Laman

Senin, 28 November 2022

Sejarah Madura (4):Arosbaya Kota Tertua di Pulau Madura? Ekspedisi Pertama Belanda Dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Di pulau Madura pada masa ini banyak kota-kota, empat yang terbesar adalah kota Bangkalan, kota Sampang, kota Pamekasan dan kota Sumenep. Diantara empat kota ini yang mana yang lebih awal menjadi kota. Itu satu hal. Hal yang dimaksud dalam hal ini adalah kota apa yang tertua di pulau Madura di masa lampau? Sejarah kota-kota kurang terperhatikan. Apakah kota tertua di pulau Madura kota Arosbaya?

 

Pada masa pemerintahan Lemah Dhuwur pusat pemerintahan Plakaran dipindahkan ke Arosbaya. Karena itu, dia mendapat julukan sebagai pendiri Kerajaan Arosbaya. Lemah Dhuwur yang mendirikan kraton dan msajid pertama di Arosabaya. Selama masa pemerintahan Panembahan Lemah Duwur, kerajaan Arosbaya telah meluaskan daerah kekuasaannya hingga ke seluruh Madura barat, termasuk Sampang dan Blega. Panembahan Lemah Dhuwur wafat di Arosbaya pada tahun 1592 M setelah kembali dari kunjungannya ke Panembahan Ronggo Sukowati di Pamekasan. Sesuai dengan tradisi dia dimakamkan di kompleks Makam Agung Lemah Dhuwur. Selanjutnya kekuasaan Arosbaya dipegang oleh putranya yang bernama Pangeran Tengah, hasil perkawinannya dengan puteri Pajang. Pangeran Tengah berkuasa tahun 1592-1620. Pada masa pemerintahan Pangeran Tengah terjadi peristiwa terkenal yang disebut dengan 6 Desember 1596 berdarah, karena saat itu telah gugur dua orang utusan dari Arosbaya yang dibunuh oleh Belanda yaitu Patih Arosbaya Kiai Ronggo dan Penghulu Arosbaya Pangeran Musarip. Sejak peristiwa itulah Arosbaya menyatakan perang dengan Belanda (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Arosbaya kota tertua di Pulau Madura? Seperti disebut di atas, dalam ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597) mengunjungi kota Arosbaja. Lalu bagaimana sejarah Arosbaya kota tertua di Pulau Madura? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Arosbaya Kota Tertua di Pulau Madura? Ekspedisi Pertama Belanda Dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597)

Pada awal kehadiran pelaut-pelaut Belanda ke Hindia, ekspedisi Belanda pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597) sudah mencatat nama-nama Tuban, Sidajoe dan Djaratan serta Arosbaja di (pulau) Madura. Nama-nama tempat tersebut diduga adala kota-kota pelabuhan yang ramai.


Orang Eropa pertama yang membuat catatan navigasi pelayaran perdagangan di wilayah Hindia Timur (baca: Indoensia) adalah pelaut-pelaut Portugis. Catatan-catatan pelaut yang berasal dari tahun 1511 dan 1513 kemudian disusun oleh Francisco Rodriguez ke dalam sketsa-sketsa (peta-peta navigasi) yang dibuat tahun 1517. Disebutkan Francisco Rodriguez sejak 1511 sudah berada di Malaka. Dalam Peta 19 diidentifikasi nama-nama Ilha de Camatara (pulau Sumatra), Palembam, Nucapare, Ilha de Bamca (pulau Bangka), Compeco da Ilha de Maquater (permulaan pulau Makassar, compeco da Ilha de Laaoa y a esta Parasem se chama Ssumda" (permulaan pulau Jawa Soenda). Pada Peta 21 diidentifikasi A gramde Ilha de Maquacer (pulau Makassar), Borney, Lloutam, C. Tanhumbagubari, Tanhumpura (Tandjoeng Poera), Pamgun, Agaci (?), Ssurubaia (Surabaya), da Ilha de Jaoa, Ilha de Madura (pulau Madura), Bllarain (Bali?), homde sse perdeo a Ssabaia (pulau Sapoedi?), Lamboquo (Lombok), Ssimbaua (Sumbawa), Aramaram (permulaan pulau Soembawa). Jelas dalam hal ini pada awal kehadiran orang Eropa/Poretugis sudah dikenal nama Surabaya. Jika mundur ke era sebelumnya nama (pulau) Madura dan Surabaya juga ditemukan dalam teks Negarakertagama (1365). Ini mengindikasikan nama Surabaya dan nama pulau Madura adalah nama-nama geografis yang sudah tua. Seiring dengan perjalanan waktu, pelaut-pelaut Portugis semakin banyak mengumpulkan peta navigasi yang menjadi bahan penting bagi ahli kartografi di Eropa.

Dalam ekspedisi Belanda pertama, yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman menggunakan peta-peta terbaru Portugis. Dalam laporan Cornelis de Houtman tidak hanya memperkaya peta-peta lama (peta-peta Portugis) juga membuat sketsa/lukisan kota-kota pelabuhan Banten, Tuban dan Padang Bai. Dalam laporan Cornelis de Houtman ini juga menyebut nama Dampin, Zunda Kalapa, Japara dan Arosbaja (di pulau Madura). Cornelis de Houtman hanya diterima dengan baik di Dampin (Kalianda, Lampung) di Padang Bai (pantai timur Bali).


Dalam ekspedisi Cornelis de Houtman, para pelaut bermasalah di Banten dan Arosbaja. Dalam ekspedisi Belanda berikutnya yang dipimpin Van Nek, Van Waarwijk dan Van Heemskerk (1598) juga mengunjungi Arosbaja. Ekspedisi Belanda lainnya di bawah pimpinan Oliver van Noort (1600) melakukan rute yan tidak lazim dimana kapalnya mengarah ke celah Amerika Selatan lalu melalui lautan Pasifik tiba di Papua dan Maluku. Dalam pelayaran keliling dunianya, Noort diserang di Broenai pantai utara Kalimantan, kemudian melakukan pelayaran ke selat Sulawesi hingga kepulauan Nusa Tenggara dan kemudian singgah di Djaratan lalu ke Banten (dan kembali ke Belanda).

Nama-nama tempat di Jawa bagian (timur) di Tuban, Djaratan dan Arosbaja (di pulau) Madura tampaknya penting bagi pelaut-pelaut Belanda. Tuban digambarkan suatu kota pelabuahn yang ramai, berada di pantai utara yang depannnya terdapat pulau, yang mana melalui selat sempit ke selatan akan menuju Arosbaja (di pulau Madura). Jelas dalam hal ini Tuban dan Arosbaja berada di daratan, di dua pulau yang berbeda (pulau Jawa dan pulau Madura). Lalu bagaimana dengan Sidajoe, Djaratan dan Soerabaja?


Ekspedisi Belanda berikutnya yang dipimpin oleh Steven van der Hagen, dimana terdapat di dalamnya adik Cornelis de Houtman yakni Frederik de Houtman yang sempat di tahan di Atjeh selama dua tahun, berhasil mengusir Portugis dari Amboina pada tahun 1605. Inilah awal sukses pelaut-pelaut Belanda dimana di Amboina menjadi pusat perdagangan Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Frederik de Houtman. Meski pelaut-pelaut Belanda agak mengabaikan Arosbaja dan Tuban, dengan hubungan yang terus baik dengan Bali dan dengan kedudukan yang mulai menguat di Amboina, palait-pelaut Belanda mengusir Portugis di Solor dan Koepang tahun 1613. Ini dengan sendirinya jalur antara Banten hingga Amboina telah rata bagi pelaut-pelaut Belanda. Oleh karena kedudukan Banten di wilayah barat, pelaut-pelaut Belanda yang didukung kerajan Belanda (dalam hubungannya dengan pendirian VOC) akhirnya memilih pos perdagangan di Zunda Kalapa dengan mendirikan benteng Kasteel Batavia tahun 1619. Kecuali Bali, Tuban dan Arosbaya betul-betul terlupakan/terabaikan oleh pelaut-pelaut Belanda. Hal itulah yang kemudian menyebabkan catatan mengenai situasi dan kondisi di selat Madura sangat minim. Sebaliknya wilayah Mataram di Jawa menjadi mengemuka lebih-lebih setelah serangan Mataram ke Batavia tahun 1628.

Tuban, Djaratan dan Arosbaya sudah tentu transaksi perdagangan secara domestic terhubung dengan pedalaman Jawa melalui sungai (bengawan) Solo dan sungai Brantas (kelak cabang selatan menjadi kali Porong dan cabang utara menjadi sungai Soerabaja/Kali Maas). Sementara secara regional, Tuban, Djaratan dan Arosbaja terhubung dengan regional perdagangan di Maluku (yang mana sasaran utama pelaut internasional/Eropa). Perdagangan kawasan di selat Madura ini diperankan oleh pedagang-pedagang Cina plus pedagang lokal dari Makassar (peran Demak dan Japara sudah lama meredup). Kawasan perdagangan di selat Madura ini sendiri menjadi hub perdagangan di timur Jawa (sementara di barat Jawa di Banten, yang terhubung secara regional dengan Sumatra, dan Kalimantan bagian barat).


Aadl usul nama Tuban, sebelum dicatat pelaut-pelaut Portugis sebagai Tuvam, adalah Tubaon. Kota perdagangan Tubaon diduga adalah nama lama yang kemungkinan terbentuk dari berbagai lintas perdagangan (melting pot/mix population). Nama Djaratan diduga dihubugkan dengan area yang lebih tinggi dimana terdapat makam. Lalu kemudian nama Gresik diduga dihubungkan dengan giri atau gili yang mengindikasikan pulau. Lantas bagaimana dengan asal usul nama Aros-baya? Apakah kebalikan dari Sora-baya? Tampaknya baya adalah nama geografis, tetapi apa arti aros dan sora. Dengan meminjam penamaan geografis di pulau Sumatra, aru, aro atau ara adalah sungai. Juga saro, saru atau suru juga penamaan geografi untuk sungai. Dalam hal ini aros dan sora merujuk pada nama geografis sungai? Penamaan geografis yang berasal dari zaman kuno era Hindoe-Boenda. Apakah dalam hal ini baya ada kaitan dengan bayu? Yang jelas nama Jawa dan nama Madura serta nama Bali juga berasal dari zaman Hindoe Boedha,

Tunggu deskripsi lengkapnya

Ekspedisi Pertama Belanda Dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597): Dampin, Banten, Japara, Lombok, Padang Bai

Pada permulaan VOC, kekuatan Belanda tidak cukup untuk melakukan represip ke Mataram. Di satu sisi itu bukan tujuan utama. Permintaan Radja Bali kepada VOC tahun 1635 untuk membantu Blambangan yang diserang Mataram harus ditunda. Pemerintah VOC ingin meratakan jalan lainnya sebelum mengirim ekspedisi ke pedalaman Jawa. Pada tahun 1641 kekuatan VOC mengusir Portugis di Malaka. Habis sudah Portugis di Hindia Timur (kecuali tersisa di pulau Timor bagian timur (kini Timor Leste). Setelah Spanyol terkonsentrasi di Filipina, kekuatan asing nyaris tidak seberapa, Hal itulah yang menyebabkan Pemerintah VOC mengubah kebijakannya tahun 1665 dari perdagangan longgar di kota-kota pantai dengan kebijakan baru dimana penduduk dijadikan sebagai subjek. Saat ini kekuatan domestic di Hindia Belanda adalah Atjeh, Banten, Gowa (Makasar) plus Mataram di pedalaman Jawa dan Pagaroejoeng di pedalaman Sumatra.


Langkah pertama dengan kebijakan baru ini adalah merespon para pemimpin di pantai barat Sumatra dengan mengirim ekspedisi tahun 1665 untuk mengusir Atjeh dari wilayah pantai barat Sumatra. Kasus pembunuhan kepala perdagangan VOC di Makassar (Gowa) dibuka Kembali dengan meminta ganti rugi. Kerajaabn Gowa menolak yang menjadi pangkal perkara perang. Akhirnya Gowa takluk pada tahun 1669. Perselisihan keluarga di Kesultanan Banten, gayung bersambut bagi VOC karena pangeran Banten (putra mahkota Sultan) meminta bantuan Pemerintah VOC di Batavia. Ekspedisi yang dipimpin Kapten Jonker tidak membawa hasil dan baru berhasil di bawah ekspedisi yang dipimpin oleh Majoor Saint Martin. Praktis tahun 1684 Banten berada di bawah perlindungan VOC (dengan sendirinya juag wilayah Lampoeng). Atjeh yang terpencil jauh di ujung utara pulau Sumatra, menyebabkan Mataram menjadi sasaran tembak. Langka pertama untuk menguasai Mataram di pedalaman, militer VOC membangun benteng pertama di daerah aliran sungai Tegal (benteng Missier). Bersamaan dengan ini Pemerintah VOC mengirimkan utusan dari Malaka (Thomas Dias) ke Pagaroejoeng di pedalaman Sumatra tahun 1686.

Pemerintah VOC yang terus menekan Mataram dengan mengirim dua ekspedisi damai ke padalaman Jawa ke batas pertahanan Mataram akhirnya membuahkan hasil yakni melepaskan/menyerahkan wilayah Jawa bagian barat kepada Pemerintah VOC. Pada tahun 1687 Pemerintah VOC mengirim ekspedisi ke wilayah hulu sungai Tjiliwong di bawah pimpinan Sersan Scipio. Militer VOC membangun benteng Padjadjaran di daerah sempit antara sungai Tjiliwoeng dan Tjisadane. Dengan demikian dua benteng di pedalaman ini seakan mulai mengepung wilayah Mataram di pedalaman Jawa. Tidak lama kemudian rancangan dua benteng kuat dibuat tahun 1690 yakni Fort Semarang dan Fort Soerabaja. Namun realisasinya baru tercapai pada tahun 1703 dan tahun 1705. Setelah hampir satu abad, sejak inilah situasi dan kondisi di selat Madura mulai diperhatikan orang-orang Belanda kembali. Lantas bagaimana dengan (kota) Arosbaja?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar