Laman

Sabtu, 22 Oktober 2022

Sejarah Lampung (9): Populasi Penduduk di Lampung Masa ke Masa; Zaman Kuno, Era VOC dan Transmigrasi Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini 

Penduduk asli Lampung adalah orang Lampung sendiri. Sejak zaman kuno sudah ada pendatang yang datang ke (wilayah) Lampung. Para pendatang semakin massif pada era VOC/Belanda, terumata orang Malayu, orang Jawa dan orang Bugis. Tentu saja orang Banten. Populasi penduduk di wilayah (district/residetenti) Lampong pada era Pemerintah Hindia Belanda semakin drastic bertambag seiring dengan program transmigrasi (yang terus berlangsung pada era Republik Indonesia). Pada masa ini populasi penduduk (provinsi) Lampung sebanyak 7.5 juta dengan komposisi hanya 13.6 persen orang Lampung.

 

Provinsi Lampung menjadi salah satu provinsi di Indonesia di luar Pulau Jawa, tempat mayoritas penduduknya adalah suku Jawa. Pada tahun 2010 total populasi sebanyak 64,17% yang kebanyakkan berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan sebagian Jawa Barat. Sementara penduduk asli yakni suku Lampung berjumlah 13,56%. Diposisi ketiga ada Sunda berjumlah 11,88% (sudah gabungan suku Sunda asal Jawa Barat dan juga Sunda asal Banten). Banyaknya etnis pendatang dari pulau Jawa ke provinsi Lampung disebabkan pulau Jawa yang tidak begitu besar tetapi penduduknya cukup ramai dan padat maka diadakan transmigrasi besar-besaran ke pulau lain khususnya pulau Sumatra di provinsi Lampung. Diposisi keempat dan kelima ada suku Melayu dengan persentase 5,64% dan juga Bali 1,38%. Suku Melayu sudah termasuk semua sub-suku Melayu asal Sumatra Selatan yang ada di provinsi Lampung seperti: Ogan, Semendo, Mesuji, dan Palembang. Masyarakat Melayu asal Sumatra Selatan seperti Ogan, Semendo, Mesuji, dan Palembang dapat ditemukan signifikan karena wilayah Sumatra Selatan dan Lampung berdekatan bahkan berbatasan langsung, mereka juga sudah lama bermigrasi ke provinsi Lampung (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah prasasti-prasasti di Lampung? Apakah sejarah Lampung terkait dengan sejarah Sriwijaya? Lalu apakah keberadaan prasasti di Lampung memiliki peninggalan zaman kuno yang lain seperti candi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja tidak penting-penting amat, tetapi jika digabungkan untuk menjawab satu pertanyaan tunggal  bisa memiliki makna: Apakah sejarah Lampung bermula di danau Ranau? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Populasi Penduduk Lampung Masa ke Masa; Zaman Kuno, Era VOC hingga Era Transmigrasi Hindia Belanda

Jumlah populasi penduduk di (wilayah) Lampong dilaporkan pertama kali oleh H Zollinger (1846). Angka yang dilaporkannnya adalah angka yang dikumpulkan oleh pemerintah. Pada saat itu pejabat tertinggi Pemwerintah Hindia Belanda di District Lampoeng setingkat Controleur (Gezaghebber) yang berkedudukan di Tarabangi (kin Terbanggi Besar). Penempatan pejabat pemerintah Pemerintah Hindia Belanda di Lampong belum lama (baru satu dasawarsa). Angka yang dilaporkan Zollinger menjadi penting, karena data populasi pertama (meski harus diakui belum valid, karena hanya berdasarkan perkiran, belum ada sensus).  


Berdasarkan catatan Zollinger, di wilayah (district) Lampoeng orang asli dibedakan dengan orang asing. Orang Eropa hanya ada Tarabangie (tidak disebutkan berapa orang); Orang Cina sebanyak 2 atau 3 berada di Telok Betong); Orang Bugis dan Jawa (di pantai dan di tempat-tempat dimana terdapat intensitas perdagangan). Dari orang asing populasi orang Bugis yang paling banyak, terutama di Telok Betong, Menggala dan Siringkebo.

Secara keseluruhan populasi penduduk di District Lampoeng sebanyak 82.905 jiwa terdistrinusi di eman sub-district. Populasi terbanyak berada di sub-district Toelang Bawang sebanyakl 29.450 jiwa kemudian disusul di Telok Beoteng dan Sepoetih sebanyak 16.690 jiwa dan 14.118 jiwa. Subdistrict Maringei adalah wilayah kecil di pantai timur Lampung. Kehadrian orang Jawa (Jawa dan Banten) diduga sejak zaman kuno dan orang Bugis pada era VOC (pasca Perang Gowa, 1669).


Kepadatan penduduk Lampong terbilang sedikit. Sekitar 155 jiwa per mil Inggris. Sementara di (pulau) Jawa, paling padat penduduknya di Residentie Bagelen lebih dari 11.000 jiwa dan paling sedikit di Residentie Krawang sebanyak 1.200 jiwa. Seperti kita lihat nanti perbedaan kepadatan inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa muncul gagasan (program) transmigrasi dari Jawa ke Lampong. Sedangan diantara populasi penduduk orang Lampung sendiri menurut Zollinger, yang membuat pertumbuhan penduduk orang Lampung sangat Lambat karena factor djoedjoer (semacama mas kawaon) dalam perkawinan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Zaman Kuno, Era VOC hingga Era Transmigrasi Hindia Belanda: Orang Lampung, Melayu, Jawa, Bugis dan Cina

Sejak 1857 district Lampong statusnya telah ditingkatkan menjadi residentie dengan menempatkan Residen di Lampong dengan kedudukan di Telok Betoeng. Dalam perkembangannya wilayah distict Lampong yang awalnya terdiri enam subdistrict, dibagai ke dalam bentuk afdeeling. Residentie Lampong diringkas menjadi empat afdeeling: Afd.Ommelanden van Telok Betoeng; Afd. Semangka; Afd. Katimbang dan Afd. Sepoetih Toelangbawang.


Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 06-08-1873: ‘….Penduduk Lampong terbagi atas lapisan sosial (kebuayan) dan hidup menurut adat dan tata krama leluhur. Cara hidup ini, bagaimanapun, telah banyak berubah menjadi lebih baik dibawah pengaruh pemerintah Eropa sejak 1860, dan beberapa adat, yang sepenuhnya bertentangan dengan kepentingan negara dan rakyat, telah dihapuskan dengan persetujuan para kepala dan penduduk. Sepengetahuan penulis, bagaimanapun, belum mungkin menghapuskan adat djoedjur (membeli seorang wanita dari orang tua atau kerabatnya, kadang-kadang dengan harga yang sangat mahal). Akan tetapi, dibawah pemerintahan sekarang, tampaknya telah dibuat ketentuan-ketentuan mengenai hal ini, dengan tujuan untuk menurunkan harga djoedjoer, sehingga sekarang bahkan laki-laki yang lebih rendah dapat berpikir untuk mencari seorang istri. Harus diakui bahwa adat djoedjoer, seperti dulu dalam mode, adalah salah satu praktik buruk Lamponger, dan telah menjadi penyebab sangat sedikit pernikahan, dan populasi sebagai konsekuensi alami dari ini. jiwa tidak bertambah atau bertambah sedikit. Kebanggaan si Lamponger, bagaimanapun, juga terletak pada kenyataan bahwa, jika mungkin, dia menikahi putrinya dengan harga tinggi, yaitu bahwa pemuda itu membayar djoedjoer yang tinggi untuknya….’.

Pada tahun 1911. Jumlah populasi pendduduk (Residentie) Lampong sebanyak 154.474 jiwa. Jumlah ini sudah sangat jauh meningkat dibandingkan setengah abad yang lalu (1846). Ada penambahan jumlah penduduk lebihdari 50 ribu jiwa. Suatu pertambahan penduduk yang sangat cepat. Boleh jadi itu karena wilayah Lmpong semakin terbuka dari pendatang seiring situasi dan kindisi yang semakin kondusif dimana pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda semakin efektif. Pada tahun 1910, paling tidak sudah diketahui adanya komunitas orang Jawa di (wilayah) Gedong Tataan. Status kesehatan penduduk yang terus meningkat dan peningkatan ekonomi penduduk yang juga meningkat diduga menjadi factor peningkatan pertumbuhan penduduk alamian yang meningkat (kelahiran-kematian).


Berdasarkan data penduduk Lampung tahun 1911 (lihat Rapport Nopens den Annleg van Staatssooorwegen in Zuid Sumatra, 1911), distribusi penduduk lebih dari separuh berada di afdeeling Sepoetih Toelang Bawang, suatu afdeeling di wilayah utara. Lebih dari separuh berada di onderfadeeling Toelang Bawang. Di wilayah sekitar Teloek Betoeng (onderfadeeling Ommelanden van Teloek Betoeng) dimana ibu kota baru di Telok Betoeng hanya sekitar 28 ribu jiwa. Di wilayah afd Katimbang (ibu kota di Kalianda) dan di afd Semangka (ibu kota di Kota Agoeng) hanya belasan ribu saja, bahkan masih lebih banyak populasi di onderafd. Sekampoeng.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar