Laman

Jumat, 21 Oktober 2022

Sejarah Lampung (7): Tradisi di Lampung; Bahasa Aksara Pangan Pakaian Arsitektur Peralatan Musik Tari Keluarga Pemerintahan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini  

Setiap wilayah adat di Indonesia memiliki tradisi yang diwariskan dan terus dilestarikan. Bahasa adalah unsur kebudayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun dalam perjalanannya bahasa dapat berubah karena ada pengaruh kebudayaan lain. Adanya aksara adalah bentuk lebih lanjut dari tradisi berbahasa. Di Lampung, rumah plus sesat menjadi ruang kehidupan yang diperkaya dengan pakaian peralatan. Pada lingkungan komunal terdapat music tradisi dan tarian tradisi. Lebih luas dari itu, pada basis komunal terbentuk sistem pemerintahan tradisi.


Suku Lampung yang biasa disebut dalam bahasa Lampung Api ‘Ulun Lappung, bahasa Lampung Nyo ‘Jamma Lappung’ adalah suku bangsa pribumi yang berasal dari Provinsi Lampung yang berada pada bagian ujung selatan pulau Sumatra. Pada awal mulanya, suku Lampung berdiam di tengkuk Gunung Pesagi. Wilayah suku Lampung selain di provinsi Lampung juga tersebar di wilayah lainnya seperti: di sebagian provinsi Sumatra Selatan tepatnya di sekitar Danau Ranau, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan yang juga berdekatan bahkan berbatasan dengan provinsi Lampung. Suku Lampung juga tersebar di desa-desa di perbatasan antara Bengkulu dan Lampung, tersebar di desa Merpas, Nasal, Kaur di Bengkulu serta dapat juga ditemukan komunitas masyarakat Lampung di provinsi Banten tepatnya di desa Cikoneng kecamatan Anyar, kabupaten Serang. Masyarakat Adat Lampung terdiri atas dua sistem Pemerintahan Adat yakni Masyarakat Komunitas Adat Budaya Lampung Saibatin (Peminggir/Pesisir) dan Masyarakat Komunitas Budaya Lampung Penyimbang (Pepadun/Pedalaman). Masyarakat Lampung terdiri atas 4 Kepaksian dan 83 kemargaan yang terhimpun dalam kemargaan dan kebuwayan, tersebut antara lain: Bandar Lima Way Lima; Marga Teluk Peminggir; Marga Pemanggilan Peminggir; Marga Abung (Federasi Abung Siwo Migo); Marga Rebang Semendo; Masyarakat /Marga Way Kanan (Federasi Buay Lima Way Kanan); Masyarakat Marga Melinting; Masyarakat Marga Tulang Bawang (Federasi Mego Pak Tulang Bawang); Kepaksian Pernong Sekala Brak; Paksi Buay Belunguh; Paksi Buay Bejalan Diway; Kepaksian Nyerupa (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah tradisi di Lampung? Seperti disebut tradisi adalah akar budaya dan budaya yang lestari sepanjang masa (kebudayaan). Unsurnya tidak terbatas, tetapi umumnya, dan secara khusus di Lampung diidentifikasi bahasa dan aksara, rumah dan sesat, pakaian dan peralatan, musik dan tarian, keluarga dan pemerintahan dan sebagainya. Lalu bagaimana sejarah tradisi di Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tradisi di Lampung; Bahasa Aksara Pangan Pakaian Peralatan Musik Tari Arsitektur Keluarga Pemerintahan

Bahasa adalah unsur budaya terpenting, tidak hanya diwariskan (secara alamiah), bahasa juga dalam penyelidikan sejarah dapat dijadikan sebagai data (membandingkan kosa kata masa kini dengan masa lampau). H Zollinger (1846) mengatakan bahasa Lampung adalah perpaduan bahasa Melayu, Jawa dan Sunda serta Bugis.


Lebih lanjut Zollinger menyatakan: ‘bahasanya Lampung tidak asli, tidak ada dialek eksklusif dari salah satu tetangganya bahasa, tapi bahasa Lampung adalah campuran independen dari hampir semua bahasa yang digunakan. Kebanyakan kata berhubungan dengan bahasa Melayu, sementara ada juga banyak dengan bahasa Sunda, Jawa, Bugis dan Redjang. Oleh karena itu, ketika semua bagian asing dipisahkan pasti angka yang sangat kecil bahasa asli atau kata-kata aneh tetap ada, jadi sangat kecil bahkan itu hanya bagian dari sebuah bahasa atau dialek. Berkenaan dengan sintaksis, bahasa Lampung tampaknya sepenuhnya bergabung dengan Melayu. Terdapat penyimpangan dari sudut pandang fonetik. Bahasa Lampung sangat kaya diftong dan bisa ditemukan ei, ai, oi, oei, terutama di akhir kata-kata, sebagai ganti api — apoi. Bahasa Lampung memiliki a dan o murni serta campuran oh, itu berdiri di antara keduanya dan dalam bahasa Jawa sering terjadi’.

Boleh jadi pendapat Zollinger ada benarnya, karena Zollinger dalam surveinya di Lampung hanya terbatas di kota-kota utama dan berada diantara orang-orang yang mudah ditemukan. Zollinger tidak berkesempatan ke kampong-kampong yang jauh apalagi di pedalaman, yang mungkin bahasa asli Lampung masih tersimpan dan lestasri dengan baik. Dalam daftar/kamus bahasa Lampung pada masa ini, kosa kata yang dapat dibedakan dengan pengaruh asing, kecuali bahasa Melayu, terbilang dominan. Dengan kata lain pengaruh bahasa Jawa, Sunda dan Bugis sebenarnya secara keseluruhan tidak sebanyak yang dibayangkan oleh Zollinger. Tentu saja dalam bahasa Lampung dapat ditemukan bahasa yang mirip dengan bahasa Batak.


Ada sejumlah bahasa elementer, kosa kata yang bersifat alamiah yang mirip bahasa Batak yang akan diuraikan lebih lanjut nanti. Ibu dalam bahasa Lampung adalah ‘ina’ yang juga sama dengan bahasa Batak. Beberapa kosa kata spesifik yang mirip bahasa Batak dengan bahasa Lampung adalah ‘agas’=nyamuk, ‘abik’=kain, ‘balak’=besar/luas, ‘bettong’=kenyang, ‘bulung’=daun, ‘hanipi’=mimpi, ‘hagong’=arang, ‘ipon=-gigi, ‘ipos’=kecoak, ‘lading’=belati, ‘piga’=berapa. Beberapa kosa-kata tersebut berbeda dengan bahasa lain, tidak terdapat dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Sunda dan bahasa Bugis. Dalam penelitian Zollinger membedakan dialek Tarabangi berbeda dengan yang ada di Telok Betong (selatan) dan di Menggala (timur).

Padanan bahasa adalah aksara. Aksara di Nusantara pada dasarnya hanya terbagi dua golongan besar yakni aksara Batak dan aksara Jawa. Aksara tradisi di Lampung lebih mirip aksara Batak daripada aksara Jawa. Sebaran aksara mirip aksara Batak di nusantara tidak hanya di Sumatra, juga di Borneo utara, Filipina dan Sulawesi. Sementara aksara mirip aksara Jawa, selain di pulau Jawa juga ditemukan di Bali dan Lombok.


Dalam penelitian H Zollinger (1846) menemukan penggunan aksara Lampung di antara muda-mudi Lampung dalam pergaulan. Tulisan tersebut banyak terjadi dalam interaksi mereka dengan saling mengirim pantun yang ditulis dalam lontar. Sementara itu, dalam buku William Marsden dengan judul History of Sumatra yang terbit pertama 1781 menyatakan lebih dari separuh orang Batak bisa menulis dan membaca (tentu saja dengan aksara Batak), suatu angka yang tinggi, melibihi semua bangsa-bangsa di Eropa. Marsden menyebut orang Batak menulis di kulit kayu yang tipis dengan menggunakan tinta yang terbuat dari arang damar yang dicampur dengan air aren dengan menggunakan pena dari lidi enau. Hal ini berbeda dengan di Jawa, penggunaan aksara umumnya di lingkungan atas (kraton). Hal serupa ini juga ditemukan Zollinger di wilayah Lombok yang biasa menulis adalah orang di lingkungan kerajaan. Dalam hal ini, penggunaan aksara Batak dan juga aksara di Lampung lebih umum berlaku.

Tradisi yang dicatat Zollinger yang menjadi unsur budaya orang Lampung dan menarik perhatiannya adalah arsitektur bangunan rumah di Lampung. Rumah-rumah di Kawasan pantai dengan pedalaman berbeda. Di wilayah pedalaman, orang Lampung sangat peduli tentang bangunan rumah yang terbuat dari bahan kayu pilihan. Dalam beberapa hal ukiran dalam bangunan rumah bahkan lebih maju dan artistik dibanding di Jawa. Atap rumah orang Lampong terbuat dari lembar kayu tipis yang disebut sirap. Pada bagian ujung atap dibuat semacam tanduk (v) yang mirip dengan banguna rumah di Angkola Mandaling, Tapanuli. Bangunan rumah dibuat di atas tanah dengan tiang yang kuat, yang di bagian bawah (kolong rumah) digunakan untuk perawatan ungags dan ternah termasuk kerbau. Pada bagian belakang rumah di sebelah samping ditemukan pavilium yang biasa digunakan para Wanita untuk menenun dan menyulam serta bersenda gurau.


Satu yang menjadi perhatian khusus Zollinger adalah bangunan mini, biasanya di tengah kampong yang disebut sesat. Bangunan ini hanya terdiri dari atap dan lantai dimana digunakan sebagai tempat berkumpul dan juga bagi orang asing dijadikan sebagai tempat menginap. Dalam perjalanan Zollinger ke berbagai kampong selalu tidur di sesat tersebut. Di Tanah Batak, bangunan dan fungsi serupa di Lampung itu juga berlaku yang biasa disebut jambur. Satu yang unik dengan lantai jambur atau bale-bale di Tanah Batak umumnya digoret dengan pisau dengan kotak delapan kali delapan yang menjadi alas dalam permainan catur (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 16-07-1910). Buah caturnya sendiri dibuat dari potongan kayu atau bamboo.   

Dalam hubungan perkawinan, H Zollinger menunjukkan arti djoejoer dalam tradisi penduduk Lampong. Praktek ini juga kurang lebih sama dengan di Tanah Batak, djoedjoer menjadi semacam mas kawin yang di satu sisi sungguh berat bagi pria, lebih-lebih gadis yang akan dinikahi dari lapisan sosial yang lebih tinggi. Praktek djoejoer ini Zollinger mengangap di sisi lain sebagai factor yang menyebabkan pertambahan penduduk orang Lampung lambat relative terhadap orang Melayu, Jawa dan Bugis di Lampung. Meski demikian, djoedjoer yang lebih tinggi justru menjadi kebanggaan diantara para muda mudi. Zollinger juga menemukan alternatif jika tidak terpenuhi jujur dengan kawin lari.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Aksara Pangan Pakaian Peralatan Musik Tari Arsitektur Keluarga Pemerintahan: Doeloe dan Kini

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar