Laman

Minggu, 31 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (745): Cotabato Teluk Kuno di Mindanao dan Geomorfologi; Sungai Tamontoka hingga Danau Buluan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pulau Mindanao adalah pulau yang bergunung-gunung. Namun diantara gunung-gunung itu juga terdapat teluk dan dataran rendah. Dataran rendah yang terbilang luas terdapat pantai barat dimana terdapat kota Cotabato. Nama "Cotabato" disebut merujuk dari kata Maguindanao ‘kuta wato’, atau kemungkinan dari kata Melayu "kota batu". Penduduk asli disebut orang Maguindanao, bagian dari kelompok etnis Moro. Nama manguindano berarti “penghuni dataran banjir”.


Cotabato, officially the Province of Cotabato and formerly but still colloquially known as North Cotabato (Hiligaynon: Aminhan Cotabato; Cebuano: Amihanang Cotabato; Maguindanaon: Pangutaran Kutawatu; Filipino: Hilagang Cotabato), is a landlocked province in the Philippines located in the Soccsksargen region in Mindanao. Its capital is the city of Kidapawan. Some of its barangays are under the jurisdiction of the nearby Bangsamoro Autonomous Region. Cotabato derives its name from the Maguindanaon word kuta watu (from Malay - "Kota Batu"), meaning "stone fort", referring to the stone fort which served as the seat of Sultan Muhammad Kudarat in what is now Cotabato City (which the province derives its name from). Islam was introduced in this part of the country in the later part of the 15th century by Sharif Mohammed Kabungsuwan, an Arab-Malay Muslim warrior-missionary. Sharif Kabungsuwan invaded Malabang in 1475, facing armed resistance from the non-Muslim natives, nevertheless successfully vanquishing and subjugating them to his (Islamic) rule through the might of his Samal warriors. Christianity was introduced in 1596, but the Spaniards were unable to penetrate into the region until the second half of the 19th century. The district of Cotabato was formed in 1860, covering the areas of what is now Cotabato, Maguindanao and Sultan Kudarat provinces with its capital at Tamontaka. Fort Pikit was established by the Spaniards in 1893 as they continued their conquest of the remnants of Maguindanao Sultanate, which would soon be the site of one of the province's oldest towns, Pikit. (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah geomorfologi teluk Kota Cotabato di pulau Mindanao? Seperti disebut di atas, kota Cotabato ini terhubung dengan danau-danau pedalaman melalui sungai Tamontoka hingga ke danau Buluan. Lalu bagaimana sejarah geomorfologi teluk Kota Cotabato di pulau Mindanao? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Geomorfologi Teluk Kota Cotabato di Pulau Mindanao; Sungai Tamontoka hingga Danau Buluan

Kapan kota Cotabato terbentuk? Tidak diketahui secara jelas. Namun di kawasan dimana Kota Cotabato yang sekarang berada di antara dua sungai besar, yakni sungai de Gradande dan sungai Tamontaka. Kota Cotabato berada di sisi barat sungai de Grande. Kawasan kota ini kini terkesan jauh di pedalaman.


Di pedalaman terdapat danau besar yang ke hilir dihubungkan sungai Tamontaka. Singai ini kemudian di dihilir bercabang dengan cabang baru sungai de Grande. Pada sungai de Grande ini di hilir terbentuk kota Cotabato dimana awalnya ditandai sebuah benteng. Dalam pembangunan benteng ini dibangun kanal yang menghubungkan sungai de Grande ke sungai Tamontaka. Kanal yang dibangun ini diduga awalnya adalah jalur air yang membedakan Kawasan benteng dengan Kawasan ke dekat laut yang berawa-rawa. Sungai utamanya Rio Grande de Mindanao, yang dengan banyak anak sungainya mengairi bagian dalam Mindanao yang luas dan jatuh ke laut di pelabuhan Cótabato di Laut Sulawesi (lihat De Indische mercuur; orgaan gewijd aan den uitvoerhandel, jrg 33, 1910, no 14).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sungai Tamontoka hingga Danau Buluan: Terbentuknya Kota Cotabato

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar