Laman

Kamis, 08 Desember 2022

Sejarah Madura (24): Selat Madura dan Ide Pembangunan Kanal Muara Sungai Solo di Sidajoe; Padi Sawah Jawa vs Garam Madura


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Ada adagium pada era Pemerintah Hindia Belanda: Maluku masa lalu, Jawa, masa kini, Sumatra masa depan. Demikian juga di pulau Madura. Tempo doeloe pantai utara adalah pintu depan, kini pintu depan di pantai selatan. Garam di pantai selatan diperkaya dengan pembangunan pertanian di pantai utara. Namun itu tidak cukup. Semua karena kekurangan air, tetapi pantai timur Jawa kelebihan air, yang bahkan kerap terjadi bencana banjir. Dalam hal ini di wilayah muara sungai Solo dekat ke Madura dikembangkan untuk persawahan. Apa dampaknya bagi Madura?


Presiden RI Resmikan Bendungan Nipah di Madura. Dalam upaya meningkatkan produksi padi di wilayah Jawa Timur, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melaksanakan pembangunan Jaringan Irigasi Nipah yang terletak di Desa Tabanah, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang. Jaringan Irigasi Nipah direncanakan dapat mengairi areal persawahan seluas 1.150 Ha, dengan bangunan pengambilan utama dari Bendung Tebanah dan Bendung Montor. Jaringan irigasi ini terdiri dari 925 Ha sawah baru yang merupakan pengembangan sawah tadah hujan dan sisanya adalah Daerah Irigasi (DI) Montor seluas 225 Ha yang merupakan sawah eksisting. Sebenarnya, studi mengenai pembangunan Bendungan Nipah sudah dilakukan sejak tahun 1973, kemudian dimulai pembebasannya pada tahun 1982. Namun, di tahun 1993 terjadi kendala sosial pada pelaksanaan pembangunan Bendungan Nipah, sehingga pelaksanaannya sempat terhenti dan dilanjutkan kembali pada tahun 2004. Pembangunan Bendungan Nipah selesai pada tahun 2008, namun karena terkendala pembebasan lahan, proses pengisian baru dimulai pada tahun 2015. "Bendungan ini disiapkan untuk jangka panjang produksi pangan kita," kata Presiden Joko Widodo saat meresmikan pengoperasian Bendungan Nipah di Sampang, Madura, seperti dikutip dari keterangan tertulis Tim Komunikasi Presiden, Sabtu (19/3). Nantinya masih akan ada lagi pembangunan bendungan di beberapa tempat karena kita tahu nantinya dengan pertambahan penduduk dunia itu manusia akan rebutan dua hal, yaitu energi dan pangan. Karena kuncinya ada di air, jika air mencukupi maka pangan dan energi kita akan mecukupi hingga kedepannya, lanjut Presiden RI. Selain untuk mengairi DI, Bendung Nipah juga bermanfaat sebagai konservasi sumber daya air, dan perikanan darat. Presiden Joko Widodo mengatakan pentingnya koordinasi dan kerjasama yang baik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan menghasilkan sinergi yang baik. Selain itu pendekatan kepada masyarakat adalah kunci untuk melancarkan pekerjaan pelaksanaan pembangunan (https://sda.pu.go.id/)

Lantas bagaimana sejarah selat Madura dan pembangunan kanal muara sungai Solo di Sidajoe? Seperti disebut di atas, tanaman pangan khususnya beras, penduduk di pulau Madura tergantung dari (pulau) Jawa, sebaliknya garam Madura diekspor ke Jawa. Namun garam tidak pernah cukup dalam pembangunan, pertanian bagiamna? Pembangunan kanal muara sungai Solo memiliki dampak untuk pemenuhan pangan di Madura. Lalu bagaimana sejarah selat Madura dan pembangunan kanal muara sungai Solo di Sidajoe? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Selat Madura dan Pembangunan Kanal Muara Sungai Solo di Sidajoe; Padi Sawah Jawa vs Garam Madura

Bengawan Solo, air mengalir sampai jauh. Sejauh pulau Mangari? Tempo doeloe tidak sejauh itu. Bagaimana bisa? Kita harus mempelajarinya secara retrospektif. Lantas ketika Bengawan Solo sudah mencapau pulau Mangari, mengapa harus dibelokkan (lurus) ke arah utara? Pemerintah pada era Hindia Belanda telah mempelajari secara prospektif. Itulah dinamika yang dialami sungai Bengawan Solo, air mengalir sampai jauh.


Perhatikan peta yang dibuat oleh Francois Valentijn (1724). Dalam peta itu hanya ada tiga pulau di selat Madura, salah satu diantaranya pulau Mangare (ditulis P Manga). Pada sisi barat pulau ke arah pulau Jawa di Gresik cukup dangkal (kota Bungah), sementara sebelah timur ke arah pulau Madura cukup dalam). Wilayah (desa) Tanjung Widoro yang sekarang, pada saat itu merupakan pulau Mangare. Sementara pulau/tanjong (Tanjung Alang) adalah area yang masuk Bungah. Di sebelah selatannya pulau Samangi dan di sebelah utara pulau Tanjung Prigaat. Pulau-pulau ini tepat berada di depan muara sungai (bengawan) Solo. Pulau-pulau tersebut terbilang sebagai pulau-pulau baru hasil sedimen yang menjadi kawasan utama terbentuknya kecamatan Bungah di (kabupaten) Gresik yang sekarang. Pulau Mangare ini kemudian semakin menyatu dengan daratan Bungah (pulau Jawa). Itulah gambaran terakhir yang dapat kita perhatikan pada masa ini (pulau Mangari yang awalnya tepat berada di tengah-tengah selat Madura).

Seperti kita lihat peta geomorfologis masa kini di atas, sungai Bengawan Solo telah bertambah panjang hingga muaranya telah bergeser dari Bungah (dulu pulau Prigaat) ke sisi utara pulau Mangari. Hal ini seiring dengan semakin meluasnya daratan (pulau) Jawa ke arah timur sehingga menyatu dengan pulau Mangari. Daratan yang terbentuk di sebelah barat pulau Mangari menjadi rawa yang sangat luas pada musim hujan (banjir sungai) atau pada saat terjadi pasang (air laut). Satu permasalahan yang muncul ketika muara sungai Bengawn Solo telah mencapai pulau Mangari (kini pulau Mengare), sungai Bengawan Solo terus bekerja membawa massa padat (lumpur dan sampah vegteasi) dari pedalaman yang menyebabkan kedalaman laut di selat Madura semakin dangkal. Situasi dan kondisi tersebut dalam jangka panjang dapat mengganggu navigasi pelayaran di selat Madura. Munculnya permasalahan baru itulah yang menyebabkan adanya ide pembangunan kanal sungai Bengawan Solo.


Gagasan pembangunan kanal di hilir sungai Bengawan Solo, bukanlah gagasan baru pada era Pemerintah Hindia Belanda. Jauh di masa lampau di era VOC, pembangunan kanal-kanal sudah banyak dilakukan. Yang pertama di wilayah Batavia seperti kanal Riswijk ke arah barat sungai Tjiliwong; kanal Noorwijk ke arah timur sungai Tjiliwong; kanal Soenter dari Pulo Gadong ke muara sungai Tjiliwong; dan kanal Mookervaart dari Tangerang (sungai Tjisadane) ke Pesing (sungai Angke); serta kanal barat (sungai Tjiliwong ke sungai Kroekoet). Pada era Pemerintah Hindia Belanda pembangunan kanal (drainase) juga dilakukan di wilayah Bekasi (sungai Tjitaroem do Karawang ke sungai Bekasi di Moeara Gembiong); di Semarang (kanal Moera Baroe, kanal barat dan kanal timur), di Padang (kanal Banda Bakali); dan di Soerabaja (kanal Kali Maas/Oedjoeng). Dalam perjalanan waktu pembangunan kanal drainase tersebutlah kita kemudian membicarakan kanal muara sungai Bengawan Solo di wilayah Gresik/Sidajoe). Peta: lihat artikel Semarang

Pembangunan kanal di hilir sungai Bengawan Solo, dengan biaya pembangunan yang besar tidak semata-mata untuk menjaga kestabilan navigasi pelayaran di selat Madura, tetapi ingin mendapatkan benefit yang lebih banyak, seperti pembangunan kanal dimungkinkan kanal berfungsi sebagai drainase. Sebagai fungsi drainase, lahan-lahan di dua sisi kanal yang awalnya berawa menjadi kering dapat dimanfaatkan untuk pencetakan sawah baru (dalam konteks inilah kemudian terbentuk pemukiman baru). Gagasan pembangunan kanal muara Bengawan Solo mengerucut pada tahun 1881 (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-11-1881).


Gagasan ini semakin mengerucut setelah pembangunan kanal Demak selesai (kanal untuk mengurangi dampak banjir dari sungai Demak, sungai yang berhulu di danau Pening, Ambarawa). Gagasan di Residentie Soerabaja ini untuk mengamankan pintu barat Soerabaja (Westgaat Soerabaja) dari pendangkalan akibat dampak lumpur sungai Bengawan Solo. Pembicaraan awal sudah dikonsultasikan dengan engineer Dijkstra yang anggarannnya diperkirakan satu juta gulden. Dalam hal ini kepentingan pelayaran di sungai Solo tidak luput dari rencana yang dibuat di Hindia. Pada tahun-tahun pertama, sampan-sampan dari laut, seperti sekarang menyusuri Kali Miring, sudah bisa sampai ke Solo. Namun, setelah membendung bekas sungai nantinya, navigasi prahu harus dilakukan melalui kanal. Pembuatan kanal pengapalan juga diperhitungkan sehubungan dengan rencana irigasi yang saat ini sedang dirancang di Hindia, yang akan mengairi lahan bangunan seluas 120.000 hektar di dataran Sidajoe, Lamongau dan Grissee. Akan tetapi, rencana irigasi ini sama sekali terlepas dari kemungkinan pembendungan Kali Miring, karena tidak menghilangkan air irigasi dari lahan bangunan, juga tidak dengan membendung bagian hilir Solo. Biaya rencana ini belum dapat ditentukan dengan akurat

Surat kabar yang terbit di Belanda Opregte Haarlemsche Courant, 25-11-1881 memberitakan usulan kanal sungai bengawan Solo telah dibicarakan Menteri Koloni di Tweede Kamer (sidang tanggal 21 November 1881).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Padi Sawah Jawa vs Garam Madura: Pembangunan Kanal Era Pemerintah Hindia Belanda hingga Pembangunan Bendungan Era Pemerintah Republik Indonesia

Setelah realisasi kanal hilir sungai (bengawan) Solo menuju lurus ke utara terbentuk, muara sungai bengawan Solo (Kali Miring) menjadi sungai mati (sungai yang tidak memiliki hulu/kepala lagi). Kanal inilah yang pada masa kini dikenal sebagai hilir sungai bengawan Solo yang bermuara di pantai utara Laut Jawa (tidak lagi ke selat Madura). Ini seakan sungai bengawan Solo dijauhkan dari (orang) di pulau Madura (menjadi secara geososiologis lebih dekat ke Jawa di Tuban/Rembang).


Gambaran ini juga ditemukan gambaran yang mirip di masa lampau (pada era Perang Jawa pertama pada era VOC) dimana pasukan Jawa (Mataram) yang menduduki (wilayah) Soerabaja membendung salah satu cabang sungai Soerabaja ke arah timur laut sehingga lalu lintas perahu ke arah pemukiman orang Madura di sebelah utara dihalangi (sehingga lalu lintas sungai hanya yang menuju timur melalui kampong Soerabaja). Pada waktu itu orang Madura membangun benteng di pulau pasir pulau Mangari yang kemudian pada era Pemerintah Hindia Belanda disebut benteng Lodewijk. Dalam Peta 1818 benteng Lodewijk berada di pulau Mangarai, sementara sungai Soerabaja berada di selatan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar