Laman

Minggu, 26 Juni 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (676): Kerajaan Pedalaman di Sumatra Interaksi Dunia Luar; Kerajaan Minangkabau dan Kerajaan Aru

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Satu era berama Kerajaan Malaka di pantai (barat Semenanjung Malaya) adalah dua kerajaan di pedalaman (Sumatra bagian utara) yakni Kerajaan Aru dan Kerajaan Minangkabau (yang kemudian nama yang dipertukarkan dengan Pagaroejoeng). Bagaimana hubungan antara kerajaan-kerajaan di pedalaman Sumatra dengan kerajaan pantai Malaka dan bagaimana pula hubungan antara dua kerajaan di pedalaman Sumatra (Aru Batak Kingdom dam Minangkabau Pangaroejoeng Kingdom. Pada masa ini ada yang mempersepsikan dua kerajaan pedalaman ini berada di wilayah pesisir, ada pula yang menulis Kerajaaan Aru berawal di daerah aliran sungai Baroemoen, namun disebut berada di daerah aliran sungai Deli. Bagaimana bisa?

Kesultanan Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatra Utara sekarang. Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton, yang tepatnya disebut di dalam Sumpah Palapa: “Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”. Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2. Sementara itu dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu. Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota China dan Kota Rantang. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah kerajaan pedalaman di Sumatra memiliki interaksi dengan dunia luar? Seperti disebut di atas, ada dua kerajaan pedalaman di Sumatra yakni Kerajaan Minangkabau dan Kerajaan Aru. Lalu bagaimana sejarah kerajaan pedalaman di Sumatra memiliki interaksi dengan dunia luar? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kerajaan Pedalaman di Sumatra Berinteraksi dengan Dunia Luar: Kerajaan Minangkabau dan Kerajaan Aru

Sumatra sudah dikenal sejak lama di Eropa. Demikian juga di Tiongkok sudah lama dikenal. Nama-nama tempat yang mengindikasikan di Sumatra ditemukan dalam berbagai sumber seperti prasasti, candi, peta-peta dan catatan Eropa, Arab, Prasi India dan Tiongkok. Namun tidak begitu terperinci hingga kehadiran pertama orang Eropa pada awal bad ke-16 (orang-orang Portugis).

Pada saat awal kehadiran orang Eropa di Nusantara, sejumlah tempat yang dicatat oleh Tome Pires (1512-1515) di Sumatra antara lain kerajaan Aceh (Achei) dan Biar Lambry, kerajaan Pedir, kerajaan Pirada, kerajaan Pasai (Paçee), kerajaan Bata, kerajaan Aru, kerajaan Arcat, kerajaan Rupat, kerajaan Siak (Ciac), kerajaan Kampar (Campar), kerajaan Tongkal (Tuncall), kerajaan Indragiri (Amdargery), kerajaan Capocam, kerajaan Trimtall [Tongkal?], kerajaan Jambi, kerajaan Palembang (Palimbão), tanah Sekampung (Çaçanpom), Tulang Bawang (Tulimbavam), Andalas (Andallos), Pariaman (Pirjaman), Tiku (Tiquo), Panchur, Barus (Baruez), Singkil (Chinqele), Meulaboh (Mancopa), Daya, Pirim [Pedir?] serta tanah Minangkabau (Menamcabo) di pedalaman pulau (Wikipedia). Di pulau Sumatra sebagian besar raja adalah bangsa Moor dan beberapa penyembah berhala; dan di negeri penyembah berhala beberapa orang melakukan kebiasaan memakan musuh mereka ketika mereka menangkapnya. Raja-raja di sisi bandar dari Aceh ke Palembang adalah bangsa Moor dan orang-orang dari pedalaman dan yang tinggal di pedalaman juga penyembah berhala. (Wikipedia). Peta Portugis (1619)

Nama-nama tempat yang dilaporkan oleh seorang Portugis Tome Pires (1512-1515) ada nama Kerajaan Batak, Kerajaan Aru dan Kerajaan Minangkabau. Pelaut-pelaut Portugis sendiri sudah hadir di Malaka pada tahun 1509 yang dua tahun berikutnya menaklukkan Kerajaan Malaka pada tahun 1511.  Namun dalam laporan Portugis berikutnya Mendes Pinto yang berkunjung ke kerajaan Aru Batak Kingdom pada tahun 1537 menyebut nama (kerajaan) Minangkabau tetangga Aru Batak Kingdom yang dapat sewaktu-waktu diminta ikut membantu jika Aru Batak Kingdom diserang. Ibu kota Kerajaan Aru Batak Kingdom berada di Panaju (Pane) yang berada di sungai Paneticao (sungai Batang Pane?). Menurut Mendes Pinto kerajaan Aru Batak Kingdom tengah berperang dengan kerajaan Atjeh.

Laporan lain orang Portugis dalam bentuk peta dan catatan lainnya tentang Sumatra adalah Faria y Souza dalam karyanya Asia Portugueza, Diego Robeiro (1529), Odoardo Barbosa (1516), Diego Pacheco (1520) yang berlayar melewati Aceh ke pantai barat Sumatera dan kembali ke titik keberangkatannya di sepanjang pantai timur.

Kerajaan Aru Batak Kingdom disebut Pinto memiliki pasukan dengan kekuatan 15.000 orang, yang mana sebanyak 8.000 orang Batak dan selebihnya adalah orang-orang dari Menangkabau, Luzon, Indragiri, Jambi dan Borneo. Pasukan Aru ini juga memiliki 40 gajah dan 12 meriam. Pasukan cadangan ada di dataran tinggi yang disebut Minacalao (Minangkabau?). Selama Pinto berada di Panaju ditemani oleh seorang Moor, dan Pinto sempat melihat ada sebanyak 63 kapal yang tengah bersandar di bandar Panecao. Masih menurut Mendes Pinto Kerajaan Aru Batak Kingdom sangat kuat tidak bisa dipenetrasi dikelilingi oleh pegunungan dan jaraknya ratusan mil dari laut. Radjanya adalah seorang Moor. Kerajaan ini memiliki banyak (orang) Mandarin yang disisi luar (selat Malaka) kerap melakukan perampokan dan ancaman di selat. Kerajaan Malaka selalu waspada kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka.

Apa yang digambarkan oleh Mendes Pinto Kerajaan Aru Batak Kingdom berada di pedalaman, memiliki hubungan dengan kerajaan Minangkabau yang mana kekuatan militer Kerajaan Aru juga ada tentara yang didatangkan dari Luzon (Minala), Indragiri (Indragiri), Jambi dan Borneo. Kerajaan Malaka selalu waspada kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka mengindikasikan, sebelum ditaklukkan Portugis 1511 mengindikasikan kerajaan Aru lebih kuat dari kerajaan Malaka.

Kedekatan hubungan Baros dan Aru ini agak menyulitkan peneliti-peneliti Portugis membedakan secara tegas Baros dan Aru yang di dalam tulisan Pires dan Pinto kerap tertukar (saling menggantikan) antara Baros, Bata dan Aru. Hal itu dapat dimaklumi karena poros perdagangan Baros dan Aru berada di alam teritori penduduk Batak. Nama Aru baru menonjol dalam laporan Barbosa. Ekspedisi Barbosa dilakukan setelah Tome Pires. Barbosa menyebut hanya tujuh bandar penting, yakni: Pedir, Pansem, Achem, Compar (Kampar), Andiagao (Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara (Aru). Barbosa melakukan ekspedisi pada tahun 15??. Barbosa tampaknya mengoreksi hasil identifikasi Tome Pires. Dalam laporan Barbosa ini secara eksplisit membedakan antara Baros dan Aru. Barbosa menyebut Baros sebagai Pansem yang merupakan nama lain Baros yang disebut Pansur atau Pancur. Sedangkan Aru ditulisnya sebagai Ara. Boleh jadi Ara atau Aru sama saja. Jadi, Aru atau Ara adalah bandar yang terletak di hulu sungai Baroemoen, dimana  muara sungai Baroemoen berseberangan dengan Malacca. Demikian juga dengan nama Ambuara juga ditulis Ambuaru. Nama Ambuaru sangat dekat dengan nama yang disebut dalam buku Negarakertagama yakni Haru. Dua nama lagi yang disebut dalam buku itu adalah Panai dan Sampei. Aru adalah nama lain yang kerap tertukar dengan Panai. Jadi Haru dan Aru adalah dua tempat atau dua bandar penting yang berjauhan di pantai timur Sumatra. Sedangkan Aru dan Panai menunjuk tempat yang sama. Penulis peta Portugis adakalanya menyebut nama Aru sebagai de Aru yang kemudian d’Aru dan lalu Daru.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Aru versus Kerajaan Malaka

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar