Laman

Jumat, 21 Oktober 2022

Sejarah Lampung (6):Tulang Bawang, Suatu Kerajaan Bagaimana Data? Prasasti Palas Pasemah - Geomorfologi Wilayah Lampung


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini  

Dalam narasi sejarah masa kini, disebut Kerajaan Tulang Bawang pernah eksis di wilayah dimana kini (provinsi) Lampung. Tentulah itu menarik untuk diperhatikan, karena disebut salah satu kerajaan tertua di Indonesia. Namun di dalam narasi, sejarahnya kurang terinformasikan. Hal itu karena minimnya data tentang keberadaan kerajaan. Bagaimana dengan keberadaan prasasti Palas Pasemah yang disebut berasal dari abad ke-7. Tentu itu menjadi penting jika dikaitkan dengan sejarah geomorfologis wilayah Lampong.


Kerajaan Tulang Bawang adalah salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang pernah berdiri di Lampung. Sumber sejarah yang dijadikan acuan para sejarawan adalah catatan I-Tsing, seorang biksu China yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad ke-7. Letak Kerajaan Tulang Bawang diperkirakan berada di wilayah yang sekarang disebut Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Nama kerajaan ini diduga memudar dengan sendirinya karena tertutup oleh kebesaran Kerajaan Sriwijaya. Letak Kerajaan Tulang Bawang dari catatannya, diketahui bahwa I-Tsing pernah singgah di kerajaan yang ia sebut sebagai To-Lang Po-Hwang (Tulang Bawang), yang berada di pedalaman Pulau Sumatera. Karena kurangnya sumber sejarah, ibukota Kerajaan Tulang Bawang belum dapat diketahui secara pasti hingga saat ini. Akan tetapi, seorang ahli sejarah bernama Dr. J. W. Naarding menduga bahwa pusat pemerintahan kerajaan ini berada di hulu Way Tulang Bawang, tepatnya berada pada sekitar 20 km dari pusat Kota Menggala. Setelah pengaruh Sriwijaya pudar, Singasari menguasai wilayah Lampung, setelah Singasari mengalami kemunduran, wilayah ini dibawah kekuasaan Majapahit dan diserahkan kepada Adityawarman, setelah bubarnya Majapahit wilayah ini berdiri Kepaksian Skala Brak (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah kerajaan Tulang Bawang, bagaimana datanya? Seperti disebut di atas, dalam narasi sejarah masa kini disebut Kerajaan Tulang Bawang pernah eksis, namun kurang terinformasikan karena minimnya data pendukung. Dalam hal ini bagaimana dengan prasasti Palas Pasemah dan geomorfologi wilayah Lampung? Lantas bagaimana sejarah kerajaan Tulang Bawang, bagaimana datanya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Peta 1883

Kerajaan Tulang Bawang, Bagaimana Datanya? Prasasti Palas Pasemah dan Geomorfologi Wilayah Lampung

Tidak seperti Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit, siapa yang menemukan dan membuktikan eksisitensi Kerajaan Toelang Bawang di Lampong tidak diketahui secara pasti. Peneliti-peneliti Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit cuku banyak pada era Hindia Belanda. Sementara itu, kerajaan Toelang Bawang (hanya) disebutkan termasuk kerajaan tua di Sumatra (lihat De Indische courant, 29-04-1936).


Dalam desertasi Husein Djajadiningrat tahun 1913 berjudul CRITISCHE BESCHOUWING VAN DE SADJARAH BANTÊN meski menyebit nama Toelang Bawang, tetapi tidak ada indikasi yang menghubungkan dengan keberadaan kerajaan Toelang Bawang. Mengapa tidak ada? Sebagaimana diketahui bahwa kerajaan Banten terhubung di masa lalu dengan Toelang Bawang.

Studi-studi yang ada tentang Lampong umumnya menyangkut tentang sejarah penyebaran populasi di Lampong. Dalam Nota over de Lampoengsche Merga's (1930) disebutkan bahwa penduduk yang bermukim di Manggala (ibu kota) district Toelang Bawang adalah berasal usul dari orang Aboeng yang sebelum bermukim di Manggala sempat sempat di Selaboeng (Komering, Moeara Doea, Residentie Palembang) kemudian orang Aboeng mendirikan kota Martapoera.


Disebutkan lebih lanjut orang Aboeng sendiri menghubungkan keturunan mereka dengan buai Kembahan dari Sekala-Brak. Dalam hal ini orang Tulangbawang, yang berbicara dengan bahasa yang sama, tetapi dengan pengucapan yang sedikit diubah (akhiranr "a" sebagai "au"), diturunkan dari mojang yang sama sampai tinggal di Selaboeng, kemudian silsilah keluarga terpecah. Ini mengindikasikan bahwa orang Toelang Bawang adalah yang termuda dari origin di hulu, yang kemudian wilayah Toelang Bawang jatuh di bawah pengaruh Banten. Dalam buku Feestbundel uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen bij gelegenheid van zijn 150 jarig bestaan 1778-1928 yang diterbitkan 1929 hanya menyebut orang Toelang Bawang memberontak kepada Sultan Banten dengan meminta bantuan Raden Aria, namun dilarang sang ayah (Jamaloeddin Sultan Tjandiwalang yang berkuasa 1662-1706).

Salah satu sumber yang diharapkan adalah buku Handelingen van het Eerste Congres voor de Taal, Land- en Volkenkunde van Java (1928) suatu risalah kongres bahasa, tanah dan penduduk. Risalah ini mencatat berbagai aspek termasuk sejarah kerajaan, namun tidak disebutkan adanya kerajaan Toelang Bawang. Yang disebutkan di wilayah Toelang Bawang terdapat jejak Majapahit.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Prasasti Palas Pasemah dan Geomorfologi Wilayah Lampung: Bagaimana Membuktikan Keberadaan Kerajaan Tulang Bawang?

Sejarah masa kuno adalah sejarah yang dapat dikatakan sejarah yang sama-samar. Berbeda dengan sejarah kerajaan-kerajaan di Hindia Timur sejak era Portugis yang banyak bukti tertulia dan ditulis selama era Hindia Belanda, sejarah kerajaan-kerajaan zaman kuno pada era Hindia Belanda tidak mulus-mulus, banyak perdebatan diantara para peneliti. Semua perdebatan tentang sejarah zaman kuno yang tidak menemukan kesepakatan umum karena minimnya data yang ada, tak terkecuali sejarah kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit. 


Publik memiliki penilaian sendiri tentang narasi sejarah, sementara para peneliti diantara para peneliti juga memiliki penilaian sendiri-sendiri. Itulah dinamika penulisan narasi sejarah zaman kuno. Para peneliti tidak pernah berhenti. Sejauh data baru ditemukan, penulisan narasi sejarah juga tidak berhenti. Narasi sejarah yang sebelumnya dengan sendirinya tidak final. Namun bagi public, pembaca narasi sejarah, sesuatu yang masih mentah, yang masih kontroversi dan yang masih perdebatan, sudah ada yang menganggap final dan menjadi kebenaran sejarah.

Seperti dikutip di atas, tahun 1936 ada pembaca yang menulis di surat kabar tentang keberadaan kerajaan Toelang Bawang di Sumatra 1936 (lihat De Indische courant, 29-04-1936). Namun sang penulis juga tidak menulis sumbernya dari mana. Dalam buku GESCHIEDENIS VAN NEDERLANDSCH INDIE onder leiding van Dr FW Stapel yang diterbitkan pada tahun 1938 diharapkan dapat membantu siapa yang melakukan penyelidikan awal tentang kerajaan Toelang Bawang.


Buku (394 halan) ini sangat lengkap tentang narasi sejarah Hindia Belanda (Nederlandsch Indie). Namun di dalam narasi tidak mengidentifikasi sumber rujukannya dan juga tidak memiliki catatan kaki. Semua sumber yang digunakan dalam penulis buku itu, dikumpulkan di halaman belakang sebagai daftar Pustaka. Hal seperti itu memang lazim untuk buku umum, namun dalam hal ini tidak membantu mempercepat upaya penyelidikan lebih lanjut. Biasanya pengutipan dan catatan kaki terdapat dari publikasi jurnal (limiah).

Stapel dkk menulis bahwa terdapat varian kecil dalam sumber Tiongkok dalam hubungannya kerajaan-kerajaan dari selatan abad ketujuh muncul seperti To-lang, P'o-hwang, Mo-lo-che, Kamboja dan Tjampa. Stapel dkk berandai sekaligus menanyakan jika menggabungkan dua yang pertama apakah seseorang dapat menyimpulkan itu Toelangbawang dan karena itu nama itu terdapat di Lampung.


Dalam sumber yang dikutip Stapel dkk, bahwa ada dua nama yang disebut dalam catatan Tiongkok yakni To-lang dan P'o-hwang. Jika dua nama itu pernah dicatat di dalam sumber Tiongkok pada abad ke-7, seperti yang ditanyakan Stapel dkk, tentu juga muncul pertanyaan lain, apakah To-lang suatu nama di tempat tertentu dan P'o-hwang adalah Pahang di pantai timur Semenanjung Malaya? Nama tempat Tolang sendiri berasal dari zaman era Hindoe Boedha dan banyak ditemukan di India. Di Indonesia sendiri masa kinin ama tempat Tolang ditemukan di Jawa dan Sumatra serta Mudura. Di Sumatra, nama tempat Tolang (hanya dan) banyak ditemukan di wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Oleh karena Stapel dkk hanya sekadar bertanya, namun jika duana nama To-lang dan P'o-hwang digabungkan dan dianggap Toelangbawang tentu sangat berisiko. Yang jelas dalam catatn Tiongkok dua nama itu adalah dua nama yang berbeda tempat(?). Peta: Obdeijn (1942)

Hasil penelitian V Obdeijn yang dimuat dalam jurnal 1942 dengan judul De oude zeehandelsweg door de straat van Malaka in verband met de geomorfologie der Selat-eilanden lebih detail tentang nama-nama tempat dalam sejarah zaman kuno. Obdeijn telah meramu banyak sumber dengan mengutip. Obdeijn mengutip nama To-lang-p'o-hwang (kadang-kadang ditulis dalam dua kata terpisah, yang ditulis oleh duta besar Tiongkok tahun 449-463 M) di dalam (teks) T'ai p'ing huan yu ki, dan Ch'ien atau Ts' ien-chih-fu.


Dalam hal ini meski Obdeijn juga berhati-hati dengan membuat catatan dalam kurun (kadang-kadang ditulis dalam dua kata terpisah). Namun dalam hal ini, peta yang dibuat Obdeijn telah berasumsi bahwa To-lang dan P'o-hwang sebagai dua nama yang terikat menjadi nama satu tempat (Toelangbawang). Hal ini berbeda yang dilakukan Stapel dkk yang hanya sekadar bertanya-tanya. Obdeijn yang menggunakan pendekatan geomorfologis dalam studinya, kurang cermat memperhatikan bagaimana situasi dan kondisi geomorfologis di distrik Toelangbawang sendiri (antara zaman kuno dengan zaman kini). Dalam hal ini Obdeijn tidak sinkron antara satu sisi menggunakan pendekatan toponimi dan pendekatan geomorfolgis di sisi lain.

Secara geomorfologis, wilayah (district/afdeeling) Toelang Bawang dengan dengan ibu kota Manggala adalah Kawasan rendah yang disana-sini terdapat area rawa-rawa. H Zollinger (1846) mengidentifikasi wilayan district Toelang Bawang jika musim hujan sejauh mata memandang tergenang oleh luapan sungai Toelang Bawang dan pada saat kemarau terlihat sangat kering (tidak berawa). Jika membandingkan dengan peta-peta tahun 1940an, wilayah Manggal di daerah aliran sungai Toelang Bawang diidentifikasi sebagai Kawasan rawa-rawa.


Dalam interval waktu satu abad, apa yang diamati Zolllinger telah berbeda dengan yang didientifikasi oleh para ahli pemetaan (kartografi). Ini mengindikasikan bahwa situasi dan kondisi lingkungan (alam) di sekitar Manggal telah berubah drastic. Dengan kata lain pada saat pengamatan Zollinger Kawasan Manggal adalah Kawasan dataran yang sangat rendah, jika banjir Kawasan tergenang. Jika satu abad kemudian oleh para ahli pemetaan Kawasan yang sama sudah menjadi rawa-rawa, berarti sudah ada kenaikan permukaan dasar tanah (dengan terbentuknya rawa-rawa yang ditutupi vegetasi).  

Nah, lalu bagaimana situasi dan kondisi kawasan dimana kini disebut district Toelang Bawang dengan ibu kota Manggala dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-7 (eranya I’tsing)? Besar dugaan area dimana kota Manggala berada, pada abad ke-7 masih berupa perairan/laut. Sementara garis pantai berada di, kemungkinan masih di Tarabangi (Terbanggi) dan muara sungai Oempoe di Way Kiri. Catatan: Pertemuan sungai Way Kiri dan Way Kanan ke atah hilir disebut sungai Toelang Bawang.


Dalam Peta 1883 diidentifikasi nama Toeloang Bawang sebagai nama kampong di daerah aliran sungai Oempoe. Apakah nama kampong ini kemudian yang menggunakan nama sungai di wilayah hilir di kawasan dimana kota Manggala terbentuk? Jika hal itu benar, maka pada era VOC/Belanda (pada saat pangeran Pelembang ingin membanti orang Toelang Bawang mengusir Banten) pusat perdagangan berada di kampong Toelang Bawang di daerah aliran sungai Oempoe. Lalu kemudian dalam perkembangannya pusat perdagangan bergeser ke hilir dengan terbentuknya kampong Manggala (pada akhir abad kr-18). Lantas apakah nama tempat To-lang dan P'o-hwang dalam catatan Tiongkok berasal dari abad ke-7 benar-benar di kampong Toelang Bawang? Jangan lupa nama To-lang ditemukan di berbagai wilayah dan nama P'o-hwang yang juga diduga nama Pohang atau Pahang.  

Satu-satunya sumber/data sejarah yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan yang berasal dari abad ke-7 adalah prasasti Palas Pasemah (di wilayah Lampung). Seperti halnya nama Manggala dan letaknya secara geografis, lokasi dimana kini ditemukan prasasti Palas Pasemah, secara geomorfologis juga perlu dipertanyakan. Untuk kasus ini akan dibuat artikel tersendiri.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar