Laman

Senin, 17 Juli 2023

Sejarah Tata Kota Indonesia (34): Tata Kota Bandar Lampung,Tanjung Karang dan Teluk Betung; Orang Banten dan Penduduk Asli


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini

Kisah Kota Bandar Lampung bermula di selat Sunda diantara Banten pantai barat Jawa dan Lampung pantai selatan Sumatra. Satu nama tempat sejak awal (sejak era Portugus) di teluk Lampung diidentifikasi nama Dampin. Nama Teluk Betong muncul dan semakin popular pasca letusan gunung Krakatau tahun 1883. Teluk Betong kemudian menjadi Pelabuhan utama di ujung selatan Sumatra. Bagaimana dengan Tanjung Karang?


Kota Bandar Lampung ibu kota provinsi dan kota terbesar di provinsi Lampung. Secara geografis, Kota ini merupakan gerbang utama Pulau Sumatra. Suku Lampung diyakini sebagai penyebab penggunaan bahasa Lampung. Suku-suku Lampung secara geografis menempati wilayah mulai dari Kepaksian Paksi Pak Sakala Brak di Lampung Barat Lampung Timur hingga ke bagian wilayah Sumatra Selatan dan Bengkulu, bahkan di pantai barat Banten. Wilayah yang menjadi Kota Bandar Lampung era Pemerintah Hindia Belanda masuk wilayah Onder Afdeling Telokbetong (Stbls 1912 No 462) terdiri ibu kota Telokbetong dan wilayah sekitarnya. Sebelum tahun 1912, Ibu kota Telokbetong ini meliputi juga Tanjungkarang, 5 km di sebelah utara Kota Telokbetong. Ibu kota Onder Afdeling Telokbetong adalah Tanjungkarang, sementara Kota Telokbetong sebagai ibu kota Residentie Lampung. Semasa Jepang, kota Tanjungkarang-Telokbetong dijadikan shi (Kota). Lalu sejak era RI, Kota Tanjungkarang dan Kota Telokbetong menjadi bagian dari Kabupaten Lampung Selatan hingga diterbitkannnya UU No 22 tahun 1948 yang memisahkan kedua kota dari Kabupaten Lampung Selatan dan dibentuk Kota Tanjungkarang-Telukbetung. PP No 24 tahun 1983, nama Kotamadya Tanjungkarang-Telukbetung diubah menjadi Kotamadya Bandar Lampung (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah tata kota di Bandar Lampung, Tanjung Karang dan Teluk Betung? Seperti disebut di atas nama Bandar Lampung adalah nama baru, tetapi Teluk Betung dan Tanjung Karang sudah lebih awal eksis sebagai kota-kota. Bagaimana perkembangan Kawasan teluk Lampung diantara orang Banten dan penduduk asli Lampung? Lalu bagaimana sejarah tata kota di Bandar Lampung, Tanjung Karang dan Teluk Betung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tata Kota di Bandar Lampung, Tanjung Karang dan Teluk Betung; Orang Banten dan Penduduk Asli Lampung

Jauh sebelum nama Telok Betoeng dan nama Tandjoeng Karang terinformasikan, sudah sejak dahulu nama Lampung dikenal. Pada era Portugis di wilayah Lampong diidentifikasi nama Dampin. Dalam peta Portugis tersebut, nama Lampoeng berada di pedalaman dan nama Dampin berada disekitar pesisir pantai selatan Lampung yang sekarang di Selat Soenda. Nama Lampong tampaknya terus eksis sejak kali pertama diketahui nama Lampong disebut dalam teks Negarakertagama (1365).


Pada saat kehadiran pelaut-pelaut Belanda di Hindia Timur, yang dipimpin Cornelis de Houtman, nama (kampong) Dampin adalah salah satu kampong yang disinggahi. Ini dijelaskan dalam peta legendaris Belanda dimana para pelaut Belanda tiba di desa tersebut pada tanggal 22 Juni 1596 (sebelum menuju ke pelabuhan Banten). Dalam peta legendaris tersebut ditulis sebagai berikut: Inilah gambaran salah satu penguasa Sumatera, Kampong Dampin, menjadi interaksi kami (memasuki) di Selat Sunda, tempat kami pada tanggal 12 Juni adalah negeri yang menyambut kami dengan baik, dengan memberikan buah-buahan. Di sini kami mendapatlan lada, dan pemimpinnya terlihat sangat sopan yang didampingi oleh para pengawalnya, dan juga wanita yang melayaninya. Mereka memberi tahu kami banyak tentang Banten, dan kami tidak mengeluarkan apapun darinya”. Orang-orang Lampong sudah ada yang berdagang ke (Pelabuhan) Banten (lihat Daghregister 1661). Pieter Alvis tiba di Banten setelah pelayaran terakhirnya ke teluk Lampong untuk mendapatkan lada dan dari Sillebaer, Lampon dan Toelongbauwang sekitar 20 kapal penduduk sarat dengan lada tiba di Banten dan penuh dengan anyaman, padi, kayu, dll (lihat Daghregister 1670).

Dengan mengacu pada peta-peta Portugis dan Belanda/VOC, nama Lampong adalah nama wilayah, dan Dampin sendiri, dalam hal ini, adalah sebuah nama kampong (di wilayah Lampong) di wilayah pesisir. Dimana posisi GPS kota/kampong Dampin ini diduga kuat berada di sekitar Kalianda yang sekarang (lihat Peta 1753). Sementara pada Peta 1665 Dampin diidentifikasi pada bagian dalam teluk.


Dalam peta-peta VOC ini adakalanya Dampin diidentifikasi sebagai nama kerajaan dan nama Lampong sebagai nama wilayah dan nama teluk. Nama lain di wilayah ujung selatan Sumatra ini muncul nama Toulang Bawang di pantai timur dan Kroei di pantai barat. Nama-nama tempat di ujung selatan Sumatra kalah popular jika dibandingkan dengan nama Banten di pantai utara Jawa bagian barat dan nama Palembang di di utara Toeloeng Bawang. Oleh karena nama Lampong lebih awal dikenal, besar kemungkinan nama Dampin kemudian lebih popular dari nama Lampong, dimana Dampin menjadi pusat kerajaan yang berpindah-pindah di sekitar teluk, tetapi nama Lampong tetap abadi sebagai nama wilayah.

Namun dalam perkembangannya, nama Dampin ini menghilang dari sejarah. Tidak dengan nama Lampong. Mengapa? Apakah nama Dampin telah memudar dan kemudian telah lenyap. Lantas apakah lenyap karena terjadinya tsunami tahun 1883 ketika gunung Krakatau meletus? Kita lihat saja nanti.


Nama Lampong dan nama Dampin sudah lama dikenal di wilayah ujung selatan pulau Sumatra. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kurang terinformasikan sepanjang masa? Apakah pengaruh Banten di Kawasan ini begitu kuat. Fakta bahwa selama era VOC, hanya wilayah timur yang berkembang di daerah aliran sungai Toelang Bawang. VOC telah menempatkan Residen Lampong Toulang Bawang tahun 1791 (lihat Leydse courant, 23-05-1791). Gambaran ini terus berlangsung hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Hubungan Batavia dengan Lampong, sejak era VOC hingga awal pembentukan Pemerintah Hindia Belanda masih intens melalui perdagangan, terutama dalam perdagangan komoditi lada. Pada tanggal 11 Februari 1811 kapal pedagang Belanda baru tiba di Batavia dari Lampong (lihat Bataviasche koloniale courant, 15-02-1811).

Nama Telok Betoeng paling tidak sudah diidentifikasi pada Peta 1825. Nama ini tepat berada mengindetifikasi bagian dalam teluk Lampong. Apakah teluk Betoeng telah menggantikan nama teluk Lampong? Dalam peta nama Toelang Bawang masih mermiliki keutamaan di pantai timur (sungai Toelang Bawang).


Nama Telok Betong di pantai selatan (teluk Lampong) diidentifikasi nama Teluk Betong di pesisir pantai. Tampaknya teluk Betong adalah teluk kecil di bagian dalam teluk Lampong. Kawasan teluk ini tampaknya terus kurang terinformasikan secara intens, bahkan sejak Cornelis de Houtman tahun 1596. Teluk Lampong seakan sepi sendiri. Yang rampai justru di daerah aliran sungai Toelang Bawang.

Lalu bagaimana perkembangan lebih lanjut di teluk Lampong atau teluk Betoeng? Seperti kita lihat nanti, pada tahun 1834 Pemerintah Hindia Belanda melakukan ekspedisi ke wilayah Lampong untuk menaklukkan Raden Imba Koesoema. Pada fase ini juga di pantai barat Sumatra tengah berlangsung Perang Padri (setelah Perang Jawa 1825-1830). Apakah ini mengindikasikan menjadi awal babak baru di teluk Lampong atau teluk Betoeng?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Banten dan Penduduk Asli Lampung: Dampin di Teluk Lampung, Teluk Betong, Tanjung Karang hingga Bandar Lampung

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar