Laman

Jumat, 06 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (62): Bahasa Lubu - Orang Lubu; Budaya Diantara Orang Batak dan Orang Minang, Administratif di Mandailing


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Lubu adalah kelompok etnis yang mendiami wilayah perbatasan antara Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Suku ini diketahui telah muncul sejak lama. Mayoritas suku ini mendiami Sumatera Utara bagian selatan. Namun terjadi pembauran budaya dengan suku Batak dan suku Melayu, sehingga saat ini meskipun mereka tetap mengakui suku Lubu, tetapi budaya dan adat-istiadat mereka sudah terpengaruh secara signifikan oleh suku Mandailing dan suku Padang Lawas.


Relasi Kekerabatan Bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau. Sri Andia Putri dan Inyo Yos Fernandez. 2015. Tesis | S2 Ilmu Linguistik. Abstrak. Bahasa Lubu, Sakai, dan Minang berada di pulau Sumatera. Bahasa Minang ditutur di Sumatera Barat, bahasa Lubu dan Sakai dituturkan suku terasing di Mandailing Natal dan Riau. Secara sinkronis ketiga bahasa banyak persamaan. Pada bahasa Lubu terdapat fonem vokal // dan fonem konsonan /f/ yang tidak dimiliki bahasa lain. Selain itu, bahasa Sakai dan bahasa Minang memiliki alofon fonem /i/, /u/, /e/, dan /o/ pada posisi ultima sesuai dengan bunyi konsonan yang menutup suku akhir. Secara morfologi bahasa Lubu memiliki morfem terikat no- sebagai penanda kata sifat. Hasil kajian diakronis secara kuantitatif menunjukkan hubungan kekerabatan antara Lubu dan Sakai sebesar 65,61%, hubungan antara Lubu dan Minang sebesar 69,31% dan hubungan antara Minang dan Sakai sebesar 82%. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dipastikan bahwa bahasa Lubu lebih dulu berpisah dengan bahasa Sakai dan Minang. Bahasa Sakai dan Minang merupakan satu bahasa yang sama hanya berbeda pada tataran dialek. (https://etd.repository.ugm.ac.id/)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Lubu orang Lubu? Seperti disebut di atas ada kedekatan bahasa Lubu di Sumatra Utara dengan bahasa Sakai di Riau dan bahasa Minang di Sumatra Barat. Secara budaya diantara orang Batak dan orang Melayu/Minang, secara administratif berada di wilayah (kabupaten) Mandailing Natal, Sumatra Utara. Lalu bagaimana sejarah bahasa Lubu orang Lubu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Lubu Orang Lubu; Secara Budaya Diantara Orang Batak dan Orang Minang, Secara Administratif Mandailing

Nama Lubu, besar dugaan adalah nama kuno. Namun kini, nama Lubu hanya dialamatkan pada orang Lubu, sebagai nama kelompok populasi dan nama bahasanya. Nama Lubu sendiri secara linguistic jauh dengan nama Kubu. Sebelum mendeskripsikan bahasa Lubu, seberapa tuan ama Lubu sendiri?


Nama Luwuk sudah disebut dalam teks Negarakertagama (1365). Nama Luwuk yang disebut diduga berada di bagian dalam teluk Bone yang sekarang. Di wilayah Sumatra, banyak ditemukan nama ‘loeboek’ (yang biasanya nama tempat di sekitar ruas sungai yang dalam). Di wilayah Batak, nama ‘loeboek’ juga ditemukan. Juga nama ‘loeboek’ tidak hanya terkait sungai, juga nama gunung (Loeboek Raja). Di wilayah Batak juga ada nama ‘loboe’, yang dikaitkan dengan kampong lama (kampong yang sudah lama ditinggalkan). Lantas dimana nama ‘Loeboe’ bermula? Yang jelas pada era Pemerintah Hindia Belanda penulis nama Loeboe saling dipertukarkan dengan nama Loeboek. Nama Loeboe atau Loeboek umumnya ditemukan di seluruh Sumatra. Namun yang dihubungkan dengan nama gunung hanya ditemukan di wilayah Angkola (Loeboe/k Radja).

Yang pertama melaporkan nama Loeboe sebagai suatu kelompok populasi yang berbeda dengan penduduk di Mandailing adalah TJ Willer. Catatan: TJ Willer sebagai Asisten Resident Angkola Mandailing (1841-1846). Keterangan Willer ini kemudian dikutip oleh Richard Logan di Singapoera (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1850). Logan menduga orang Loeboe di Mandailing mirip dengan orang Banoea di bagian selatan Semenanjung (Djohor).


Menurut Richard Logam penyelidikan terhadap kelompok populasi Loeboe sangat menerik jika dihubungkan denga nasal usul orang Minangkabau; orang Kubu dengan asal usul Melayu di Djambi; dan orang Banoea denga nasal usul Melayu di Djohor, plus orang Sakai dengan asal usul Melayu di Riau. Disebutkan mengungkap sisa-sisa suku Melayu asli di Sumatera (seperti Loeboe), yang dari situ kita mengetahui asal usul masyarakat Menangkabau. Pengenalan yang akurat terhadap orang Loeboe mungkin akan memungkinkan kita menjawab pertanyaan apakah mereka, atau orang Benoea di semenanjung, merupakan induknya (orang Melayu/Minangkabau). Loga meragukan Willer salah mengetik nama Loeboe sebagai Koeboe.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Secara Budaya Diantara Orang Batak dan Orang Minang, Secara Administratif Mandailing: Bahasa dan Kelompok Populasi

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar