Laman

Jumat, 17 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (23): Pers Semasa Perang Kemerdekaan Indonesia; Jogjakarta, Soerakarta, Padang Sidempoean, Bukittinggi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

‘Berdirinya organisasi PWI menjadi awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia’. Pernyataan ini tidak tepat. Awal perjuangan (orang) Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia sudah dimulai sejak lama sejak era Pemerintah Hindia Belanda dengan mengusung nama Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah puncak perjuangan (bangsa) Indonesia. Berdirinya organisasi PWI bukan awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) organisasi wartawan pertama di Indonesia, berdiri 9 Februari 1946 di Surakarta (tanggal tersebut ditetapkan sejak 1985, sebagai Hari Pers Nasional). Berdirinya organisasi PWI menjadi awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia. Sebelum didirikan, panitia persiapan dibentuk 9-10 Februari 1946 di balai pertemuan Sono Suko, Surakarta, saat pertemuan antar wartawan Indonesia. Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan, diantaranya adalah: Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang diketuai oleh Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan: Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakyat Jakarta), BM Diah (Merdeka, Jakarta). Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta). Ronggodanukusumo (Suara Rakyat, Mojokerto). Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya). Bambang Suprapto (Penghela Rakyat, Magelang). Sudjono (Surat Kabar Berjuang, Malang), Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakyat Yogyakarta). Delapan orang komisi yang telah dibentuk tersebut selanjutnya dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo, merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional
(Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah pers Indonesia semasa perang kemerdekaan? Seperti disebut di atas, pers semasa perang kemerdekaan Indonesia adalah pers Indonesia yang mengambil bagian dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apakah dalam hal ini ada pers Indonesia yang mengambil sikap sebaliknya? Ada, pers Indonesia yang mendukung kerjasama dengan (kerajaan) Belanda. Pers Indonesia ini terdapat di berbagai tempat seperti di Djakarta, Medan, Jogjakarta, Soerakarta, Sibolga dan Bukittinggi. Lalu bagaimana sejarah pers Indonesia semasa perang kemerdekaan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pers Indonesia Semasa Perang Kemerdekaan; Jogjakarta, Soerakarta, Padang Sidempoean, Bukittinggi

Sejak pendudukan Jepang di Indonesia, pers (berbahasa) Belanda tamat. Tidak ada satu pun yang tersisa dari puluhan yang ada tersebar di berbagai kota. Per berbahasa Melayu/Indonesia sejak era Pemerintah Hindia Belanda, segera pula diarahkan pemerintahan militer Jepang. Satu yang terpenting dari pers Indonesia ini sepenuhnya diberi kebebasan, kebebasan yang sesuai dengan kepentingan (negara) Jepang sendiri. Namun dalam perkembangannya, pers Indonesia semakin meredup. Mengapa?


Sejak pendudukan Jepang, sudah lama tidak ada surat kabar dari pers (berbahasa) Belanda di Indonesia. Tidak hanya itu, akses jurnalis asing, dalam hal ini jurnalis Eropa/Belanda tidak ada yang memiliki akses ke Indonesia. Surat kabar Belanda di Eropa, hanya mendasarkan sumber tentang Indonesia dari mulut ke mulut (melalui pertukaran sura tantara orang-orang Indonesia di Belanda dan di Indonesia. Pada akhir pendudukan Jepang, menjelang kemerdekaan Indonesia, mulai muncul surat kabar berbahasa Belanda di Belanda yang mengkhususkan soal di Indonesia. Kemunculan surat kabar ini boleh jadi karena alasan kerinduan ke Indonesia. Sebagaimana diketahui di Indonesia selama pendudukan Jepang cukup banyak orang Eropa/Belanda yang berada di kamp interniran di berbagai kota. Para mahasiswa Indonesia di Belanda, juga menerbitkan majalah Indonesia di bawah pengelolaan organisasi mahasiswa Perhimpoenan Indonesia di Belanda.

Dalam situasi dan kondisi pers di Indonesia melesu, boleh jadi daya beli masuarakat melemah karena situasi ekonomi yang parah, pers Indonesia di bawah kendali militer Jepang masih tumbuh pesat melalui radio. Radio-radio dimana para redaktur dan penyiarnya orang Indonesia. Radio menjadi katup pengaman dari pers Indonesia ketika industry pers cetakan melemah. Situasi internasional yang terus memburuk, karena Perang Dunia, yang juga sangat parah di Asia, akhirnya kabar takluknya Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945.


Pada saat pidato penyataan takluk Jepang kepada Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat yang disampaikan oleh Kaisar Hirohito melalui radio dapat dipantau di Indonesia. Tidak melalui radio penduduk. Sebab jam-jam seputar pidato Kaisar listrik yang berada di bawah kendali militer dimatikan dalam beberapa jam. Namun kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan Tandjoeng Priok masih dapat memantai situasi dan kondisi internasional. Kabar yang diperoleh dari radio-radio kapal tersebut yang kemudian beredar cepat ke darat hingga berbagai tempat di Djakarta. Para pemuda revolusioner antara lain Adam Malik, Chairoel Saleh dkk segera mengambil langkah strategis untuk merumuskan tindakan yang dapat dilakukan segera. Akhirnya para pemuda berhasil meyakinkan para pemimpin Indonesia sehingga proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10 pagi di Pegangsaan Timur (area pemukiman para republiken seperti Soekarno, Amir Sjarifoeddin Harahap dan Ali Sastroamidjojo. Radio Djakarta yang pengamanannya sangat ketat, teks proklmasi untuk disiarkan menemukan jalan melalui radio Malabar Bandoeng dimana salah satu penyiarnya adalah Sakti Alamsjah Siregar. Adam Malik meminta Mochtar Lubis membawa sendiri Salinan teks itu kepada Sakti Alamsjah, yang kemudian disiarkan pada pukul 19 malam yang dibacakan sendiri Sakti Alamsjah Sieragr. Kabar kemerdekaan Indonesia ini kemudian dapat ditangkap di radio Jogjakarta dan radio di Australia. Catatan: Belanda sendiri di Eropa baru bulan Mei 1945 terbebas dari pendudukan Jerman. Catatan: Pada tanggal 23 Agustus setelah PPKI selesai bersidang untuk menentukan Presiden dan Wakil, Dasar Negara dan UUD.

Bagaimana dengan pers Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia? Yang jelas tidak ada pers Eropa/Belanda di Indonesia. Pers Jepang juga tidak ada, pers Jepang hanya melalui pers Indonesia, terutama dalam siaran-siaran radio. Mesin-mesin cetak yang telah lama tidak digunakan sudah berkarat dan kurang berfungsi lagi. Lagi pula pasokan kertas (koran) berada di bawah kendali militer Jepang. Yang paling buruk masyarakat tidak memiliki daya beli yang cukup untuk membeli koran. Semua serba gamang saat kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan tanggal 17 Agustue 1945.


Sementara pasukan Sekutu/Inggris terus bernegosiasi dengan pemimpin republic dan para pemimpin Indonesia terus mengkonsolidasikan dan mengorganisasikan pembentukan pemerintah pada berbagai level, para revolusioner mulai menemukan jalan untuk menerbitkan surat kabar. Misi Sekutu/Inggris sendiri untuk memasuki wilayah daratan Indonesia, terutama unruk pelucutan senjata dan evakuasi militer Jepang dan pembebasan para interniran Eropa/Belanda. Para pemuda dan lascar-laskar yang terbentuk mulai coba mendapatkan senjata dari militer Jepang, tetap sulit dilakukan karena komanda tertinggi militer Jepang di Asia Tenggara meminta para militernya di berbagai tempat untuk wait en see hingga pasukan Sekutu/Inggris melucutinya. Akibatnya di sejumlah tempat tertentu terjadi pertengkaran dan keributan antara para pemuda/lascar dengan militer Jepang dan ada pertempuran yang tidak terhindarkan. Dalam perkembangannya di belakang Sekutu/Inggris bergerak maju orang-orang Belanda yang tergabung dalam NICA. Mereka ini menempati area yang sudah dibebaskan dan disteril pasukan Sekutu/Inggris. Jurnalis asing juga mulai mengalir terutama ke Batavia seperti dari UP dan ANP di Amerika Serikatc dan Aneta di Belanda/Australia.

Akhirnya surat kabar Indonesia mulai terdeteksi. Keberadaan surat kabar Merdeka di Djakarta paling tidak sudah diberitakan pada awal Oktober 1945 (lihat Amsterdamsch dagblad, 04-10-1945). Disebutkan menurut kantor berita UP, surat kabar Indonesia "Merdeka", dengan kewaspadaan pasukan Inggris dan barisan pengawal/polisi Indonesia yang setia kepada "republik" baru, telah menangkap seorang pemuda Belanda di Batavia. Pada tanggal 15 Oktober koresponden ANP Robert Kiek melaporkan kejadian di Depok yang mengikuti satu detasemen Inggris dari Batavia ke Buitenzorg via Depok (lihat Telex, 16-10-1945). Beberapa hari sebelumnya terjadi tragedi berdarah di Depok.


Tidak diketahui secara pasti kapan surat kabar Merdeka edisi pertama terbit. Namun yang jelas para jurnalis asing sudah berdatangan di Batavia, tetapi masih terbatas di area dimana pasukan Sekutu/Inggrsi dapat mengontrolnya. Ada juga jurnalis yang berada diantara pasukan mengikuti pergerakan pasukan. Satu-satunya radio yang aktif menyiarkan berita-berita adalah radio Bandoeng, suatu radio yang kini sepenuhnya dikendalikan orang Indonesia dari para pendukung Soekarno. Radio Bandoeng ini juga menjadi sumber sekunder nbagi jurnalis asing yang berada di Batavia.

Surat kabar Indonesia "Merdeka" seperti kita lihat nanti didirikan oleh BM Diah. Surat kabar Merdeka dapat dikatakan surat kabar yang muncul pertama. Namanya Merdeka sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia (Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945). Radio Bandoeng dan surat kabar Merdeka di Djakarta menjadi penting bagi jurnalis asing, meski bersifat sekunder, tetapi sangat penting mendapatkan berita dari sisi Republik (cover both side).


Sementara surat kabar Merdeka menjadi salah satu sumber rujukan jurnalis asing (khususnya para reporter kantor berita), seiring dengan semakin menguatnya Belanda/NICA di Batavia/Djakarta, dan semakin banyak para interniran yang terbebaskan plus orang-orang Belanda yang berdatangan dari Australia, dalam perkembangannya kemudian muncul surat kabar berbahasa Belanda, Het Daghblad yang diterbitkan di Batavia. Surat kabar berbahasa Belanda, ini terbit di Batavia sejak tanggal 23-10-1945. Seperti halnya surat kabar Merdeka, surat kabar Het Daghblad ini juga sangat intens memberitakan berbagai kejadian. Surat kabar Het Daghblad ini kantor aministrasi di Jalan Koningsplein West 9 (kini area RRI) dan kantor redaksi di jalan Patjenongan 72.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Jogjakarta, Soerakarta, Padang Sidempoean, Bukittinggi: Pers yang Benar-Benar Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar