Laman

Minggu, 01 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (52): Bahasa Betawi Bahasa Batavia Sejak Era VOC dan Bahasa Melayu Pengaruh Bali; Betawi Ora dan Betawi ‘Ori’


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Pada masa lampau bahasa Melayu adalah lingua franca dalam perdagangan anatar pulau. Lingua franca di wilayah daratan Jawa antara lain bahasa Jawa. Bahasa Melayu bermetamorfosis menjadi bahasa Indonesia sebagai lingua franca masa kini. Bahasa Melayu di Batavia yang memiliki pengaruh kuat bahasa Bali kemudian terbentuk bahasa Betawi yang dianggap sebagai bahasa daerah. Ada dua dialek umum bahasa Betawi: dialek Ora dan dialek bukan Ora (‘Ori’).


Bahasa Betawi, Basé Betawi, Melayu Betawi adalah bahasa kreol dituturkan suku Betawi mendiami daerah Jakarta dan sekitarnya. Bahasa Betawi merupakan bahasa Melayu Pasar yang bercampur dengan bahasa asing, seperti; Belanda, Portugis, Arab, Persia, Hokkien, dan juga bahasa pribumi Sunda, Jawa, dan Bali; imbas imigran multietnis didatangkan dari berbagai tempat ke Batavia oleh VOC sejak abad ke-16. Pada masa ini bahasa Betawi menjadi dasar atas bahasa gaul (ragam bahasa Indonesia non-baku), yang digunakan oleh orang-orang di Jabodetabek. Laras ini memiliki ciri khas, yaitu adanya sebagian kosakata dengan fonem /a/ pada suku akhir tertutup berubah menjadi /ə/ [e pepet], dan akhiran /-in/ untuk mengganti sufiks /-i/, /-kan/ dan /-lah/ pada bahasa Indonesia. Betawi Pinggiran atau Betawi Ora berbeda dengan dialek Betawi Tengahan. Betawi Pinggiran lebih kentara dan dekat dalam penyerapan kosakata asingnya (umumnya dari bahasa Sunda, Bahasa Jawa dan bahasa-bahasa lainnya) yang menyebabkan kosakatanya lebih beragam dibanding dialek Betawi Tengahan. Dalam pelafalan kata juga dialek ini berakhiran "a" berbeda dengan Betawi Tengahan yang berakhiran "è". (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Betawi bahasa Batavia sejak Era VOC dan pengaruh Bali dan Malayu? Seperti disebut di atas bahasa Betawi dulunya disebut bahasa di Batavia suatu bahasa Melayu yang awalnya dipengaruhi bahasa Bali. Kini ada dialek Betawi Ora dan dialek Betawi ‘Ori’. Lalu bagaimana sejarah bahasa Betawi bahasa Batavia sejak Era VOC dan pengaruh Bali dan Malayu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Betawi Bahasa Batavia Sejak Era VOC dan Pengaruh Bali dan Malayu; Betawi Ora dan Betawi ‘Ori’

Keberadan Bahasa Betawi belumlah lama, tetapi sebaliknya bahasa Melayu sudah ada sejak jaman kuno. Kamus bahasa Betawi paling tidak sudah diterbitkan pada tahun 1868. Kamus bahasa Betawi ini diberi judul ‘De Djoeroe basa Betawi’ yang diterbitkan oleh HM van Dorp. Bahasa Betawi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda tersebut, sangat mirip dengan bahasa Melayu. Judulnya bahasa Betawi mengindikasikasn tidak sepenuhnya kamus Bahasa Melayu.


Untuk sekadar gambaran tentang isi kamus Betawi-Belanda ini dapat dicatat sebagai berikut. Tentu saja tidak ditemukan kata ‘gue/gua’ sebab yang entri yang ada alah ‘akoe’; tidak ada babeh, yang ada bapa. Yang sudah eksis misalnya kata bangor, bonyok, emper, enteng, goblok, ogah, omong, uber dan udut. Selain kata/entri yang sama dengan bahasa Melayu juga terdapat bahasa serapan dari bahasa Jawa dan bahasa Soenda. Secara umum bahasa (kosa kata) Betawi sangat mirip kosa kata (bahasa) Melayu

Bahasa Betawi (yang terbentuk kemudian) overlap dengan bahasa Melayu. Jika terus ditrace ke belakang bahasa Melayu (yang terbentuk kemudian) overlap dengan bahasa Sanskerta. Sebagai bahasa pengantar (lingua franca), bahasa Melayu tidak hanya digunakan oleh orang-orang Melayu tetapi juga dengan sendirinya bahasa yang mau tidak mau harus dipelajari dan dikuasai oleh orang Eropa ketika mereka berada di nusantara. Tentu saja hal serupa itu telah dilakukan sebelumnya oleh penduduk asli di berbagai tempat yang berbahasa non Melayu.


Para penutur asli bahasa Melayu dapat dikatakan sebagai orang (etnik) Melayu. Di berbagai tempat di Nusantara, selain di Sumatra, komunitas orang Melayu diantaranya terdapat di Ambon, Makassar, Soerabaja, Semarang, Banten dan Chirebon, serta pelabuhan-pelabuhan kecil yang dianggap penting diantara Banten dan Chirebon seperti Tanara, Tangerang, (Soenda) Kalapa, Krawang dan Indramajoe. Orang-orang Melayu sendiri selain banyak yang menjadi pedagang antar pulau yang piawai dan bermukim di berbagai tempat orang-orang Melayu umumnya sebagai nelayan dan berdiam di antara selat antara Sumatra dan Semenanjung.

Orang-orang Eropa (sejak era Portugis) yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam hubungannya dengan perdagangan yang dilakukan menyebabkan bahasa Melayu menjadi kerap digunakan di bandar-bandar yang ada di sepanjang pantai. Orang Portugis yang berbasis di Malaka (daerah yang menggunakan bahasa Melayu) banyak dibantu oleh orang-orang Melayu dalam perdagangan ke tempat yang jauh seperti Maluku dan Jawa,


Sejak kapan bahasa Melayu terbentuk? Tentulah sudah sejak lama. Terbentuknya perlahan-lahan hingga ditemukan orang Eropa/Portugis di Malaka (sejak 1511). Tanda-tanda bahasa Melayu, yang merujuk pada bahasa Sanskerta dan bahasa asli Sumatra (seperti bahasa Batak, seperi awalan mar dan kata depan ni) ditemukan pada sejumlah prasasti abad ke-7 di pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa. Interaksi bahasa Sanskerta dan bahasa-bahasa asli ini kemudian bertransformasi menjadi pra bahasa Melayu. Prasasti Trengganu masih mengandung bahasa Jawa kuno dan Batak (Sumatra) kuno. Dalam perkembangannya bahasa pra Melayu ini dipengaruhi oleh bahasa Arab. Dalam perkembangan lebih lanjut, bahasa Melayu yang sudah terbentuk juga dipengaruhi oleh bahasa Portugis seperti peniaga (veniaga), bendera (bandeora), sepatu (sapato). Serapan bahasa Portugis dan bahasa-bahasa asli ke dalam bahasa Melayu yang semakin diperkaya. Kehadiran orang Belanda di Hindia semakin melenkapi bahasa Melayu di era VOC. Sejak era Pemerintah Hindia Belanda, bahasa Melayu yang berkembang di wilayah Hindia Belanda dibelandakan (mulai ditata dengan mengikurti kaidah bahasa Eropa/Belanda).

Pada fase permulaan kehadiran Belanda di muara sungai Tjiliwong (sejak Kasteel Batavia, 1619) bahasa Melayu di Batavia berbeda dengan bahasa Melayu yang sekarang (sebagai bahasa daerah). Tentu saja bahasa daerah Melayu berbeda dengan bahasa Indonesia masa kini. Pada saat permulaan era VOC inilah bahasa Melayu (saat itu) semakin banyak menyerap berbagai bahasa (bahasa-bahasa asing dan bahasa-bahasa asli) yang kemudian membentuk pra bahasa Betawi. Bahasa-bahasa asli di Batavia terutama bahasa Bali, bahasa di Maluku (Banda, Ambon, Ternate), bahasa di Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), bahasa di Sumbawa (Sumbada dan Bima), bahasa di Flores (Manggarai) dan bahasa Melayu (Sumatra, Borneo, Malaya) serta bahasa Jawa plus bahasa asal Tiongkok. Hal itulah mengapa terbentuk nama-nama kampong di era VOC di Batavia seperti kampong Ambon dan kampong Tambora.


Dalam pembentukan bahasa Melayu Betawi, yang paling banyak mendapat pengaruh adalah bahasa Bali. Mengapa? Secara teknis, orang Eropa pertama yang memulai membangun Batavia adalah orang Belanda (di Malaka, orang Portugus). Saat pertama kali pelaut Belanda di Hindia Timur yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597) yang menerima mereka hanya orang Bali di pulau Bali. Hubungan erat antara orang Belanda dan orang Bali terus terbentuk sekian ratus tahun. Orang Bali turut membantu Belanda dalam mengusir orang Portugis dari Amboina tahun 1605 dan Solor/Koepang tahun 1612. Saat Belanda/VOC memulai pos utama perdagangan di Kasteel Batavia (sejak 1619) orang Bali banyak dilibatkan. Saat itu Bali dan Mataram berselisih. Seperti kita lihat saat Dr NH van der Tuuk tahun 1870 mempersiapkan studi bahasa di Bali, van der Tuuk mempelajari bahasa Bali di Batavia. NH van der Tuuk menyatakan bahwa bahasa Melayu Pasar di Batavia sangat dipengaruhi bahasa Bali (tata bahasa dan kosa kata). NH van der Tuuk tidak kesulitan menemukan orang (keturunan) Bali di Batavia.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Betawi Ora dan Betawi ‘Ori’: Bahasa Indonesia Bahasa Melayu Dibelandakan

Sejak kapan nama Betawi muncul? Tentulah sudah lama. Paling tidak antara lain disebut pada tahun 1857 (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 15-01-1857). Dicatat sebagai Betawie (bukan Betawi).


Nama Betawi, tidak hanya menunjukkan nama tempat (nama lain Batavia), juga digunakan untuk nama-nama lain, Nama kapal (Javasche courant, 28-04-1860). Nama toko. Nama surat kabar Pembrita Betawi (lihat Surat kabar De locomotief, 22-12-1884).

Lantas siapa orang Betawi? Orang Betawi di Batavia adalah penduduk mix population. Jelas bukan orang Eropa/Belanda, dan juga bukan orang Cina. Mix population adalah percampuran penduduk asli (Soenada?) dengan semua pendatang: Eropa/Belanda (termasuk Indo), Cina, Arab dan Timur asing lainnya yang disebut Indo atau Paranakan dan orang-orang pribumi dari berbagai tempat, yakni orang Bali dan orang-orang yang direkrut VOC untuk mendukung militer VOC dari Maluku, Sulawesi dan sebagainya. Kehadiran penduduk asli dari berbagai daerah ini yang kemudian terbentuk kampong-kampong baru di luar kota (stad) Batavia seperti kampong Bali, kampong Banda(n), kampong Jawa, kampong Melayu, kampong Ambon, kampong Bugis dan kampong Makassar. Yang paling banyak adalah pemukiman (kampong) orang Bali.


Di Batavia dari waktu ke waktu, atas dasar keberadaan mix population lalu terbentuk bahasa Melayu Pasar (bahasa yang berbeda dengan bahasa Melayu di wilayah Melayu). Bahasa Melayu Pasar di Batavia inilah yang kemudian disebut/dicatat orang Belanda sebagai bahasa Betawi dan penutur bahasa tersebut sebagai orang Batavia atau orang Betawi. Banyaknya orang Cina peranakan di Batavia, turut memberi pengaruh dalam terbentuknya bahasa Betawi.

Lalu bagaimana mengidentifikasi bahasa Betawi? Tentu saja bahasa Betawi satu abad yang lampau berbeda dengan bahasa Betawi pada masa ini. Seperti disebut di atas, kamus bahasa Betawi paling tidak sudah terbit tahun 1868. Tentu saja dalam kamus itu belum ditemukan kata ‘gue/gua’ sebab entri yang ada adalah ‘akoe’; tidak ada babeh, yang ada bapa. Kosa kata yang eksis antara lain bangor, bonyok, emper, enteng, goblok, ogah, omong, uber dan udut.


Dalam Kamus Bahasa Betawi 1868 (disusun CJ Batten) sejatinya dapat ditelusuri kata/entri yang sama dengan bahasa Melayu sejaman dan kosa kata yang diduga diserap dari berbagai bahasa asli di Hindia Belanda seperti bahasa Jawa, bahasa Soenda, bahasa Bali, bahasa asal Tiongkok dan sebagainya. Sudah barang tentu juga khususnya dari bahasa Arab.

Satu yang penting, dalam kamus 1868 tidak ada kosakata dengan fonem /ə/ [e pepet]. Mengapa? Semua kosakata masih fonem /a/ pada suku akhir tertutup. Juga akhiran /-in/ untuk mengganti sufiks /-i/, /-kan/ dan /-lah/ tidak ditemukan. Bagaimana dengan perbedaan geografis penggunaan bahasa Betawi masa kini? Seperti disebut di atas, Betawi Pinggiran lebih kentara dan dekat dalam penyerapan kosakata asingnya (umumnya dari bahasa Sunda, Bahasa Jawa dan bahasa-bahasa lainnya) yang menyebabkan kosakatanya lebih beragam dibanding dialek Betawi Tengahan. Dalam pelafalan kata juga dialek ini berakhiran "a" berbeda dengan Betawi Tengahan yang berakhiran "è". Lalu sejak kapan e pepet dan akhir in tersebut terbentuk dalam ragam bahasa Betawi? Dalam kamus 1868 tidak ditemukan kosa kata tjewe/k dan tjowo/k. Juga tidak ditemukan kosa kata molor, yang ada adalah tidur.


Pada tahun 1891 buku Bahasa Melayu Betawi cetakan kedua diterbitkan kembali (cetakan pertama tahun 1883. Buku ini ditulis oleh Lie Kim Hok. Suatu buku yang lebih tepat disebut buku tata bahasa Melayu Betawi daripada suatu kamus. Namun dalam buku penggunaan kosa kata kurang lebih sama dengan kosa kata yang terdapat dalam kamus tahun 1868.

Pada tahu 1903 terbit Kitab Logat Malajoe yang ditulis oleh CA van Ophuijsen. Karya Ophuijsen ini tampaknya telah menyempurnakan semua karya bahasa Melayu yang ada sejauh ini (sejak era VOC) termasuk katya Lie Kim Hok. Buku van Ophuijsen ini cukup lama bertahan dan beberapa kali dicetak ulang. Dalam sejarah Bahasa Indonesia, nama CA van Ophuijsen diabadikan sebagai ejaan van Ophuijsen. Kitab Logat Malajoe karya Ophuijsen ini dapat dikatakan cikal pembentukan Bahasa Indonessia. Dalam hal ini karya CJ Batten dan Lie Kim Hok menjadi cikal bakal kamus bahasa (daerah) Betawi.


Buku ini sangat dipuji oleh berbagai media karena sangat baik untuk sekolah pribumi dan juga dianjurkan bagi orang Eropa yang ingin belajar bahasa Melayu (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-10-1902). Karya van Ophuijsen yang diterbitkan tahun 1903 menjadi pertimbangan Menteri Koloni mengangkatnya sebagai guru besar (Profesor) bahasa dan tata bahasa Melayu di Universiteit Leiden tahun 1904.

Lalu sejak kapan bahasa Melayu Betawi bergeser menjadi bahasa Betawi yang sekarang?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar