Laman

Minggu, 24 September 2023

Sejarah Bahasa (38): Bahasa Leti di Pulau Leti; Pulau Terjauh di Kepulauan Maluku, Pulau Terdekat Pulau Timor di Timor Leste


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Pulau Leti adalah pulau terluar Indonesia di Laut Timor berbatasan dengan Timor Leste. Pulau Leti masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku. Sejak abad 17, VOC telah berada di pulau Leti. Ernst Christoph Barchewitz dari Jerman, pegawai VOC tinggal di Leti tahun 1714-1720. Pada masa ini pulau Letti terdiri satu kecamatan (kecamatan Letti) terdiri 7 desa: Tutuwaru, Nuwewang, Tomra, Tutukey (Serwaru, sekaligus ibu kota kecamatan), Batumiau, Laitutun, dan Luhulely. Pelabuhan terdapat di Tomra.


Leti (atau Letti) adalah bahasa Austronesia yang digunakan di pulau Leti di Maluku Meskipun kosakatanya sama dengan bahasa Luang yang berdekatan, bahasa ini sedikit dapat dimengerti satu sama lain. Kurang dari 1% penutur bahasa Leti bisa berbahasa Leti, meskipun antara 25% dan 50% dari mereka bisa membaca bahasa lain. Pembagian dialektologi utama dalam bahasa Leti adalah antara ragam timur, yang dituturkan di wilayah Laitutun dan Luhuleli, dan ragam barat, yang dituturkan di wilayah Batumiau, Tutukei, Tomra, dan Nuwewang. Artikel ini berfokus pada ragam Tutukei dan didasarkan pada studi deskriptif yang dilakukan oleh Aone van Engelenhoven (2004), seorang ahli bahasa Belanda keturunan Leti. Tutukei sendiri terbagi menjadi dua sosiolek, lirlèta yaitu 'bahasa desa' (lira 'bahasa', lèta '(bertembok) desa'), dan lirkòta yaitu 'bahasa kota' ( lira 'bahasa', kòta 'kota'). (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Leti di pulau Leti? Seperti disebut di atas bahasa Leti dituturkan oleh orang Leti di pulau Leti. Suatu pulau terjauh Kepulauan Maluku, pulau terdekat dari Pulau Timor di Timor Leste. Lalu bagaimana sejarah bahasa Leti di pulau Leti? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Leti di Pulau Leti; Pulau Terjauh Kepulauan Maluku, Pulau Terdekat dari Pulau Timor di Timor Leste

Pulau Leti diduga sudah lama dikenal. Pulau Leti tepat berada di jalur navigasi pelayaran perdagangan sejak zaman kuno, dari Jawa ke Maluku via Banda. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, pulau Leti termasuk salah satu wilayah pengembangan misi yang diselenggarakan NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap). Pada tahun 1836 seorang misionaris di Leti melaporkan adanya gereja, suatu gereja yang dibangun tahun 1717 (lihat Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, betrekkelijk de Uitbreiding van het Christendom, bijzonder onder de heidenen, 1836 No. 3). Gereja tersebut tentulah sudah tua, telah berusia lebih dari satu abad.


Dalam laporan Portugis disebut setelah pulau di kepulauan Pequenas Sondas, yang diidentifikasi di kaki kanan Alor: Ilha de timor Homde Nace Timor a ssamdollo (pulau kayu cendana). Peta yang diidentifikasi adalah replika atlas Francisco Rodrigues, yang dibuat antara tahun 1511 dan 1515, selama perjalanan yang ia lakukan bersama Afonso de Albuquerque untuk mencari “pulau rempah-rempah”, yaitu Maluku. Satu abad kemudian pada tahun 1612 pelaut-pelaut Belanda menyerang Portugis di Solor dan Koepang, lalu sebanyak 70 orang Portugis bergeser dari Koepang di barat ke arah timur pulau (kini wilayah Timor Leste). Sejak itu, orang Portugis hanya terbatas di bagian timur pulau Timor. Pulau-pulau kecil dekat pulau Timor, termasuk pulau Leti berada di bawah yurisdiksi (pemerintah) VOC/Belanda. Ringkasnya dalam catatan sejarah yang ada: setiap interval satu abad, pertama pulau Leti telah dipetatakan Portugis tahun 1511, dikuasai Belanda atahun 1612, gereja didirikan tahun 1717 dan seperti kita lihat nanti misionaris Belanda (NZG) membuka stasion misi tahun 1828.

Tempat tinggal misionaris di pulau Leti berada di Saraj (lihat Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, betrekkelijk de Uitbreiding van het Christendom, bijzonder onder de heidenen, 1841, No. 11). Untuk mencapai pulau Leti, orang Eropa/Belanda berangkat dari pelabuhan Koepang. Disebutkan penduduk di pulau Leti menggunakan bahasa Leti (Lettineesche taal). Nama tempat lain di pulau antara lain Tutukej, Tomrah dan Psotu-miouw. Bupati berkedudukan di Tutukej. Jumlah desa yang ada sebanyak enam buah.


Para misionaris yang bisa berbahasa Melayu dan membawa terjemahan kitab suci dalam bahasa Melayu, juga belajar bahasa Leti di pulau. Beberapa orang di pulau Leti dapat berbahasa Melayu, terhadap orang yang mana para misionaris berlajar bahasa Leti (lihat Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, betrekkelijk de Uitbreiding van het Christendom, bijzonder onder de heidenen, 1867, No. 2). Penduduk asli pulau Leti disebut berkulit gelap. Seperti kita lihat nanti, dari para misionaris inilah kosa kata bahasa Leti terakumulasi dari waktu ke waktu yang menjadi bahan kajian para ahli terutama ahli bahasa untuk menyusun kamus dan tata bahasa Leti.

Setelah lebih dari satu abad kehadiran agama (Kristen) di Pulau Leti oleh NZG, hingga tahun 1880 baru sebanyak 500 orang jemaat di enam desa yang ada. Para jemaat ino sehari-hari yang masih tercampur dengan penduduk yang masih menjalankan kepercayaan tradisi. Dalam hal ini disebut penganut Kristen masih minoritas. Disebutkan masih banyak penduduk yang mempraktekkan kepercayaan lama atau tradisi (lihat Berigten van de Utrechtsche Zendingsvereeniging, 1880). Disebutkan misionaris akan mengerjakan yang terkait dengan perihal bahasa Leti, yang diharapkan akan berguna untuk kegiatan misi.


Disebutkan lebih lanjut sudah ada gereja dan sekolah di masing-masing tiga desa di Tutukej, Tomrah dan Noenewang dimana Serwaroe terletak di tengah. Di Serwaroe ini disebut ada bekas rumah misi yang dibangun pada tahun 1736 dan saat ini dihuni oleh misionaris. Di desa Batoemeau, Laitoetoe dan Noeweleli, umat Kristiani sebagai tempat pertemuan mereka berada di Seraai, dimana terdapat gereja yang juga berfungsi sebagai gedung sekolah, serta rumah kepala sekolah dan bekas rumah misionaris.

Lantas mengapa bahasa Leti dipelajari? Tentu saja karena pengetahuan itu dibutuhkan oleh para misionaris NZG di pulau Leti. Sebab hanya satu dua orang penduduk Leti yang mampu berbahasa Melayu, sementara kegiatan misi di pulau Leti sudah terbilang lama namun jumlah pengikutnya dianggap masih minim relative terhadap keseluruhan pendudukan di pulau Leti. Sudah barang tentu pengetahuan itu akan berguna dalam dunia ilmu pengetahuan, khusus dalam bidang linguistic.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pulau Terjauh Kepulauan Maluku, Pulau Terdekat dari Pulau Timor di Timor Leste: Bahasa Melayu, Bahasa Belanda dan Bahasa Portugis

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar