu (Anggoli? Ampolu?), dan Sarudu (Sarudik?). Nama-nama tempat di wilayah kabupaten Pasangkayu lainnya adalah Bulu Taba (Bulu Mario/Toba?), Tikke Raya (Tukka?), Batu Matoru (Batangtoru),   dan di kecamatan Sarudu terdapat desa Bulu Mario Bulu Mario) dan Duripoku (Duri Pahu/Sipohu) serta Tammarunang (Sanggarudang). Masih di kawasan pantai barat Sulawesi ini pada tahun 1919 pemerintahan Belanda membangun sejumlah pelabuhan di Bamabalamatoe, Pangiang (Tangiang/Tamiang?), Pasangkajoe, Lariang, Karossa (Karo), Boedong-Boedong (Nabundong/Borong-Borong?). Lamoe (Lamut/Lumut?), Sampagu (Sampagul?), Belang-Belang (Bolang-Bolang), Kaloekoe dan Mamoedjoe (Mamuge/Mamuja).

Di wilayah pedalaman ada suku.bahasa masyarakat (kecamatan) Seko dan (kecamatan) Rampi di (kabupaten Luwu). Nama seko di Tapanuli adalah kemenyan dan nama desa kuno di Angkola Batu Rambi. Nama luwu di Tapanuli Selatan adalah nama gunung Luwu Raya, dan luwu sendiri adalah nama tempat (nama perkampungan tua). Di wilayah pedalaman ini ada dua nama gunung utama yakni gunung Bulu Tarompupu (Tor/Ompung?) dan gunung Buyu Balease (Bulu Melea?). Pada wilayah ini mengalir sungai terpanjang di Sulawesi sungai Lariang (Gariang?) bermuara di Pasangkayu (Sibatangkayu). Di arah timur sungai dari guniung Balease mengalir sungai dan bermuara di Angkona (Angkola?). Sementara di arah selatan gunung Bulu Tarompupu terdapat gunung Gandangdewata (Gondang/Debata?) yang masuk wilayah Toraja (Tor/Radja). Masih di wilayah Toraja (kini Enrekang) selain ada nama tempat Minanga ada juga nama Pana (Panai/Pane?), Anggeraka (Anggi Raja) dan Banti (Panti?) dan Limbong. Seperti dijelaskan nanti, di wilayah Toraja ada kemiripan bentuk tongkonan di Toraja dan rumah bolon di Batak, tarian tor-tor dan rambu solo serta penulisan dan penyebutan marga yang hampir sama, seperti marga Aritonang, Tobing, Pakpahan/Pohan dan Pardede pada suku Batak dan ada marga Aitonam, Toding, Pahan dan Pirade pada suku Toraja. Di dekat Pana terdapat nama gunung/bukit Tokka Moncongloe (Tukka?) di Bonto Marannu (Marenu?). Di pantai barat Sulawesi dekat Mamuju ada nama gunung/kota Tappalang (Tappolong) dan nama tempat di sekitar Batoeng (Botung?).

Di wilayah barat Sulawesi (selatan Pasangkayu), di wilayah Mamuju di daerah aliran sungai Karama di pedalaman ditemukan situs kuno (arkeologi) Kalumpang (liha Tempo.com). Tidak jauh dari situs Kalumpang juga ada situs Minanga Sipakko. Disebutkan situs Kalumpang dan Minanga Sipakko terbilang sebagai kawasan permukiman yang tertua, yang pernah didiami oleh penutur Austronesia, diketahui bahwa situs itu berasal dari 3.600 Sebelum Masehi. Sejauh ini, situs-situs neolitik yang ditemukan di kawasan pesisir dan pantai di Sulawesi berusia lebih muda, antara 1.000 sampai 3.000 SM. Sedangkan di Minanga Sipakko dan Kalumpang para arkeolog berhasil menemukan puluhan alat batu seperti beliung dan kapak batu. Artefak-artefak itu, ditemukan setelah menggali sampai kedalaman 150 sentimeter dari permukaan tanah merupakan lapisan pasir dan sedimentasi sungai. Situs Kalumpang dan Minanga Sipakko terbilang sebagai situs neolitik terlengkap di Indonesia.

Seperti disebut di atas, nama Minanga sangat luas, Filipina, Sulawesi bagian utara, Sulawesi bagian tengah di Enrekang dan di Mamuju. Nama Minanga Sipakko tempat dimana ditemukan situs kuno dekat gunung Gandangdewata (Gondang/Debata), adalah nama Minanga dan nama Sipakko yang juga ditemukan di Angkola (Tapanuli Selatan). Sipakko adalah nama kerajaan tempoe oeloe yang kini hanya nama desa, Dalam hal ini situs Minanga Sipakko adalah situs tua megalitik dari zaman purba adalah satu hal, namun nama Minanga Sipakko tetntulah nama baru pada era peradaban yang berbeda adalah hal lain lagi. Seperti halnya sungai Larian, sungai Karama juga adalah pintu masuk dari pantai barat Sulawesi ke pedalaman. Wilayah dimana terdapat situs tua, kesanalah aliran penduduk melakukan migrasi.  

Di situs tua lainnya di kawasan jantung Sulawesi yakni situs Sekko (tanamam seko) dan situs (lembah) Bada (Badak?) dan Napu (Napa/Tapus). Di Minahasa, wilayah prasasti Watu Rerumeran ne Empung di dekat gunung Empung dan danau Tondano di wilayah Seko memiliki prasasti Daliang yang diartikan sebagai tungku empat bermusyawarah (kosa kata elementer yang mirip dengan di Angkola Mandailing sebagai ‘dalihan na tolu’. Salah satu situs batu yang ditemukan di Seko terlihat ada gambar bentuk bangunan yang mirip dengan Angkola (Tapanuli Selatan).

Pada situs batu di Seko (Toraja) terdapat sejumlah batu peninggalan kuno. Batu-batu tersebut sperti batu lesung tidak diketahui kapan dibuat. Pada tahun 2019, para peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Selatan melakukan ekskavasi di Situs I’song di Seko  yang menghasilkan temuan fragmen gerabah, sebaran batu bulat yang ditempatkan secara berpola, bongkahan batu yang disusun untuk menyangga dasar I’song, dan temuan arang yang terkonsentrasi pada beberapa titik di kotak ekskavasi. Menurut mereka arang itu salah satu temuan penting karena dapat dipergunakan untuk sampel analisis penanggalan (tarih). Hasil analisis dengan metode C14 atau metode carbon yang mengindikasikan sudah berusia 600 tahun. Jika peradaban Seko ini dihitung mundur itu berarti sekitar tahun 1400 atau sebelunya. Di Seko juga ditemukan situs struktur batu empat buah yang mengindikasikan wujud persatuan dari raja-raja (di sekitar bandara Seko). Situs ini menurut bahasa Seko disebut Laliang, suatu terminologi yang mirip di Tapanuli yaitu Dalihan Na Tolu  yang diartikan sebagai tungku yang tiga dalam pengambilan keputusan dari tiga pihak. Laliang di Seko bertungku empat (semacam dalihan na opat). Dalihan bahasa Tapanuli Selatan dan Laliang bahasa Seko sama-sama diartikan tungku. Situs lain, selain situ Batu Eno juga ada situs pemakaman kuno di kampoung tua yang disebut Lipu Matua [seperti nama saya]. Situs lainnya adalah Hatu Hila (batu lidah) dan situs Tonnong Kaha semacam benteng tanah yang melindungi area sekitar 10 Ha. Situs lainnya adalah situs Bongko yang dianggap perkampungan yang lebih tua dari Lipu Matua. Lalu situs Hatu Rondo di dusun Poyahaang desa Tanamankaleang berupa batu seluas 12 v 8,5 meter yang di diatas dibuat ukiran seperti wujud rumah, parang, mata tombak, tanduk kerbau, tengkorak. Bentuk rumah itu mirip dengan bentuk rumah (adat) di Tapanuli Selatan. Satu lagi situs batu tegak seacam tugu yang meruncing ke atas yang berada di antara desa Lodang dan desa Padang Balua yang mana batu tegak ini disebut warga Bata[k]. Dari berbagai keterangan di atas, nama-nama geografi di Seko juga mirip di Tapanuli Selatan yakni desa Padang Balua (Padang Bolak) dan Batu L’song (Losung Batu), desa Lodang (Lidang), perkampungan tua Limbong (Limbong), Nama-nama lainnya Onondowa  Batunadua), (kecamatan) Rampi (Batu Rambi) dan Padang Toroha. Tentang nama yang berawalan To seperti To[bara], To[raja] dan To[roha] dalam bahasa Tapanuli Selatan bara=biara, raja=raja, roha=jiwa. Di wilayah Rampi ini terdapat beberapa arca batu bentuk wajah orang. Wilayah Seko ini terbilang kawasan yang memiliki banyak kerbau. Adanya penemuan tembikar mengindikasikan wilayah ini sudah dikenal zaman kuno. Banua Batang disebut rumah yang memiliki arsitektur sendiri. Namun demikian, seperti halnya Tobara, Toroha dan Toraja juga memiliki kemiripan dengan nama-nama geografi di Kerajaan Aru yang berawalan To atau Ta, seperti (danau besar) Toba, (sungai besar) Toru, sungai Torop, , nama tempat Tolang, Tobang, Tobing, Tamiang, Tabuyung, Tamosu, Tahalak, Tabusira dan sebagainya. Tentu saja arti kata tanah (land) sebagai Tano atau Tana dan arti bukit atau gunung sebagai Tor. Lalu apakah Toraja berasal dari To-Raja atau Tor-Raja. Di wilayah Minahasa juga ada nama-nama Tomohon dan Tondano yang merujuk pada Tor-Mohon (bukit memohon) dan Tor-Dano (bukit danau). Semua itu tentu saja boleh jadi serba kebetulan

Tunggu deskripsi lengkapnya

Apakah Ada Jejak Kebudayaan Batak di Nusantara? Aspek Bahasa dan Budaya di Semenanjung, Borneo, Filipina, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku

Lantas mengapa banyak nama tempat di Filipina dan Sulawesi yang mirip dengan nama tempat di Tapanuli Selatan? Lalu bagaimana di Nusa Tenggara dan Maluku serta di Borneo Utara dan Semenanjung Malaya? Untuk itu aspek nama-nama tempat (toponimi) kita tambahkan aspek lainnya seperti bahasa dan budaya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar