Laman

Kamis, 16 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (22):Saat Berakhir Pers Belanda, Pers Indonesia di Pendudukan Jepang; The King of Java Press - Para Junior


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Ada satu fase pers di Indonesia yang terbilang samar-samar, eksis tetapi tidak terinformasikan sepenuhnya, terjadi pada masa pendudukan Jepang. Hal yang sama juga terjadi pada era semasa ketika (negeri) Belanda diduduki Jerman. Pers Indonesia pada masa pendudukan Jepang, tidak dapat dikatakan terkontrol, tetapi lebih tepat disebut diarahkan, Para jurnalis di Indonesia pada masa pendudukan Jepang, bukanlah jurnalis Jepang, tetapi para jurnalis Indonesia sendiri. Sejumlah jurnalis terpenting pada masa pendudukan Jepang, derik-detik berakhir Pers Belanda adalah Parada Harahap, Adinegoro, Adam Malik, Sakti Alamsjah, Mochtar Lubis dan BM Diah.


Perkembangan pers di era pendudukan Jepang & revolusi fisik. Selasa, 21 Juni 2016. Merdeka.com - Wartawan adalah seseorang yang bekerja untuk pers. Pers adalah sebuah media yang ditujukan kepada orang umum. Pers ini mengalami perkembangan dari masa ke masa, mulai dari masa penjajahan Jepang sampai sekarang. Di masa pendudukan Jepang, pers ini cuma digunakan buat alat pemerintah Jepang dan dibuat untuk mendukung Jepang. Pers mengalami banyak sekali penderitaan dan pengekangan kebebasan yang lebih buruk daripada di jaman Belanda. Namun, ada beberapa keuntungan bagi perkembangan pers Indonesia yang bekerja di penerbitan Jepang, yaitu: (1) Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers semakin bertambah (2) Penggunaan Bahasa Indonesia dalam media pers makin sering dan luas (3) Ada pengajaran untuk rakyat supaya bisa berpikir kritis terhadap berita yang diberikan oleh sumber resmi dari Jepang. Sedangkan di jaman periode revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945 sampai 1949, pers ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu: (1) Pers NICA, yaitu pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh sekutu dan Belanda yang dinamakan sebagai Belanda. (2) Pers Republik, yaitu pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia sendiri. Sesuai dengan fungsi, naluri dan tradisinya, pers sudah seharusnya menjadi penjaga kepentingan publik atau lebih kita kenal dengan public watch dog. Untuk bisa mengatasi masalah pers, pemerintah membentuk Dewan Pers di tanggal 17 Maret 1950, yang anggotanya terdiri dari orang-orang surat kabar, cendikiawan, dan pejabat-pejabat pemerintah
(https://www.merdeka.com/)

Lantas bagaimana sejarah detik berakhir pers Belanda, pers Indonesia masa pendudukan Jepang? Seperti disebut di atas, pers (berbahasa) Belanda tamat pada masa pendudukan Jepang, pers Indonesia berada di atas angin. Siapa mereka? The King of Java Press di Jawa dan para junior. Lalu bagaimana sejarah detik berakhir pers Belanda, pers Indonesia masa pendudukan Jepang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Detik Berakhir Pers Belanda, Pers Indonesia Masa Pendudukan Jepang; The King of Java Press di Jawa dan Para Junior

Setelah orang Belanda di Indonesia sejak 350 tahun yang lalu (sejak 1595), tiba waktu harus berakhir. Demikian juga sejak adanya pers (berbahasa) Belanda di Indonesia sejak era VOC (sejak 1744) tiba pula gurlirannya diisi oleh pers Indoenesia. Pers Belanda di Indonesia tengah berada di detik-detik berakhir. Tragis bagi orang Belanda, menangis bagi rakyat Indonesia karena bersyukur penjajahan akan berakhir pula. Tanda-tanda berakhirnya pers Belanda di Indonesia diinformasikan oleh putri Radjamin Nasoetion dari Tandjoeng Pinang dimana ayahnya di Soerabaya yang kemudian dimuat pada surat kabar Soeara Oemoem yang terbit di Soerabaja.


Tandjong Pinang, 22-12-194l.

 

Dear all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio Tarempa dibom. Kami masih hidup dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Anda tidak menyadari apa yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam hari kami tinggal di dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang harus kami makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan terluka tidak terhitung. Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang bisa kami amankan, telah kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa yang telah kami menabung berjuang dalam waktu empat tahun, dalam waktu setengah jam hilang. Tapi aku tidak berduka, ketika kami menyadari masih hidup. 


Hari Kamis, tempat kami dievakuasi…cepat-cepat aku mengepak koper dengan beberapa pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk mengambil banyak. Perjalanan menyusuri harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya diberi waktu lima menit, takut Jepang datang kembali. Mereka datang setiap hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit controller, karena pesawat Jepang bisa kembali setiap saat. Aku tidak melihat, tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat bahwa tidak ada yang tersisa di Tarempa. 


Kami mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami merangkak. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak mabuk laut...Di Tanjong Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi saya punya anak kecil. Dia tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram Kamis 14 Desember supaya menuju Tapanoeli...Saya memiliki Kakek dan bibi di sana…Sejauh ini, saya berharap kita bisa bertemu...Selamat bertemu. Ini mengerikan di sini. Semoga saya bisa melihat Anda lagi segera.

Radjamin Nasoetion adalah anggota dewan (gemeenteraad) yang paling senior (wethouder) di Soerabaja. Surat yang diterima di Soerabaja yang dimuat Soeara Oemoem kemudian dilansir surat kabar berbahasa Belanda, Indische Courant, 08-01-1942. Putri dan menantu Radjamin Nasoetion, Dr Amir Hoesin Siagian tengah bertugas di Tarempa, kepulauan Natoena, Riaouw. Serangan dari Angkatan udara yang menjatuhkan bom di Tarempa pada tanggal 20 Desember diduga salah alamat karena target Jepang adalah Singapoera dan Semenanjung Malaya (wilayah otoritas Inggris) yang diduga para pilot mengira Tarempa masuk wilayah Singapoera/Malaya. Berita dari Tanjung Pinang ini yang jelas telah menginformasikan invasi militer Jepang ke Indonesia (baca: Pemerintah Hindia Belanda) sudah berada di depan pintu. Hanya meninggal waktu.


Surat kabar berbahasa Belanda, Indische Courant terbit di Soerbaja. Surat kabar harian ini kali pertama terbit tahun 1921. Sementara itu, surat kabar Soeara Oemoe didirikan pada awalnya ketika menjelang diadakannnya Kongres PPPKI bulan September dan Kongres Pemuda bulan Oktober 1928, Parada Harahap pemimpin surat kabar Bintang Timoer di Batavia menerbitkan Bintang Timoer edisi Semarang untuk sirkulasi di Midden Java dan Bintang Timoer edisi Soerabaja untuk sirkulasi di Oost Java. Parada Harahap adalah salah satu inisiator pendieikan federasi organisasi kebangsaan (PPPKI) yang kemudian menjadi kepala secretariat (kantor) PPPKI di Gang Kenari, Batavia. Surat kabar Bintang Timoer saat itu dianggap menjadi organ PPPKI. Surat kabar Bintang Timoer didirikan Parada Harahap di Batavia tahun 1926 (sebagai suksesi dari Bintang Hindia, sejak 1922). Pada tahun berikutnya, Bintang Timoer edisi Soerabaja inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Soeara Oemoem. Sementara itu, Dr Soetomo yang menjadi ketua panitian Kongres PPPKI 1928 di Batavia memiliki teman dekat semasa kuliah di STOVIA pada tahun-tahun awal (1905), Radjamin Nasoetion. Pada tahun 1929 Radjamin Nasoetion yang menjadi pejabat pribumi di kantor bea dan cukai Batavia dipindahkan ke Soerabaja. Lalu di Tandjoeng Perak, Radjamin Nasoetion dkk mendirikan organisasi para pekerja pelabuhan dan organisasi sepakbola antar perusahaan. Pada tahun 1930 Dr Soetomo, kepala rumah sakit kota, Radjamin Nasoetion dkk mendirikan organisasi kebangsaan (Partai Bangsa Indonesia) di Soerabaja, yang mana dalam pemilihan anggota dewan kota (gemeenteraad), Radjamin Nasoetion terpilih dengan bendera Partai bangsa Indonesia (PBI). Pada tahun 1941 saat berita disiarkan Soeara Oemoem, Dr Soetomo telah tiada (meninggal tahun 1938). Boleh dikatakan menjelang detik berakhir Belanda di Soerabaja, Radjamin Nasoetion dapat dikatakan sebagai pemilik portofolio tertinggi.

Sejak berita serangan militer Jepang di Tarempa, orang-orang Belanda di Indonesia menjadi sangat panik. Orang-orang Indonesia tampaknya biasa-biasa saja. Pejabat pemerintah di berbagai tempat termasuk di Batavia dan Soerabaja dengan aktif membujuk orang-orang Indonesia untuk menggalang persatuan dalam membentuk kekuatan untuk menghadapi akan kehadiran militer Jepang. Orang Eropa/Belanda di Indonesia memiliki masalah sendiri dengan Jepang, sebaliknya orang Indonesia tidak bermasalah, malah dianggap sebagai sahabat, yang akan membantu orang Indonesia untuk mengentaskan orang Belanda dari Indonesia. Persahabatan itu sudah dimulai sejak lama dan puncaknya sejak 1933.


Pada tahun 1933 perjuangan orang Indonesia (para revolusioner) sudah ke ubun-ubun kepala orang Jepang. Akibatnya, semua pers Indonesia, surat kabar dan majalah yang revolusioner dibreidel, termasuk surat kabar Bintang Timoer di Batavia dan Soeara Oemoem di Soerabaja. Tidak lama kemudian, Ir Soekarno ditangkap lagi, karena melancarkan hasutan. Desas-desus bahwa Ir Soekarno, tidak lagi dipenjara berlama-lama tetapi akan diasingkan, Parada Harahap marah besar dan kemudian memimpin tujuh revolusioner Indonesia berangkat ke Jepang. Dalam rombongan tujuh ini termasuk Abdoellah Loebis, pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan, Panangian Harahap, redaktur Bintang Timoer di Batavia. Dr. Sjamsi Widagda guru di Bandoeng (Ph.D dalam bidang perdagangan) dan Drs Mohamad Hatta, sarjana ekonomi yang baru lulus dan belum lama tiba di tanah air. Mereka berangkat pada tanggal 7 November 1933 dengan menumpang kapal Panama Maru. Di Jepang, Parada Harahap digelar oleh pers Jepang sebagai The King of Java Press. Setelah semua urusan selesai di Jepang, rombongan kembali ke tanah air dan mendarat di pelabuhan Tandjoeng Perak, Soerabaja yang disambut oleh Dr Soetomo dan Radjamin Nasoetion.

Singkat kata, hubungan dekat antara para pemimpin (revolusioner) Indonesia dengan para pejabat Jepang dan para konsulat Jepang di Hindia Belanda sudah terbentuk dan semakin intens. Selama periode 1934 hingga 1941 intensitas kehadiran para jurnalis Jepang ke Indonesia semakin meningkat. Demikian juga para intelejen Jepang terus mengalir. Ada juga diantara orang Jepang (apakah jurnalis dan intelijen yang dideportasi oleh Pemerintah Hindia Belanda). Satu yang pasti kerjasama Jepang dan Indonesia terus terjaga (bahkan ada indikasi ada sejumlah surat kabar Indonesia mendapat subsidi dari Jepang melalui channel tertentu seperti dari konsulat Jepang). Oleh karena itu kehadiran Jepang di Indonesia sudah diketahui lebih awal oleh para pemimpin Indonesia. Ketika orang-orang Belanda panik mendengar militer Jepang telah membom Tarempa, orang-orang Indonesia boleh jadi tersenyum dalam hati. Tentu saja Radjamin Nasoetion kegembiraannya berlipat atas adanya surat dari putrinya, bahwa mereka sehat-sehat saja dan tengah perjalnan evakuasi ke kampong halaman di Tapanuli, dan kegembiraan itu menjadi nyata yang akhirnya Jepang akan segera membebaskan Indonesia.


Pers Indonesia sudah beberapa tahun terakhir sangat bersemangat memberitakan peristiwa-peristiwa di Asia dan juga Jepang. Sebaliknya, pers Belanda sejak militer Jepang sudah diambang batas, mulai intens memberitakan dan mengkampanyekan perlunya solidaritas diantara orang Belanda, Cina dan pribumi. Berita-berita kekejaman militer Jepang di Tiongkok diumbar setiap hari. Dalam konteks inilah mulai terasa ada perbedaan perhatian antara orang-orang Cina dengan orang-orang pribumi terhadap akan kehadiran Jepang. Sebagaimana diketahui militer Jepang sudah beberapa waktu sebelumnya telah menginvasi Cina di Mansuria. Solidaritas orang Cina terhadap orang Cina di Tiongkok menjadi kuat dan sebaliknya menaruh kebencian terhadap Jepang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

The King of Java Press di Jawa dan Para Junior: Parada Harahap di Jawa dan Adinegoro di Sumatra

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar