Laman

Minggu, 17 September 2023

Sejarah Bahasa (24): Bahasa Toraja di Tanah Toraja, Pedalaman Jantung Pulau Sulawesi; Bahasa Batak di Tanah Batak Pulau Sumatra


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Toraja adalah sebuah suku bangsa yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa (di Mamasa disebut juga sebagai suku Mamasa). Agama asli Aluk To Dolo. Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, To Riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.


Bahasa Toraja-Sa'dan adalah salah satu bahasa yang dipertuturkan di daerah Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan sekitarnya, Sulawesi Selatan, Indonesia. Sebagian besar pemetaan rumpun bahasa Toraja ini dikerjakan oleh para Zendeling Belanda yang bekerja di Sulawesi, seperti Nicolaas Adriani dan Hendrik van der Veen. Penutur bahasa Toraja juga ditemukan di sebagian besar Kabupaten Luwu, Kabupaten Enrekang bagian utara, dan di Kecamatan Kallumpang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Pemakaian bahasa Toraja di wilayah geografi yang luas menyebabkan adanya beberapa dialek yang berbeda-beda, tetapi masih bisa dimengerti oleh masing-masing pengguna dialek. Dialek bahasa Toraja dibedakan menjadi dialek Tallulembang atau dialek Makale, dialek Kesu', dialek Mamasa atau dialek Galumpang, dialek Sa'dan-Balusu, dialek Simbuang, dan dialek Palopo. Bilangan: Satu=Misa'; Dua=Da'dua; Tiga=Tallu; Empat=A'pa'; Lima=Lima; Enam=Annan; Tujuh=Pitu; Delapan=Karua; Sembilan=Kasera; Sepuluh=Sangpulo; Sebelas=Sangpulo misa'; Dua belas=Sangpulo da'dua. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Toraja di Tanah Toraja, pedalaman di jantung Pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas penutur bahasa Toraja umumnya di Tanah Toradja di pedalaman jantung pulau Sulawesi. Bagaimana dengan penutur bahasa Batak di Tanah Batak pedalaman jantung pulau Sumatra? Lalu bagaimana sejarah bahasa Toraja di Tanah Toraja, pedalaman di jantung Pulau Sulawesi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Toraja di Tanah Toraja, Pedalaman di Jantung Pulau Sulawesi; Bahasa Batak di Tanah Batak Sumatra 

Sejak kapan nama Toradja disebut? Yang jelas nama Makassar dan Loewoe serta Banggai sudah dicatat di dalam teks Negarakertagama (1365). Ini mengindikasikan bahwa nama Makassar dan Loewoe di pulau Sulawesi sudah terbilang tua. Lalu bagaimana dengan nama Boegis dan nama Toradja?


Pada masa ini, bahasa Makassar, bahasa Bugis dan bahasa Tae dibedakan. Bahasa Makassar umumnya di pantai barat Sulawesi bagian selatan; sementara bahasa Bugis sebaliknya di pantai timur. Sedangkan bahasa Tae umumnya di bagian dalam teluk Bone di Luwu. Dalam hal ini bahasa Luwu adalah bahasa Tae. Perbedaan bahasa Bugis dan bahasa Tae dapat dibaca dalam studi Suparman (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Vol. 1, No. 2, 2021).

Nama Boegis dan nama Toradja paling tidak dapat ditemukan dalam deskripsi geografi karya Francois Valentijn (1726). Francois Valentijn menyatakan bahwa Boegis dan Toradja adalah bangsa-bangsa di bawah raja Boni, sangat cerdik, berani, militan, bangga, suka membunuh dan sangat pendendam. Orang Boegis dan Toradja tidak seputih orang Makassar.


Sejak kahadiran orang Eropa nama Makassar tetap eksis. Dalam peta-peta awal pelaut Portugis (1511-1513) nama Makassar diidentifikasi. Di wilayah Makassar inilah kemudian dikenal kerajaan Gowa, kerajaan yang memiliki kejayaan dan kemakmurannya. Nama Makassar juga tetap eksis sejak awal era VOC/Belanda. Perselisihan yang terjadi antara VOC dengan (kerajaan) Gowa akhirnya terjadi perang. Kerajaan Gowa akhirnya pada tahun 1669 hancur. VOC yang menaklukkan Gowa ini juga turut dibantu oleh salah satu pangeran dari Bone (Aroe Palaka; dari Palakka). Sejak hancurnya kerajaan Gowa di Sombaopoe, Pemerintah VOC mendirikan benteng di Oedjoeng Pandang, benteng Rotterdam. Sementara sebelumnya Pemerintah VOC telah membangun benteng Amsterdam di Manado pada tahun 1659. Area benteng Amsterdam inilah yang menjadi cikal bakal kota Manado dan area benteng Rotterdam menjadi cikal bakal kota Makassar.

Tampaknya Francois Valentijn mengganggap penting warna kulit antara orang Makassar yang lebih putih, relative terhadap orang Bugis dan orang Toradja yang lebih gelap. Jika di kawasan teluk Bone terdapat orang Boegis dan orang Toradja, lalu bagaimana dengan orang Loewoe, nama yang sudah dicatat sejak era Madjapahit dalam teks Negarakeragamat? Satu yang jelas dalam hal ini orang Makassar, orang Bugis dan orang Luwu berada di wilayah pesisir/pantai (merujuk pada kerajaan di Loewoe, kerajaan di Makassar dan kerajaan di Bone. Kerajaan Bone inilah kemudian diasosiakan sebagai kerajaan Boegis. Bagaimana dengan orang Toradja? Orang Toradja cenderung berada di belakang pantai hingga jauh ke pedalaman.


Seperti disebut di artikel sebelumnya, ada cerita rakyat diantara orang Toradja di danau Poso, dahulunya orang Toradja di danau Poso diserang oleh orang Wotoe, dan kemudian orang Watoe diserang dan ditaklukkan oleh orang Loewoe. Orang Toradja di danau Poso menjadi subjek dari (kerajaan) Loewoe. Menarik untuk diperhatikan, Francois Valentijn menyebut orang Bugis dan orang Toradja adalah subjek dari kerajaan Bone. Dua kelompok populasi yang relative lebih gelap dibandingkan kelompok populasi Makassar. Lantas bagaimana antara kerajaan Loewoe dan kerajaan Bone? Tampaknya ada tiga kerajaan pantai: Loewoe, Makassar dan Bone. Dalam hal ini subjek kerajaan Bone adalah orang Boegis dan orang Toradja; subjek kerajaan Loewoe adalah orang Wotoe dan orang Toradja di utara di danau Poso (kelak disebut orang Pamona). Apakah dalam hal ini orang Boegis awalnya adalah orang pedalaman sebagaimana orang Toradja? Orang Loewoe memiliki hikajat asal usul (penciptaan) yang dicatat dalam (Lontara) La Galigo.

Dalam konteks inilah bahasa Toradja dibedakan dengan bahasa Makassar, bahasa Bugis dan bahasa Tae (Loewoe). Ada sejumlah wilayah penutur bahasa Toradja berbagi tempat dengan bahasa Boegis di satu sisi dan bahasa Tae di sisi yang lain (terutama di wilayah Sulawesi Selatan bagian utara).


Seperti dikutip di atas, bahasa Toraja memiliki sebaran yang luas di wilayah pedalaman Sulawesi: Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara. Sebagian di Kabupaten Luwu, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Mamuju (Sulawesi Barat). Dialek bahasa Toradja seperti dialek Tallulembang (dialek Makale), dialek Kesu', dialek Mamasa (dialek Galumpang), dialek Sa'dan-Balusu, dialek Simbuang, dan dialek Palopo. Orang Toradja juga telah dibedakan dengan orang Pamona (danau Poso), orang Koelawi (danau Lindoe).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Batak di Tanah Batak Sumatra: Penutur Bahasa di Dunia Lama dan Ida Pfeiffer

Studi-studi bahasa belum lama. Topik dalam sejarah Indonesia sejak era Hindia Belanda, bahasa dapat dikatakan berada pada urutan terakhir. Topik bahasa diteliti jauh setelah populasi, pemerintahan, budaya (etnografi) termasuk religi, botani, geologi, sastra dan pendidikan, kepurbakalaan, arsip termasuk pemetaan dan pers, perang dan kerajaan-kerajaan serta lainnya. Di luar bahasa Melayu, baru tahun 1850an ada perhatian terhadap studi-studi bahasa seperti bahasa Batak (Dr NH van der Tuuk), bahasa Makassar dan Boegis (Dr Matthes) serta bahasa Jawa, Lampoeng, Soenda dan Bali.  


Tentang botani di Sulawesi sudah dilakukan oleh Georg Eberhard Rhumpius di Ambon. Lalu kemudian disusul oleh juniornya di Ambon Francois Valentijn tentang geografi sebagaimana dikutip di atas. Sejak lembaga ilmu pengetahuan yang dirintis oleh Radermacher di Batavia pada tahun 1778, studi-studi lain di berbagai tempat mulai dilakukan secara intens. Namun perkembangannya lambat, terkonsentrasi di Jawa dan sangat sedikit di luar Jawa. Untuk di Sulawesi sebelum era lembaga ilmu pengetahuan Batavia 1778, Roelof Blok melakukan studi sejarah Makassar dan Sekitar dari tahun 1756 hingga 1760 (Gouverneur en Directeur ter Zuidkust van Celebes). Hasil kajiannya tertanda kasteel Rotterdam, 31 December 1759. Studi Roelof Blok dilakukan setelah tiadanya Francois Valentijn yang meninggal tahun 1727. Keduanya juga memanfaatkan arsip-arsip negara (VOC) dan catatan kasteel Batavia (Daghregister). Jika digabungkan dua sumber itu, maka pengetahuan tentang Sulawesi dan sekitar hanya bermula dari situ. Catatan: Hasil karya Roelof Blok telah ditemukan Inggris di Makassar. Lalu John von Strubenvoll, penerjemah untuk bahasa Jerman Rendah dan Inggris di Makassar membuat terjemahan bahasa Inggris, yang kemudian diterbitkannya 1817 di Kalkuta atas persetujuan Gubernur Jenderal British India, Lord Hastings. Roelof Blok meyakini bahwa sebelum Makassar atau Boni dikenal, kerajaan Loeboe, kerajaan terkuat dan terbesar secara keseluruhan. Roelof Blok menulis nama dengan Loeboe (bukan Loewoek). Prof Kern dalam teks aksara Jawa Kuno (Kawi) mentrasliterasi nama-nama geografi ke aksara Latin sebagai Bantayan, Luwuk, Makasar, Butun dan Banggawï (teks Negarakertagama 1365). Satu hal yang cukup penting, Roelof Blok menerjemahkan sejumlah tulisan tangan (tidak disebutkan dalam bahasa dan aksara apa) yang menjadi bahannya menyusun silsilah raja-raja di Makassar. Sebagaimana disebut di atas, nama Makassar sudah disebut dalam Negarakertagama 1365. Ada empat urutan raja-raja awal: Tomanoeroenga yang juga disebut Batara Goeroe; Talali, Ratoe Sapo Marantaija dan Karaeeng Katanka. Selanjutnya raja pertama adalah Toema Salanga Baraeeng; kedua Ampoeng Lowe Leembang; ketiga, Toenja Tabanrie; keempat digantikan putranya: Kraeng Poeanga-ri-Goa; kelima, putranya Toenja Tankalopi dengan dua putra Batara Goa di Goa dan Karaeeng Lowe-ri-Seero raja pertama Tellol dari pembagian tanah antara kedua bersaudara ini kerajaan Makassar belum ada pada masa itu Toenja Tankalopi kemudian digantikan oleh putranya raja Goa: keenam Batara Goa; ketujuh putra sulungnya menggantikan dia berhasil dalam pemerintahan; ketujuh Toeniello de Pasonki; kedelapan Toema Pari-Sika-Kallonna yang pada masanya orang Makassar sudah mulai membuat beberapa catatan peristiwa sejarah. Raja ini memiliki hukum dan perintah yang dibuat, kepala orang negro (penduduk asli) diangkat; Pada masa ini pelaut Portugis yang baru menaklukkan Malaka diterima; sementara tetangganya di utara (Tello?) berkembang; raja memperoleh kerajaannya melalui kemenangan; juga Saleijer dan Boelekomba ditempatkan di bawah upeti, dan dengan beberapa pangeran diakui termasuk di Boni dan Maros dengan perjanjian, dimana mereka memperlakukan satu sama lain sebagai pangeran bebas, dan berkomitmen sebagai saudara hidup, tanpa salah satu merugikan yang lain, tapi di untuk membantu dan membantu satu sama lain dalam segala hal. Tak lama kemudian dari Maros, Poelembangkeeng dan Tello tidak senang, tanpa mengetahui apa yang terjadi, tetapi mereka berperang melawan raja ini, namun mereka takluk dan beberapa hari setelahnya Tello membawa hadiah ke Goa, dan membuat perjanjian yang teguh dengan kerajaan itu, yang disumpah dengan sumpah dan di dalamnya mereka menyatakan: bahwa semua orang yang mempunyai perselisihan yang sama antara Goa dan Tello akan mencari selamanya dikutuk. Akhirnya orang Makassar bilang begitu raja mulai membangun tembok Goa. Dia digantikan dalam pemerintahan oleh putranya: kesembilan Toeni Palanga yang menggunakan timbangan dan ukuran ditetapkan, harga juga ditempatkan di pasar dan pertama bubuk mesiu telah dibuat. Dia telah menggunakan artileri berat pertama benteng Goa, kemenangannya meningkat di seluruh Mandhar Kaijelie dan selanjutnya Timur Laut menaklukkan Sulawesi sampai ke Tontoli; suku Mandharan, Bila, Mapilli, Poda-poda dan Tjampalagie dimasukkan ke dalam perjanjian. Selain itu, ia dengan bantuan Boni menaklukkan seluruh Loeboe, tetapi meninggalkan rakyatnya atas kebebasan mereka dan mengadakan perjanjian dengan mereka, ditaklukkan kemudian orang Wadjoer. Pada masa pemerintahannya Melayu dari Patani, Pahan, Tjampa, Djohor dan Menakabo datang dan memperoleh tidak hanya tempat tinggal, tetapi juga, di bawah lebih banyak hak istimewa lainnya, untuk mengembangkan agama. Akhirnya Palanga pun mulai menginginkan Boni ditaklukkan, memasuki negara dengan kekuatan besar, tapi tidak memenangkan apa pun di Boniers dan harus tertinggal selama tiga tahun penarikan diri dengan kerugian besar, ketika dia akhirnya jatuh sakit rumah itu datang dan mati, meninggalkan dia sebagai raja sebagai penggantinya dari Goa saudaranya: kesepuluh Toeni Batta. Dia mengikuti jejak pendahulunya, Boni masuk, namun dikalahkan dan kalah kepalanya, setelah dia menjadi raja hanya empat puluh hari. Lalu. kemudian putranya mengikutinya dalam pemerintahan, Radja Toeni Battak mendirikan kota Sombaopoe: kesebelas Toeni Djallo. Segera ada kedamaian dibuat dengan Boni, menurut perjanjian lama ia berada dalam kekuasaan Boegis, karena orang Makassar untuk diberantas sepenuhnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya diperlakukan dengan segala hormat dan diantar dengan selamat ke Goa. Kerajaan Goa menaklukkan kerajaan Loewoe dengan bantuan kerajaan Bone.

Lantas apakah ada kaitan bahasa-bahasa Boegis dan khusunya bahasa Toradja dengan bahasa Batak? Seperti disebut di atas, Francois Valentijn (1726) menyatakan orang Boegis dan orang Toraja adalah subjek Kerajaan Bone. Sementara itu studi Roelof Blok (1759) telah menyalin teks lokal bahwa kerajaan Bone selalu berada di bawah supremasi kerajaan Goa, paling tidak hingga era Radja Goa Toeni Batta (pada awal era VOC/Beklanda).


Yang sedikit menarik dalam temuan Roelof Blok (1759) dalam soal silsilah raja-raja di wilayah Makassar (kemudian Kerajaan Goa) ada nama-nama Batara Goeroe; Ampoeng Lowe Leembang; Toeni Palanga dan Toeni Batta serta Toeni Djallo. Nama ini mirip dengan nama-nama di Tanah Batak. Pada masa Toeni Palanga seluruh wilayah Sulawesi telah dikuasai yang mana pada masa ini orang Melayu dari Patani, Pahan, Tjampa, Djohor dan Menakabo diizinkan untuk menyiarkan agama Islam. Lalu pada masa Toeni Batta kerajaan Boni dan kerajaan Loewoe dirangkul dengan baik. Lalu apakah dalam hal ini orang Batak telah jauh di masa lampau ke Sulawesi lebih duluan dari orang Melayu? Jelas bahwa dalam hal ini tidak terlalu banyak sumber sejarah yang dapat digunakan, kecuali secara khusus hasil studi Feancois Valentijm (1726) dan hasil studi Roelof Blok (1759). Tentu saja sumber teks Negarakertagama (1365) dapat ditambahkan dan demikian juga dengan sumber prasasti yang antara lain dapat ditemukan di wilayah Sekko dan Rampi (pedalaman Jantung Sulawesi). Untuk melengkapinya, dalam hal inilah studi bahasa-bahasa di Sulawesi, terutama bahasa Toradja menjadi penting.

Dalam studi bahasa yang dilakukan oleh Dr N Adriani, mengindikasikan bahasa Bare’e (di pantai selatan teluk Tomini) diduga menjadi asal usul bahasa-bahasa di pantai timur, pantai tenggara dan pantai selatan Sulawesi termasuk bahasa Tae dan bahasa Boegis (di teluk Bone). Lalu bagaimana dengan bahasa-bahasa di pantai barat Sulawesi? Apakah bermula dari bahasa Toradja?


Roelof Blok (1759): Toradja, sebuah lanskap luas, terletak di bagian dalam, berbatasan di utara dengan Pegunungan Alfuru, yaitu rawa (teluk) Tomini; ke timur memiliki Loeboe dan Wadjo, di selatan Sedeenring, dan di sebelah barat pegunungan Mandahr. Banyak penduduknya adalah penduduk asli dan penyembah berhala; sebagian lagi hidup di perairan, tersebar di Sulawesi, Ende dan Sumbawa untuk menangkap tripang dan menangkap penyu untuk perdagangan. Orang Toraja perairan ini juga disebut Badjos (banyak dijadikan budak di Boni atau Goa. Speelman ingin orang Badjo yang di bawah Makassar menjadi milik VOC dan dijadikan wajib militer. Raja Enrekan dan Letha, dua kerajaan di terletak di sebelah barat lanskap ini, berdiri bersama VOC dalam aliansi, sedangkan yang terakhir atas kemauannya sendiri datang ke VOC, dan yang sangat menguntungkan kontrak untuk dia dan negaranya dengan Speelman dimana VOC mengadakan, yang ditandatangani dan disumpah pada tahun 26 Agustus 1669 di hadapan raja Soping, raja Palaka, kraeng Tanete, Aroe Bake atau Vake, Aron Guru Batoekeke, dan raja Turat dari Laja dan Bankala. Tapi Boni bilang orang-orang ini adalah budaknya, ditaklukkan oleh Raja Palaka, namun VOC menyatakan tidak ada buktinya telah terjadi; namun mereka sebenarnya melakukan pelayanan budak untuk Boni. Raja Enrekan yang bernama Lahini berada di urutan ke-20 April 1671 dibawa ke dalam benteng oleh Raja Palaka, dan memiliki perjanjian yang sama dengan raja Letha, disebut Pohalepan, dibekukan selama dua tahun, diterima, dan diambil sumpahnya pada tanggal 27 berikutnya kehadiran raja Soping, Raja Palaka dan pangeran Ternatian Kalemata, sejak ini diakui sebagai sekutu oleh Bonian.

Sejarah bahasa-bahasa asli, tertutama para penutur bahasa di wilayah pedalaman termasuk di Sulawesi memiliki sejarah panjang. Satu fakta bahasa bahasa-bahasa asli di pedalaman umumnya masih terjaga keasliannya, relative terhadap bahasa-bahasa di wilayah pesisir. Adanya ketegangan penduduk di pesisir dan penduduk di pedalaman, telah menghambat terhadap pemahamasan bahasa-bahasa asli di pedalaman (namun meski terlambat, terisolasinya penutur bahasa di pedalaman dengan sendirinya bahasa itu tetap terjaga keasliannya. Dalam konteks inilah para ahli etnografi yang diikuti oleh ahli bahasa plus misionaris berkunjung ke pedalaman, termasuk ke wilayah-wilayah penutur bahasa Toradja dan penutur dialek-dialek bahasa Toradja.


Wilayah pedalaman di pulau-pulau besar seperti Sumatra, Borneo, Sulawesi plus Bali dan Lombok telah menarik bagi orang Eropa. Persepsi penduduk wilayah pantai terhadap penduduk pedalaman yang selama ini menjadi penghambat, dengan kehadiran orang Eropa membuka wawasan baru terhadap penduduk pedalaman. Di Sumatra, FW Jung Huhn dan Ida Pheiffer yang berkunjung ke pedalaman di Tanah Batak telah menggambarkan apa yang dipersepsikan penduduk di pantai tidak sepenuhnya benar. Penemuan orang Eropa justru sebaliknya, penduduk pedalaman lebih bersahaja, jujur dan berani. Temuan orang Eropa yang tak terduga bahwa penduduk pedalaman telah mengembangkan budayanya sendiri yang jarang diketahui oleh penduduk pantai. Setelah itu laporan dari Borneo juga muncul oleh Dr Schwaner berkunjung jauh ke pedalaman; Dr Zollinger di Lampoeng dan Bali serta Lombok. Dr Mulder di Papua hanya di pantai tetapi telah mendapat gambaran diri tentang penduduk pedalaman. Di Sulawesi, nama-nama yang perlu disebut antara lain Dr N Adriani, Dr P Sarasin, Dr F Sarasin dan tentu saja M de Kolff, JN Vosmaer dan M Bross.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar