Laman

Kamis, 07 September 2023

Sejarah Bahasa (6): Bahasa Minangkabau di Sumatra; Seberapa Dekat Bahasa Melayu, Seberapa Jauh dengan Bahasa Batak?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Minangkabau mirip bahasa Melayu. Atau sebaliknya bahasa Melayu mirip bahasa Minangkabau. Bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca di nusantara. Apakah bahasa Minangkabau adalah bahasa asli yang dipengaruhi oleh bahasa Melayu? Bagaimana dengan bahasa Batak?


Bahasa Minangkabau adalah suatu bahasa Austronesia yang dituturkan oleh Suku Minangkabau. Bahasa Minangkabau merupakan salah satu bahasa yang terdapat dalam rumpun bahasa Minangkabauik yang bercabang dari rumpun Melayu-Sumbawa (disebut juga sebagai 'rumpun bahasa Indonesia Barat') yang diturunkan dari rumpun Melayu-Polinesia yang merupakan cabang dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Minang memiliki banyak dialek, bahkan antarkampung yang dipisahkan oleh sungai sekali pun dapat mempunyai dialek yang berbeda. Menurut Nadra, di wilayah Sumatra Barat bahasa Minang dapat dibagi dalam 8 dialek, yaitu: Rao Mapat; Muara Lolo, Lubuak Alai, Payakumbuh, Agam, Pancung Soal, Koto Baru, Pekal, Lintau. Bahasa Minangkabau Umum ini juga disebut sebagai dialek Padang yang biasa disebut Bahaso Padang atau Bahaso Urang Awak. Orang Minangkabau umumnya berpendapat banyak persamaan antara Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Marah Roesli dalam Peladjaran Bahasa Minangkabau menyebutkan pada umumnya perbedaan antara Bahasa Minangkabau dan Bahasa Indonesia adalah pada perbedaan lafal, selain perbedaan beberapa kata. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Minangkabau di Sumatra? Seperti disebut di atas, penutur bahasa Minangkabau berpusat di wilayah Ranah Minangkabau. Seberapa dekat dengan bahasa Melayu, seberapa jauh dengan bahasa Batak? Lalu bagaimana sejarah bahasa Minangkabau di Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Minangkabau di Sumatra; Seberapa Dekat dengan Bahasa Melayu, Seberapa Jauh dengan Bahasa Batak?

Sebelum mendeskripsikan bahasa Minangkabau, ada baiknya meninjau nama Minangkabau sebagai suatu identitas. Nama Minangkabau sendiri sudah lama dikenal. Dalam teks Negarakertagama (1365) sudah diidentifikasi nama Minangkabau. Nama Minangkabau terus eksis hingga era Portugis (lihat Mendes Pinto, 1537). Nama Minangkabau juga masih diidentifikasi pada peta-peta awal VOC/Belanda. Lalu kemudian muncul nama Pagaroejoeng untuk mengidentifikasi nama (kerajaan) Pagaroejoeng (lihat laporan Thomas Dias, 1684).


Pada era Pemerintah Hindia Belanda, Padang sebagai pusat orang Belanda. Sejak itu nama Padang dijadikan sebagai nama wilayah. Untuk wilayah rendah disebut Padangsche Benelanden dan wilayah tinggi disebut Padangsche Bovenlanden. Untuk warga di (kota) Padang disebut Padanger (seperti halnya di Priangan disebut Preanger). Orang Padang kemudian diidentifikasi sebagai orang Melayu, termasuk populasi pendudukan di wilayah Padangsche Bovenlanden. Idem dito dengan wilayah Tapanoeli yang merujuk pada suatu kampong/kota di teluk Tapanoeli. Namun di wilayah pedalaman Tapanoeli diidentifikasi suatu wilayah Bataklanden.

Jauh sebelum Padangisasi di wilayah West Sumatra, di masa lampau sudah lama terjadi proses Melayunisasi. Akibatnya wilayah Minangkabau (merujuk pada nama Kerajaan Minangkabau) disebut wilayah Melayu (Melayunisasi). Boleh jadi itu seiring dengan Melayunisasi bahasa Minangkabau. Sebagaimana dipahami dalam waktu yang lama bahkan ini hari bahasa Minangkabau memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu (seperti halnya bahasa Melayu dialek Betawi; ada juga yang menginterpretasi bahasa Melayu dialek Minangkabau).


Bahasa Melayu sebagai bahasa yang berkembang sejak zaman kuno, umumnya digunakan di wilayah pantai (pesisir) sebagai lingua franca. Pengaruh bahasa Melayu ini di wilayah penduduk pedalaman (bahasa asli) berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Yang mengalami proses Melayunisasi adalah bahasa asli yang berada dekat di belakang pantai, semakin jauh ke pedalaman pengaruh bahasa Melayu semakin lemah. Ada dugaan yang kuat bahwa di pedalaman Sumatra sejak zaman kuno sudah eksis bahasa-bahasa asli mulai dari Lampung di ujung selatan hingga bahasa Gajo/Alas di ujung utara. Bahasa-bahasa asli besar kemungkinan adalah bahasa Batak, bahasa Minangkabau, bahasa Kerinci, bahasa Redjang dan bahasa Komering. Diantara bahasa-bahasa asli di pedalaman ini diduga hanya bahasa Minangkabau yang dipengaruhi secara singnifikan oleh bahasa Melayu. Akibatnya bahasa-bahasa asli pedalaman Sumatra seakan terputus di wilayah West Sumatra karena bahasa Minangkabau mirip dengan bahasa Melayu. Dalam hal ini bahasa asli Minangkabau telah berubah wujud yang dianggap sebagai salah satu (dialek) bahasa Melayu. Namun jika diperhatikan secara cermat untuk kosa kata elementer bahasa Minangkabau berbeda dengan bahasa Melayu umum di wilayah-wilayah pesisir. Oleh karena itu kosakata elementer itu adalah sisa bahasa Minangkabau yang asli sebagai bahasa pedalaman di jaman lampau. Hal serupa inilah yang terjadi di Jawa antara bahasa Jawa di satu sisi dengan bahasa Madura dan bahasa Soenda di sisi lain.  

Kesadaran berbangsa di bawah label bahasa (dalam hal ini bahasa Melayu), mulai muncul ke permukaan untuk mengidentifikasi diri tidak sebagai bangsa Melayu, meski fakta dapat dikatakan berbahasa Melayu. Di wilayah West Sumatra, paling tidak sejak 1890 sebagian penduduk mengidentifikasi diri sebagai Orang Minangkabau yang orang-orang Belanda menulisnya Minangkabauer (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-03-1890). Selama ini yang diidentifikasi atau dicatat adalah Orang Melayu (Maleijer atau Maleier).


Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Apakah generalisasi Maleier terhadap orang Minangkabau dianggap kekeliruan atau sebaliknya orang Minangkabau (Minangkabauer) menyadari bukan orang Melayu? Faktanya hanya bahasa yang mirip (bahasa Melayu) tetapi elemen budaya yang lainnya berbeda antara Orang Minangkabau dengan Orang Melayu. Idem dito antara Orang Betawi dengan Orang Melayu. 

Hal serupa ini jugalah yang terjadi di wilayah Jawa bahwa Orang Soenda dengan sadar mengakui bukan Orang Jawa (seperti di Jawa bagian tengah). Demikian juga dengan Orang Madoera di wilayah tapal kuda (pantai timur Jawa) menyadari bukan orang Jawa (meski tinggal di bagian pulau Jawa). Sudah pasti Orang Betawi sadar bukan orang Jawa maupun orang Sunda.


Sejak tahun 1890an pengidentifikasian terhadap orang Minangkabau (Minangkabauer) semakin intens, tidak hanya Orang Minangkabau diantara sebutan Orang Padang atau Orang Melayu, tetapi juga orang-orang Belanda juga semakin intens menggunakan nama Minangkabuer daripada nama Maleier. Lalu apakah dalam hal ini Orang Minangkabau dengan sadar telah mulai menanggalkan nama Melayunya? Dalam konteks inilah kita bisa menjelaskan proses Melayunisasi di Semenanjung pada fase awal yang lalu kemudian menjelaskan proses demelayunisasi pada fase masa kini di Semenanjung. Beberapa dekade terakhir di wilayah pantai timur Sumatra, semakin banyak penduduk di wilayah Melayu menggunakan marga. Tentulah penggunaan marga itu merujuk pada asal usulnya di masa lampau. Demikian juga ada hal yang aneh ketika hasil-hasil statistik Sensus Penduduk jumlah populasi orang Melayu di wilayah pantai timur Sumatra relatif menurun drastis, sementara jumlah populasi orang Batak relatif meningkat drastis. Hal yang sama juga ditemukan di wilayah Semenajung Malaya, beberapa deka terakhir semakin banyak orang Malaysia yang menggunakan nama marga dan bahkan para pejabat di Malaysia tidak malu-malu kucing lagi menyebut dirinya (berasal) orang Bugis, orang Angkola/Mandailing, orang Minangkabau dan orang Jawa. Meski mereka telah mengidentifikasi diri sebagai Orang Melayu (Malaysia) tetapi ini menunjukkan gejala proses deMelayunisasi.

Proses Melayunisasi di wilayah (teritorial) Semenanjung (Peninsula) diduga belum lama terjadi. Proses Melayunisasi diduga di sekitar tahun-tahun dimana AR Wallace memperkenalkan nama Malay Archipelago yang sedikit banyak terkesan berbenturan dengan nama lama Indian Archipelago (Indisch Archipelago). Dalam konteks payung Malay Archipelago inilah orang-orang dari berbagai asal (Sumatra, Jawa, Borneo dan Sulawesi) di Semenanjung berlindung dan memasang payung di bawah nama Malay (Archipelago).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Seberapa Dekat dengan Bahasa Melayu, Seberapa Jauh dengan Bahasa Batak? Apakah Bahasa Minangkabau Bahasa Asli?

Dalam sejarah bahasa, aksara memiliki relasi dengan bahasa (demikian sebaliknya). Di Jawa ada aksara, aksara yang berbeda dengan aksara di Sumatra. Lantas mengapa di wilayah Minangkabau tidak ditemukan aksara (lagi). Sementara di wilayah Batak masih ditemukan aksara dan demikian juga di wilayah Kerinci. Mengapa keberlanjutan aksara terputus di wilayah Minangkabau. Aksara yang dimaksud dalam hal ini adalah aksara tradisi (yang dibedakan dengan aksara Jawi).


Yang dimaksud aksara Kerinci dalam hal ini adalah aksara yang digunakan dalam teks Undang-Undang Tanjung Tanah. Masuknya agama Islam di Sumatra, aksara Jawi berdampingan dengan aksara tradisi seperti di Kerinci dan di Tanah Batak (dwi aksara). Lantas mengapa di wilayah Minangkabau (antara Tanah Kerinci dan Tanah Batak) tidak ditemukan aksara tradisi, sebaliknya yang eksis adalah aksara Jawi (saja). Apakah aksara Minangkabau telah hilang? Jika aksara Minangkabau dulunya eksis, apakah aksara Minangkabau lebih dekat ke aksara Batak atau lebih dekat ke aksara Kerinci? Aksara Minaangkabau yang hilang diduga kuat adalah satu mata rantai aksara-aksara di Sumatra mulai dari Lampung di selatan hingga Gayo di utara. Dalam daftar aksara di Hindia yang terbit di bawah judul Tabel van oud- en nieuw-Indische alphabetten, 1882, di Sumatra hanya didaftar aksara di Lampoeng, Komering, Aboeng, Pasemah, Redjang, Mandailing, Angkola, Toba dan Dairi.

Dalam sejarah bahasa Minangkabau, yang selalu dijadikan rujukan adalah teks bahasa Minangkabau dalam aksara Jawi. Sementara itu aksara Jawi tertua ditemukan di Trangganu pada tahun 1386 (bandingkan dengan teks Negarakertagama 1365). Okelah, aksara adalah satu hal. Bahasa adalah hal lain lagi. Lalu bagaimana hubungan bahasa-bahasa di Sumatra, terutama di wilayah pedalaman Sumatra, ternasuk di wilayah Minangkabau?


Seperti disebut di atas, bahasa Minangkabau mirip dengan bahasa Melayu. Di Sememanjung dan di Minangkabau tidak (lagi) ditemukan aksara tradisi (melainkan aksara Jawi yang eksis). Lalu bagaimana dengan dengan bahasa Minangkabat di (pedalaman) Sumatra sendiri? Fakta bahwa, (bahkan hingga kini) sejumlah kosa kata elementer dalam bahasa Minangkabau ditemukan mirip/sama dengan kosa kata di sebelah utara wilayah Minangkabau (Mandailing, Angkola) dan di sebelah selatan (Kerintji/ Redjang dan Komering). Apakah ini merupakan petunjuk bahwa di masa lampau terdapat garis continuum bahasa-bahasa di (pedalaman) Sumatra? Tanda-tanda itu masih terdapat dalam sejumlah kosa kata Minangkabau. Lalu apakah telah terjadi Melayunisasi (bahaa asing) di dalam bahasa asli Minangkabau pada akhirnya kemudian membentuk bahasa Minangkabau yang mirip bahasa Melayu?

Selama proses Melayunisasi bahasa di wilayah Minangkabau, apakah aksara asli (tradisi) Minangkabau yang mirip aksara Batak dan Kerintji telah digantikan aksara Jawi? Melayunisasi bahasa di wilayah Minangkabau ini terjadi setelah era Aditiawarman (1375) dan setelah era prasasti Trengganu (1386)? Lalu sejak kapan Islamisasi dan aksara Jawi di wilayah Minangkabau?


Komunitas Islam (Arab) sudah sejak abad ke-7 terdapat di pantai barat Sumatra di Baroes. Namun tidak bekermbang dan meluas. Pengaruh Hindoe/Boedha begitu kuat di Sumatra, Jawa dan Semenanjung. Pasca Darmasraya (hingga era Aditiawarman) pengaruh Boedha masih cukup kuat di wilayah Minangkabau. Pada era yang sama komunitas Islam di pantai barat Sumatra (Barus) sudah berkembang ke pantai timur Sumatra (Sanmudra Pasai) dan pantai timur Semenanjung (Moor). Kunjungan utusan orang Moor, Ibnoe Batoetah ke pantai timur Sumatra pada tahun 1345 diduga suatu indikasi semakin menguatnya komunitas Islam (Moor). Pada masa inilah prasasti Trengganu ditemukan (1386).

Perkembangan Islam yang masif di pantai timur Sumatra (bagian utara di Atjeh yang sekarang) dan pantai timur Semenanjung menjadi head to head dengan pengaruh Boedha/Hindoe di wilayah (kerajaan Aroe) di pantai timur Sumatra (bagian utara di Sumatra Utara) dan Sumatra bagian tengah (Minangkabau) serta pantai barat Semenanjung. Komunitas Islam orang Moor di Muar diduga kemudian menyebabkan Malaka menjadi (kerajaan) Islam. Yang memperkenalkan aksara Jawi (seperti di Trengganu) diduga adalah para pedagang-pedagang Moor.


Kerajaan Aroe adalah kerajaan yang paling kuat dan dominan di Sumatra pada saat Islamisasi terjadi di Sumatra dan Jawa. Pada fase inilah terjadi ekspedisi Cheng Ho dari Tiongkok termasuk ke pantai timur dan pantai barat Sumatra dan pantai utara Jawa. Pada masa ini kerajaan Aroe telah diperkuat oleh para pedagang-pedagang Moor. Kerajaan Aroe, sebelum Portugis menduduki Malaka, beberapa kali menyerang Malaka (lihat laporan Mendes Pinto 1537). Dalam laporan itu, Mendes mencatat kerajaan Aroe Batak Kingdom memiliki kekuatan sebanyak 15.000 tentara, sebanyak 8.000 orang Batak dan sisanya didatangkan dari Minangkabau, Indragiri, Djambi, Broenai dan Luzon. Kerajaan Malaka selalu takur kepada kerajaan Aroe. Kerajaan Malaka yang lemah dan berseberangan (bermusuhan) dengan kerajaan Aroe diduga yang menjadi sebab kraton Malaka mudah ditaklukkan oleh pelaut-pelaut Portugis pada tahun 1511.

Pada awal kehadiran Portugis, yang tidak lama kemudian dengan jatuhnya kerajaan Aroe (Moor) oleh kerajaan Atjeh (Turki) diduga kuat proses Islamisasi semakin kuat di wilayah Minangkabau. Apakah pada fase ini introduksi aksara Jawi oleh orang-orang Moor dimulai? Suatu aksara yang sudah lama ada di wilayah pantai timur Semenanjung (Trengganu). Aksara Jawi yang kemudian menggantikan aksara tradisi di Minangkabau. Sementara Islamisasi di wilayah Sumatra bagian selatan dari arah pantai utara Jawa (Demak). Islamisasi di wilayah (pedalaman) Minangkabau diduga kuat masa Melayunisasi, pergeseran bahasa Minangkabau (asli) menjadi bahasa Minangkabau mirip bahasa Melayu.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar