Laman

Senin, 20 Maret 2023

Sejarah Malang (54): Perang Kemerdekaan di Malang; Walikota Soerabaja Radjamin Nasoetion, Pegawai Mengungsi ke Malang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini

Perang kemerdekaan adalah perang yang dilancarkan untuk menghalangi dan mengusir pihak asing untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun dalam perkembangannya hanya sebagai rakyat Indonesia yang benar-benar tetap ingin mempertahankan kemerdekaan. Sebagian masyarakat Indonesia sebaliknya justru menerima/mendukung kehadiran asing, termasuk orang Belanda untuk kembali. Hal itu juga termasuk di wilayah Malang. Para republiken di Soerabaja harus menmgungsi ke pedalaman termasuk ke wilayah Malang.


Revolusi fisik di kota Malang tahun 1945-1949. Skripsi Helmi Wicaksono. Abstract. Kota Malang tempat penting yang baik bagi orang Eropa Timur Asing dan Orang Indonesia sendiri. Kota Malang pernah menjadi ibukota Propinsi Jawa Timur pada bulan Februari 1947 sampai bulan Juli 1947. Perpindahan Ibukota Propinsi Jawa Timur ke Kota Malang menjadikan Kota Malang sebagai tempat penampungan bagi warga korban perang dari daerah Surabaya dan daerah lain yang dikuasai Belanda. Agresi Militer Belanda pertama pada tanggal 31 Juli 1947 membuat Kota Malang sudah tidak aman lagi sebagai Ibukota Propinsi Jawa Timur. Langkah yang dilakukan oleh penduduk Kota Malang dalam mengantisipasi kedatangan Belanda ke Kota Malang adalah dengan bumi hangus bangunan yang dianggap penting. Keadaan Kota Malang setelah Agresi Militer Belanda I sampai tahun 1949 belum banyak yang menulisnya. Hasil dari penelitian ini antara lain Belanda menyerang Kota Malang dari arah Lawang Singasari hingga masuk daerah Blimbing. Kota Malang diduduki Belanda pada tanggal 31 Juli 1947. Penduduk Kota Malang ikut mengadakan perlawanan selama bulan Januari 1949 sampai bulan Maret 1949 (http://repository.um.ac.id/91437/)

Lantas bagaimana sejarah perang kemerdekaan di wilayah Malang? Seperti disebut di atas diantara penduduk Indonesia ada yang tetap ingin mempertahankan kemerdekaan tetapi juga ada yang menerima dan bekerjasama dengan asing terutama orang-orang Belanda yang jelas mengabaikan kemerdekaan Indonesia. Situasi dan kondisi ini juga terjadi di wilayah Malang. Walikota Soerabaja Radjamin Nasoetion dan para pegawainya yang republiken harus mengungsi ke pedalaman termasuk di wilayah Malang. Lalu bagaimana sejarah perang kemerdekaan di wilayah Malang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Perang Kemerdekaan di Wilayah Malang; Walikota Soerabaja Radjamin Nasoetion dan Pegawai Mengungsi ke Pedalaman

Pasukan Sekutu/Inggris merapat pertama kali di pelabuhan Tandjong Priok tanggal 29 September 1945. Pada tanggal 15 Oktober 1945 pasukan Sekutu/Inggris menduduki Buitenzorg. Pada tanggal 16 Oktober 1945 pasukan Belanda/NICA mengambil kendali di lapangan terbang Tjililitan yang lalu diikuti pertempuran antara pasukan Belanda/NICA dengan kelompok nasionalis di sekitar lapangan terbang Tjililitan tanggal 17 Oktober 1945. Pada tanggal 18 Oktober 1945 pasukan Sekutu/Inggris memasuki Bandoeng.


Atas nama Presiden, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dalam posisi kosongnya portofolio Menteri Pertahanan, berangkat ke Jogjakarta untuk menemui eks KNIL Oerip Soemohardjo dalam pembentukan akademi militer Indonesia. Tanggal inilah yang kemudian dijadikan sebagai hari lahir TNI 5 Oktober 1945. Ada sebanyak 17 pemuda terpelajar Indonesia yang direkrut untuk menjadi tulang punggung tentara Indonesia di dalam berbagai bidang keahlian. Mereka itu antara lain Dr Arie Soedewo, Mr Kasman, Ir Mangaradja Onggang Parlindoengan Siregar, Mr Arifin Harahap, Dr Ibnoe Soetowo, Dr W Hoetagaloeng dan Dr Irsan Radjamin Nasoetion. Setelah lulus kadet ini diangkat dengan pangkat Overste (Letnan Kolonel).

Dalam perkembangannya, pasukan Sekutu/Inggris mendarat pertama kali di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Lalu tidak lama kemudian pasukan Sekutu.Inggris mendarat pertama kali di tanggal 25 Oktober 1945 di Soerabaja. Sementara itu lascar-laskar telah membentuk kesatuan-kesatuan di berbagai tempat seperti di Batavia (Zainoel Arifin Pohan/Hisbullah dan Moein/eks PETA), Bandoeng (Abdoel Haris Nasoetion), dan Poerwokerto (Soedirman).


Apa yang terjadi di wilayah Malang sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 hingga tanggal 25 Oktober 1945 tidak terinformasikan. Wilayah Malang seakan terisolasi sendiri. Tentu saja ada hal tertentu yang menjadi kota Malang menjadi penting pada fase ini. Presiden Soekarno yang sudah memplot Mr Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan tidak kunjungan diumumkan. Mengapa? Mr Amir Sjarifoeddin Harahap masih berada di bawah kendali militer Jepang, meringkuk di penjara militer Jepang di Malang. Setelah adanya negosiasi antara Presiden Soekarno dengan petinggi militer Jepang di Batavia, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap berhasil dibebaskan (lihat Het parool, 04-10-1945). Disebutkan segera setelah dibebaskan dari penjara Jepang di Malang, melalui Soerabaja pada malam hari Mr Amir Sjarifoeddin Harahap menuju Djokja (menemui eks KNIL Majoor Oerip Soemohardjo lalu kemudian tiba di Bandoeng (disambut eks KNIL Letnan Abdoel Haris Nasoetion). Dari Bandoeng Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dengan mudah mencapai Djakarta dan bertemu dengan Presiden Soekarno daan kemudian diumumkan cabinet Presiden Soekarno dimana Mr Amir Sarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan (lihat Keesings historisch archief: 14-10-1945). Catatan: Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan Ir Soekarno tidak pernah bertemu sejak 1934 dimana pada tanggal 14 Januari 1934 Ir Soekarno diasingkan ke Flores lalu dipindahkan tahun 1938 ke Bengkoeloe. Pada saat pengasingan Ir Soekarno tahun 1934, Amir Sjarifoeddin Harahap yang masih mahasiswa di Rechthoogeschool adalah wakil ketua Partai Indonesia (Partindo) yang juga merangkap ketua Partindo afdeeling Batavia. Ir. Soekarno adalah anggota Partindo afdeeling Batavia. Ketua Partindo sendiri adalah Mr Sartono. Keterangan Foto dari Keesings historisch archief: 14-10-1945: Sesaat setelah pengumuman cabinet Presiden Soekarno dilakukan foto Bersama. Tampak depan nomor dua dari kiri Mr Amir Sjarifoeddin Harahap satu-satunya diantara anggota cabinet yang berseragan tantara (celana pendek dengan kaos kaki panjang/stocking. Ini mengindikasikan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap selain menjabat Menteri Penerangan juga merangkap Menteri Keamanan Rakyat.

Kehadiran Sekutu/Inggris di Soerabaja langsung mendapat reaksi setelah mengetahu proklamasi perang (kemerdekaan) dari Bandoeng. Arek-arek Malang sudah mengalir ke Soerabaja (sebagaimana sebelumnya para pemuda dari Depok dan Bogor merangsek ke Batavia/Djakarta untuk memperkuat para pejuang-pejuang yang sudah ada). Lalu pada tanggal 28 Oktober hingga 31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Surabaya. Dalam situasi tersebut komandan tertinggi Sekutu/Inggris di Batavia/Djakarta mengundang para pemimpin Indonesia Ir Soekarno, Drs Mohammed Hatta, Mr Soebardjo, Mr Amir Sjarifoeddin dan Agous Salim mendiskusikannya di rumah Generaal Christison (lihat De West: nieuwsblad uit en voor Suriname, 02-11-1945). Namun beberapa hari kemudian, ketika terdesak, tentara Sekutu/Inggris mengusulkan perdamaian. Pemimpin Sekutu/Inggris di Soerabaja meminta pemimpin Indonesia untuk mengadakan gencatan senjata di Surabaya. Lalu Soekarno dan Amir Sjarifoeddin Harahap bergegas ke Soerabaja.


Di wilayah Malang, orang Eropa/Belanda semuanya berada di dalam kamp interniran yang berada di bawah kendali militer Jepang. Orang Eropa/Belanda yang berada di luar sangat sedikit dan hanya bergerak di bidang misi, antara lain O. Luinenburg sebagai administrator di rumah sakit misi di Modjowarno dan Dr BM Schuurman, docent teologi di sekolah guru misionaris di Malang (lihat Nieuwe Haagsche courant, 10-10-1945).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Walikota Soerabaja Radjamin Nasoetion dan Pegawai Mengungsi ke Pedalaman: Situasi dan Kondisi Wilayah Malang Masa Perang Kemerdekaan

Para pemuda pendahulu tantara Indonesia (cikal bakal TNI) setelah menyelesaikan Pendidikan di Akademi Militer Indonesia di Jogjakarta yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, ditempatkan di berbagai tempat. Dr Ibnoe Soetowo ditempatkan di kilang minyak Indonesia di Tjepoe (cikal bakal Pertamina); Mr Kasman diperbantukan kepada kepala staf di Jogjakarta (cikal bakal organisasi TNI); Ir Mangaradja Onggang Parlindoengan Siregar ditempatkan di pabrik senjata dan mesioe di Bandoeng (cikal bakal PINDAD), Mr Arifin Harahap ditempatkan di Kementerian Penerangan dan Dr Irsan Radjamin Nasoetion ditempatkan di Soerabaja; Dr Ari Soedewo di Bandoeng dan Willer Hoetagaloeng di Jogjakarta. Dalam hal ini Overste Dr Irsan Radjamin Nasoetion adalah anak dari Wali Kota Soerabaja Radjamin Nasoetion.


Radjamin Nasoetion pernah satu kelas dengan Raden Soetomo di sekolah kedokteran STOVIA di Batavia. Setelah di sejumlah tempat di Hindia Belanda, pada tahun 1929 Radjamin Nasoetion ditempatkan di Soerabaja sebagai kepala bea dan cukai bidang kesehatan di pelabuhan Tandjoeng Perak. Pada tahun 1930 Radjamin Nasoetion turut berpartisipasi dengan Dr Soetomo dalam terbentuknya oragnisasi kebangsaan Persatoean Bangsa Indonesia (PBI) di Soerabaja. Pada tahun 1931 Radjamin Nasoetion dari PBI terpilih sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad). Pada tahun 1938 Radjamin Nasoetion dari dapil Oost Java terpilih sebagai anggota Volksraad (lihat De Indische Courant 30-09-1938). Radjamin Nasoetion terus berkiprah di dewan hingga berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda (sebelum pendudukan Jepang). Radjamin sebagaimana diberitakan di koran Surabaya De Indische Courant, 23-02-1941, menghadiri pemakaman sahabatnya Dr. Soetomo yang mana disebutkan Radjiman Nasoetion berpidato dengan lembut dan hangat dalam upacara pemberangkatan ke pemakaman. Detik-detik invasi Jepang ke Indonesia, Radjamin Nasoetion di dewan kota diangkat sebagai wakil ketua (lihat De Indische Courant, 26-02-1942). Yang menjadi ketua dewan kota adalah Burgemeester. Ini dengan sendiri di kota Surabaya sudah ada dua matahari: Burgemeester/Walikota Fuchter (Belanda) dan Wethouder/Radjamin Nasoetion (Indonesia). Pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintahan Belanda di Indonesia benar-benar takluk tanpa syarat kepada pasukan Jepang. Pada hari itu juga kekuasaan Gemeente (Pemerintahan Kota) Surabaya berpindah tangan kepada militer (pasukan tentara) Jepang. Lantas Dewan Kota dibubarkan. Namun demikian, pada fase konsolidasi ini, pihak Jepang masih memberi toleransi dua kepemimpinan di dalam kota. Walikota Fuchter masih dianggap berfungsi untuk kepentingan komunitas orang-orang Eropa saja. Sementara walikota di kubu Indonesia dibawah perlindungan militer Jepang ditunjuk dan diangkat Radjamin Nasoetion. Jepang memilih Radjamin dibandingkan yang lain karena Radjamin satu-satunya tokoh pribumi di Surabaya yang memiliki portfolio paling tinggi. Pada tahap permulaan kehadiran Jepang di Soerabaja, sebagai anggota dewan kota paling senior (wethouder) Radjamin Nasoetion diangkat sebagai Wali Kota Soerabaja. Dalam koran Soerabaijasch handelsblad, 28-04-1942 terdapat sebuah maklumat dari Walikota Radjamin, bahwa akan diadakan sensus untuk orang-orang Eropa antara tanggal 1 Mei hingga 10 Mei 1942. Wali Kota Radjamin sebagaimana dilaporkan Soerabaijasch handelsblad 21-05-1942 bahwa orang asing yang sudah terdata hingga 1 Mei baru sebanyak 9.875 orang, yang terdiri dari Eropa. 2.401 laki-laki dan 4.426 perempuan, Cina, 1.566 laki-laki dan 932 perempuan, dan asing lainnya. 383 laki-laki dan 160 perempuan. Pendaftaran ini dimaksudkan untuk menghitung seberapa banyak orang asing yang masih dianggap loyal. Singkat kata: pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Pemerintah Republik Indonesia mengangkat Radjamin Nasoetion sebagai Wali Kota Soerabaja. Dalam hal ini Dr Irsan Radjamin Nasoetion adalah arek Soerabaja.

Sejak pasukan Sekutu.Inggris mendarat pertama kali di Soerabaja tanggal 25 Oktober 1945 Wali Kota Radjamin dan sang putra Dr Irsan Radjamin Nasoetion yang kembali dari Jogjakarta menjadi sangat sibuk dan kemudian bahu membahu dalam mengantisipasi kemungkinan terjadi perang. Wali Kota Radjamin mengkonsolidasikan pejabat dan para pegawai di lingkungan Wali Kota Soerabaja dalam situasi dan kondisi perang dan Overste (Letnan Kolonel) Dr Irsan Radjamin Nasoetion mengkonsolidasikan logistik dan mengkoordinasikan fungsi kesehatan di belakang front untuk menangani warga dan para pejuang Indonesia yang mengalami luka berat.


Rekannya Overste (Letnan Kolonel) Dr Irsan Radjamin Nasoetion yang awalnya ditempatkan di pabrik senjata dan mesiu di Bandoeng, Overste Ir MO Parlindoengan Siregar sudah berada di Soerabaja. Keahliannya sangat dibutuhkan untuk menilai dan mengoperasikan bom-bom yang diperoleh dari gudang-gudang senjata dan mesiu militer Jepang. Ir MO Parlindoengan Siregar adalah lulusan insinyur Teknik kimia dari Jerman yang belum lama pulang ke tanah air.

Pertempuran di Soerabaja mencapai puncaknya pada tanggal 10 November. Tampaknya pasukan Sekutu/Inggris keliru memperkirakan semangat pribumi. Selama ini petinggi militer Sekutu/Inggris hanya mendapat informasi dari orang-orang Belanda, yang disebut lemah lembut, kurang terpelajar dan mudah tunduk apalagi yang berkaitan dengan klenik agama dan kepercayaan. Orang pribumi semua lapisan faktanya angkat senjata.


De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-11-1945: ‘Ultimatum ditolak Surabaya berada di bawah api berat Sekutu peran Inggris dalam 'perang. Kota Soerabaja telah tegang sejak pukul 6 pagi tadi. Menurut Kenter, hal itu disampaikan melalui telepon kepada "Kementerian Luar Negeri" pemerintahan Sukarno. Di markas Sekutu, belum ada detail atau konfirmasi atas pesan ini. Seperti diketahui, ultimatum berakhir pada pukul enam ini pagi. Jika ini tidak ditindaklanjuti, tembakan peluru yang hebat akan dimulai. Menurut orang Indonesia, kekuatan pengeboman terus meningkat. Inggris mungkin menggunakan artileri angkatan darat dan laut. Menurut koresponden khusus Times di Batavia di Jawa tidak ada lagi pertanyaan apakah ada banyak perang, tetapi sejauh mana Inggris terlibat di dalamnya, sulit untuk mengatakan, tulisnya. Dia percaya bahwa pendaratan sejumlah besar pasukan Belanda di Jawa akan memicu pemberontakan dan perintah itu akan membutuhkan kekuatan militer yang besar. operasi, yang Belanda pasti tidak akan dapat melakukan sendiri untuk waktu yang lama. Apakah masih banyak yang bisa dilakukan untuk mencapai kesepakatan dengan para pemimpin Indonesia. Penundaan penerbitan kebijakan Belanda pada saat keadaan sudah menemui jalan buntu - menurut koresponden - hanya menegaskan kecurigaan dunia bahwa Belanda hanya berpikir dalam hal kekerasan untuk membawa penyelesaian konflik ini dengan Indonesia Dewan kota Malang telah mengumumkan bahwa mereka akan melawan jika Inggris ingin memasuki kota itu’.

Presiden Soekarno sendiri mulai mengalami kesulitan, lalu membubarkan kabinetnya dan kemudian dibentuk kabinet parlementer yang terdiri dari partai-partai yang mana kursi didominasi oleh PSI dan Masjumi. Untuk posisi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan dari PSI masing-masing Soetan Sjahrir dan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Sejak inilah secara definitive Menteri Pertahanan terisi. Jabatan ini selama ini sejatinya defacto telah diperankan oleh Mr Amir Sjarifoeddin Harahap.


Pasca Perang Soerabaja (11 November 1945). Susunan cabinet baru Mr Amir Sjarifoeddin Harahap masih menjadi Menteri Penerangan dan merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Dalam susunan kabinet baru ini yang menjadi Menteri Keamanan Rakyat adalah Mr. Amir Sjarifoeddin. Dalam kabinet ini Mr. Amir Sjarifoeddin juga merangkap sebagai Panglima dan Menteri Penerangan. Posisi Mr. Amir Sjarifoeddin menjadi ‘double gardan’. Ke dalam (domestik), sebagai Menteri Keamanan Rakyat untuk fungsi perencanaan dan koordinasi keamanan strategi pertahanan sehubungan dengan masuknya asing (sekutu/Inggris dan Belanda/NICA), ke luar sebagai Menteri Penerangan untuk fungsi sosialisasi kemerdekaan dan fungsi pencitraan di mata asing/PBB sehubungan dengan evakuasi meiliter Jepang dari Indonesia.

Sebagai Menteri Keamanan Rakyat yang merangkap Panglima, Mr. Amir Sjarifoeddin mulai melakukan pengaturan terhadap organisasi keamanan dan pertahanan yang selama ini belum maksimal dilakukan oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.


Mr. Amir Sjarifoeddin, sebelum cabinet baru diumumkan pada tanggal 14 November 1945, meminta Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk mengadakan konferensi diantara para pimpinan tantara untuk menentukan pimpinannya sebagai Panglima untuk menggantikannya. Mr. Amir Sjarifoeddin akan fokus pada fungsi manajemen keamanan dan pertahanan, dan Panglima yang memimpin pertempuran di lapangan harus orang lapangan/tentara. Konferensi yang diadakan pada tanggal 12 November 1945 di Djogjakarta menghasilkan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian wilayah pertahanan Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer tertinggi sebagai panglima. Yang terpilih adalah Soedirman salah satu pimpinan TKR/TRI dengan pangkat Jenderal.

Sementara Menteri Amir Sjarifoeddin dan Panglima Soedirman mulai bekerja dalam kabinet baru, benturan antara pasukan Sekutu/Inggris dengan kelompok-kelompok perlawanan (TKR/Lanskar) semakin memuncak. Juga tekanan pimpinan militer Sekutu/Inggris yang membonceng NICA/Belanda semakin terus menekan di bidang politik. Tekanan Sekutu/Inggris yang dibelakangnya berada pasukan-pasukan Belanda/NICA yang terus mengalir ke Batavia/Djakarta membuat suasana pemerintahan di Djakarta tidak kondusif lagi.


Pasca Perang Soerabaja, dimana Sekutu/Inggris dapat dikatakan telah memenangkan pertempuran. Wali Kota Soerabaja telah memindahkan pusat pemerintahannya ke Modjokerto. Antara Soerabaja dan Moedjokerto menjadi area pertempuran baru yang di sisi republic dilakukan dengan cara gerilya. Sementara wilayah Malang yang sangat seksi bagi orang-orang Belanda mulai berpartisipasi di belakang pasukan Sekutu/Inggris. Disebutkan pihak NICA telah menawarkan hadiah bagi siapapun yang berhasil membunuh pemimpin pribumi diberi hadiah f100.000 (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 22-11-1945).

Lalu muncul kebijakan baru untuk memindahkan ibukota dari Djakarta ke Djogjakarta. Sikap pasukan sekutu/Inggris sebagai korps Eropa yang membonceng Belanda/NICA berubah dari pembebasan interniran dan pelucutan militer Jepang menjadi wujud aneksasi. Sejak inilah pasukan Sekutu/Inggris plus pasukan Belanda/NICA berperang dengan kelompok-kelompok perlawanan Indonesia.


Akhirnya pasukan Sekutu/Inggri dapat menembus wilayah Malang dan melakukan pendudukan pada tepat waktu (lihat Amigoe di Curacao, 24-11-1945). Disebutkan aktivitas udara Sekutu/Inggris di atas Soerabaia mendapat perlawanan ringan dari senjata anti-pesawat berawak Indonesia. Pasukan Sekutu/Inggris kini menguasai kawasan bisnis dan pemukiman utama Soerabaja, termasuk gedung-gedung terbesar dan terpenting. Satu detasemen 2.000 Gurkha yang melakukan pawai paksa dari Malang mencapai kamp tepat pada waktunya setelah terlibat dalam pertempuran sengit dengan pasukan Indonesia yang mencoba menghalangi jalan mereka. Sebanyak 1000 orang Indonesia dikatakan telah tewas. Dalam berita ini juga disebutkan terjadi pertempuran di Ambarawa, Bandoeng, Medan dan Padang. Juga disebutkan Sekutu/Inggris telah mencapai Jogjakarta. Juga disebutkan ada gerilya di Tjikampek, Buitenzorg dan Pondok Gede. Dalam berita ini juga ditambahkan pasukan Sekutu/Inggris telah membebaskan/memulangkan orang-orang setia kepada Belanda (Ambon, Jawa, Soenda dan Manado) yang juga diinnternir sebanyak 1.400 orang, tetapi orang-orang Belanda sendiri keberatan dengan itu, karena mereka beranggapan mereka yang dilepaskan itu dapat membantu. Mereka sangat berharga untuk perlindungan orang Eropa dan karena mereka telah dengan jelas menunjukkan kesetiaan mereka kepada tujuan Belanda.  

Sementara secara berangsur-angsur pejabat dan politisi Indonesia meninggalkan Djakarta/Batavia menuju Djogjakarta. Pada saat perpindahan ini Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima terus melakukan penataan dan pembentukan struktur organisasi tentara Indonesia agar menjadi lebih kuat melawan para imperialis (Inggris/Belanda).


Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima). Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin mengangkat Kolonel Soedirman menjadi Panglima pada tanggal 18 Desember 1945. Dengan demikian fungsi perencanan dan pengaturan (anggaran dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin dan pelaksana tugas di medan perang dikomandokan oleh Panglima (Kolonel) Soedirman. Sebagai panglima yang baru, Mr. Amir Sjarifoeddin memberi layanan tersendiri bagi Kolonel Soedirman dengan menunjuk dokter berbakat Overste/Letnan Kolonel Dr. Willer Hutagalung sebagai dokter pribadi Jenderal Soedirman. Sejak ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tanggal 4 Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Wilayah pertahanan dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya. Dengan struktur baru ini, Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi Panglima Divisi-3/Siliwangi.  

Sementara itu, Sekutu/Inggris sudah nekad. Di Bandoeng, pimpinan pasukan Sekutu/Inggris memberi ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan sehari sebelumnya. Untuk menghindari peristiwa yang pernah terjadi di Soerabaja tanggal 11 November, Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri Keamanan Rakyat), Amir Sjarifoeddin Harahap lantas bergegas ke Bandung dan mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution. Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi-3/Siliwangi, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, lantas menyampaikan pengumuman agar TRI dan penduduk untuk meninggalkan kota. Saat pejuang dan penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini terjadi pembakaran (lihat Limburgsch dagblad, 26-03-1946). Terjadinya kobaran api yang besar ini dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’


Untuk menyempurnakan struktur organisasi tentara Republik Indonesia dengan semakin menguatnya pasukan Belanda/NICA yang telah mengambil alih fungsi dan peran tentara Sekutu/Inggris, pemerintah RI membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan) dan struktur kemiliteran (yang dipimpin Panglima). Dalam pengumuman ini juga Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Nama-nama para pimpinan BKR/TKR ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan strategis. Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soeyo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibyo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). 'Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf. Catatan: Dalam struktur organisasi tentara yang baru ini kali pertama diperkenalkan pangkat tertinggi yang disebut jenderal (Soedirman, sebagai Panglima). Pangkat di bawahnya Letnan Jenderal (Oerip Soemohardjo, sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor Jenderal disematkan kepada tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan Kepala PM. Pangkat di bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel. Dalam fase reorganisasi ketentaraan ini, pemerintah melakukan proses politik yang berujung pada stuatu perundingan dan perjanjian.

Pemerintah RI di Djakarta/Batavia pada akhirnya evakuasi semuanya ke Djogjakarta. Rombongan terakhir dalam perpindahan pemerintahan Republik ini berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Penerangan dan Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin oleh Overste/Letnan Kolonel Mr. Arifin Harahap (adik Mr. Amir Sjarifoeddin). Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Djogjakarta yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946).


Sementara pasukan sekutu/Inggris masih bekerja yang dibantu dari belakang oleh pasukan Belanda/NICA, pemerintahan darurat Belanda/NICA secara perlahan dibentuk yang dimulai di Batavia/Djakarta. Kedatangan Belanda/NICA bagi Republiken sejati adalah perang, tetapi tidak sedikit orang Indonesia yang justru senang dengan kehadiran Belanda. Mereka yang senang inilah faktor penting mengapa Belanda/NICA cepat membentuk pemerintahan, sementara pemerintah RI yang terus di desak sekutu/Inggris masih belum terkonsolidasi dengan baik. Penduduk Indonesia menjadi terbelah: Republiken (pejuang sejati) dan para kolaborator (penghianat bangsa).

Pertempuran yang tidak berkesudahan lalu kemudian terjadi proses diplomatik yang ditindaklanjuti dengan suatu perundingan antara pemerintah Indonesia (PM Soetan Sjahrir) dengan pajabat NICA di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Batavia.Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara resmi oleh kedua belah pihak pada 25 Maret 1947. Hasil perjanjian Linggarjati ini mendapat rekasi pro dan kontra di kalangan Indonesia,


Keamanan dan pertahanan bukannya semakin membaik. Implementasi perjanjian dari hasil perundingan tidak berjalan dengan baik. Serangan dilawan dengan serangan. Penafsiran terhadap butur-butir perjanjian berbeda antara Belanda dan Indonesia. Belanda/NICA yang semakin menguat mulai bertingkah dan arogan. Gubernur Jendral HJ van Mook pada tanggal 20 Juli 1947 menyatakan sepihak bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian Liggarjati sehari kemudian pada tanggal 21 Juli 1947 mulai melancarkan aneksasi yang disebut dengan Agresi Militer Belanda I.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar