Laman

Senin, 22 Agustus 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (789): Grobogan, Geomorfologi di Daerah Bengawan Solo; Bagaimana Sumber Garam di Pedalaman?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apalah artinya bahwa di kabupaten Grobogan yang berada di pedalaman (pulau) Jawa ditemukan sumber garam. Orang hanya sekadar tahu, habis itu berlalu. Akan tetapi mengapa tidak ada orang yang bertanya mengapa ada sumber garam di pedalaman Jawa di Grobogan. Nah, itulah pertanyan kita dalam artikel ini.


Garam tidak bersumber dari air hujan atau air sungai. Garam biasanya diasosiasikan dengan air laut yang umumnya mengandung garam. Pada masa ini ada garam industri dan ada juga garam alam. Pada masa lampau garam alam yang tersedia, diperdagangkan dan dibuat oleh penduduk yang berada di pesisir pentai. Pembuatan garam tidak berada di muara sungai tetapi agak jauh di area dimana ombak tidak terlalu besar dan lahan-lahan pembuatannya cenderung dangkal dan datar. Sentra produksi garam muncul karena adanya sumber garam yang baik (air laut dengan salinitas yang tinggi) dan terdapatnya populasi penduduk yang memiliki kemampuan untuk mengolah. Hal itulah mengapa sentra produksi garam tidak di semua tempat tetapi hanya di beberapa tempat seperti pantai utara di Jawa berada di pulau Madura, do pantai barat Sumatra berada di teluk Tapanuli.

Lantas bagaimana sejarah geomorfologi Grobogan dan daerah aliran bengawan (sungai) Solo? Seperti disebut di atas, secara geomorfologis daerah Grobogan pada masa ini berada di pedalaman, tetapi ditemukan sumber garam. Dalam hal ini apakah ada kaitannya dengan daerah lairan sungai (bengawan) Solo. Lalu bagaimana sejarah geomorfologi Grobogan dan daerah aliran bengawan (sungai) Solo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Geomorfologi Grobogan dan Daerah Aliran Bengawan Solo; Mengapa Bisa Ada Garam di Gunung?

Sejauh ini tidak ada peta kuno pulau Jawa yang ditemukan. Informasi minim hanya gambaran suatu perahu layer di dalam relief candi Borobudur (yang dibangun abad ke-8). Dalam teks Negarakertagama (1365) juga tidak ada keterangan yang mengindikasikan nama tempat di Jawa bagian tengah (umumnya di Jawa bagian timur). Hal itu sedikit sulit mengidentifikasi wilayah Grobogan pada masa doeloe. Oleh karena itu hanya pendekatan geomorfologis yang dimungkinkan untuk menggambarkan wilayah Grobogan pada zaman kuno.


Temuan arkeologis yang ditemukan saat ini di sekitar wilayah Grobogan adalah manusia Phitecantropus erectus di Trininl/Sangairan di daerah aliran sungai Bengawan Solo dan temuan arkeologis prasasti Sojomerto dan candi tua di Kendal. Dua fakta sejarah ini sangat berjauhan dan tidak memiliki relasi.  Prsasati dan candi tua, pada era sebelum candi Boronudur dibangun diduga hanya satu-satunya keterangan yang saling berkaitan. Candi tua di Kendal (dan prasasti) diduga kuat pada permulaan dinasti Seilendra (lihar prasasti Sojomerto, akahir abad ke-7). Situs kuno tersebut ditemukan di dusun Boto Tumpang, desa Karangsari, kecamatan Rowosari, kabupaten Kendal.

Peta tertua pulua Jawa yang ditemukan pada masa ini adalah berasal dari era Portigis (Peta 1521). Namun peta hanya mengindikasikan bentuk pulau Jawa yang digambarkan hanya dengan sangat sederhana. Gambaran yang lebih baik pulau Jawa baru beberapa decade setelahnya ditemukan dimana dalam peta itu sudah diidentifikasi sejumlah nama tempat (kita) di pulau Jawa, yakni: Jepara, Mandalika dan Tuban. Dalam peta itu kota Mandalikan berada di pantai (daratan Jawa), suatu yang berbeda dengan situasi dan kondisi masa ini berada di sebuah pulau di utara antara Kota Jepara dan Kota Rembang.


Dalam laporan Portugis, seperti laporan Mendes Pinto (1537-1539) sudah muncul nama Demak, tetapi di dalam peta nama yang ada hanya nama Jepara.  Boleh jadi itu adalah peta lama, tetapi laporan terbaru para pelaut Portugis belum dimasukkan para ahli kartografi ke dalam peta. Dalam ekspedisi Tiongkok yang dipimpin oleh Cheng Ho pada permulaan abad ke-15, tidak ditemukan indikasi yang kuat tentang Jepara, tetapi indikasi ekspedisi itu mencapai Semarang. Situs Cheng Ho (kini diduga Klenteng Sam Poo Kong) tidak berada di pantai pada masa ini tetapi di pedalaman. Lokasi dimana klenteng ini berada diduga di masa lampau era Cheng Ho muara sungai Semarang (masih) berada. Dalam bahasa sekarang, klenteng itu kini berada di antara kota Semarang Bawah dan Kota Semarang Atas.

Tampaknya wilayah Semarang dan sekitar bukanlah wilayah yang penting/strategis bagi Portugis. Hal itu diduga yang menyebabkan wilayah Semarang dan sekitar tidak ditemukan peta-peta lama Portgus kecuali peta awal yang mengindikasikan kota Jepara dan Mandalika. Boleh jadi pada era Portugis ini kekuatan (kerajaan) Demak pada puncaknya sehingga sulit bagi Portugis membangun pos perdagangan di Demak dan sekitar (Semarang dan Jepara). Nama Demak baru muncul lagi pada awal era Belanda, ketika ekspedisi Belanda pertama dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597) dilaporkan tentang keberadaan Jepara (sebagai suatu kerajaan yang kuat).  


Pada peta-peta era awal Belanda baik peta Portugis dan peta Belanda, di wilayah Semarang dan sekitar, selain Jepara dan Mandalika sudah dipetakan nama-nama tempat yang penting seperti Demak, Pati dan Lasem. Besar dugaan pada era Portugis Kerajaan Demak adalah kerajaan yang namanya saling dipertukarkan antara Jepara dan Demak. Pada masa tertentu nama Jepara yang dikenal asing dan pada masa yang lain yang dikenal nama Demak. Dimana kota Demak dan kota Jepara diduga sama-sama berada di pantai. Pada masa ini kota Jepara tetap berada di pantai, lalu mengapa kota Demak seakan berada di pedalaman? Peta Portugis

Pada permulaan kehadiran Belanda mereka hanya lebih mengenal Jepara dan Lasem. Keberadaan Belanda/VOC di Semarang baru dimulai pada tahun 1701 dimana benteng VOC dibangun di muara sungai Semarang. Muara sungai Semarang diduga telah bergeser dari tempat dimana klenteng Sam Po Kong era Cheng Ho telah bergeser jauh ke peraira/laut karena proses sedimentasi jangka Panjang (terbentuknya daratan baru yang kini dikenal Kota Semarang Bawah). Kota Semarang dimana benteng VOC dibangun menjadi cikal bakal kota Semarang yang menjadi basis VOC untuk memasuki pedalaman hingga ke Soeracarta dan Mataram. Dengan kata lain Semarang menjadi wilayah yang penting bagi VOC.


Kehadiran VOC di Semarang diduga telah menimbulkan perselisihan antara VOC dan Demak. Meski kerajaan Demak yang tidak berada pada puncaknya lagi, masih bisa mengalahkan Belanda pada bulan September 1825. Pada saat ini diduga posisi GPS Kota Demak tidak lagi berada di pantai, tetapi sudah agak ke pedalaman karena adanya proses sedimentasi jangka panjang dari sungai Demak yang berhulu di Rawa Pening di Ambarawa.  Pada era Pemerintah Hindia Belanda, kanal-kanal yang dibangun di wilayah Semarang telah menambah Kawasan daratan karena wilayah rawa-rawa menjadi mengering.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Daerah Grobongan di Pedalaman: Mengapa Bisa Ada Garam di Gunung?

Penemuan candi tua Kendal yang jauh kini jauh di belakang pantai diduga pada awalnya dibangun di suatu pulau di muara sungai Kuto. Sementara itu prasasti Sojomerto yang ditemukan berasal dari abad ke-7 kini berada di kecamatan Reban, kabupaten Batang. Dua situs kuno ini diduga pada fase akhir Hindoe (kerajaan Kalingga) dan pada fase awal Boedha (kerajaan Mataram Kuno). Tempat dimana prasasti dan candi diduga kuat masih berada di perairan/laut masing-masing di suatu pulau di muara sungai. Dalam hal ini kita sedang membicarakan sejarah geomorfologis pantai utara (pulau) Jawa.


Pada masa lampau juga diduga posisi GPS kota Demak berada di suatu pulau atau di daratan (pulau) Jawa pada muara sungai. Dalam awal era Portugis yang dikenal luas adalah nama Jepara dan Mandalika yang masing-masing berada di pantai. Boleh jadi dua kota inilah sejak awal yang eksisi. Sementara kota Demak belum muncul, karena kawasan dimana kota Demak pada masa ini, pada saat itu masih berada di perairan/laut atau sebuh pulau. Ini diduga berawal pada mulanya kota Jepara dan mandalikan berada di suatu pulau yang lebih besar, karena proses sedimentasi jangkan panjang menyatu dengan daratan (pulau) Jawa. Pada era Portugis dimana kota Demak muncul diduga masih berada di suatu pulau di muara sungai (katakanlah itu teluk Jepara), sementara kota Jepara berada di arah utara (ujung dari teluk di suatu lereng gunung). Hal itulah menfapa pada era Portugis mengapa Jepara dan atau Demak terbilang sebagai kerajaan maritime yang jaya di laut (berhasil menghancurkan kerajaan Hindoe di Jawa bagian barat (Pakuan-Pajajaran) dan bersaing ketat dengan pelaut-pelaut Portugis di Laut Jawa (mungkin hingga selat Malaka).

Jika kita menarik sejarah jauh mundur ke belakang. Besar dugaan kota/kampong Grobogan pada awalnya berada di pantai/pesisir laut di suatu muara sungai. Sungai yang melintasi kota Purwodadi yang sekarang mengalir ke hilir ke teluk Jepara melalui kota Kudus yang sekarang. Dalam hal ini juga di masa lampau kota Pati dan kota Kudus juga pernah berada di pantai/pesisir di muara sungai (sementara kota Demak berawal di suatu muara sungai di dalam teluk Jepara, sungai yang berhulu di sebelah barat di Rawa Pening. Dalam konteks inilah kita berbicara secara geomorfologis mengapa ditemukan sumber garam di Grobogan.


Seperti disebut di atas, ada indikasi yang kuat dari masa ke masa pantai utara (pulau) Jawa secara geomorfologis telah mengalami perubahan bentuk. Perubahan di sebelah barat Semarang sedikit dan pelan, tetapi perubahan di sebelah timur sangat besar (radikal). Situs dimana prasasti Sojomerto dan candi tua Kendal awalnya berada di suatu pulau demikian juga kota Semarang masa kini, pada masa itu masih berada di muara singai Semarang dimana kini terletak klenteng Sam Po Bo. Kota Jepara dan kota Mandalika pada masa lampau di suatu pulau, yang mana pulau itu semakin mebesar dan pulau Jawa semakin meluas sehingga menyatu membentuk daratan yang lebih luas. Lalu kemudian terbentuk dua teluk. Teluk pertama di barat (teluk Jepara/Kudus dimana kota Demak berada di suatu pulau) dan teluk kedua di timur (teluk Pati/Rembang). Kota Grobogan pada masa lampau berada di bagian teluk yang sempit dari teluk Jepara/Kudus. Sungai yang berhulu di Grobogan/Purwodadi yang menyebabkan proses sedimentasi jangka panjang di teluk sehingga sungai sendiri menemukan jalan sendiri melalui kota Kudus hingga selatan kota Jepara. Demikian juga sungai Demak yang berhulu di Rawa Pening yang bermuara di teluk Jepara/Kudus pada akhirnya menemukan jalan melalui kota/pulau Demak hingga ke laut (seperti sekarang).

Pada masa ini beberapa kota penting diantara kota-kota kunio (Jepara dan Mandalika) adalah kota Demak, Grobogan/Purwadadi, Pati, Kudus dan Rembang. Namun perlu dicatat kota yang terbilang tua adalah kota Juwana (kini menjadi sebuah kecamatan di kabupaten Pati). Kota Pati di masa lampau terletak di dalam sungai pulau. Kota Demak dan kota Rembang dapat dikatakan kota-kota yang lebih muda.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar