Laman

Selasa, 23 Agustus 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (792): Pejuang Bahasa di Malaysia, Patriotis? Mengapa Tidak Ada Aksara Daerah di Malaysia?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada perbedaan masa bagaimana perjuangan bahasa di Indonesia (baca: Hindia Belanda) dan di Malaysia (baca: Semenanjung Malaya). Perjuangan nama Indonesia dimulai tahun 1917 oleh para mahasiswa pribumi di Belanda dalam Kongres Mahasiswa Hindia yang dipimpin oleh HJ van Mook. Lalu gilirannnya perjuangan nama bahasa Bahasa Indonesia dilakukan pada Kongres Pemuda di Batavia tahun 1928. Perjuangan terus dilakukan yakni Kongres Bahasa Indonesia di Solo tahun 1938 dan mengamanatkan nama Bahasa Indonesia dalam konstitusi (UUD 1945). Selesai perjuangan bahasa Indonesia, tinggal menjaganya saja. Bagaimana dengan di Malyasia? Baru masa kini muncul nama-nama pejuang bahasa melayu di Malaysia. Apakah pejuang ini patriotis? Yang jelas era perjuangan sudah lama berlalu. Yang justru menjadi pertanyaannya: Mengapa tidak ada aksara daerah di Semenanjung Malaya?


Secara historis di Indonesia (baca: Nusantara), aksara (bahasa) daerah yang eksis hanya digolongkan dua modus: aksara Batak (Sumatra) dan aksara Jawa (Jawa+Bali). Dua aksara daerah ini diduga diturunkan dari aksara Pallawa. Pada saat itu lingua franca adalah bahasa Sanskerta (belum terbentuk bahasa Melayu). Sementara itu sebelum munculnya bahasa Sanskerta sebagai lingua franca sudah sejak zaman kuno terdapat bahasa-bahasa daerah di berbagai pulau Nusantara seperti bahasa Batak dan bahasa Jawa. Dalam hubungan ini, apakah ada bahasa daerah di Semenanjung Malaya? Jika ada, apakah ada aksara daerah di Semenanjung Malaya? Pertanyaan yang sama adalah apakah ada aksara daerah di wilayah Minangkabau (kini Sumatra Barat)? Yang jelas bahasa Minangkabau mirip bahasa Melayu. Lalu apakah bahasa asli Minangkabau (maksudnya bahasa yang berbeda dengan bahasa Minangkabau yang sekarang).

Lantas bagaimana sejarah pejuang bahasa di Malaysia, patriotis? Seperti disebut di atas, perjuangan nama dan Bahasa Indonesia sudah dimulai pada tahun 1917, kini hanya tingga menjaganya. Namun itu berbeda dengan di Malaysia. Lalu bagaimana sejarah pejuang bahasa di Malaysia, patriotis? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pejuang Bahasa di Malaysia, Patriotis? Mengapa Tidak Ada Aksara Daerah di Semenanjung Malaya

Mengapa di negeri-negeri Melayu cenderung dilaporkan tidak ada aksara sendiri. Aksara yang ada (sebelum kehadiran aksara Larin) adalah aksara Jawi. Negeri-negeri Melayu itu dapat dicatat antara lain wilayah Semenanjung Malaya, Brunai dan di Serawak dan Sabah serta di Riua (Indonesia). Di wilayah Minangkabau juga tidak pernah dilaporkan keberadaan aksara sendiri. Dalam hal ini awalnya wilayah Minangkabau disebut negeri Melayu (tetapi kemudian, sejak 1892 orang Minangkabau menolak disebut Melayu, lebih mengidentifikasi sebagai orang Minangkabau).


Di Vietnam, di Thailand, dan di Myanmar memiliki aksara sendiri. Bahkan di wilayah Thailand disebut aksara Thai (disebut akson Thai) adalah aksara yang paling tepat untuk menulis bahasa Thai (bahasa resmi Thailand). Demikian juga dengan di Vietnam, aksara Chữ Nôm, aksara bersumber dari sistem penulisan Tionghoa Kuno (tulisan Nasional) ialah sistem penulisan resmi bahasa Vietnam. Namun dalam perkembangan (pada eras colonial_ diintroduksi aksara Latin. Alfabet yang digunakan menggunakan banyak diakritik (tanda baca) demi menyesuaikan dengan pelafalan pada bahasa Vietnam (sistem penulisan ini disebut juga sebagai Quốc ngữ).

Pada masa lampau bahasa Sanskerta sebagai lingua franca dilestarikan dalam teks dengan menggunakan aksara Pallawa. Hal itu juga yang terjadi, saat mana bahasa Melayu (mulai) terbentuk (yang diturunkan dari bahasa Sanskerta) ditulis dalam aksara Pallawa. Sementara itu bahasa-bahasa daerah (seperti bahasa Batak dan bahasa Jawa) mulai mengembangkan aksara masing-masing (dengan mengadopsi aksara Pallawa). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bahasa Melayu di wilayah populasi Melayu mengembangkan sendiri aksaranya? Yang jelas adalah di wilayah Melayu, bahasa Melayu sudah mulai dilestarikan dalam aksara Jawi (Arab gundul).


Abjad Jawi disebut juga sebagai huruf Jawi, aksara Jawi, abjad Arab-Melayu, abjad Yawi, tulisan Jawi, atau tulisan Melayu adalah kumpulan huruf berbasis abjad Arab yang umumnya digunakan untuk menuliskan teks dalam bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lainnya; seperti bahasa Aceh, Betawi, Banjar, Minangkabau, Musi, Palembang, maupun Tausug. Secara etimologinya, kata jawi merupakan kependekan dari istilah bahasa Arab, translit. Al-Jaza'ir Al-Jawi‎ (terjemahan 'kepulauan Jawa') yang merupakan sebuah pengistilahan oleh bangsa Arab untuk kepulauan Indonesia.Kata jawi yang digunakan oleh bangsa Arab tersebut merupakan sebuah kata serapan langsung yang berakar dari bahasa Jawa, translit. jawi yang merupakan istilah krama dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk merujuk pulau Jawa maupun etnis Jawa. Kata 'Jawi' digunakan karena pada masa lampau, kepulauan Indonesia secara umum berada dibawah kekuasaan kemaharajaan yang berasal dari pulau Jawa. Kemunculannya berkait secara langsung dengan kedatangan agama Islam ke Nusantara. Abjad ini didasarkan pada abjad Arab dan digunakan untuk menuliskan ucapan Melayu. Dengan demikian, tidak terhindarkan adanya tambahan atau modifikasi beberapa huruf untuk mengakomodasi bunyi yang tidak ada dalam bahasa Arab (misalnya ucapan /o/, /p/, atau /ŋ/). Bukti terawal tulisan Arab Melayu ini berada di Malaysia dengan adanya Prasasti Terengganu yang bertarikh 702 Hijriah atau abad ke-14 Masehi (Tarikh ini agak problematis sebab bilangan tahun ini ditulis, tidak dengan angka). Di sini hanya bisa terbaca tujuh ratus dua: 702H. Tetapi kata dua ini bisa diikuti dengan kata lain: (20 sampai 29) atau -lapan → dualapan → "delapan". Kata ini bisa pula diikuti dengan kata "sembilan". Dengan ini kemungkinan tarikh ini menjadi banyak: (702, 720 - 729, atau 780 - 789 H). Tetapi karena prasasti ini juga menyebut bahwa tahun ini adalah "Tahun Kepiting" maka hanya ada dua kemungkinan yang tersisa: yaitu tahun 1326 M atau 1386 M. Abjad Arab adalah salah satu dari abjad pertama yang digunakan untuk menulis bahasa Melayu, dan digunakan sejak zaman Kerajaan Pasai, sampai zaman Kesultanan Malaka, Kesultanan Johor, dan juga Kesultanan Aceh serta Kesultanan Patani pada abad ke-17.). Penggunaan alfabet Romawi pertama kali ditemukan pada akhir abad ke-19. Abjad Arab merupakan tulisan resmi dari Negeri-negeri Melayu Tidak Bersekutu pada zaman kolonialisme Britania. (Wikipedia)

Aksara dengan nama Jawi diduga merujuk pada nama (pulau) Jawa, aksara Jawi ini awalnya berkembang di pantai timur Sumatra bagian utara (kini wilayah Aceh). Aksara Jawi ini kemudian berkembang di wilayah Melayu dalam bahasa Melayu (seperti yang ditemukan di dalam prasasti Trengganu 1326-1386 M). Pada masa ini teks Negarakertagama (1365 M) ditulis dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dengan menggunakan aksara Kawi (turunan dari aksara Pallawa).


Prasasti Sitopayan I. Prasasti Sitopayan I adalah salah satu prasasti yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan bahasa Batak dan sebagian besar menggunakan aksara Kawi serta beberapa kata memakai aksara Batak Kuno. Prasasti ini ditemukan di Biaro (candi) Si Topayan, yaitu di Desa Sitopayan, Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara, di Provinsi Sumatra Utara. Naskah prasasti hanya satu baris, dan dituliskan pada salah satu sisi dari lapik arca batu pada bidang yang horizontal. FDK Bosch memperkirakan bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-13 M, berdasarkan bentuk dan ciri-ciri aksaranya. Isi prasasti menceritakan tentang tiga tokoh bernama Hang Tahi, Si Rangit, dan Kabayin Pu Anyawari, yang membuat sebuah rumah berhala. Penggunaan dua bahasa, yaitu bahasa Melayu Kuno dan bahasa Batak, menimbulkan dugaan bahwa masyarakat yang membuatnya adalah penutur dua bahasa (bilingual).

Besar dugaan bahwa pada abad ke-13 aksara Pallawa (sejak zaman doeloe) telah diadopsi di dalam berbagai bahasa seperti bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Jawa dengan karakter huruf masing-masing. Dalam perkembangannya diduga mulai meluas penggunaan aksara Jawi (yang awalnya berkembangan di pantai timur Sumatra bagian utara). Aksara Jawi ini kemudian menjadi aksara utama di wilayah dimana pengaruh Islam semakin menguat terutama di wilayah-wilayah Melayu di Sumatra dan Semenanjung Malaya (seperti ditemukan dalam teks prasasti Trengganu abad ke-14). Dominasi aksara Jawi di wilayah Melayu diduga menjadi sebab aksara asli di wilayah Melayu tergeser yang kemudian punah. Aksara asli hanya lestari di wilayah non Melayu terutama di wilayah Batak dan wilayah Jawa.


Dalam perkembangannya bahasa Melayu umumnya dilestarikan dalam aksara Jawi, bahasa Batak dalam aksara Batak dan bahasa Jawa dalam aksara Jawa. Pada fase ini dengan sendirinya bahasa Sanskerta, yang telah bertransfomasi menjadi bahasa Melayu dan terserap dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa, lambat laun tersamar/menghilang (dan hanya sepenuhnya lestari di wilayah India).

Jika bahasa Melayu telah mengadopsi sepenuhnya aksara Jawi, itu diduga berlaku di wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaya. Di wilayah Sumatra terutama di wilayah Palembang (daerah aliran sungai Musi) dan Jambi (daerah aliran sungai Batanghari). Di Semenanjung Malaya yang semua wilayah telah berbahasa Melayu (minus wilayah populasi asli seperti etnik Semang), sedangkan di Sumatra, populasi penduduk terutama di wilayah pedalaman tetap dengan bahasanya sendiri. Lalu bagaimana dengan bahasa Minangkabau? Tampaknya bahasa Minangkabau seakan transisi antara bahasa Melayu dengan bahasa asli di pedalaman.


Jauh sebelum terbentuk bahasa Melayu, terutama di wilayah pesisir/pantai, bahasa Sanskerta dan bahasa asli (seperti bahasa Batak dan bahasa Jawa) berinteraksi yang digunakan populasi (dwi bahasa, seperti kita saat ini bahasa daerah dan Bahasa Indonesia). Setelah terbentuk bahasa Melayu, diduga di sejumlah wilayah telah terjadi dominasi bahasa Melayu yang kemudian bahasa asli hilang (yang muncul di permukaan bahasa Melayu). Dalam konteks inilah kita berbicara tentang bahasa Minangkabau (yang terbilang berada di pedalaman) yang diduga bahasa asli dipengaruhi sangat kuat bahasa Melayu. Oleh karenanya pada masa ini bahasa Minangkabau tidak dapat dikatakan sepenuhnya sebagai bahasa Melayu, juga karakteristik bahasa asli masih tampak.

Bahasa Minangkabau sebagai bahasa asli diduga pada awalnya telah memiliki aksara sendiri seperti aksara Jawa dan aksara Batak. Namun karena terjadinya proses melayunisasi di pedalaman Minangkabau, maka di satu sisi bahasa asli Minangkabau menjadi mirip bahasa Melayu dan di sisi lain aksara asli bahasa Minangkabau digeser oleh aksara Jawi. Aksara asli Minangkabau kemudian punah (hingga tidak terdeteksi hingga hari ini).


Adanya aksara Minangkabau sebagai bahasa asli dapat dijelaskan bahwa di sisi lain wilayah Minangkabau terdapat aksara Batak di sebelah utara. Sementara di selatan di wilayah Kerinci (hingga terus ke selatan di Lampung) terdapat aksara asli yang mirip aksara Batak. Wilayah Minangkabau seakan telah memisahkan aksara yang mirip satu sama lain di utara dan di selatan. Dalam hal ini, terjadi proses melayunisasi di wilayah Minangkabau di satu sisi telah mengubah karakter asli bahasa Minangkabau menjadi mirip bahasa Melayu dan di sisi yang lain aksara Jawi telah menggantikan aksara asli Minangkabau. Lalu serupa apa aksara (asli) Minangkabau?

Aksara asli Minangkabau diduga terbentuk pada era transisi aksara Pallawa menjadi askari adopsi populasi asli. Di wilayah utara Minangkabau ditemukan dalam prasasti Batugana atau disebut juga Prasasti Panai yang berbahasa Melayu Kuno. Berdasarkan bentuk aksaranya, diperkirakan prasasti ini berasal dari abad ke-12. Lalu di tenggara Minangkabau prasasti Padang Roco di hulu sungai Batanghari (kini kabupaten Dharmasraya) prasasti yang berasal dari tahun 1286. Prasasti ini diduga memiliki relasi dengan di Jawa (kerajaan Singhasari).


Prasasti Rambatan adalah salah satu prasasti peninggalan Raja Adityawarman bertanggal 1369 yang ditemukan di Tanah Datar. Prasasti Akarendra merupakan sebuah prasasti yang ditemukan di Suruaso, Tanah Datar, Prasasti ini berbahasa Sanskerta dan Melayu, yang ditulis dengan aksara transisi Pallawa ke aksara bahasa asli yang berasal dari 1316. Jika mengacu pada prasasti Trengganu yang berbahasa Melayu dengan aksara Jawi, diduga pada fase ini di wilayah Minangkabau sudah mulai bersaing antara aksara Jawi dan aksara transisi (aksara asli Minangkabau).

Oleh karena terjadi Melayunisasi di wilayah Minangkabau, lalu dalam fase berikutnya aksara asli Minangkabau (aksara transisi dari aksara Pallawa ke aksara populasi asli) tidak berkembang, lalu punah karena telah digantikan oleh aksara Jawi. Tamat sudah aksara asli Minangkabau, aksara bahasa asli yang tersisa hanya tinggal di wilayah Batak. Sedangkan di wilayah Kerinci aksara asli tetap lestari tetapi bahasa asli telah bertransfomasi menjadi bahasa mirip bahasa Melayu (seperti halnya di wilayah Minangkabau).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mengapa Tidak Ada Aksara Daerah di Semenanjung Malaya: Dimana Aksara Jawi Terbentuk? Trengganu atau Jawa?

Dalam perkembanganya, pada era Hindia Belanda orang Minangkabau mulai menyadari bahwa bahasa Minangkabau memang mirip bahasa Melayu, tetapi merasa bukan orang Melayu, lalu menolak disebut (orang) Melayu dan lebih mengidentifikasi diri sebagai orang Minangkabau. Perjuangan identitas diri sebagai (suku) bangsa dimulai. Tidak ada persoalan di wilayah Batak dan wilayah Jawa. Orang Melayu menarik garis dengan orang Batak di Sumatra. Boleh jadi itu karena masuknya pengaruh Kristen ke wilayah Batak, sementara orang Melayu telah mengidentifikasi sebagai Islam orang Melayu (Melayu adalah Islam; pagan dan Kristen bukan Melayu meski berdarah Batak).


Pada masa ini identifikasi diri juga di Minangkabau bahasa Minangkabau adalah Islam (jika tidak beragama Islam bukan Minangkabau). Kapan adagium ini muncul tidak diketahui bermula sejak kapan. Yang sudah diketahui sudah sejak lama berlaku di wilayah Melayu. Tampaknya perjuangan orang Minangkabau bukan Melayu dan orang Minangkabau adalah Islam menjadi terwujud (seperti diketahui masa ini). Namun cikal bakal adagium ini mulai mekar pada saat perjanjian pada era (kerajaan) Pagaruyung yang terkenal dengan azas ‘adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah’. Perlu dicatat bahwa imigran Minangkabau yang sudah ada sejak lama di semenanjung Malaya, pada akhir-akhir ini mulai ada yang menolak bukan Minangkabau (tetapi Melayu).

Orang-orang Batak beragama Islam di wilayah Melayu mulai ada yang menolak tidak bersedia disebut orang Batak, tetapi lebih menyebut dirinya sebagai orang Mandailing (1922) dan kemudian disusul orang Karo. Namun diantara orang Batak yang beragama Islam di wilayah Melayu tetap kukuh dengan sebutan orang Batak (terutama yang berasal dari wilayah Angkola).


Perjuangan Minangkabau adalah Islam diduga semakin menguat setelah terbentuknya organisasi Jong/Sumatranen Bond di Batavia. Orang-orang Batak yang beragama non Islam mulai tidak nyaman di dalam organisasi Sumatra. Lalu orang-orang Batak yang bergama Islam mengisiasi dan kemudian sebagian memisahkan diri dari organisasi Sumatra dengan membentuk organisasi Batak (Bataksche Bond) pada tahun 1919. Sebagian yang lain tetap berada di Sumatranen Bond. Di duga dalam konteks di pusat ini, kemudian di daerah direspon berbeda-beda di Medan dimana orang Batak yang beragama Islam yang berasal dari wilayah Mandailing menolak disebut Batak.

Dalam konteks yang terjadi di Indonesia (baca: Hindia Belanda), diduga mulai muncul para pejuang-pejuang Melayu ke permukaan. Namun tidak diawali di Malaya, tetapi di Batavia (kini Jakarta). Pada tahun 1938 di Batavia dibentuk Persatuan Melayu Malaya. Seperti kita lihat nanti organisasi pemuda Malaya ini tidak hanya mulai mengidentifikasi diri sebagai Melayu dalam perjuangan (melawan penjajahan Inggris) juga secara sosiologis, saat itu orang Melayu tidak hanya di Malaya tetapi terdapat di berbagai wilayah, nama Melayu mulai diperjuangkan dengan nama Melayu Malaya. Boleh jadi itu mengacu pada wilayah jajahan Inggris dan Belanda.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar