Kampung Cicendo di Bandoeng sudah dikenal sejak masa Daendels. Nama kampong yang berada di area lebih tinggi di utara cekungan Bandoeng ini bahkan sudah dipetakan sebagai nama kampong yang dilalui jalan pos trans-Java (Peta 1818). Pada tahun 1829, jalan pos digeser ke area lebih rendah (jalan lurus) yang kemudian disebut Groote post weg. Akibatnya, Kampong Tjitjendo semakin jauh dari jalan pos dan kampong tersebut tampak semakin terpencil. Sementara di jalan pos yang baru, Lambat laun tampak semakin ramai dan terus berkembang yang menjadi sebagai pusat kota Bandoeng. Bahkan ketika area jalan pos yang baru ini telah menjadi kota besar, Kampong Tjitjendo tetap terpencil dan sunyi.
Peta 1818 |
Sesungguhnya embrio kota Bandung
mulai terbentuk tahun 1829 saat mana Controleur Bandoeng ditempatkan kali
pertama yang berkedudukan (ibukota) persis di sisi utara jalan pos dan sebelah
timur sungai Tjikapoendong. Dalam perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1846
Asisten Residen Bandoeng ditempatkan dan istana Bupati Banndoeng dibangun di
sisi selatan jalan pos dan sebelah barat sungai Tjikapoendoeng.
Sejak nama Tjitjendo muncul dalam peta (1818) kabar berita tentang kampong
Tjitjendo tidak pernah terdengar. Namanya baru terdengar tahun
1880an sebagai wilayah administratif yang berstatus desa di dalam distrik
Odjoeng Brung Koelon, Afdeeling (Kabupaten) Bandoeng, Residentie (Province)
Preanger Regentshappen. Desa Tjitjendo terdiri dari beberapa kampong, selain
kampong Tjitjendo juga termasuk kampong Tjikokak dan kampong Tjitepoes. Di desa
Tjitjendo ini kerap terbaca di surat kabar tentang adanya transaksi jual-beli
lahan.
Sawah ladang di Tjitjendo 1901 |
Karena masih sebuah desa di pinggi kota, ibukota desa ini
dipilih di dekat kota dimana kepala desa berkedudukan. Ibukota desa Tjintjendo
inilah yang kini disebut Tjitjendo (di tengah kota Bandoeng). Padahal di masa
lampau, lahan yang menjadi ibukota Tjitjendo tersebut adalah masuk kampong
Tjikokak. Transaksi jual lahan yang terjadi pada tahun 1880an adalah di sekitar
ibukota desa Tjitjendo ini alias lahan-lahan milik eks kampong Tjikokak.
Penduduk Asli Tjitjendo Tergusur
Desa Tjitjendo adalah suatu desa yang sangat
luas di utara Bandoeng yang terdiri dari beberapa kampong. Mata pencaharian
penduduk kampong-kampong ini adalah bertani: sawah dan ladang serta
mengumpulkan hasil hutan. Salah satu akses menuju desa ini dari arah timur
dimana terdapat banyak orang Eropa adalah melalui jembatan bamboo di atas
sungai Tjikapoendong.
Jembatan sungai Tjikapoendoeng di Tjitjendo, 1900 |
Pada tahun 1890 jembatan di atas sungai Tjikapoendong
dipulihkan oleh pemerintah karena sudah rusak. Biaya pemulihan jembatan
tersebut sebsaar f1.958 (Bataviaasch handelsblad, 29-03-1890). Jembatan yang
terbuat dari bamboo ini rusak karena sudah lapuk. Foto Jembatan bamboo di
Sungai Tjikapoendoeng Bandieng 1901
Dalam perkembangannya Desa Tjitjendo kemudian
menjadi wilayah perluasan pemukiman Eropa/Belanda. Sebab selama ini lahan-lahan
yang diperjualbelikan di desa ini oleh penduduk jatuh ke tangan orang-orang
Eropa/Belanda dan Tionghoa.
Nama desa Tjitjendo adalah nama kampong asli di Bandoeng. Ini berbeda dengan nama-nama desa lainnya, yang merupakan desa-desa baru dengan nama baru seperti desa Astana Anjar, desa Kaoem, desa Soenia Radja, desa Kadjaksaan, desa Merdika dan desa Andir. Desa-desa bentukan baru yang bersifat urban ini kemudian statusnya ditingkatkan menjadi wijk (kelurahan). Desa Tjitjendo yang beribukota dekat kota dan perkembangan kota meluas hingga ke desa Tjitjendo akhirnya desa Tjitjendo dimekarkan menjadi dua desa: desa Tjitjendo (urban) dan desa Tjitepoes (masih tetap rural). Desa Tjitjendo kelak menjadi wijk seperti halnya, Merdika yang desa kemudian menjadi wijk.
Pada tahun 1896 di desa Tjitjendo ini terdapat satu rumah asli yang dihuni oleh orang Tionghoa. Orang-orang Belanda mencoba membebaskan area tersebut dari orang-orang Tionghoa agar menjadi area hunian orang-orang Eropa.
De Preanger-bode, 22-02-1897 |
De Preanger-bode, 28-12-1896: ‘Jika melihat dari arah
rumah Asisten Residen Bandoeng ke arah Tjitjendo, orang melihat sebuah rumah
asli yang masih ada yang dihuni satu keluarga Tionghoa di samping jalan yang
berada diantara rumah-rumah Eropa. Keluarga Tionghoa ini hidup tenang sejak
lama yang lokasinya tidak jauh dari pemakaman orang Eropa. Untuk ke depan, scara
bertahap kita akan membebaskan lingkungan asli tersebut sebab peruntukkan lingkungan
Cina sudah ada di bagian paling tengah dalam kota’.
Ini dengan sendirinya perkampungan penduduk
asli sebelumnya telah tergusur karena pesatnya pertumbuhan dan perkembangan
kota. Para penduduk asli menjual lahan dengan harga tinggi dan membeli lahan
baru di tempat jauh dengan harga murah. Dalam okupasi area pemukiman di desa
Tjitjendo juga orang-orang Tionghoa juga ikut tergusur.
Desa Tjitjendo (yang terdiri dari beberapa kampong seperti kampong Tjitjendo, kampong Tjitepoes dan Kampong Tjikokak) kemudian dimekarkan menjadi dua desaL desa Tjitjendo dan desa Tjitepoes. Anehnya, desa Tjitepoes yang sebagian besar adalah wilayah kampong Tjitepoes dan Kampong Tjitjendo di masa lampau, sedangkan desa Tjitjendo (hampir semuanya adalah wilayah Kampong Tjikokak). Sesunggunya Kampong Tjikokak adalah kampong yang baru terbentuk (pabuaran) dari tanah ulayat Kampong Tjitjendo. Oleh karenanya, dalam sistem administrative pemerintahan kolonial, secara dejure adalah nama Tjitjendo tetapi secara de facto adalah kampong Tjikokak. Namun jika dilihat dari aspek historis, kampong Tjikokak adalah (wilayah hak ulayat) Kampong Tjitjendo.
Pekuburan Orang Eropa/Belanda
Di luar dua pekuburan Eropa/Belanda ini terdapat beberapa
pekuburan keluarga atau makam yang terpisah. Makam yang tertua ditemukan pada
makam keluarga E. Julian yang bertahun 1838. Di makam keluarga ini juga
terdapat yang bertahun 1842 dan 1843. Satu makam lain yang ditemukan berada di
Lembang bertahun 1867 (makam ini sudah tentu makam FW Junghuhn, red). Makam
yang terbilang tua adalah makam Starkenberg Retermeyer di Djatinangor yang
bertahun 1842. Makam-makam lainnya adalah sebagai berikut (lihat guntingan koran).
Makam-makam ini dibuat permanen dan ada yang dibuat dalam bentuk monument.
Makam Marinus Koch cukup menonjol.
Peta 1950 |
Desa Tjitjendo terus berkembang sebagai
bagian dari kota, orang-orang Eropa/Belanda semakin banyak yang memilih tinggal
di desa Tjitjendo. Pada awal tahun 1900 di desa ini didirikan sebuah lembaga
yang menanganani orang-orang buta yang disebut Blinden Istituut. Berdasarkan
Peta 1910, pekuburan Tjitjendo nenjadi satu-satunya perkuburan orang-orang
Eropa/Belanda di Bandung Utara.
Berdasarkan Peta 1950 di desa Tjitjendo tidak hanya
terdapat pekuburan Kristen orang-orang Eropa/Belanda tetapi juga di selatannya terdapat pekuburan penduduk asli
yang bergama Islam. Ini dengan sendirinya desa Tjitjendo sejak masa lampau
hingga pasca kemerdekaan RI merupakan desa dimana terdapat pekuburan umum warga
kota Bandoeng.
Cicendo Masa Kini
Nama Cicendo muncul lagi ke permukaan pada
tahun 1881 yang dikaitkan dengan terror bom di Bandung yang kelanjutannya
muncul sebagai peristiwa Woyla (pembajakan pesawat Garuda dan pembebasannya
terjadi di Bangkok di bawah komando Letnan Kolonel Sintong Pandjaitan). Rangkaian peristiwa ini berawal dari kelompok Imran
melakukan penyerbuan ke kantor polsek Cicendo. Tujuan penyerangan polsek
tersebut untuk membebaskan rekan-rekan mereka yang ditahan. Dalam pembebasan
pesawat Woyla, semua pembajak meninggal dan semua sandera dalam pesawat dapat
selamat.
Kini peristiwa Cicendo seakan berulang. Peristiwa yang
terjadi pagi tadi (27-02-2017) menggunakan bom, yang orang menyebutnya bom panci
(bom rakitan itu di stel di dalam weadah panci). Teroris yang melakukan aksi
dapat dilumpuhkan di suatu kantor keluarhan di Kecamatan Cicendo. Tuntutannya
sama mirip dengan peristiwa Cicendo tahun 1981.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar