Laman

Minggu, 15 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (80): Bahasa Bengkulu Kota Bengkulu Dialek Melayu; Mukomuko Pekal Serawai Pasemah Lembak Rejang dan Kaur


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Melayu Bengkulu adalah kelompok etnis rumpun Melayu yang mendiami Provinsi Bengkulu. Suku ini tersebar di wilayah Kota Bengkulu dan sekitarnya (terutama di wilayah pesisir). Suku Melayu Bengkulu merupakan kelompok etnis terbesar kelima di provinsi Bengkulu. Pada umumnya, masyarakat Melayu Bengkulu bermukim di Kota Bengkulu.


Bahasa Melayu Bengkulu atau Baso Bengkulu adalah salah satu bahasa atau isolek dalam Melayu Tengah yang dituturkan oleh masyarakat di Provinsi Bengkulu khususnya masyarakat di Kota Bengkulu. Bahasa ini juga merupakan salah satu dari sembilan bahasa asli Provinsi Bengkulu bersama dengan bahasa Mukomuko, Pekal, Serawai, Pasemah, Enggano, Lembak, Rejang, dan Kaur (Mulak). Secara khusus bahasa ini merupakan bahasa asli yang dituturkan oleh etnis Melayu Bengkulu yang menghuni Kota Bengkulu. Namun bahasa ini telah menjadi lingua franca atau bahasa pengantar di antara etnis yang beragam di Provinsi Bengkulu, selain bahasa Indonesia, sehingga bahasa ini telah menjadi identitas bagi Provinsi Bengkulu. Bahasa ini mempunyai kemiripan dengan bahasa di sekitarnya, seperti dengan Bahasa Melayu Palembang dan Bahasa Melayu Jambi karena banyaknya kosakata yang diakhiri dengan huruf vokal "o". Bahasa ini juga mempunyai kemiripan dengan dialek Negeri Sembilan di Malaysia, yang sama-sama mendapat pengaruh dari Minangkabau. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Bengkulu, dialek Melayu di Kota Bengkulu? Seperti disebut bahasa Bengkulu dituturkan di kota Bengkulu. Mukomuko Pekal Serawai Pasemah Lembak Rejang Kaur. Lalu bagaimana sejarah bahasa Bengkulu, dialek Melayu di Kota Bengkulu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Bengkulu, Dialek Melayu di Kota Bengkulu; Mukomuko Pekal Serawai Pasemah Lembak Rejang Kaur 

Bahasa Melayu menunjukkan Namanya. Namanya bahasa Bengkulu. Lantas mengapa bahasa Bengkulu menjadi dialek Melayu? Lalu mengapa kemudian disebut bahasa Melayu Bengkulu? Ini mirip dengan nama bahasa Melayu Jambi, bahasa Melayu Palembang, dan lainnya. Nama tempat dalam nama bahasa mununjukkan dimana bahasa Melayu dituturkan. Pemberian nama tempat pada nama bahasa Melayu menjadi dialek bahasa Melayu di tempat yang disebutkan.


Bahasa-bahasa asli non Melayu disebut dengan nama tertentu. Namanya sulit dirujuk sejak kapan nama itu muncul. Misalnya bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa Minangkabau, bahasa Lampung. Lantas apakah ada bahasa Jawa Medan, bahasa Batak Medan, bahasa Jawa Jakarta, bahasa Minangkabau Palembang, bahasa Lampung Bengkulu?

Nama bahasa Bengkulu adalah satu hal. Nama tempat Bengkulu adalah hal lain lagi. Dalam hal itulah kita membicarakan bahasa Melayu di satu sisi dan penutur bahasa Melayu di sisi lain di (tempat/kota) Bengkulu. Lalu sejak kapan muncul nama Bengkulu?


Kapan nama Bengkulu bermula tidak diketahui secara pasti. Namun yang jelas nama Bengkulu sudah terinformasikan dalam Peta 1655 yang diidentifikasi dengan nama Boncolo. Meski demikian, pantai barat Sumatra sudah dikenal pelaut-pelaut Belanda sejak awal (bahkan sejak era pelaut-pelaut Portugis). Dalam sketsa tahun 1665 yang dibuat pelaut VOC/Belanda (Johannes Vingboons) juga dengan nama Boncolo. Sebelum tahun 1665 wilayah pantai barat Sumatra pengaruh perdagangan Atjeh dari utara mencapai kota Indrapoera; pengaruh perdagangan Banten dari selatan mencapau kota Sillebar. Artinya ada wilayah yang terkesan kosong yakni antara Indrapoera dan Silebar. Pada tahun 1665 atas permintaan pemimpin local, militer VOC mengusir pedagang Atjeh dari pantai barat Sumatra hingga batas Troemon/Singkil. Lalu pada tahun 1684 VOC berkolaborasi dengan kesultanan Banten. Lalu setahun kemudian, pada tahun 1685 Inggris membuka pos pedagangan di muara sungai Benculo. Namun sejatinya tempat itu tidak sehat bagi orang-orang Inggris, sehingga pos perdagangan tersebut direlokasi ke suatu tempat, satu jam perjalanan ke arah selatan, dan kemudian membangun benteng Inggris (kelak benteng Marlborough).

Johannes Vingboons tahun 1665 mengidentifikasi nama Bencolo di sisi barat muara sungai sebagai suatu perkampungan. Jika ada pedagang-pedagang yang melintas di kawasan dan terjadi badai, para pedagang memasuki sungai hingga satu mil ke pedalaman untuk mendapatkan kondisi yang aman. Di kampong Bencolo diduga adalah tempat perdagangan, antara pedagang-pedagang dengan kelompok populasi di pedalaman melalui jalur sungai. Kelompok populasi di pedalaman ini adalah orang Redjang. Namun kampong perdagangan di Bencolo di muara sungai, sejak kehadiran Inggris (1685) merelokasi pos perdagangan satu jama ke selatan dan membangun benteng (kini menjadi pusat kota Bengkulu).


Nama Bengkulu diduga pertama kali diidentifikasi oleh para pelaut VOC/Belanda dengan nama Boncolo. Namun sejak kehadiran Inggris di Bengkulu nama Boncolo bergeser menjadi Bencoolen atau Bencolen. Penamaan diantara Inggris dan Belanda tampaknya soal pelafalan semata. Lantas, bagaimana dengan pengucapan dan penulisan nama aslinya menurut penduduk Bengkulu sendiri. Besar dugaan dilafalkan sebagai Bengkulu seperti pada masa ini. 

Setelah sekian lama terjadi dinamika sesame Eropa di pantai barat Sumatra, pada tahun 1779 Inggris memindahkan skuadron dari Madras ke Bengkulu. Ini adalah suatu invasi di pantai barat Sumatra yang menjadi ruang perdagangan VOC. Pada tahun 1781 diangkat seorang resident di Padang. Orang-orang Belanda yang berada di pantai barat Sumatra terusir (ke Jawa/Batavia). Sudah barang tentu invasi Inggris dari India ke pantai barat Sumatra tidak tiba-tiba.


Pada tahun 1774 Inggris sepenuhnua terusir dari Amerika seiring dengan perlawanan dan kemerdekaan Amerika pada bulan Juli 1774. Sementara itu, pada tahun 1775 James Cook menerbitkan laporan ekspedisisinya ke Australia dan Pasifik. James Cook merekomendasikan Inggris membentuk koloni di pantai timur Australia (Sidney). Pemerintah Inggris meresponnya dan pada tahun 1777 mengirim imigran pertama dari Inggris ke Australia. Boleh jadi dalam upaya menjaga koloni baru di Australian, Inggris melakukan invasi ke pantai barat Sumatra tahun 1779. Dalam situasi kondisi ini VOC khususnya di Jawa dalam posisi terancam.

Saat Inggris mulai berkoloni di Australia, William Marsden membuat risalah pulau Sumatra yang diterbitkan pada tahun 1781. William Marsden sebelumnya adalah seorang penulis di Bengkoelen di kantor resident Bengkoelen (Inggris). Marden dalam bukunya, selain bahan-bahasa hasil penyelidikannya, juga menggunakan hasil ekspedisi Charles Miller ke pedalaman Tanah Batak di Angkola (1772). Satu yang penting dalam buku Marsden, meski tidak berbicara bahasa-bahasa kelompok populasi, Marsden mengidentifikasi lima kelompok populasi terpenting di Sumatra: Atjeh, Batak, Minangkabau, Melayu, Redjang dan Lampong. Dalam buku ini Marsden melampirkan kamus dan tata bahasa Melayu.

Seiring dengan ekskalasi politik yang berkembang di Eropa, situasi dan kondisi di Hindia Timur juga terpengaruh. Orang-orang Belanda sangat terancam di Jawa (oleh Inggris di Sumatra dan Australia yang berbasis di India). Kemenangan Prancis di Eropa, wilayah Belanda dikuasai oleh Prancis, di Hindia Timur juga militer Preancis berhasil menduduki Jawa (Batavia) pada tahun 1795.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mukomuko Pekal Serawai Pasemah Lembak Rejang Kaur: Asal Usul Bahasa Melayu di Wilayah Bengkulu

Dalam sensus penduduk tahun 1930 (SP 1930), kelompok populasi Bengkoeloe dipisahkan sendiri. Tidak hanya dengan kelompok populasi Melayu, juga dengan kelompok populasi lainnya terutama di Sumatra bagian selatan. Soal bahasa apa yang digunakan oleh berbagai kelompok populasi tersebut tidak diidentifikasi. Seperti disebut di atas, identifikasi kelompok populasi adalah dasar untuk mempelajari bahasa-bahasa.

 

Kelompok populasi Melayu hanya diidentifikasi di wilayah orang Melayu termasuk di pantai timur Tapanoeli dan pantai timur Sumatra. Sementara untuk sub grup Melayu diidentfikasi sebagai orang Djambi, orang Bilitung dan orang Bangka. Orang Palembang adalah kelompok populasi tersendiri sebagaimana juga orang Lampung dan orang Bengkulu. Orang Palembang selain sub grup Palembang juga orang Ogan Komering; orang Lampong terdiri dari beberapa sub grup seperti Aboeng.  Khusus untuk orang Bengkulu tidak memiliki sub grup. Selain yang disebut, di wilayah Sumatra bagian selatan diidentifikasi kelompok-kelompok populasi lainnya, yakni: Pasemah di Bengkoelen, Palembang dan Lampoeng; Serawaiers di Bengkoelen, Palembang dan Lampung; Redjangers di Palembang dan Lampung; Redjang-Lebong di Bengkoelen saja; Semendo di Palembang dan Lampung; Kroee di Bengkoeloe dan Lampong; Ampat Lawang di Palembang. Catatan: Orang Pasemahers di wilayah Palembang adalah Melajoe Pasemah, Kikim, Melajoe Semidang dan Pagar Alam).

Dalam hal ini orang Bengkoeloe di pantai barat Sumatra dibedakan dengan orang Melayu, dengan orang Minangkabau dan dengan orang Redjang. Orang Bengkoeloe secara geografis seakan mirip dengan orang Betawi di pantai utara Jawa yang berada diantara orang Sunda dan orang Jawa. Jumlah orang Bengkoeloe di wilayah residentie Bengkoeloe berdasarkan SP 1930 sebanyak 47.977 jiwa.


Jumlah orang Bengkoeloe dapat dibandingkan dengan jumlah orang Redjang Lebong sebanyak 89.469 jiwa dan orang Serawai sebanyak 60.870 jiwa. Jumlah orang Pasemah kira-kira sama dengan jumlah orang Redjang jika digabungkan dengan yang berada di wilayah (perbatasan) masuk residentie Palembang. Kelompok populasi Bengkoeoloe dalam hal ini berada diantara kelompok populasi Redjang dan kelompok populasi Pasemah.  

Pada era pemerintah Hindia Belanda (bahkan sejak era VOC/Inggris), pembagian wilayah tidak hanya berdasarkan geopolitik orang Eropa yang kemudian diformalkan secara administrative. Elemen pembentuk wilayah yang paling penting adalah atas dasar perbedaan kelompok populasi yang secara teknis memperhatikan bahasa yang digunakan kelompok populasi. Dalam hal ini bahasa menjadi elemen penting dalam pengikat budaya (adar istiadat), aksara, arsitektur dan cara-cara kehidupan.


Dalam perkembangannya, pembagian wilayah secara formal (hukum) atas dasar pengakuan/klaim pemimpin local (radja, sultan), sudah terjadi sebelumnya perpindahan sebagian kelompok populasi dari wilayah intinya ke wilayah baru yang masih kosong. Atau sebaliknya, kelompok populasi meninggalkan wilayah tertentu kemudian ditempati oleh kelompok populasi yang lain. Namun dalam perkembangannya, Pemerintah Hindia Belanda memandang penting untuk melakukan penarikan batas aministrasi wilayah yang lebih tegas (dengan membuat patok dan peta-peta wilayah) atas dasar efisiensi penyelenggara pemerintah dan efektivitas penduduk untuk lebih berkembang. Hal itulah pada masa kini terkesa ada kelompok populasi yang berada di wilayan (provinsi/kabupaten) lain. Adanya kebijakan pemerintah untuk pemindahan penduduk (migrasi swakarsa atau transmigrasi) dan kebutuhan pengusaha dalam pemenuhan tenaga kerja menjadi memberi warna yang lebih beragam distribusi kelompok populasi di suatu wilayah.  

Lantas bagaimana dengan perkembangan populasi dan perkembangan bahasa kelompok populasi Bengkoeloe? Yang jelas bahwa berdasarkan SP 1930 jumlah orang Redjang jauh lebih banyak dari orang Bengkoeloe. Tentu saja angka pertumbuhan kelompok populasi Bengkulu lebih tinggi dari Redjang. Sebab Bengkoeloe adalah ibu kota, pusat perdagangan, pusat social lainnya yang memungkinkan orang pedalaman (Redjang) dan orang luar (pendatang) semakin banyak dari waktu ke waktu. Adanya perkawinan dan pilihan afiliasi menyebabkan orang pedalaman dan orang pendatang mengidentifikasi diri sebagai orang Bengkoeloe. Bahasa Bengkoeloe yang dianggap sebagai dialek bahasa Melayu menjadi factor yang mempermudah afiliasi kelompok populasi itu terbentuk. Demikianlah itu terjadi sejak masa lampau sebelum SP 1930 hingga terus berlangsung ke masa kini.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar