Laman

Rabu, 27 September 2023

Sejarah Bahasa (44): Bahasa Tengger dan Bahasa Kawi di Pedalaman Pulau Jawa di Pegunungan Tengger; Bahasa-Bahasa Punah


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Tengger atau lazim disebut Jawa Tengger atau juga disebut orang Tengger atau wong Brama adalah suku yang mendiami dataran tinggi sekitaran kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur. Penduduk suku Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang.


Bahasa Jawa Tengger adalah bahasa Jawa dituturkan oleh orang Jawa Tengger di wilayah Pegunungan Tengger. Dalam lokal, bahasa Tengger dikenali sebagai Cārabasa Tengger atau Piwākyan Tengger. Kata cārabasa mungkin merupakan sebuah kata lakuran dari Jawa Kuno uccāraṇa + bhāṣa (Sanskerta), yang berarti "pengungkapan kata", istilah piwākyan yang berakar dari wākya (Jawa Kuno) memiliki arti "pengungkapan suara". Sedangkan, istilah Tengger itu sendiri merujuk kepada etnonim penghuni asli atau pribumi Pegunungan Tengger dan sekitarnya. Secara linguistik, Bahasa Tengger digolongkan dialek bahasa Jawa bahasa Melayu-Polinesia. Beberapa ahli bahasa juga menganggap bahwa bahasa Tengger merupakan turunan dari bahasa Kawi, karena memiliki beberapa kosakata kuno. Secara genealogi, bahasa Tengger merupakan sebuah rumpun bahasa Jawa ragam Jawa Timur dan mempunyai keterkaitan dengan rumpun bahasa Jawa Timuran lainya utamanya Dialek Arekan (Malang - Surabaya - Gresik) dan Osing. Sebagai bahasa yang dituturkan di pulau Jawa (terutama di wilayah timur), bahasa Tengger secara historis juga kerap didokumentasikan menggunakan aksara Jawa (dalam bentuk Kawi) sama seperti rumpun bahasa Jawa lainnya. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Tengger dan bahasa Kawi di pedalaman pulau Jawa di pegunungan Tengger? Seperti disebut di atas, pada masa ini ada yang menganggap bahasa Jawa sebagai bahasa Jawa di era bahasa Kawi. Bagaimana dengan bahasa-hahasa punah. Lalu bagaimana sejarah bahasa Tengger dan bahasa Kawi di pedalaman pulau Jawa di pegunungan Tengger? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Tengger dan Bahasa Kawi di Pedalaman Pulau Jawa di Pegunungan Tengger; Bahasa-Bahasa Punah

Bagaimana sejarah bahasa Tengger? Kita harus memulai penyelidikannya di wilayah dimana terdapat kelompok populasi yang bertutur dengan bahasa Tengger. Dimana itu wilayah Tengger berada? Kita harus memulai memahaminya di suatu wilayah yang kini menjadi wilayah perbatasan antara wilayah Pasuruan, wilayah Probolonggo, wilayah Lumajang dan wilayah Malang. Wilayah ini berada di dataran tinggi di pegunungan di sekitar gunung Bromo.


Orang Eropa pertama mengunjungi wilayah pedalaman Pasoeroean bermula pada era VOC dimana pedagangan VOC memulai perdagangan di Malang pada tahun 1787. Sejak VOC dibubarkan pada tahun 1799 dan kemudian dibentuk Pemerintah Hindia Belanda, wilayah Malang dikunjungi oleh orang Eropa pertama N Engelhard, yang pada tahun 1803 yang saat itu menjadi Inspektur Pribumi, menemukan situs candi Singosari. Pada masa pendudukan Inggris (1811-1816) penemuan situs-situs kuno di khususnya di Malang semakin banyak. Setelah Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan, pejabat pemerintah setingkat Asisten Residen ditempatkan di Malang tahun 1817 (Residentie Pasoeroean). Yang diangkat sebagai Asisten Residen di Malang adalah D Monnerean (lihat Bataviasche courant, 04-04-1818).    

Sehubungan dengan terbentuknya cabang pemerintahan dengan ibu kota (Afdeeling) di Malang, Resident Pasoeroean mengirim tenaga ahli untuk menyelidiki keberadaan penduduk Tengger di pedalaman (lihat Bataviasche courant, 24-06-1820). Para ahli ini berangkat dari Pasoeroean dengan kuda menuju kampong Lamadjang (kini Lumajang) sejauh 30 paal. Untuk menuju pegunungan dimana orang Tengger, dari Lamadjang melalui kampong Kandangan (di lereng gunung Semeru) dan kemudian kampong Ledoombo.


Satu decade kemudian, seorang pelancong berencana untuk mendaki gunung Arjoena pada tahun 1830. Perjalanan dimulai dari Pasoeroean. Warga yang menemaninya ikut naik memandu ke puncak Arjuno melalui Indrokilo (lihat Javasche courant, 05-02-1831). Sejak inilah tempat Indrokilo mulai dikenal secara luas.

Demikianlah selanjutnya, wilayah Tengger semakin dikenal, tidak hanya di Pasoeroean. Namun belum sevara intens dikenal kelompok populasi Tengger di pegunungan. Nama Tengger juga termasuk wilayah Residentie Bezoeki di afdeeling Probolinggo. Nama Tengger tidak terlalu dikenal di wilayah Malang.


Pada tahun 1840 tanaman kopi di district Loemadjang sudah menghasilkan (lihat Javasche courant, 05-02-1840). Disebutkan Asisten Residen di Probolingo, Residence Besoekie menawarkan kepada public untuk pengangkutan kopi ke gudang di Probolinggo dari afdeeling Kraksan, Loemadjang en Tengger. Kopi-kopi itu diangkut dari gudang pakhuis di Padjarakan, gudang di Loemadjang dan gudang di Patalen. Dalam hal ini di residentie Bezoeki sudah terbentuk afdeeling baru (afdeeling Kraksan, Loemadjang en Tengger).

Secara historis, populasi penduduk orang Tengger berada di dataran tinggi pegunungan, terutama di daratang tinggi pegunungan Tengger dab gunung Bromo-Semeru. Sudah barang tentu berbagai elemen budata orang Tengger mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Hal itu karena orang Tengger bukanlah populasi penduduk yang terasing, tetapo hanya terpencil secara geografis. Orang Tengger sendiri terbukan dengan dunia luar. Orang-orang Tengger banyak dibicarakan pada era Pemerintah Hindia Belanda. Mereka dapat menerima orang Eropa/Belanda yang melakukan pelancongan ke Bromo dan ke Semeru.


Pada tahun 1876 seorang Belanda bersama istrinya melakukan perjalanan ke gunung Bromo yang risalhnya dimuat dalam surat kabar De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 27-06-1876). Kamis tanggal 2 Mei, sebelum fajar menyingsing, mereka meninggalkan Probolinggo untuk melanjutkan perjalanan melintasi Bromo dan Tosari menuju Pasoeroean. Mereka ditemani seorang dokter dan seorang pemimpin local di Probolinggo dan menyertakan sejumlah pembantu. Dengan mengendarai kuda menuju desa Petalian. Setelah mengganti kuda di Petalian, setengah pal kemudian mereka mulai mendaki dengan jalan yang licin dan curam. Asisten Wedono dari Sakapoera, yang menunggu mereka di tengah jalan dengan tim baru dan selusin kuli. Kira-kira jam setengah dua belas mereka turun di Sakapoera di rumah Wedono. Setelah cukup istirahat berangkat menuju dessa Ngadisarie, tujuan akhir mereka hari itu. Lalu di Ngadisari turun dan akan menginap di suatu pesanggrahan pemerintah di luar desa. Jumat pagi dengan cuaca baik mereka berangkat dari Ngadisarie dengan dibantu 30 kuli. Setelah mealalu jalan menanjak dan monoton di antara padang rumput,  tiba-tiba mereka melihat Bromo dengan lautan pasir. Sungguh pemandangan yang luar biasa! Bromo, salah satu puncak tertinggi Pegunungan Tengger, tingginya sekitar 7 hingga 8000 kaki. terletak di atas permukaan laut. Bayangkan sebuah lingkaran besar dengan diameter 20-25.000 kaki. Junghuhn berpendapat bahwa Lautan Pasir mungkin adalah kawah kuno Bromo, dan bahwa kawah Batu muncul di kemudian hari. Namun saya berpendapat bahwa Laut Pasir tidak lebih dari jurang yang kemudian dipenuhi material abu vulknik Bromo. Perlahan mereka menuruni jalur pegunungan yang terjal lalu mencapai tulang rusuk Bromo. Semenetara di belakang mereka karavan mereka bergerak maju dengan tenang; tandu dengan kuli angkut, kuli dengan barang bawaan dan pengawalan oleh Kepala Suku (Tengger?) mereka. Ketika rombongan mereka telah berkumpul kembali, mereka bersiap untuk mendaki gunung api. Akhirnya mereka sampai pada titik di mana mereka harus turun dari kuda dan mencapai tepi kawah. Mereka melihat ke dalam kawah; diameternya sekitar 5 - 600 kaki, dinding turun secara tegak lurus dan disana-sini gumpalan asap mengepul. Sungguh, kesan begitu luar biasa sehingga bisa dimengerti kepercayaan penduduk gunung ini yang diketahui tidak menganut agama Islam—bahwa Bromo adalah tempat tinggal para dewa, setan dan roh. Setiap tahun orang Tengger berziarah ke Bromo sambil melantunkan doa mereka mempersembahkan persembahan. Keyakinan mereka akan kesucian gunung ini begitu mengakar sehingga Petinggi mereka (kepada suku) dengan sopan memohon kepada dokter yang melempar batu ke dalam untuk tidak melakukannya, karena menurutnya setan atau dewa yang berdiam di bawah mungkin akan tersinggung karenanya. kembali batu kolosal yang akan menghancurkan kita semua…Tapi ada saatnya datang dan pergi, dan ketika awan berangsur-angsur berkumpul, mereka berpikir sebaiknya, setelah berpamitan dengan Wedono yang ramah, mereka melanjutkan perjalanan ke Tosari. Akhirnya mereka sampai di punggung gunung sebelah utara, yang disebut orang Munga. Lalu mereka melihat desa Tosari tergeletak di depan. Mereka bisa melihat terbentang sebagian besar residentie Pasoeeroan dan Probolinggo, tersapu oleh birunya Laut Jawa, di pinggir jalan Pasoeroean beberapa kapal berlabuh, dan membiarkan mata mereka mengembara lebih jauh, mereka melihat pantai Madura di depan di kejauhan. Di sebelah kanan beberapa puncak Pegunungan Tengger, di sebelah kiri mereka melihat Kawi, didepan mereka Ardjoena yang mengesankan, yang disebelahnya Penanggoengan. Setelah sarapan pagi yang mengenyangkan, kami berpamitan dengan kedua rekan kami yang akan kembali ke Probolinggo melalui jalan yang sama. Selkanjutnya merka tiba di Pasrepen, dimana perjalanan akan dilanjutkan dalam waktu singkat hingga ke Pasoeroean.

Dalam kisah perjalanan suami-istri tersebut tergambar dengan jelas bagaimana cara mencapai gunung Bromo, sambutan dan bantuan yang hangat dari kepala suku Tengger dan pembantunya dan cara bagaimana orang Tengger bersikap terhadap gunung Bromo. Tentu saja dalam kisah ini tergambar alam yang menakjubkan (tidak hanya indah ke dalam juga indah ke segala penjuru di kejauhan) dan bagaimana gunung Bromo tidak hanya dapat diakses dari Probolinggi, juga dari Pasoeroean. Dalam konteks inilah orang Tengger berada. Seperti kita lihat nanti akan disarikan bagaimana perjalanan pelancong lain dari arah yang berbeda menuju Bromo.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa-Bahasa Punah: Penutur Bahasa Tengger Sisa Penutur Bahasa Kawi?

Siapa orang Tengger? Itu satu hal. Seberapa banyak populasi penduduk orang Tengger? Seperti kita lihat nanti, mari kita lihat hasil Sensus Penduduk 1930. Dalam sensus ini orang Tengger dibedakan dengan orang Jawa dan orang Madura dan suku/etnik lainnya. Populasi penduduk orang Tenggeri terdapat di sejumlah afdeeling (kabupaten) yang umumnya di district Tengger, afdeeli Probolinggo.


Di afdeeling Probolinggo terdapat orang Tengger sebanyak 13.079 jiwa yang terdiri dari laki-laki 6.337 jiwa dan perempuan 6.742 jiwa. Di afdeeling Loemadjang sebanyak 1.114 jiwa; afdeeling Pasoeroean sebanyak 977 jiwa; afdeeling Malang sebanyak 767 jiwa. Secara keseluruhan populasi penduduk orang Tengger di Residentie Malang sebanyak 15.937 jiwa. Sementara itu di seluruh provinces Oost Java populasi penduduk orang Tengger sebanyak 15.945. Jumlah ini sudah meningkat dibandingkan dengan catatan Dr. Bleeker tahun 1848 diperkirakan sekitar lebih dari 7.000. Umumnya populasi Tengger berada di district Tengger, afdeeling Probolinggo; district Tengger, afdeeling Pasoeroean, district Toempang dan district Kandangan.

Sejauh ini tidak terinformasikan perihal bahasa Tengger. Mengapa? Orang Eropa hanya memperhatikan orang Tengger di pegunungan yang dianggap berbahasa Jawa. Tidak ada yang memperhatikan apakah bahasa yang ditututkan oleh orang Tengger berbeda dengan bahasa Jawa. Yang jelas ada orang Tengger dan ada pula nama gunung Kawi. Suatu gunung yang memisahkan antara wilayah Kediri di barat dan wilayah Malang di timur. Lantas apakah bahasa di Kediri berbeda dengan bahasa di Malang pada masa lampau?


Menurut legenda Jawa puncak tertinggi di Jawa adalah gunung Kawi, gunung Tenger dan gunung Sméroe (lihat Java, geographisch, ethnologisch, historisch, door Pieter Johannes Veth, 1912). Apa artinya? Gunung-gunung tersebut berada di antara wilayah kelompok populasi orang Tengger. Orang Tengger berdiam di pegunungan.

Mengapa bahasa Tengger luput dari perhatian? Seperti halnya orang Badoei dianggap memiliki bahasa yang sama dengan orang Soenda, demikian juga orang Tengger memiliki bahasa yang sama dengan orang Jawa. Namun demikian, kelompok populasi Badoei dibedakan dengan Soenda, halitu juga antara kelompok populasi Tengger dengan orang Jawa. Sebagai kelompok populasi yang berbeda tentu saja memiliki budaya, adat istiadat yang berbeda.


De verspreide geschriften van prof. dr. G.A. Wilken, 1912: ‘Penduduk Pegunungan Tengger di Jawa diketahui suku Tenggerezen seperti rekan-rekan Baduwi di Banten, sama seperti Baduwi yang tidak menerima Islam, namun tetap setia pada agama patriarki dengan beberapa konsep yang berasal dari campuran Hindu. Jadi mereka juga mempunyai sejenis dewa-dewa rumah tangga, yang terdiri dari patung-patung yang mewakili para dewa atau roh, yang diantaranya nenek moyang mereka menempati tempat yang menonjol’.

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar