Laman

Jumat, 29 September 2023

Sejarah Bahasa (47): Bahasa Bawean Pulau Bawean Laut Jawa; Bahasa-Bahasa Madura, Melayu, Jawa, Banjar, Bugis, dan Makassar


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Bawean, dikenal juga Boyan atau Bhebien adalah salah satu suku bangsa yang berasal dari Pulau Bawean, suku ini terbentuk karena terjadi percampuran antara orang Madura, Melayu, Jawa, Banjar, Bugis, dan Makassar selama ratusan tahun di pulau Bawean. Masyarakat Singapura dan Malaysia lebih mengenal dengan sebutan Boyan daripada Bawean.


Bahasa Bawean suatu dialek bahasa Madura umumnya dituturkan suku Bawean mayoritas mendiami pulau Bawean, Gresik. Dialek ini mulanya merupakan sebuah pijin yang telah mengalami kreolisasi, sehingga memiliki beragam kosakata campuran dari bahasa lain seperti bahasa Jawa (utamanya dari wilayah Gresik), bahkan Banjar, Bugis, maupun Makassar. Bahasa Bawean mempunyai beberapa dialek, perbedaan dialek ini bisa ditemukan di beberapa desa di Pulau Bawean seperti desa Daun dan desa Suwari di kecamatan Sangkapura serta desa Kepuhteluk dan desa Diponggo di kecamatan Tambak. Ragam dialek di empat desa tercermin dalam penyebutan kata "saya". Masyarakat desa Daun menyebut "saya" dengan kata "éson" sedangkan masyarakat desa Suwari menyebutnya "éhon". Kemudian, masyarakat desa Kepuhteluk akan menyebut "saya" dengan kata "bulâ" dan masyarakat Diponggo menyebutnya dengan kata "aku". Variasi dialek ini pun menjadi ciri khas dari masing-masing desa. Dialek dari desa Diponggo paling mencolok diantara dialek-dialek lain dalam bahasa Bawean. Sebagian besar kosakata dalam dialek Diponggo hampir sama dengan bahasa Jawa. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Bawean di pulau Bawean di laut Jawa? Seperti disebut di atas penutur bahasa Bawean umumnya ditemukan di pulau Bawean. Pengaruh bahasa-bahasa Madura, Melayu, Jawa, Banjar, Bugis, dan Makassar. Lalu bagaimana sejarah bahasa Bawean di pulau Bawean di laut Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Bawean di Pulau Bawean di Laut Jawa; Bahasa-Bahasa Madura, Melayu, Jawa, Banjar, Bugis, dan Makassar

Pada awal Pemerintah Hindia Belanda sejumlah residentie adalah Soerabaja, Gressik, Rembang, Djapara en Joeana dan Moedara en Soemanap (lihat Almanak 1827). Dalam perkembangannya sejumlah residentie digabungkan menjadi satu residentie. Di Residentie Soerabaja dibagi ke dalam sejumlah regentschap: Soerabaja, Gressik, Madura, Soemanap, Djapara dan Bawean (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indië voor ..., 1838).


Bawean adalah suatu pulau di pantau utara Jawa di Laut Jawa. Pulau Bawean dapat dikatakan tepat berada garis lurus di utara Gressik. Di sebelah barat pulau Bawean garis lurus adalah kepulauan Karimun, yang tegak lurus dengan Semarang. Nama Bawean dan Kariemon adalah dua nama terpenting di laut Jawa (antara pulau Jawa dan pulau Kalimantan). Jumlah pendudukan regentschap Bawean pada tahun 1845 sebanyak 27.323 jiwa (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indië, 1847). Secara umum terdiri dari 38 orang Eropa dan keturunannya, 50 orang Cina, 27.224 orang Bawean, 426 orang Melayu, dan 1.393 orang Mandar dan Bugis.

Pulau Bawean pernah menjadi sasaran lanun (lihat Toelichting en verdediging van eenige daden van mijn bestuur in Indië, in antwoord op sommige vragen van Jhr. J.P. Cornets de Groot van Kraaijenburg, Oud-Raad van Indie, 1853). Disebutkan pada tahun 1850 perampok berbendera Magindano - bukan Soolo - mendarat di Pulau Bawean dan menimbulkan banyak kerusakan di sana. Mendapat laporan, kapal angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda Sr MS Hekla berhasil melacak, lalu mengejar dan parampok melarikan diri ke Pulau Kangean dan berhasil dilacak dan dimusnahkan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa-Bahasa Madura, Melayu, Jawa, Banjar, Bugis, dan Makassar: Terbentuknya Bahasa Bawean di Pulau Bawean

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar