Laman

Minggu, 25 Desember 2022

Sejarah Madura (58): Seputar Proklamasi Kemerdekaan di Pulau Madura; Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jakarta 17-08-1945


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini 

Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Djakarta 17 Agustus 1945 adalah satu titik waktu jika dibandingkan satu titik waktu lain di masa lampau ketika Radja Arosbaja berhasil mengusir pelaut ekspedisi Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tahun 1596. Itu sudah berlalu tiga setengah abad (349 tahun). Banyak yang telah terjadi pada rentang waktu itu. Tentulah sangat menarik diketahui situasi dan kondisi di Madura seputar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.


Madura dan Proklamasi Kemerdekaan RI; Sejarah dan Awal Kiprah. Media Center, Selasa (17/08/21) Tujuh puluh enam tahun silam, saat gema proklamasi Madura masih berstatus karesidenan. Sesuai hasil sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 19 Agustus 1945, Karesidenan Madura berada di provinsi Jawa Timur. Warga pribumi yang sebelumnya tergabung dalam PETA dan barisan KNIL segera melucuti pasukan Jepang. Inisiatif seperti mantan Chundaco Chandra Hassan dan kawan-kawannya menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan Merah Putih. Pawai pun sebagai show of force rakyat Madura digelar 25 Agustus 1945. Sebagai markas komando digunakan bekas gedung kamar bola di tengah-tengah Kota Pamekasan. Struktur pemerintahan Madura segera ditetapkan pemerintah pusat. Sebagai residen ditunjuk Raden Adipati Ario (RAA) Cakraningrat, yang sebelumnya merupakan Bupati Bangkalan sekaligus Wakil Residen Madura di masa pemerintahan Jepang. Lalu sebagai Bupati Bangkalan sejak Agustus 1945 itu, diangkat putra RAA Cakraningrat, yakni Raden Tumenggung Ario (RTA) Sis Cakraningrat. Sedang sebagai Bupati Pamekasan ditunjuk RTA Zainalfattah Notoadikusumo (Bupati Pamekasan), dan di Sumenep ditunjuk RTA Samadikun (Bupati Sumenep) (https://www.sumenepkab.go.id/)

Lantas bagaimana sejarah sputar proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Madura? Seperti disebut di atas, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Djakarta 17-08-1945 juga disambut di Madura. Bagaimana selanjutnya? Lalu bagaimana sejarah sputar proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Madura? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Seputar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Madura; Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Djakarta 17-08-1945

Kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang dicita-citakan sejak lama oleh seluruh bangsa Indonesia. Namun keinginan itu selalu dihalangi orang-orang Belanda dan Pemerintah Hindia Berlanda dengan dalih belum matang. Pada saat Negeri Belanda diduduki Jerman bulan Mei 1940 (dan keluarga kerajaan telah melarikan diri ke Inggris) orang Belanda di Hindia Belanda dan dimanapun berada masih menginginkan Indonesia berada tetap ingin menjadi koloninya. Bahkan detik-detik kedatangan invasi Jepang di Indonesia, keinginan itu masih sangat kuat.


Pada 15 Mei 1940, sehari setelah pengeboman Rotterdam, tentara Belanda menyerah. Pemerintah dan keluarga kerajaan Belanda melarikan diri dan mengasingkan diri ke Britania. Pada masa pendudukan Jerman, orang Belanda kehilangan harga diri di negeri sendiri. Di Indonesia pada masa pendudukan Jepang, orang Belanda tidak hanya kehilangan harga diri, tetatpi derajatnya jauh lebih rendah dari orang Indonesia karena mereka semua di kamp inteniran dan dijadikan kuli. Di Belanda kekurangan pangan, di Indonesia juga kekurangan pangan. Pada jelang berakhirnya perang (menyerahnya Jerman di Eropa dan menyerahnya Jepang di Asia), yang memiliki nasib yang sama, orang-orang belanda masih memiliki keinginan yang kuat menjadikan Indonesia sebagai koloninya. Dalam hal ini, sebenarnya dapat dikatakan Belanda dan orang Belanda tidak tahu diri alias rakus bagaimanapun situasi dan kondisinya.  

Saat menjelang berakhirnya invasi/pendudukan Jepang di Indonesia, orang Belanda dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok: orang Belanda di Belanda (Jerman masih berkuasa); orang Belanda di pengasingan seperti di Inggris (keluarga kerajaan) dan Australia (HJ van Mook cs); dan orang Belanda di Indonesia (di dalam kamp interniran). Lantas, siapa diantara tiga kelompok Belanda ini yang sangat ambisius menginginkan Indonesia kembali? Bukan yang di Indonesia. Mereka sangat trauma. Juga bukan yang di Belanda, tetapi yang berada di pengasingan terutama yang di Australia. Kelompok inilah yang terus mengkampanyekan pentingnya Hindia Timur (masih enggan menyebut Indonesia) dan menyoroti buruknya orang Jepang dan menderitanya orang Indonesia selama pendudukan Jepang. Merasa merakalah yang bisa membebaskan dan memakmurkan orang Indonesia. Fakta bahawa 350 tahun mereka mencengkram Indonesi. Hingga pada akhirnya dipaksa oleh militer Jepang. Dalam hal ini, orang Belanda, tentu saja Jepang, siapun yang menjajah, bersifat hipokrit. Sudah susah (diusir Jerman dan dinternir Jepang) masih ingin berkuasa dan menguasai. Orang Belanda memiliki kecenderungan beretorika.  


De opdracht: tijdschrift gewijd aan het nieuwe Indie, 22-06-1945: ‘Kemakmuran Jepang.

Situasi makanan sangat menyedihkan. Jepang mengklaim peningkatan, padahal sebaliknya bervariasi antara 1/3 dan 3/4 dari tanaman padi, jagung dan kedelai dimana panen bahan makanan ini telah sangat berkurang, karena orang Jepang membiarkan sebagian besar tanah yang paling subur digunakan untuk penanaman paksa kapas (70.000 Ha) dan djarak. Panen ganda atau tiga kali lipat pada lahan yang cocok, yang pada waktu normal sudah dibutuhkan untuk nutrisi penduduk yang tepat, tidak mungkin karena kekurangan tenaga kerja. Ternak, yang sangat diperlukan untuk budidaya sawah, telah dihancurkan oleh penyembelihan sembarangan dan oleh konsumsi dan pengawetan daging untuk angkatan bersenjata Jepang di Asia. Kelangkaan beras, makanan pokok, sangat parah karena alasan ini seperti di Madura beras dijual di pasar gelap seharga 2,45 gulden per kilogram, jumlah yang tidak terjangkau oleh orang desa biasa. Buruh paksa yang dibebaskan dari Madura juga mengatakan bahwa orang-orang disana mati kelaparan di pinggir jalan. Melalui informasi yang didapat secara langsung, diketahui bahwa pihak Jepang menyarankan untuk hidup dari tikus, hewan yang banyak dibenci di Hindia sebagai penyebar wabah. Orang Jepang bahkan telah mendirikan dapur percontohan, dimana penduduk diperlihatkan cara menyiapkan tikus. Orang Jepang telah melarang semua perdagangan bahan makanan, termasuk barang-barang seperti minyak kelapa, tikar, garam dan kayu. Perdagangan tembakau telah menjadi monopoli pemerintah Jepang. Jawa dibagi oleh mereka menjadi sekitar delapan puluh distrik yang benar-benar terpisah satu sama lain, memungkinkan mereka membeli secara menguntungkan di pusat-pusat produksi dan menjual apa yang mereka beli dengan harga sepuluh kali lipat di distrik lain. Juga ikan laut adalah monopoli Jepang. Hasil tambak ikan air asin seluas 80.000 hektar di Soerabaia saja, diperuntukkan khusus untuk angkatan bersenjata Jepang dan warga sipil Jepang. Harga yang sangat rendah untuk itu dibayar dengan uang kertas yang tidak berharga. Kebutuhan akan hampir semua alat produksi, seperti layar, kapas untuk membuat jaring, kail, perkakas, paku, serta perusakan dan perampokan sebagian besar armada penangkap ikan pribumi, membuat situasi ini semakin genting. Pakaian benar-benar dihancurkan--sehingga perempuan harus menutupi diri mereka dengan kain yang terbuat dari kulit pohon. Di banyak tempat perempuan harus tinggal di rumah dan anak-anak tidak bisa bersekolah karena kekurangan pakaian. Untuk alasan yang sama, laki-laki tidak boleh pergi ke masjid, karena hukum Islam melarang memasuki masjid tanpa berpakaian yang pantas. Di banyak kantor pemerintah, pejabat Indonesia hanya mengenakan celana pendek dan tidak ada yang lain—dan celana itu terbuat dari karung gula tua’.        

Sebaliknya, orang Indonesia yang sudah lama berada di bawah bayang-bayang Belanda ingin terbebas, merdeka dan mengurus diri sendiri. Ingin orang Belanda terentaskan dari Indonesia. Sebagian orang Indonesia daripada di bawah ketiak penjajah lebih baik mati. Semboyan merdeka atau mati sudah lama muncul terutama di kalangan kaum revolusioner. Semangat revoluioner ini meski disadari orang Belanda, tetapi bagi orang Belanda kehilangan Indonesia yang kaya akan sumberdaya, sama dengan kehilangan Belanda sendiri.


Orang Belanda sendiri sudah sejak lama terbelah, orang Belanda di Belanda (Belanda totok) menganggap orang Belanda di Hindia (orang Indo) adalah orang Belanda kelas dua (masih ada perasaan rasis). Oleh karena itu orang Belanda di luar Belanda, terutama di pengasingan di Australia sebenarnya sudah kehilangan Belanda, Kembali ke Belanda (Vaderland) hanya dianggap warga kelas dua. Kelompok HJ van Mook inilah yang menginginkan Indonesia (tidak ingin sepenuhnya berbagi tempat dengan orang Indonesia, tetapi sebaliknya mengharapkan kehadiran/perlindungan Vaderland).  

Semangat revoluisoner Indonesia sudah dipahami oleh orang-orang Belanda. Kembali ke Indonesia memiliki resiko besar.  Oleh karenanya orang-orang Belanda yang berambisi ke Indonesia memiliki pandangan sendiri tentang semangat hidup atau mati para kaum revolusioner orang Indonesia. Seperti kita lihat nanti, takluknya Jepang, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, orang-orang Belanda datang dengan risiko: pertarungan Hidup or Mati diantara dua bangsa.


Nijmeegsch dagblad, 11-07-1945: ‘Pembebasan Hindia Belanda. Kolonel MH du Croo memberikan gambaran tentang situasi kekejaman Jepang di Timur kita Kemungkinan bagi sukarelawan perang dan orang-orang NICA. Gambaran masa depan wilayah luar negeri kita. Dalam kuliah yang sangat menarik, Kolonel M.H. du Croo, Sabtu malam ruang dikemas penuh dengan orang-orang yang tertarik di Belanda di Gedung asosiasi di Velp. Ceramah yang bertemakan Hindia Timur yang saat ini menjadi pusat perhatian disampaikan oleh Koninklijke Vereenigingen Oost en West en Onze Vloot divisi Arnhem. Dalam pidato pembukaannya, Komandan Bronbeek, Ketua Koninklijke Vereenigingen Oost en West Letnan Jenderal, tit. KNIL CA Rijnders menyambut dan bercerita tentang suatu pulau dimana semua anggota dan pihak berkepentingan lainnya dan akhirnya menaklukkan pulau itu. Enam pembela heroik yang tersisa berhasil melarikan diri dengan kapal kecil, lalu memperkenalkan pembicara, Kolonel MH du Croo kepada mereka yang hadir. Kolonel kemudian naik ke podium dan menguraikan secara garis besar pertumbuhan luar biasa yang telah terjadi di wilayah seberang laut kita sejak pergantian abad. Dia ingat bagaimana jenderal besar Heutsz membuka wilayah luar, bagaimana Hindia menjadi satu di bawah kepemimpinannya yang teruji dan tidak lagi membentuk konglomerasi pulau. Pertumbuhan juga terjadi di bidang ekonomi khususnya. Hindia menjadi negara ekspor tidak seperti yang lain di dunia. Dalam perjalanan waktu pendidikan tumbuh menjadi lembaga yang sangat penting dan mengambil bentuk yang luas. Pembicara menyebutkan beberapa angka, seperti 20.000 sekolah, dua juta anak, 40.000 guru Indonesia dan 50.000 guru Belanda. Selain itu, undang-undang sosial, larangan riba, pengawasan tenaga kerja, dinas keamanan, dll. Pada tahun 1929 krisis besar juga melanda Hindia, tetapi untungnya negara berhasil mengatasinya sendiri dan pada tahun 1936 kondisi normal kembali secara bertahap. Ekspansi populasi Indonesia besar-besaran terjadi dan unsur-unsur yang tidak berpendidikan politik muncul. Akan tetapi, sebagian besar pejabat Indonesia memihak Belanda ketika Jepang menginvasi wilayah Hindia Belanda. Baru pada bulan April 1945 Australia dapat menggambarkan keadaan Hindia Belanda pada masa pendudukan Jepang. Disimpulkan bahwa situasi di bagian yang belum dibebaskan setidaknya sama buruknya dengan yang kita alami disini di tanah air. Masalah yang sangat besar adalah persediaan makanan. 1/5 sampai 1/4 bagian dari hasil panen diperuntukkan bagi tentara pendudukan Jepang. Selain itu, otoritas tentara Jepang mengklaim hampir semua tanah subur  terutama tanah kapas. Diperkirakan hampir satu juta pemuda Indonesia dibawa sebagai budak. Kelaparan melanda Madura dan satu kilogram dalam daftar harga, misalnya, dihargai 65 poundsterling. Dalam hal penganiayaan, Jepang berkali-kali mengalahkan Jerman. Seluruh desa dan pulau dibantai dan para korban sering dipenggal, termasuk tiga belas penguasa (pangeran) pemerintahan sendiri yang diduga bersimpati dengan Belanda. Para ulama juga menjadi korban kekejaman dan kesewenang-wenangan Jepang. Ada juga kekurangan pakaian. Para wanita bahkan dipaksa untuk membungkus diri dengan kulit pohon. Selama pendudukan, Jepang telah merendahkan pria dan wanita Barat ke kehidupan kuli yang paling rendah. Untungnya, ada juga kabar gembira dan aksi heroik dari seluruh pelosok nusantara. Misalnya, seorang kepala suku Madura menolak bekerja sama dengan Jepang dan dipenggal kepalanya. Putranya menggantikannya, juga menolak dan juga dipenggal. Orang Papua di New Guinea berjuang berdampingan dengan kita. Sebuah pulau kecil, ditempati oleh selusin orang Belanda pemberani, dibentengi dengan baik, berhasil menghalau serangan oleh 700 orang Jepang, yang setelah kekalahan besar ini menahan diri dari operasi lebih lanjut, kemudian kembali dan menyerang lagi. Lagi-lagi dengan kekalahan besar, mereka kemudian berhasil mendapatkan pijakan, setengah garnisun kita jatuh. Lalu kita menyerah. Berbicara tentang kemungkinan pendaftaran, baik untuk militer maupun sipil, sang kolonel menyebutkan tiga kemungkinan untuk militer, yaitu: a.korps marinir, yang akan dilengkapi dengan cara paling modern, menerima pelatihan di Amerika dan menawarkan kemungkinan untuk bekerja dari rumah untuk dilatih sebagai petugas; b. pasukan ekspedisi, yang unit tempurnya dapat ditempatkan dimana saja di dunia, menerima pelatihan di Inggris dan juga menawarkan kesempatan untuk dilatih sebagai perwira; c. batalyon otoritas, dimana seseorang diangkut ke Australia melalui Inggris, menerima pelatihan disana, kemudian mulai sebagai tentara dan diberi kesempatan untuk menjadi perwira jika terbukti cocok. Kategori terakhir juga menawarkan peluang terbaik untuk ditempatkan di Hindia sendiri. Banyak yang melaporkan secara spontan dan dengan sangat antusias…’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Djakarta 17-08-1945: Apakah Ada Proklamasi Berikutnya di Madura?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar