Laman

Minggu, 23 Oktober 2022

Sejarah Lampung (10): Batu Berak Situs Kuno di Wilayah Pedalaman, Batu Sejajar? Situs Megalitik Zaman Prasejarah Lampung


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini  

Situs megalitik adalah penanda sejarah dimana terdapat awal peradaban. Adanya situs megalitik mengindikasikan terbentuknya populasi pendudk pada zaman kuno. Zaman serupa ini kerap disebut era prasejarah. Situs megalitik di Indonesia ditemukan di banyak tempat seperti Sulawesi Tengah (Lembah Napu, Lembah Besoa, Lembah Bada, Danau Lindu), Sumatra Utara (danau Toba) dan Lampung. Situs megalitik Gunung Padang di Jawa Barat (Cianjur) kini dalam tahap penyelidikan.


Situs Batu Berak merupakan salah satu peninggalan yang berasal dari masa prasejarah. Situs Batu Berak ini terletak di desa Pekon Purawiwitan, kecamatan Kebun Tebu, Lampung Barat. Situs ini juga disebut situs megalitik Kebon Tebu. Situs ini juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah Indonesia (SK: 3 Maret 2004). Sejarah Singkat, Lengkap dengan Strukturnya Dilansir dari laman Kemdikbud, Rabu (10/8/2022), peninggalan situs ini berupa dolemn berjumlah 30 buah yang terbuat dari batu monolit. Batu itu dalam posisi berjejer arah utara-selatan. Konon ini merupakan suatu formasi berbentuk orientasi tersendiri sepanjang kurang lebih 300m. Dua dolmen terbesar berukuran 315 x 210 x 66 cm dan 310 x 225 x 50 cm. Kaki dolmen rata-rata berjumlah tiga dan empat, ada juga yang enam. Berak merupakan istilah dari bahasa Lampung yang artinya sejajar. Jika diartikan, Batu Berak berarti batu sejajar. Batu Berak pertama kali ditemukan oleh Badan Rekonstruksi Nasional (BRN) pada tahun 1951. Tak lama ditemukan, situs ini diteliti oleh seorang arkeolog bernama Prof. Dr. Aris Soekandar sekitar tahun 1980. Luas seluruh komplek situs megalitik Batu Berak ini diperkirakan mencapai 3 hektare. Hasil penelitian ternyata Batu Berak dulunya ternyata merupakan tempat pemujaan. Bahkan, ada yang menyebut pemakaman pada zaman animisme. Penelitian tersebut juga menemukan beberapa jenis peninggalan berupa dolmen, menhir, batu datar, manik-manik kaca dan juga batu umpak, dan batu lumpang yang dibangun di bukit kecil dan dikelilingi sungai, sawah, dan empang. Sebelum dibuka untuk umum, situs ini sudah pugar empat kali. Pemugaran dilakukan pada tahun 1984 hingga 1989. Usai dipugar, pada tahun 1989, komplek situs Batu Berak dibuka untuk umum (https://lampung.inews.id/).

Lantas bagaimana sejarah Batu Berak, Batu Sejajar di wilayah pedalaman Lampung? Seperti disebut di atas, situs megalitik menandai peradaban awal di zaman kuno. Situs megalitik aaman kuno prasejarah Lampung ditemukan di desa Pekon Purawiwitan, kecamatan Kebun Tebu, kabupaten Lampung Barat. Lantas bagaimana sejarah Batu Berak, Batu Sejajar di wilayah pedalaman Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Batu Berak, Batu Sejajar di Pedalaman Lampung; Situs Megalitik Zaman Kuno Prasejarah di Pekon Purawiwitan

Sebelum Pemerintah Hindia Belanda menyadari arti penting hal kepurbakalaan, pihak masyarakatlah yang telah mendahuluinya. Organisasi kemasyarakatan di bidang ilmu dan pengetahuan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia telah mulai melakukan pengumpulan artefak kuno dan pengidentifikasian situs-situs kuno (terutama di Jawa) sejak era VOC/Belanda. Satu wujud dari upaya Bataviaasch Genootschap membangun museum di dekat Gedung mereka di Batavia. Pada era Pemerintah Hindia Belanda lembaga ilmu pengetahuan ini didukung kerajaan Belanda.


Dalam perkembangannya, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia melibatkan tokoh-tokoh pribumi yang kompeten. Pada tahun 1865 dua pribumi pertama yang terdaftra sebagai anggota adalah Sati Nasoetion alias Willem Iskander, kepala sekaloh guru (kweekschool) di Tanobato, Afdeeling Angkola Mandailing (residentie Tapanoelie) dan Raden Saleh seorang pelukis terkenal tinggal di Tjikini, Batavia. Para pejabat Belanda di berbagai daerah dan para guru dan dokter Belanda di berbagai daerah juga banyak sebagai anggota. Koleksi benda-benda kuno dan pengetahuan yang terkumpul dari waktu ke waktu semakin banyak. Sebagaimana diketahui, temuan pertama di Sumatra adalah percandian Padang Lawas (Tapanoeli) yang telah dialporkan oleh Dr FW Jungh Huhn pada tahun 1843.

Pada tahun 1891 Bataviaasch Genootschap menerbitkan buku yang merangkum semua benda kuno dan situs kuno. Buku tersebut dengan judul: OUDHEDEN VAN JAVA: LIJST DER VOORNAAMSTE OVERBLIJFSELEN UIT DEN HINDOETIJD OP JAVA MET EENE OUDHEIDKUNDIGE KAART. Buku tersebut disusun oleh Dr RDM Verbeek. Daftar ini hanya berisi tentang asal benda kuno dan situs kuno yang ada di seluruh Jawa, yang dibagi ke dalam tingkat afdeeling mulai dari Residentie Banten hingga Residentie Bazoeki. Lantas mengapa belum ada daftar di luar wilayah Jawa?


Dalam perkembangannya, kegiatan kepurbakalaan yang telah dirintis oleh Bataviaasch Genootschap, Pemerintah Hindia Belanda mulai menyadari arti penting tugas semacam itu. Lalu pemerintah pada tahun 1913 dibentuk Oudheidkundige Dienst (Dinas Kepurbakalaan Hindia Belanda (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie Nomor 62 tahun 1913). Dinas baru ini berada di bawah Departemen Pendidikan, Ibadah, dan Industri Kerajinan Hindia Belanda. Wilayah kerja dari lembaga ini mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda. Dinas ini berkantor di Batavia, berada satu gedung Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Sehubungan dengan itu, nama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen juga menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Setelah dibentuk Oudheidkundige Dienst 1913, wilayah di luar Jawa mulai mendapat perhatian untuk inventarisasi benda-benda kuno dan situs yang berasal dari zaman kuno. Tentu saja pada saat ini, di pulau Jawa sudah semua wilayah teridentifikasi. Pada tahun 1920 Westenenk diangkat menjadi Resident Palembang. Westenenk mendapat laporan-laporan kepurbakalaan yang kemudian tulisannya mendapat perhatian di Batavia. Setelah itulah kemudian Oudheidkundige Dienst dipindahkan dari Jawa ke Sumatra di Palembang.


Sejak inilah terbuka penyelidikan kepurbakalan di Sumatra. File kepurbakalan di Padang Lawas oleh Dr Jung Huhn yang berasal dari tahun 1840an mulai dibuka. Sejak itu semakin banyak para ahli dan arkeolog ke Padang Lawas. Tentu saja para anggota yang tergabung dalam bidang kepurbakalaan di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen masih terus aktif berpartisipasi dalam dunia baru tentang dunia kuno ini.

Pada tahun 1926 Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia mempublikasikan Kembali daftar baru tentang benda dan situs kepurbakalaan dengan judul: Oudheidkundige Dienst Nederlandsch-Indie: OUDHEIDKUNDIG VERSLAG 1926 yang diterbitkan oleh Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en 'Wetenschappen pada tahun 1927. Dalam penerbitan baru inilah nama Lampong mulai terinformasikan dalam hal kepurbakalaan, sebagai berikut:


Pada tahun 1914 asisten Oudheidkundige Dienst, EA Sell dalam perjalanan inventarisasi melalui Kroei menemukan sebuah batu tergeletak di alun-alun marga Batoe Berak, bentuknya lonjong tidak beraturan, tanpa tulisan di sisi atasnya. Sell ingin situs digali, tetapi menghadapi tentangan dari penduduk. Dalam perjalanan yang sama Sell mengetahui kuburan lama di luar Batoe Berak, di sebelah kanan jalan dari tempat ini ke Kenali. Penyelidikan yang dimulai oleh Sell disana tidak banyak hasil, karena tempat itu telah menjadi hutan belantara dan dia tidak punya waktu harus membersihkannya. Sebagai hasil dari laporan-laporan awal ini, permintaan dibuat kepada Residen van Benkoelen pada tahun 1922 untuk penyelidikan lebih lanjut. Sebuah jawaban diterima dari Controleur Kroei, bahwa selama kunjungannya ke doesoen Pekon Bolak dan doesoen Tjanggoe, wilayan marga Batoe Berak, diantaranya terletak batu tersebut, ditemukan namun penduduk keberatan serius untuk mengubah batu itu, apalagi melepaskannya berdiri, karena dengan batu itu, sekarang disebut "batoe brak" yang menurut etimologi rakyat kependekan dari "batoe bergerak", kekayaan wilayah tersebut sangat dekat yang sangat terkait dengan penduduk. Tentang kuburan tua oleh Sell, pengawas keuangan melaporkan bahwa itu tidak di sebelah kanan tetapi di sebelah kiri jalan ke Kenali dan hanya berisi batu nisan tua Mohammedan. – Untuk hal di atas sekarang bisa menjadi postingan ketiga tentang tempat yang sama Batoe Berak.

Berdasarkan laporan (buku) Oudheidkundige Dienst yang diterbitkan di atas, kita dapat menkonfirmasi bahwa apa yang dikutip di awal artikel ini di atas, sebenarnya tidak berdasarkan fakta dan data bahwa Batu Berak pertama kali ditemukan oleh Badan Rekonstruksi Nasional (BRN) pada tahun 1951 (yang kemudian diteliti oleh seorang arkeolog Dr. Aris Soekandar).


Satu hal lagi yang perlu dikonfirmasi disini adalah, seperti dikutip di atas, bahwa ‘berak’ merupakan istilah dari bahasa Lampung yang artinya sejajar yang jika diartikan, ‘Batu Berak’ berarti ‘batu sejajar’. Itu jelas tidak berdasarkan fakta dan data. Yang sebenarnya adalah, sesuai laporan Oudheidkundige Dienst (1926) ‘batoe brak’ adalah singkatan penduduk di marga tersebut dari ‘batoe bergerak’. Dari nama lama ‘batoe brak; inilah kemudian penduduk di wilayah disebut marga Batoe Brak yang kemudian bergeser menjadi Batoe Berak. Juga perlu ditambahkan disini ini nama awal tempat adalah Pekon Bolak (Pasar Besar, pen.) yang kini mungkin menjadi Pekon Purawiwitan (di kecamatan Kebun Tebu). Catatan: dalam bahasa Angkola Mandailing (Tapanuli): ‘bolak’ artinya besar atau luas (di Jawa, pasar zaman kuno di Jogjakarta, Pasar Besar disebut ‘Pasar Gede’, yang kini sering dikunjungi para wisatawan). 

Pada saat situs Batoe Berak ditemukan pada tahun 1914 sebagaimana dilaporkan pada tahun 1927, sejatinya wilayah (marga) Batoe Berak berada di wilayah Residentie Boegkoelen (Peta 1924). Akses menuju lokasi situs paling mudah dilalui dari kota (pelabuhan) Kroei (Res. Bengkoelen). Lokasi situs Pekon Bolak juga dapat diakses dari (kota) Moeara Doea (Residentie Palembang). Saat itu belum ada akses dari Telok Betoeng (ibu kota residentie Lampong). Wilayah situs berada di jalan raya dari Kroei mendekati danau Ranau.


Seperti kita lihat nanti, pada tahun 1951 pada era Republik Indonesia, wilayah (distrik) Kroei dimana termasuk situs Batoe Berak dari wilayah Bengkoeloe sebelumnya dimasukkan ke wilayah Lampoeng. Peta 1910 sudah ada anam Pekon Bolak. Sejak 1914, nama Pekon Bolak menjadi penting. Pada Peta 1922 pada nama kanmpong Pekon Bolak ditandai sebagai Betoe Berak dan kampong Negara Batin ditandai sebagai Liwa. Peta 1945 kampong Negara Batin tetap sebagai kampong Negara Batin. Mengapa muncul nama Liwa untuk nama Negara Batin? Pada saat perang kemerdekaan (1949) wilayah Liwa ini menjadi pusat Republiken yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Mr Gele Haroen Nasoestion, yang kemudian pasca pengakaun kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Gele Haroen Nasoetiin menjadi Residen Lampoeng. Mengapa sejak ini wilayah situs Betoe Berak masuk wilayah Lampoeng? Peta 1922

Tunggu deskripsi lengkapnya

Situs Megalitik Zaman Kuno Prasejarah di Pekon Purawiwitan: Penyelidikan Kepurbakalaan di Wilayah Lampung

Salah satu situs megalitik terpenting di Indonesia masa ini adalah situs-situs di kabupaten Poso, provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah dimana terdapat situs-situs tersebut pada era Pemerintah Hindia Belanda dikenal nama Lore, nama yang dikenal adalah wilayah (distrik Napa dan Besoa). Keberadaan dua lanskap ini dilaporkan kali pertama oleh ALB C Kruijt (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1908). Ke wilayah pedalaman ini belum pernah ada orang Eropa. Penduduk Napa juga cenderung menolak kehadiran asing. Oleh karena itu wilayah Besoa juga tidak terkunjungi (karena untuk menuju Besoa melalui Napa).


Sejak kapan orang Napu (To Napu) menghuni lembah Napu?  Menurut Kruijt orang Napu adalah penduduk pedalaman yang sangat ditakuti, dan ahli dalam berperang. Penduduk pantai seperti To Pajapi dan To Ondae di sekitar Mapane berada di bawah orang Napu, dimana orang Napu mengutip pajak garam. Orang To Poeƶemboto dan To Loewoe di selatan danau Poso juga tidak berkutik dengan orang Napu. Radja Sigi mengklaim bahwa orang Napu berada di bawah yurisdiksinya, namun secara fakta adalah orang To Napu adalah penduduk yang independen. Orang Napu dan tetangganya orang Besoa berhubungan baik dengan orang Seko dan orang Rampi. Boleh jadi mereka ini berasal dari keturunan yang sama (sama-sama raja gunung yang menguasai wilayah pedalaman). Orang Poso (Pamona), orang Luwu dan orang Mandar dan orang Mamuju adalah penduduk pantai. Besar dugaan bahwa orang Napu, Besoa, Seko dan Rampi adalah penghuni pertama di jantung pulau Sulawesi. Lalu bagaimana dengan orang Toraja (dan orang Mamasa)? Setali tiga, uang. Orang Toraja dan orang Mamasa juga berhubungan baik dengan orang Napu, Seko dan Rampi. Satu tokoh yang terkenal dari To Napu adalah Uma I Soli.

Apa yang terjadi di afdeeling Poso, kurang lebih sama dengan yang terjadi di afdeeling Kroei, bahwa pada awalnya penduduk sengaja menyembunyikan situs dan cenderung menolak orang asing apalagi untuk melakukan penyelidikan. Tampaknya di dua wilayah ini, situs-situs yang ada masih dipercaya sebagai warisan leluhur, yang harus dibiarkan tampa diusik.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar