Laman

Selasa, 07 Maret 2023

Sejarah Malang (27): Islam Masjid Tertua di Wilayah Malang; Hindoe Boedha Kerajaan Singasari hingga Era Kerajaan Islam Demak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini

Di wilayah Malang sudah sejak lama penduduknya memiliki kepecayaan Hindoe Boedha. Paling tidak hal itu dapat diperhatikan eksisrtensi kerajaan Singosari yang rajanya yang terkenal Kertanegara. Apa yang menjadi kepercayaan masyarakat juga tidak banyak berubah pada era pemerintahan Kerajaan Madjapahit. Situasi dan kondisi yang berubah diduga bermula dengan kerajaan (Islam) Demak yang memperluas pengaruhnya di wilayah (kerajaan) Majapahit, termasuk di wilayah Malang.


Melihat Masjid Bungkuk, Masjid Tertua di Malang yang Didirikan oleh Laskar Diponegoro. Kompas.com 20/04/2022. Masjid Bungkuk di kelurahan Pagentan, kecamatan Singosari, merupakan masjid tertua di kabupaten Malang. Masjid itu simbol penyebaran agama Islam, didirikan Kiai Hamimuddin atau Mbah Bungkuk, salah satu Laskar Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa yang singgah di kawasan Singosari. Kala itu Pangeran Diponegoro berpesan bagi laskar-laskarnya agar menyebarkan agama Islam di manapun berada. Pesan itu benar dilaksanakan oleh Kiai Hamimuddin di Malang ini," kata KH Moensif Nachrowi, cicit dari Kiai Hamimuddin. Awalnya, membangun mushala berupa gubuk di tengah hutan, lalu mushala itu menjadi Masjid Bungkuk seperti yang saat ini. Kehadiran Mbah Bungkuk dan mushalanya menjadi perbincangan warga mayoritas beragama Hindu. Warga memperbincangkan tentang rukuk dan sujud kemudian masjid dan area sekitar disebut sebagai kawasan Bungkuk," tuturnya. Seiring perkembangan waktu, santri yang ingin mendalami ajaran agama Islam berdatangan ke Mbah Bungkuk, mushala gubuk direnovasi menjadi bangunan semi permanen, dengan empat pilar kayu penyangga atap masjid, masih utuh sampai sekarang. Santri yang ingin belajar kepada Mbah Bungkuk semakin banyak, akhirnya membangun gubuk-gubuk sebagai tempat santri bermukim, yang kemudian menjadi pondok pesantren dengan nama Miftahul Falah, yang terus aktif sampai sekarang. Pondok Pesantren itu disebut-sebut juga sebagai pondok pesantren tertua di Malang. Kiai Hamimuddin alias Mbah Bungkuk wafat pada tahun 1850 Masehi dan dimakamkan tepat di belakang Masjid Bungkuk. (https://surabaya.kompas.com/)

Lantas bagaimana sejarah Islam dan masjid tertua di wilayah Malang? Seperti disebut di atas, wilayah Malang di pedalaman termasuk wilayah yang masyarakatnya pendukung kerajaan Singasari dan kerajaan Madjapahit yang beragama Hindoe Boedha. Situasi dan kondisi mulai berubah dengan terbentuknya kerajaan Demak yang beragama Islam. Lalu bagaimana sejarah Islam dan masjid tertua di wilayah Malang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Islam dan Masjid Tertua di Wilayah Malang; Era Hindoe Boedha Kerajaan Singasari hingga Kerajaan Islam Demak

Sejak dibentuknya cabang Pemeritah Hindia Belanda di (residentie) Pasoeroean tahun 1801 tidak hal yang mengemuka tentang agama Islam sebagai kepercayaan penduduk. Residentie Pasoeroean sendiri terdiri dari district Pasoeroean, district Bangil dan district Malang en Antang. Hal ini dapat diasumsikan penduduk wilayah Malang beragama Islam. Sebaliknya yang mengemuka kemudian adalah ditemukannya penduduk yang memiliki kepercayaan mirip Hindoe dan mulai munculnya aktivitas organisasi keagamaan Kristen (zending) di Soerabaja. Hal ini sejalan dengan kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda (pasca pendudukan Inggris 1811-1816). Di Malang sendiri baru pada tahun 1817 ditempatkan setingkat pejabat Asisten Residen. Semua itu bermula dari era VOC.


Kapan masuknya (agama) Islam ke wilayah Malang tidak diketahui secara pasti. Yang jelas saat kehadiran pelaut-pelaut Belanda (yang dipimpin Cornelis de Houtman 1595-1597) kekuatan di pantai utara adalah Kerajaan Jepara (suksesi Kerajaan Demak). Saat ekpedisi melintas di laut Rembang untuk tujuan Maluku, utusan (Hindoe) dari Banjoewangi memintan bantuan kepada Cornelis de Houtman, karena mereka sedang terancam dari wilayah pedalaman (kerajaan) Mataram. Ekspedisi Belanda menolak karena mereka harus ke Maluku (tujuan mereka hanya berdagang). Namun setelah terjadi pertempuran dengan Arosbaja, ekspedisi salah satu kapal mereka mengalami kerusakan sehingga urung ke Maluku dan berputar arah di pulau Lombok. Sebelum kembali ke Eropa, ekspedisi sempat mampir di pantai timur Bali dan bertemu dengan raja Bali. Ketika VOC merelokasi pos perdagangan utama dari Amboina ke Batavia tahun 1619 tidak lama kemudian Mataram menyerang Batavia yang dibantu Banten pada tahun 1628. Dalam hubungan ini, selanjutnya pada tahun 1634 Radja Bali meminta bantuan VOC di Batavia untuk menyerang Mataram dari pantai timur Jawa. Sebagaimana diketahui Bali dengan Banjoewangi hanya dipisahkan selat sempit. GG van Dieman menyatakan tidak siap karena masih konsentrasi ke wilayah lain di Malaka. Apa yang dapat dipahami pada awal era VOC pengaruh Islam (Mataram) sudah mencapai pantai timur Jawa hingga Banjoewangi (yang sebaliknya Bali yang beragama Hindoe tengah terancam di pantai timur Jawa). Dalam hal ini penduduk di wilayah Malang diduga telah beragama Islam (lagi pula begitu dekat dengan pusat Islam di Soerabaja dan Pasoeroean).

Pada era VOC, setelah takluknya Makassar (kerajaan Gowa) oleh VOC, di Jawa. pangeran Trunajaya dari Madura tahun 1670an menyerang Mataram. Akhirnya perang yang lebih luas tidak terhindarkan. Di satu pihak Trunajaya dibantu oleh kekuatan eks Gowa yang dipimpin oleh Gelesong, dan di pihak lain Mataram (Soesoehoenan) dibantu oleh VOC yang didukung pasukan pribumi asal Bugis dan Ambon. Singkat cerita pasukan perlawanan dikalahkan di Kediri pada November 1678 dan kemudian ditangkap 1679 Trunajaya di Antang dan Galesong di Malang (lihat Daghregister, 29-11-1679). Dalam perkembangannya disebut Amangkurat II (Soesoehoenan) menikam Trunajaya pada 2 Januari 1680. Sebelumnya Galesong wafat 21 November 1679. Tamat sudah pemberontakan terhadap Mataram.


Pasca Perang Jawa pertama ini, dilakukan perjanjian. Implikasi perjanjian ini Mataram menyerahkan Jawa bagian barat kepada VOC (wilayah yang kemudian menjadi province West Java, Chirebon, Preanger, Karawang dan Batavia, minus Banten). Lalu pada tahun 1687 VOC mengirim ekspedisi ke wilayah hulu sungai Tjiliwong hingga Pelaboehan (Ratoe) di pantai selatan. Sementara itu, pantai utara yang berpusat di Semarang dan wilayah timur Jawa berada di dalam pengawasan VOC. Dalam konteks inilah kemudian permintaan bantuan Raja Bali tempo doeloe hilang dengan sendirinya. Pengaruh Islam Mataram dari pedalaman dan para pedagang-pedagang di wilayah pantai timur Jawa bersemai di Jawa bagian timur termasuk wilayah Malang.

Sebelum dan sesudah Perang Jawa pertama sejarinya pengaruh Islam sudah memasuki ke wilayah pedalaman di Jawa bagian timur. Bali menjadi tereliminasi dalam menjaga eksistensi Hindoe di Jawa bagian timur karena terbentuknya aliansi baru antara Mataram dan VOC. Sebagaimana biasanya VOC menganggap sama agama, yang membedakan adalah bagaiman para pemimpin local dan penduduknya dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi (perdagangan) VOC. Hubungan VOC dengan Madura yang semakin erat dengan sendirinya menyulitkan Bali. Hal itulah yang kemudian menyebabkan pengaruh Islam juga telah memasuki pantai utara Bali (district Bulelang) dan pantai barat Bali (district Jembrana). Sementara di wilayah belakang di wilayah Malang populasi penduduk bercorak Hindoe ‘terjebak; di dataran tinggi (wilayah Tengger yang sekarang).


Setelah Mataram menyerang Batavia tahun 1628, keterlibatan VOC dalam urusan Mataram (Soesoehoenan) tidak hanya sampai pada Perang Jawa 1670a, tetapi masih ada masa selanjutnya Perang Jawa kedua (1746-1755) yang kemudian berujung pada Perjanjian Gijanti 1755. Implikasi perjanjian ini adalah pantai utara Jawa lepas sepenuhnya dari Mataram (Kartosoera) dan pada gilirannya pantai timur Jawa (Soerabaja) hingga ke Malang dan Antang. Seperti kita lihat nanti pasca Perang Jawa terakhir (1825-1830) wilayah Soesoehoenan dan Soeltan juga semakin berkurang. Di wilayah timur termasuk hingga Madioen (yang kini kemudian menjadi gabungan province Oost Java). Di wilayah barat juga berkurang bagi Soeltan hingga batas Banyumas sehingga hanya tersisa sebatas Residentie Soerakarta dan Residentie Jogjakarta.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Era Hindoe Boedha Kerajaan Singasari hingga Kerajaan Islam Demak: Islamisasi di Wilayah Pedalaman Jawa (Mataram)

Ada rangkaian yang panjang masuknya Islam di wilayah Jawa, mulai dari wilayah pantai hingga pedalaman Jawa. Rangkaian ini harus dimulai sejak era Hindoe Boedha semasa kerajaan Singasari dan kerajaan Madjapahit hingga semasa kerajaan Demak dan kerajaan Mataram. Bagaimana awal mula keberadaan Islam di Jawa tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi pengaruh Islam jauh sebelumnya sudah berkembang di wilayah lain yang bermula di pantai barat Sumatra dan pantai timur Tiongkok.


Pada masa kenabian (sejak 618 M), pedagang-pedagang Arab sudah diketahui keberadaannya di Baros pantai barat Sumatra dan di Canton pantai timur Tiongkok (tahun Hijrah dari Mekkah ke Medinah dimulai tahun 622 M). Dalam catatan Tiongkok disebutkan bahwa antara 618 dan 626 empat murid Muhammad membawa Islamisme ke Tiongkok, satu mengajar di Canton, satu di Yang-chow, dan dua lainnya di Ch'üan-chow. P'an-yü-hsien-chih bab 53 halaman 1 dinyatakan: ‘Ketika perdagangan laut dibuka pada dinasti T'ang, Muhammad, raja Muslim Medina mengunjungi koloni Muslim di Canton, yang mereka sebut Khanfu. Juga disebutkan mengirim paman dari pihak ibu, pendeta Su-ha-pai-sai ke Tiongkok untuk berdagang. Dia membangun menara Kuangfe dan masjid Huai-shêng. Dia meninggal segera setelah menara dan masjid selesai dibangun. Dabry de Thiersant, paman dari pihak ibu Muhammad, Wahb-Abu-Kabcha, datang ke Tiongkok pada tahun 628 atau 629.  Pada tahun-tahun ini pula diketahui peziarah Tiongkok mulai berkunjung ke India (masih melalui darat; sementara pedagang Arab ke pantai timur Tiongkok melalui laut),

Jalur navigasi pelayaran perdagangan Islam (semasa kenabian) sudah mencapai Tiongkok melalui pantai barat India hingga pantai barat Sumatra dan seterusnya hingga pantai timur Tiongkok. Namun yang menark dari catatan Tiongkok mengindikasikasikan bahwa di Tiongkok, sudah ada orang-orang Islam di Canton (melalui laut), sebelum orang-orang Tiongkok melakukan kali pertama ziarah agama Boedha ke India (melalui darat). Tentu yang paling menarik dari keterangan itu bahwa Nabi Muhammad pernah berkunjung ke Canton dan juga kemudian oleh pamannya. Apakah fakta ini yang menjadi dasar bunyi hadis: Tuntutlah ilmu itu walau jauh ke (pantai timur) Tiongkok?


Pantai barat Sumatra di Baroes, besar dugaan adalah salah satu tujuan perdagangan para pelaut-pelaut Arab (yang awalnya hanya sampai ke pantai barat India). Pencapai pedagang-pedagang Arab hingga ke pantai timur Tiongkok adalah perluasan perdagangan dari Baros. Dalam hal ini posisi strategis Baroes (letak dan potensi ekonomi) menjadi hub antara pusat perdagangan pedagang Arab di pantai barat India dengan pantai timur Tiongkok.  Apakah ini yang menjadi sebab turunnya wahyu dalam Alquran (QS 76:5)? Yang jelas pada masa ini di Baroes ditemukan bukti makam orang Islam bertarih 672 Masehi atau 48 Hijriyah (Nabi Muhammad wafat 8 Juni 632 M).

Lambat laun para cendikiawan Tiongkok mulai menggunakan jalur navigasi pelayaran, seperti guru Hui Ning ke Java (664-665 M) dan pembelajar I’tsing ke Sumatra (671 M). Tentu saja orang Tiongkok bukan pelaut. Orang Tiongkok ke Jawa dan Sumatra diduga kuat menumpang kapal-kapal orang Arab atau bisa jadi kapal-kapal orang Nusantara sendiri (sebagaimana menurut catatan Tiongkok dari dinasti Han abad ke-2 sudah ada utusan raja Yeh-tiao ke Peking melalui pantai timur Tiongkok; para peneliti pada era Belanda menduga raja Yeh-tiao berasal dari pantai timur Sumatra; jauh sebelum navigasi pelayaran pedagang Arab ke timur). Fakta bahwa navigasi pelayaran Nusantara di panati timur Sumatra yang beribukota di Binanga (kini Padang Lawas/Tapanuli Selatan) sudah maju pada abad ke-7 (lihat prasasti Kedoekan Boekit 682 M dan prasasti Kota Kapoer 686 M). Baros dan Binanga adalah pelabuhan di Tanah Batak, pelabuhan Baros di pantai barat dan Binanga di pantai timur Sumatra.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sementara era kejayaan kerajaan-kerajaan di Sumatra (yang sebagian sudah mengadopsi Islam) dan Jawa (sudah ada koloni Islam di pantai utara Jawa) mulai menurun, di Tiongkok terutama di pantai timur Islam berkembang pesat, navigasi pelayaran Tiongkok juga sudah berkembang juga. Hal itulah yang menyebabkan Kaisar Tiongkok mengirim ekspedisi (Islam) ke Nusantara dan bahkan mencapai India di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho yang dimulai pada tahun 1403 M. Secara khusus diantara-ekspedisi ekspedisi ini ada sejumlah tempat/pelabuhan yang disinggahi antara lain di pantai timur Sumatra (Kerajaan Aru Batak Kingdom) dan di koloni Islam di Semarang.


Dalam perkembangannya, masa kejayaan Islam telah mencapai Eropa selatan, peran perdagangan pedagang-pedagang Islam ke Nusantara tidak lagi dilakukan oleh orang-orang Arab, tetapi orang-orang Moor (seputar laut Medirterania). Namun semua itu, orang-orang Arab (Moor) terusir dari Eropa selatan pada masa Perang Salib (abad ke-11). Dalam kekosongan inilah kemudian India yang Hindoe (kerajaan Chola) melakukan serangan ke selat Malaka, termasuk pantai timur Sumatra (lihat prasasti Tanjore 1030).  Pasca pendudukan Chola pedagang-pedagang Moor yang terusir dari Eropa selatan sudah mencapai Selat Malaka. Siar Islam kembali bersemi di selat Malaka termasuk di kerajaan Panai di pantai timur Sumatra. Koloni-koloni orang Moor semakin banyak terbentuk bahkan hingga ke pantaitimur Tiongkok. Keberadaan orang-orang Moor inilah yang kemudian utusan Moor dari Tunisia mengunjung selat Malaka (kerajaan Samudra, kerajaan Panai di pantai timur Sumatra, kerajaan Muar di pantai barat Semenanjung Malaya) hingga ke pantai timur Tiongkok. Utusan Moor ini yang berada di selat Malaka tahun 1345 M kemudian dikenal sebagai Ibnoe Batoetah. Di Jawa, kerajaan Madjapahit mulai menurun setelah panglima Gadjah Mada meinggal tahun 1365 M dan kemudian disusul rajanya sendiri Hayam Wuruk. Koloni-koloni Islam di pantai utara Jawa semakin kuat sehingga terbentuk Kerajaan Demak.

Besar dugaan koloni-koloni Islam di pantai utara Jawa, setelah ekspedisi Cheng Ho bertransformasi menjadi kerajaan Islam maritime di pantai utara. Kerajaan Majapahit (Hindoe Boedha) yang mengalami kemunduruan, tampaknya menjadi target Kerajaan Demak (Islam). Kerajaan Demak ini mencapai puncak pada saat mana kehadiran orang Eropa pertama datang (Portugis) tahun 1509. Seperti kita lihat nanti, target ke Madjapahit di Jawa bagian timur juga diikuti target ke kerajaan Pakwan Padjadjaran (Hindoe) di Jawa bagian barat (yang dimulai tahun 1521). Sementara itu Kerajaan Aru Batak Kingdom (Islam) yang diperkuat oleh orang-orang Moor di pantai timur Sumatra mencapai puncaknya. Kerajaan Demak juga diperkuat oleh para pedagang orang-orang Moor.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar