Laman

Jumat, 23 Desember 2022

Sejarah Madura (54): Detik-Detik Berakhir Pemerintah HindiaBelanda di Madura;Invasi Jepang - Desakan Rakyat Pro-Kemerdekaan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini 

Pulau Madura termasuk salah satu wilayah di Hindia yang dikenal para pelaut-pelaut Belanda sejak ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Bagaimana dengan masa berakhirnya? Pada awalnya perlawanan penduduk Madura pada era VOC/Belanda berujung pada kerjasama yang langgeng. Apakah pada detik-detik berakhir Pemerintah Hindia Belanda, Kerjasama itu harus berakhir pula? Pulau Madura berbeda dengan julau Jawa, dipisahkan oleh selat Madura (bukan selat Jawa). 


Pemerintahan Madura pada Masa Hindia Belanda. Setelah Kompeni dibubarkan pada tahun 1799, Madura menjadi bagian Pemerintah Hindia Belanda, mempertahankan sistem pemerintahan tak langsung di Madura. Para penguasa Madura tetap meiniliki otonomi dalam pemerintahan. Pada paroh pertama abad ke-19 “kondisi dan persyaratan” bagi para bupati disesuaikan satu sama lain. Pertemuan-pertemuan antara raja-raja Madura diperbolehkan, namun perselisihan yang mungkin terjadi, tidak boleh diselesaikan tanpa keputusan dari pemerintahan Belanda. Pada beberapa dasawarsa pertama abad ke-19, para bupati tersebut secara relatif berhasil memperluas kemandirian relatif mereka. Hal itu terutama karena sikap mereka yang suka menyesuaikan diri dengan kehendak militer dan gubernemen. Setiap tahun Pulau Madura menyumbangkan sejumlah besar calon serdadu untuk tentara kolonial. Sejak tahun 1807 dipelihara pasukan bantuan khusus yang bertempur di pihak Belanda di Sulawesi Selatan (1825) dan selama Perang Jawa—Perang Diponegoro (1825-1830). Pada tahun 1831 di setiap kabupaten didirikan korps-korps militer yang disebut barisan yang dilatih oleh para instruktur Eropa untuk memerangi huru-hara di seluruh Nusantara. Sebagai tanda terima kasih terhadap dukungan tersebut, gubernemen menganugerahkan gelar-gelar yang semakin tinggi kepada para penguasa lokal seperti gelar panembahan dan sultan (https://www.lontarmadura.com/)

Lantas bagaimana sejarah detik-detik berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda di Madura? Seperti disebut di Madura kehadiran Belanda sudah sejak era VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda. Semua itu menjadi harus berakhir karena di satu sisi terjadi invasi Jepang dan di sisi lain dari waktu ke waktu sebagaian rakyat Indonesia pada era Pemerintah Hindia Belanda terus mendesak untuk memperjuangkan kemerdekaan. Lalu bagaimana sejarah detik-detik berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda di Madura? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Detik-Detik Berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda di Madura; Invasi Jepang dan Desakan Rakyat Pro Kemerdekaan

Pada tahun 1940 akan diadakan kembali pertandingan pasukan di seluruh Jawa. Untuk itu Kodam Oost Java mempersiapkan diri dengan mengadakan pertandingan antar pasukan di regional Oost Java untuk menentukan pasukan yang mana yang akan mewakili ke Bandoeng. Hasilnya adalah enam pasukan di Kodam Oost Java yang dipimpin Kolonel Overakker adalah pasukan dari Malang, 13de Bataljon Malang (lihat Soerabaijasch handelsblad, 15-01-1940). Kompetisi ini tidak diadakan lagi pada tahun 1941. Mengapa?


Enam pasukan Jawa Timur tersebut adalah 13de Bataljon Malang, 8ste Bataljon Malang, 1ste Afdeeling Vildartill Malang, Barisan Bangkalan, 3de Bataljon Soerabaja, Barisan Soemenep dan Barisan Pamekasan. Pasukan Batalion ke-3 Infantri dari Soerabaja terdiri dari orang Ambon dan orang Jawa; Pasukan artileri lapangan 1ste Afdeeling Vildartill Malang sepenuhnya terdiri dari orang Manado. Pasukan Barisan dari Madura (Bangkalan, Pamekasaan dan Soemenep) sudah barang tetentu sepenuhnya orang Madura..

Keberadaan Barisan Madoera dalam hal ini sudah berumur lebih dari satu abad. Pasukan Barisan Madura secara teknis bermula tahun 1934. Namun prakondisinya dimulai sejak 1925 ketika Pangeran Soemenep mengirim bantuan pasukan untuk membantu militer Pemerintah Hindia Belanda (Generaal Majoor van Geen) dalam perang melawan orang Bone di Sulawesi ((lihat Bataviasche courant, 01-01-1825). Sepulang dari Soelawesi pangeran di Madoera kembali menawarkan pasukan Madura untuk dikirim ke Soerakarta (Perang Jawa) untuk melawan pemberontakan yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkoeboemi. Pasukan Madoera ini beradaa di bawah sersan Poland. Ketika Perang Jawa berakhir pada tahun 1830, Poland mengembalikan pasukan pembantu Madoereeschc ke Madoera. Tidak lama kemudian Poland dikirim melawan Padri di Sumatra dengan membawa pasukan Ambon. Setelah sempat nyawanya tertolong atas bantuan orang Batak yang benci Padri, Poland kembali ke Jawa dan diangkat menjadi panglima Barisan Madoera.


Usai Perang Jawa (yang mana Pangeran Sentot bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda), Majoor AV Michiels di kirim ke Padang untuk melawan perlawanan Padri. Majoor AV Michiels juga dibantu Sersan Poland yang membawahi satu pleton Ambon dan tiba di Padang bulan Oktober 1831. Pasukan Poland adalah yang pertama mencapai benteng musuh tanggal 11 Desember 1831. Sepulang dari Natal, Baros, Nias dan Tapanoeli, Poland mengetahui rekan-rekannya yang telah menguasai benteng Amorengan (di Rao) dalam posisi terancam, bergegas kesana dengan 33 orang Ambonnya, yang dibantu seratus orang Melayu dan 500 orang Batak dan selama empat hari berhasil membebaskan benteng tanggal 22 Januari 1833. Namun dalam perkembangannya Padri melakukan penyerangan ke Amorengan yang dalam serangan mendadak pada 23 Oktober 1833 Poland terkena peluru senapan menembus kaki kanannya. Poland beteriak "Lari-lari", Poland berteriak lagi "jika Padri menangkapmu, kamu akan menjadi budak mereka!". Para pembantunya menawarkan ‘aku akan menggendongmu!". Poland, mengulangi "lari!"...Pelayannya menjawab ’saya tidak memikirkannya’. Lanjut pelayan Poland 'saya lebih baik mati daripada melarikan diri!'. Lalu kemudian pada saat yang mana Poland akan ditandoe para pembantunya dan mereka berhasil melarikan diri, saat itu pasukan Batak yang datang dapat menyelamatkan Poland dan pasukannya dan Padri yang mengejar mereka bisa diusir. Akhirnya di belakang sana setelah pertempuran heroik, harus puas benteng Amorengan diambilalih Padries pada tanggal 28 November 1833. Poland yang telah kehabisan darah terjatuh dan tidak sadarkan diri. Poland kemudian dievakuasi ke Natal, dimana dia tinggal selama 9 bulan dalam penyembuhan dan setelah sembuh berangkat ke Padang dan kemudian Batavia lalu ke Kediri dimana Poland akan diangkat sebagai komandan militer. Pada 16 Desember 1834 Poland diminta menjadi panglima Barisan Madoera. Catatan: Orang Batak yang dimaksud dalam hal ini adalah orang Angkola Mandailing, yang selama ini benci kepada Kaoem Padri karena sering menjarah di Angkola Mandailing. Dalam perang ini, yang juga sebelumnya menyelamatkan nyawa Poland, komandan orang Angkola Mandailing ini dipimpin oleh Radja Gadoembang Loebis (lihat pada artikel lain dalam blog ini). Radja Gadoembang Loebis adalah ompung Raja Junjungan Lubis, Gubernur Sumatra Utara 1960-1963. Siapa pelayan perempuan Poland tersebut belum diketahui secara pasti. Sersan Majoor Poland menyebutnya wanita yang gagah berani. Wanita ini juga turut menyelamatkan jiwanya sehingga Poland tidak pernah melupakan keselamatan itu dan bersyukur yang kelak diketahui dinikahinya.

Dalam tahun-tahun terakhir ini, di Oost Sumatra berpusat di Medan dan Tjimahi di West Java juga terdapat pasukan terdiri dari orang Ambon. Pasukan Jawa tentu saja sudah sangat banyak terutama di Midden Jawa (termasuk Jogjakarta dan Soerakarta). Dalam dua puluh tahun terakhir ini, pasukan pribumi yang diandalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda berasal dari Ambon, Manado, Madoera dan Jawa (tidak lagi Bali, Melayu, Makassar, Bugis, Ternate, Sumbawa pada era VOC/Belanda). Tidak pernah terdengar pasukan berasal dari Soenda, apalagi Banten. Juga tidak ada pasukan berasal dari Minangkabau.


Sejauh ini tidak pernah ada pasukan Batak. Militaire Departmenent selama ini selalu menolak kehadiran pemuda Batak di dalam militer Pemerintah Hindia Belanda. Mengapa? Hal serupa juga pernah terjadi satu abad yang lalu ketika Residentie Tapanoeli dibentuk tahun 1840 para pemimpin local tidak diberikan jabatan sebagai bupati (regent), satu-satu di wilayah Hindia Belanda yang tidak memiliki bupati. Namun kini situasi berubah, yang jelas orang Batak baru diperbolehkan masuk militer (KNIL) pada tahun 1939 dimana hanya ada dua orang yang diterima di Akademi Militer di Bandoeng. Padahal orang Batak di pulau Jawa sendiri sudah banyak. Pada sensus penduduk 1920 orang Batak di Jawa sebanyak 868 jiwa. Kedua pemuda Batak tersebut adalah Abdoel Haris Nasoetion dan TB Simatoepang (yang masih menjalani Pendidikan militer di Bandoeng hingga tahun 1940 ini). Seperti kita lihat nanti, satu dasawarsa kemudian, sehari setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (hasil KMB yang diberlakukan 27 Desember 1949) Jenderal TB Simatoepang diangkat menjadi Panglima KASAP dan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion diangkat menjadi KASAD.

Pada tahun 1941 eskalasi perang semakin meningkat di Asia Timur, panasnya terasa di Asia Tenggara, termasuk di Hindia Belanda, lebih-lebih di Jawa (yang menjadi pusat kekuatan pertahanan Pemerintah Hindia Belanda dengan komando KNIL-nya). Pada awal bulan Desember 1941 invasi Jepang itu sudah menyentuh wilayah Hindia Belanda di Tarempa (Afdeeling Natoena Eilanden). Ini dapat dibaca sepucuk surat seorang perempuan, dokter yang bertugas di Tarempa (kepulauan Riau) yang ditujukan kepada ayahnya (Radjamin Nasoetion, anggota dewan senior Gemeenteraad Soerabaja yang juga anggota Volksraad) yang kemudian dimuat pada surat kabar Soeara Oemoem yang terbit di Surabaya yang lalu dikutip oleh koran berbahasa Belanda De Indische Courant tanggal 08-01-1942. Berikut isi surat tersebut.


Tandjong Pinang, 22-12-194l.

 

Dear all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio, Tarempa dibom. Kami masih hidup dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Anda tidak menyadari apa yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam hari kami tinggal di dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang harus kami makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan terluka tidak terhitung. Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang bisa kami amankan, telah kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa yang telah kami menabung berjuang dalam waktu empat tahun, dalam waktu setengah jam hilang. Tapi aku tidak berduka, ketika kami menyadari masih hidup.

 

Hari Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat aku mengepak koper dengan beberapa pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk mengambil banyak. Perjalanan menyusuri harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya diberi waktu lima menit, takut Jepang datang kembali. Mereka datang setiap hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit controller, karena pesawat Jepang bisa kembali setiap saat. Aku tidak melihat, tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat bahwa tidak ada yang tersisa di Tarempa.

 

Kami mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami merangkak. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak mabuk laut….. Di Tanjong Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi saya punya anak kecil. Dia tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram Kamis 14 Desember supaya menuju Tapanoeli...Saya memiliki Kakek dan bibi di sana…Sejauh ini, saya berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini mengerikan di sini. Semoga saya bisa melihat Anda lagi segera. Catatan: Penyerangan oleh Jepang dimulai dengan pengeboman di Filipina dan Malaya/Singapura. Pemboman oleh Jepang di Tarempa merupakan bagian dari pengeboman yang dilakukan di wilayah Singapura. Tarempa berada di kepulauan Natuna, Riau yang beribukota Tandjoeng Pinang, pulau Bintan (dekat dari Singapura).

Di Soerabaja menjadi heboh. Pasukan KNIL di Soerabaja hanya satu battalion (3de Bataljon Soerabaja) yang tidak akan kuat sendiri menghadapi pasukan Jepang di darat, sementara Soerabaja sendiri adalah kota besar yang menjadi salah satu sasaran pertama pasukan militer Jepang (laut, darat dan udara). Namun itu dapat diimbangi, karena pusat Angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda berada di Soerabaja (Tandjoeng Perak). Di wilayah Madoeran ada tiga pasukan (Barisan Bangkalan, Barisan Soemenep dan Barisan Pamekasan).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Invasi Jepang dan Desakan Rakyat Pro Kemerdekaan: Tangisan Orang Belanda vs Teriakan Rakyat Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar