Laman

Minggu, 04 September 2022

Sejarah Jambi (16): Orang Kubu Berbahasa Melayu, Apakah Penduduk Asli di Jambi? Sebaran Populasi Penduduk Masa ke Masa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini 

Persebaran populasi  penduduk adalah bagian dari sejarah, sejarah yang panjang bahkan sejak zaman kuno. Pulau Sumatra termasuk wilayah Nusantara yang memiliki catatan sejarah yang terbilang awal. Dalam hal ini wilayah Sumatra bagian tengah menjadi satu wilayah tersendiri di Sumatra tenntang persebaran populasi. Terbentuknya (peradaban) Melayu, khususnya di pantai timur Sumatra menjadikan wilayah Jambi yang sekarang menjadi penting. Dalam perkembangannya Orang Kubu berbahasa Melayu, pada masa ini menjadi terpinggirkan dalam peradaban baru.


Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam merupakan penyebutan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah khususnya Jambi. Penyebutan ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat yaitu Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan. Kubu berasal dari kata ngubu atau ngubun dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam hutan. Orang sekitar menyebut suku ini sebagai “Suku Kubu”. Namun, baik Orang Rimba maupun Batin Sembilan tidak ada yang menyebut diri dan kelompok mereka sebagai Suku Kubu. Oleh karena itu, panggilan ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau menghina. Sebaran Orang Rimba di Jambi berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Sebagian kecil ada di wilayah selatan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Orang rimba juga dapat ditemukan di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit sepanjang jalan lintas Sumatra hingga ke batas Sumatra Selatan. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem kekeluargaan matrilineal. Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme atau kepercayaan kepada agama tradisional. Akan tetapi, beberapa keluarga khususnya kelompok yang hidup di kawasan jalan lintas Sumatra telah beragama Kristen atau Islam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik provinsi Jambi tahun 2010, dari 3.205 jiwa orang Rimba yang tercatat, sebanyak 2.761 jiwa atau 86,15% menganut kepercayaan leluhur, kemudian sebanyak 333 jiwa (10,39%) menganut agama Kristen dan sebanyak 111 jiwa (3,46%) menganut agama Islam. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Orang Kubu berbahasa Melayu, apakah penduduk asli Jambi? Seperti yang disebut di atas, Orang Kubu dibedakan dengan etnik lainnya di wilayah Sumatra khususnya di wilayah Jambi. Lalu bagaimana sejarah Orang Kubu berbahasa Melayu, apakah penduduk asli Jambi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Kubu Berbahasa Melayu, Apakah Penduduk Asli Jambi? Persebaran Populasi Penduduk Masa ke Masa

Nama Kubu sebagai nama etnik (Orang Kubu) kali pertama diketahui pada tahun 1838 (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1838). Pada tahun 1842 di Belanda terbit buku tentang deskripsi Orang Koeboe (lihat Groninger courant, 15-07-1842). Buku tersebut dengan judul: ‘Beschrijving van een' Volkstam op het eiland Sumatra, onder den naam van Orang Koeboe in verschillende streken van het Palembangsche gebied gevestigd’ (Deskripsi sebuah suku di pulau Sumatra, disebut dengan nama Orang Koeboe di berbagai wilayah wilayah Palembang).


Kubu, tidak hanya merujuk pada nama yang diberikan kepada Orang Kubu, juga kubu diartikan lain. Satu yang pasti nama kubu menjadi nama tempat di di pantai barat Borneo yakni Koeboe Simpang (lihat Surinaamsche courant, 25-01-1825). Kini nama kecamatan, Kubu dan juga nama kabupaten, Kubu Raya di (provinsi) Kalimantan (Barat). Juga nama tempat dengan nama Kubu di wilayah Padangsche, Koeboe Along (lihat Nederlandsch Indie, 07-05-1856). Nama Kubu juga ditemukan di Riau (kini nama kecamatan) di wilayah Rokan Hilir yang sekarang (lihat Nederlandsch Indie, 12-11-1858). 

Bagaimana sekelompok poppulasi di wilayah Jambi/wilayah Palembang disebut OrangKoeboe, sementara nama Koeboe sebagai nama tempat terdapat di berbagai wilayah di Sumatra dan Borneo. Dalam artikel tahun 1838 disebutkan asal usul Orang Koeboe tidak diketahui, bahkan tidak ada dongeng atau mitologi tentang mereka. Satu-satunya dugaan yang dapat dibuat tentang hal ini adalah bahwa, ketika para penakluk Jawa menguasai Palembang selama sekitar tiga abad, kemungkinan besar penduduk pertama tempat ini tidak ingin hanya tunduk pada otoritas mereka, melarikan diri ke hutan di pedalaman dan menghilang; dimana mereka menjalankan kehidupan secara nomaden dimana mereka secara bertahap meninggalkan cara hidup mereka yang lebih beradab, dan akhirnya merosot sepenuhnya menjadi apa yang mereka biasakan sekarang.


Kubu sedikit berbeda dalam hal perawakan dan ciri-ciri dari yang lain populasi penduduk di pedalaman, bahkan dari penduduk ibukota Palembang; laki-laki berukuran sedang, menunjukkan sikap cepat dan gagah, konsekuensi dari cara hidup nomaden dan sederhana, dengan penampilan yang agak tidak berbudaya, yang bagaimanapun tidak menunjukkan keganasan; para wanita tidak canggung, mereka memiliki fitur yang teratur dan bentuk yang terbentuk dengan baik, tetapi postur mereka sendiri yang montok, dan gaya berjalan yang berat yang disebabkan oleh kebiasaan duduk dengan kaki kebelakang, membuat mereka cacat; warna kuliy laki-laki dan perempuan adalah coklat muda. 

Berdasarkan laporan yang dimuat pada jurnal 1838 tersbut Orang Koeboe terdapat di daerah aliran sungai-sungai di wilayah hulu di pedalaman Lalan, Toengkal, Baijat, Dawas, Batang, Leko dan Rawas. Catatan: Pada masa ini wilayah Jambi yang sekarang masih bagian dari Residentie Palembang (yang beribukota di Palembang).


Bagaimana populasi terisolir/mengisolasi Orang Koeboe disebut dengan nama Kubu. Pada masa ini Orang Kubu yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Orang Kubu lebih suka disebut “Orang Rimba” atau “Anak Suku Dalam”, karena istilah “Suku Kubu” kata “KUBU” sendiri dalam bahasa Melayu Jambi berarti “bodoh, primitif dan terbelakang”.  Dalam hal ini nama Kubu telah bergeser makna, karena faktanya pada masa lampau banyak nama tempat di Sumatra dan Borneo menggunakan nama Kubu. Jika ada benarnya bahwa mereka menyingkir dari ruang kekuasaan baru, di satu pihak mereka adalah yang memiliki integitas, tetapi di sisi lain kemudian nama mereka sebagai Kubu diartikan orang bodoh, orang primitive dan orang terbelakang. Lantas dalam hal ini apakah kelompok populasi Orang Kubu yang berada di lingkungan yang berbeda dengan populasi umumnya, sebagai kelompok populasi yang menyingkir ke pedalaman? Harus dicatat bahwa kelompok populasi yang terpisah pada dasarnya tidak hanya Orang Kubu di Jambi, tetapi juga kelompok populasi lain juga ditemukan di  wilayah lain. Berdasarkan kamus bahasa Orang Kubu, bahasa Orang Kubu lebih mirip dengan bahasa Melayu.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Persebaran Populasi Penduduk Masa ke Masa: Penduduk Asli di Jambi

Seperti disebut di atas, kelompok terisolir di Indonesia ditemukan di berbagai pulau, termasuk di pulau Jawa. Di pulau Sumatra, kelompok populasi yang dapat dikatakan terisolasi terdapat di berbagai wilayah seperti di Sumatra Selatan, Jambi, Riau dan Sumatra Utara. Dari berbagai kelompok populasi terisolasi ini pada era Hindia Belanda diketahui semuanya memiliki Bahasa mirip Bahasa Melayu. Apakah dalam hal ini mereka berasal dari kelompok yang sama (kemudian terpencar) atau kelompok-kelompok populasi yang awalnya berada di wilayah populasi (berbahasa) Melayu?


Di wilayah Sumatra Utara, kelompok populasi yang dianggap terisolasi pada era Hindia Belanda ada dua kelompok yakni Orang Loeboe (Onderafdeeling Groot Mandailing) dan Orang Oeloe (Onderafdeeling Kleine Mandailing). Bahasa kedua kelompok populasi tersebut mirip bahasa Melayu/Minangkabau. Diantara dua kelompok populasi ini juga terjadi hubungan perkawinan. Kawasan dua kelompok populasi ini berada di perbatasan Sumatra Utara dan Sumatra Barat/Riau. Dalam perkembangannya kedua kelompok populasi semakin intens berinterakreasi dengan kelompok populasu Batak/Mandailing dan juga menyerap Bahasa. Seperti disebut di atas tentang Orang Koeboe, kedua kelompok populasi ini juga sulit mengidentifikasi asal-usul. Namun, seperti Orang Koeboe, kedua kelompok populasi ini memiliki warisan Bahasa yang mirip bahasa Melayu.

Secara teoritis, manusia pada dasarnya bersifat sosial. Dalam hubungan sosial tidak hanya berinteraksi dengan kelompok populasi sendiri, tetapi juga membuka komunkasi timbal balik dengan kelompok populasi lainnya (yang berdekatan). Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa kelompok-kelompok terisolir ini mengisilasi diri (menolak hubungan manusia dengan pihak lain? Apakah mereka mengisolasi diri di masa lampau karena merasa inferior atau merasa superior?


Seperti disebut di atas, peneliti pada era Hindia Belanda berpendapat, Orang Koeboe di wilayah Jambi diduga karena menyingkir ketika terjadi invasi Jawa. Namun tidak ada bukti yang bisa menjelaskan. Memang dalam catatan sejarah ada invasi Jawa di wilayah Palembang dan Jambi pada era Singhasari dan era Majapahit. Apakah ada relasi kehadiran orang Jawa dengan pengisolasian Orang Kubu sulit dipahami. Yang jelas fajta bahwa nama (tempat) Kubu ditemukan di berbagai wilayah. Seperti disebut di atas, nama Kubu ditemukan di Sumatra Barat, Riau dan Kalimantan Barat. Populasi penduduk di district Koeboe di Borneo dicatat 1.800 orang Melayu, 150 orang Cina dan 30 orang Arab (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1842). Nama Kubu di distrik Kubu di Riau (di perbatasan Sumatra Utara) terbilang wilayah populasi Melayu. Dalam hal ini apakah populasi-populasi yang terpisah ini dimana mengidentifikasi nama geografisnya dengan nama Kubu berasal dari kelompok populasi yang sama? Boleh jadi kelompok populasi Orang Kubu di Jambi sudah terisolasi, juga nama mereka sebagai Kubu dipandang negatif. Catatan: dalam sejarahnya tidak semua kelompok populasi berbahasa Melayu adalah Orang Melayu.

Selain alasan-alasan yang disebutkan di atas, asal-usul Orang Koeboe juga diduga karena terisolasi di lingkungan kebudayaan yang baru, namun sudah kehilangan kontak dengan kebudayaan asal (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1846). Oleh karena terisolasi dalam dua zaman/era yang berbeda, lalu kemudian melakukan isolasi mandiri, karena factor penarik atau factor pendorong. Alasan ini lebih masuk akal jika dibandingkan dengan alasan-asalan yang disebut di atas.


Teori ini dapat dijelaskan yang dalam hal ini Orang Koeboe di wilayah Jambi sebagai berikut. Pada awal peradaban, penduduk asli di pedalaman bermigrasi ke wilayah pesisir/pantai. Seiring denga proses sedimentasi jangka Panjang, terbentuk daratan di muara-muara sungai di pantai timur Sumatra yang menyebabkan sungai0sungai memanjang ke arah laut/pantai.Seiring dengan terbentuknya mix population di wilayah pesisir dan terbentuknya kelompok-kelompok populasi dengan Bahasa yang baru (terbentuknya Bahasa Melayu). Namun dalam perkembangannya, mereka yang tergabung dalam kelompok populasi sendiri (meski berbahasa Melayu, sebagai bahasa baru yang berbeda dengan bahasa asli) dan oleh karena ingin mempertahankan kelompok populasinya sendiri kemudian terisolasi diantara mix population yang berbahasa Melayu, lalu dalam perkembangannya sebagai kelompok populasi yang berbeda (karena factor penarik dan factor pendorong) lalu menyingkir dengan budaya leluhur yang tetap dipertahankan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, peradaban yang terus berubah, lalu mereka yang mengisolasi diri ini menjadi benar-benar terisolisasi (tertinggal jauh.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar