Laman

Sabtu, 17 September 2022

Sejarah Jambi (42): Jalan Raya di Wilayah Jambi, Lintas Sumatra Ruas Wilayah Jambi; Pelayaran Sungai hingga Perjalanan Darat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini 

Jalan raya (jalan darat) adalah era baru di wilayah Jambi. Berbeda dengan wilayah di pegunungan, di wilayah Jambi yang lebih rendah di daerah aliran sungai, terutama sungai Batanghari, moda tansportasi sejak zaman kuno adalah pelayaran laur/sungai. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, pembanguna jalan raya dimulai dan terus dikembangkan hingga terbentuk jaringan moda transportasi darat yang utama sekarang.


KOMPAS.com - Jalan lintas Sumatera yang menghubungkan seluruh kota adalah warisan Belanda. Semua bertumpu pada ruas jalan Jambi-Muaratembesi. Tujuan utama membuat jalan, Belanda yang saat itu menjajah ingin memenangkan persaingan ladang minyak Jambi dengan Amerika Serikat (AS) setelah Perang Dunia I. Lalu, Belanda hendak menciptakan kebiasaan baru, transportasi darat yang 'mematikan' aktivitas sungai dan laut warga sekitar. Setelah semua jalan rampung, Jambi terhubung dengan kota-kota besar di Sumatera. Jalanan pada 1920an penuh sesak mobil. Terbilang 1.500 mobil kala itu. "Belanda membangun 16 ruas jalan di Jambi. Yang pertama itu Jambi-Muarotembesi," kata Peneliti Sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, Dedi Arman, kepada Kompas.com, Sabtu (18/7/2020). Jalan ini menghubungkan pelabuhan Boom Batu dan kantor Keresidenan Jambi dengan distrik Muarotembesi; daerah berkumpulnya rempah, emas dan karet. Mengapa jalan ini pertama dibangun? "Sebagai tanda pergeseran dari transportasi sungai menuju darat. Kemudian untuk menghubungkan jalan lintas timur dan barat Sumatera," kata Arman. Peningkatan ruas jalan berarti peningkatan jumlah mobil. Pada tahun 1920an semakin banyak mobil di Sumatera termasuk Jambi. "Ada 1.500 buah mobil di Sumatera. Transportasi darat semakin diminati. Tahun 1930an semakin banyak daerah yang bisa dilewati mobil," kata Arman menjelaskan. Apalagi dengan boom karet atau puncak keemasan harga karet sambung Arman banyak orang Jambi hidup mewah dan mampu membeli mobil. Tahun 1937 saat harga karet booming, pemilik kebun karet Jambi hidup mewah. Ada kisah orang Jambi yang dengan enteng membeli mobil seharga 600 gulden tunai.   Padahal saat itu kapal KPM dari Tanjungperiok mau berangkat ke Jambi, harganya 600 gulden dan itu dianggap sangat murah dan dibeli tanpa ditawar.

Lantas bagaimana sejarah jalan raya di wilayah Jambi, lintas Sumatra ruas wilayah Jambi? Seperti yang disebut di atas, Pembangunan jalan raya dimulai pada era Hindia Belanda, yang dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk jaringan jalan raua utara di Sumatra. Era pelayaran sungai bergeser menjadi era perjalanan darat.  Lalu bagaimana sejarah jalan raya di wilayah Jambi, lintas Sumatra ruas wilayah Jambi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Jalan Raya di Wilayah Jambi, Lintas Sumatra Ruas Wilayah Jambi; Era Pelayaran Sungai hingga Perjalanan Darat

Pembanguna jalan kali pertama di wilayah Jambi, tidak bermula di kota Jambi tetapi pembangunan jalan dengan rintisan dari satu kota ke kota lain di luar kota Jambi. Pada tahap awal prosesnya tidak dimulai di wilayah hilir daerah aliran sungai Batanghari tetapi di daerah hulu sungai Batanghari di wilayah Kerinci, Bangko, Sarolangun dan Moara Boengo. Mengapa?  Perkembangan peradaban di wilayah Jambi tidak bermula di Jambi tetapi di wilayah Kerinci dan sekitar.


Pada Peta 1877, di wilayah (provinsi) Jambi yang sekarang panjang ruas jalan darat masih sangat terbatas. Tidak ada jalan darat yang mengjhubungkan kota Jambi dengan kota lain, kecuali satu-satunya akses melalui tarnsportasi sungai Batanghari. Dalam peta tersebut ada jalan rintisan dari pantai di sisi selatan muara sungai Mendahara, sepanjang sisi selatan sungai terus ke pedalaman di kamponmg Djohor (seberang koata Moeara Kompeh). Jalan rintisan lainnya (jalan setapak) dari sisi barat sungai Sabak yang bermuara di sungai Batanghari (kini seberang kota Moeara Sabak) terus ke pedalaman di Moara Djambi (dimana terdapat area percandian). Hanya itu, statusnya hanya jalan setapak. Tidak ada rintisan jalan dari kota Jambi ke kota Palembang. Akan tetapi nun jauh di pedalaman di wilayah pegunungan Bukit Barisan sudah terbentuk jaringan jalan raya. Jaringan jalan ray aini diidentifikasi mencapai kota Pangkalanm Djambi. Kawasan ini disebut pertama dicapai melalui ekspedisi dari pantai barat (diduga pada era Inggris) tanggal 19 Oktober 1818 (diakses dari Moeko-Moeko). Kota Pangkalan Djambi ini kini lebih dikenal sebagai kota Bangko.

Wilayah Kerinci diduga kuat adalah salah satu wilayah peradaban awal di Sumatra dan yang pertama di wilayah (provinsi) Jambi dimana terdapat danau besar, danau Kerinci. Luberan danau Kerinci menuruni sungai Merangin yang akan bermuara di sungai Tembesi (seterusnya sungai Tembesi bermuara di sungai Batanghari). Salah satu cabang sungai Merangin adalah sungai Mesumai. Di muara sungai Mesumai di sungai Merangin (kampong Moera Mesumai) inilah kemudian promosi nama kampong/kota kuno, kota Bangko. Di wilayah pegunungan Bukit Barisan inilah tsudah terbentuk jaringan jalan raya.


Kota Pangkalan Djambi berada di hulu sungai Mesumai. Jalan ray aini berpusat di danau Kerinci melalui jalan pegunungan memotong sungai-sungai yang lebarnya lebih sempit. Jaringan jalan raya dari dan ke seputar danau Kerinci terhubung ke pantai barat di Moeko-Moeko (Residentie Bengkoelen) dan Indrapoera (Res Padangsche Benelanden) dan ke utara hingga ke Solok (Res Padangsche Bovenlanden). Seperti disebut di atas, jalur jalan raya yang lebih kecil dari Sikonkong (danau Kerinci) menuju Pangkalan Djambi. Kampong Sikonkong inilah kemudian berkembang menjadi kota Soengai Penoeh. Dalam peta 1887 ini juga diidentifikasi juga jalan raya dari Moeko-Moeko ke kampong yang disebut Kota Baroe di sisi sungai Tembesi di sebelah barat kota Sarolangun (kota Sarolangun saat itu belum terbentuk). Ada jalan setapak (jalan militer) dari Pangkalan Djambi hingga sungai Moesi (Moesi Oeloe/Loebok Linggau) yang ke hilir melalui sungai ke kota Palembang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pelayaran Sungai hingga Perjalanan Darat: Moda Transportasi hingga Transportasi Udara

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar