Laman

Senin, 25 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (733): Tawi-Tawi Diantara Sulu dan Sabah; Tawi-Tawi Dekat Bulungan, Tidung, Sandakan dan Marudu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dalam sejarahnya Tawi-Tawi kepulauan adalah wilayah Kerajaan Sulu. Dalam sejarah, Kerajaan Sulu terbilang wilayah yang bersifat independent cukup lama (dibandingkan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara). Mengapa? Di bagian wilayah Sulu di Tawi-Tawi dan sekitar merupakan salah satu wilayah di bawah proteksi (kerajaan) Sulu yang kerap melakukan perlawanan kepada orang-orang Eropa sejak era Portugis/Spanyol. Pada era Hindia Belanda, para bajak laut yang dikejar Angkatan laut Hindia Belanda sangat aman berlindung di Tawi-Tawi (ibarat pengejaran keuangan di berbagai negara pada masa kini sangat aman di bank-bank Swiss).


Tawi-Tawi (Tagalog: Lalawigan ng Tawi-Tawi; Tausug: Wilaya' sin Tawi-Tawi; Sinama: Jawi Jawi/Jauih Jauih) is an island province in the Philippines located in the Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao (BARMM). The capital of Tawi-Tawi is Bongao. It is the southernmost province of the country, sharing sea borders with the Malaysian state of Sabah and the Indonesian North Kalimantan province, both on the island of Borneo to the west. To the northeast lies the province of Sulu. Tawi-Tawi also covers some islands in the Sulu Sea to the northwest, Cagayan de Tawi-Tawi Island and the Turtle Islands, just 20 kilometres (12 mi) away from Sabah. The municipalities comprising the current Tawi-Tawi province were formerly under the jurisdiction of Sulu until 1973 (1.087 km²; population 322.317 (2000)).  Administrative divisions: Tawi-Tawi comprises 11 municipalities, all encompassed by two legislative districts and further subdivided into 203 barangays. Bongao — the capital of the province; Languyan — created by President Marcos for rebel leader Hadjiril Matba who joined the government in the 1970s; Mapun — Tawi-Tawi's northernmost municipality, formerly Cagayan de Tawi-Tawi or Cagayan de Sulu; Panglima Sugala — formerly known as Balimbing. However, in the EDSA Revolution, the word "balimbing" acquired a derogatory meaning associated with turncoatism due to the fruit's many sides. It is the former capital of the province; Sapa-Sapa; Sibutu — home to the descendants of Malay royalty in Borneo and not necessarily associated with the Sulu royalty; Simunul — site of oldest mosque in the Philippines and home of Sheikh Makdum, one of the early pioneers spreading Islam in the country; Sitangkai — southernmost municipality in the country; South Ubian; Tandubas; Turtle Islands — a turtle sanctuary and protected area; Most of the municipalities are located on the islands in the Sulu Archipelago. Two of them, Mapun (which is closer to Palawan) and Turtle Islands, lie within the Sulu Sea. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Tawi-Tawi diantara Sulu dan Sabah? Seperti disebut di atas, Tawi-Tawi kepulauan berada di dalam yurisdiksi Kerajaan Sulu di masa lampau, yang mana pada hari ini provinsi berada di antara provinsi Sulu (Filipina) dan wilayah negara Sabah (Federasi Malaysia). Lalu bagaimana sejarah Tawi-Tawi diantara Sulu dan Sabah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tawi-Tawi Diantara Sulu dan Sabah; Tawi-Tawi dan Bulungan, Tidung, Sandakan dan Marudu

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bulungan dan Tidung Era Hindia Belanda - Sandakan dan Marudu Era Maskapai Borneo Utara/Inggris

Wilayah perairan antara pulau Borneo, Paragao (Palawan) Sulawesi dan Mangindanao sudah dikenal sejak zaman kuno (Hindoe) sebagai persimbangan lalulintas navigasi pelayaran perdagangan. Namun situasinya menjadi berbeda pada era kehadiran Eropa (Portugis, Spanyol) khususnya pada era Belanda/VOC yang justru jarang dilewati. Perairan yang luas ini menjadi momok bagi pelaut-pelaut Spanyol dan Belanda karena banyak pulau-pulau kecil dan karang yang memanjang dari pulau Mindanao hingga pantai timur laut pulau Borneo. Wilayah yang dikuasai Kerajaan/Kesultanan Sulu ini termasuk wilayah Tawi-Tawi kepulauan (yang lebih dekat ke pantai timur laut Borneo).


Jauh sebelum kehadiran orang Eropa (Portugis) wilayah perairan luas ini merupakan jalur lalu lintas navigasi pelayaran perdagangan Kerajaan Aru di pantai timur Sumatra dan pedagang-pedagang Moor bergama Islam menuju ke utara di pulau-pulau di Filipina seperti Luzon hingga Formosa (Taiwan); menuju timur di pantai utara Sulawesi, pantai selatan Mindanano hingga ke Maluku; serta ke selatan di selat Sulawesi (panrtai timur Borneo dan pantai barat Sulawesi). Pada era Portugis dan Spanyal Kawasan segi tiga tersebut masih kerap dikunjungi kapal-kapal mereka. Namun pada era Belanda/VOC situasi berubah, jarang dikunjungi karena tonase kapal-kapal Eropa sudah lebih berat sehingga berisiko tersandung karang. Seperti kita lihat nanti, hal itulah mengapa Kawasan ini mengalami kemunduran Ketika di tempat lain mengalami kemajuan perdagangan, bahkan hingga kehadiran pedagang Inggris di Sabah (Maskapai Borneo Utara pada pengujung abad ke-19).

Berita tersandungnya kapal pedagang Swedia di Kawasan pada tahun 1798 menjadi Kawasan ini membuktikan sebagai Kawasan yang harus dihindari oleh kapal-kapal Eropa. Bahkan kapal-kapal Amerika Serikat (yang telah mengakuisisi Filipina dari Spanyol tahun 1798) tidak berani ke Kawasan ini, suatu Kawasan dimana hilir mudik orang-orang Moro sejak Spanyol. Oleh karena itu, kawasan ini menjadi kawasan bebas dari orang-orang Eropa dalam waktu yang lama, dan kerap menjadi tujuan pelarian para perompak laut jika dikejar kapal-kapal Pemerintah Hindia Belanda dari Kawasan teluk Tomini, Kawasan kepulauan Riau serta Selat Sulawesi.


Oleh karena Kawasan segitiga ini rawan dalam navigasi pelayaran, maka kapal-kapal (perang) Pemerintah Hindia Belanda hanya nyaman berlayar di sisi pantai barat Sulawesi hingga ke Manado dan sisi pantai timur Borneo hingga ke Batu Tinagat. Kapal-kapal dagang Belanda dari Hindia dan Inggris dari Sidney ke Hongkong, Makao dan Jepang lebih memilih dang menggunakan peta navigasi Spanyol melalui Talaud, ke Zebu dan keluar di pantai barat daya pulau Luzon. Sementara kapal-kapal Belanda dari Batavia dan Inggris dari India ke pantai timur Tiongko atau Jepang tidak mengalami kesulitan melalui selat Malaka dan selat Karimata melalui Laut Cina Selatan. Jalur ini juga digunakan untuk menuju Manila dan pantai utara Borneo.

Kawasan segi tiga perairan ini juga memiliki arah angin yang kerap menyesatkan arah navigasi pelayaran. Ini pernah dialami oleh Captain Barnes bulan Agustus 1821 yang berlayar ke sebelah timur Sulu, telah hanyut di antara Kapoeal dan Bietienan (lihat Zeemansgids voor Nederlandsch Oost-Indie, 1929). Juga disebutkan Tawie-Tawie Kepulauan yang membentuk bagian barat daya dari Soelu meluas hampir ke Semenanjung Oensang di pantai timur laut Borneo terdiri dari rantai pulau yang cukup besar, yang dikenal, dan di sekitarnya terdapat berbagai bahaya navigasi. Rantai pulau kedua terbentang dari Tawie-Tawie cukup jauh di lepas pantai Kalimantan dan khususnya Liegitan. Jika kapal lewat di dekat pulau-pulau ini atau pantai Kalimantan selalu didahuli perahu di depan untuk memimpin pelayaran terutama pada malam hari seperti yang dilaporkan dalam sejarah navigasi pelayaran pada tahun 1787.


Sejak kehadiran Inggris di pnatai utara Borneo terutama sejak James Brooke, secara perlahan Kawasan yang cukup lama tidak dikenal dalam navigasi pelayarn mulai dirintis tetapi hanya di sekitar sepanjang pantai dari pantai utara hingga pantai timur Borneo. Pada tahun 1849 saru kapal dagang Inggris terdampar di pantai timur di Berau. Kapal-kapal dagang Inggris dari Labuan kerap mencapai Tenggarong di sungai Mahakam. Sejak Pemerintah Hindia Belanda membuka cabang pemerintahan di Koetai pada tahun 1850 kapal-kapal perang Hindia Belanda berpatroli hingga ke Batu Tinagat, selain mengawasi pedagang-pedagang Inggris juga untuk menjaga keamanan penduduk pantai dari serangan bajak laut. Dalam laporan 1929 juga disebutkan sebuah kapal di salah satu dari kawasan Tawi-Tawi Soeloe membutuhkan kehati-hatian yang ekstrim; karena belum lama ini di pulau-pulau ini terjadi pihak menyerbu sebuah kapal dagang, dengan cepat diserang dan mereka dapat melarikan diri.

Lalu bagaimana dengan situasi dan kondisi Tawi-Tawi kepulauan sebagai bagian wilayah dari Kesultanan Sulu? Seperti di kutip di atas, bahasa yang berlaku umum di Tawi-Tawi mirip dengan Bahasa yang berlaku umum di Sulu dan juga wilayah pantai timur laut Borneo di wilayah Tidoeng. Secara linguistic kurang lebih sama, namun terdapat sejumlah kosa kata elementer yang sama yakni kosa kata ‘ina’=ibu dan ‘ama’=ayah. Hal serupa juga dengan Bahasa Melanau di pantai utara Borneo dan pulau-pulau di sebelah barat daya Filipina seperti di pulau Palawan. Dari segi linguistic dan kosa kata elementer itu  haruslah dirujuk pada masa jauh sebelumnya pada era navigasi pelayaran perdagangan sebelum kehadiran orang-orang Eropa (Portugis/Spanyol).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar