Curug Dago, Lukisan Groneman 1860 |
Sungai
Tjikapoendong adalah sungai terbesar di Kota Bandoeng yang mengalir dari utara
ke selatan. Batas paling utara dari sungai Tjikapoendong adalah Tjoeroeg Dago
dan batas paling selatan dari sungai Tjakopendoeng adalah Kampong Dajeuh Kolot.
Kota
Bandoeng dalam hal ini adalah kota yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1829 ketika kali pertama Controleur ditempatkan di Bandoeng. Lalu dalam perkembangannya, sejak
1946, ketika Asisten Residen Bandoeng ditempatkan, kota Bandoeng berkembang
semakin pesat. Saat itu, sungai Tjikapoendoeng sebagai sungai terbesar di Kota
Bandoeng masih tampak deras, jernih dan indah. Sungai Tjikapoendoeng saat itu airnya disodet di hulu dengan membangun kanal-kanal untuk mengairi perkebunan dan persawahan yang dikerjakan oleh penduduk di bawah arahan Bupati Bandoeng.
Sungai
Cikapundung dari Curug Dago hingga Dayeuh Kolot
Jembatan Bambu di atas sungai Tjikapoendoeng di Tjitjendo |
Pada
tahun 1929 di atas sungai Tjikapoendoeng dibangun jembatan permanen yang
merupakan bagian dari proses pembangunan jalan pos trans-Java yang baru (jalan
ini kelak menjadi Groote post weg dan kini menjadi Jalan Asia Afrika dan Jalan
Jend. Sudirman). Di hulu maupun di hilir jembatan pos trans-Java beberapa jembatan yang terbuat dari bahan bamboo dibangun
penduduk . Salah satu jembatan bamboo
tersebut yang cukup terkenal terdapat di desa Tjitjendo. Pada tahun 1896 pemerintah membangun jembatan ini dengan jembatan kayu (kini jembatan di atas sungai Tjikapoendoeng, ruas jalan Suniaraja).
Kampong Dajeuh Kolot, Lukisan Groneman 1860 |
Pada saat
controleur sudah beribukota di jalan pos trans-Java (sisi timur sungai
Tjikapoendong) yang kelak menjadi Bandoeng (baru), Bupati Bandoeng masih
berkedudukan (ibukota) di Bandoeng (lama). Ibukota Bandoeng (lama) baru pindah
ke Bandoeng (baru) pada tahun 1846. Sejak perpindahan bupati inilah nama
Bandoeng (lama) disebut Dajeuh Kolot. Seorang dokter yang ditempatkan di
Bandoeng bernama Groneman mangabadikan kampong Dajeuh Kolot ini pada tahun 1860
dalam sebuah lukisan. Lukisan lain yang diabadikannya adalah Tjoeroeg Dago. Ini
dengan sendirinya, Groneman telah mengabadikan sungai Tjikapoendoeng baik di
hulu maupun di hilir.
Peta Bandoeng, 1920 |
Kota
Bandoeng yang sekarang, sesungguhnya di arah utara lebih kering, tetapi di arah
selatan hingga ke sungai Tjitaroem lebih basah. Area-area yang basah ini banyak
terdapat rawa-rawa. Sejak pembangunan jalan pos trans-Java yang baru (1929),
area-area yang basah ini secara bertahap dikeringkan dengan pembuatan drainase dan
kanal-kanal sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan kota Bandoeng. Salah
satu kanal yang dibuat dengan menyodet sungai Tjikapoendoeng adalah sungai yang
melalui Pieters Park (kini Taman Balai Kota). Peta Bandoeng 1920
Satu lagi
lukisan abadi Groneman adalah lanskap cekungan Bandoeng yang dilihat dari
rumahnya di Tjioemboeloeit di lereng gunung Tangkoeban Prahoe. Lanskap cekungan
Bandoeng tampak di selatan gunung
Malabar. Dalam lukisan ini terlihat di tengah cekungan beberapa titik bangunan
yang diduga sebagai kota Bandoeng. Kampong Dajeuh Kolot sendiri berada di
selatan di lerang gunung Malabar.
Sungai
Cikapundung Riwayatmu Kini
Taman Pieters Park, 1901 |
Seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan kota dan perluasan perkebunan di Bandoeng
utara, penggundulan hutan juga sering terjadi. Akibatnya debit air sungai
Tjikapoendoeng makin lama makin kecil. Pada masa kini debit air sungai
Tjikapoendoeng semakin menyusut seakan menjadi selokan tempat muara dari
pembuangan limbah rumah tangga dan industri. Foto kanal di Pieter Park 1901
Lagu Bengawan
Solo adalah juga representasi sungai-sungai yang berada di kota-kota besar,
juga termasuk sungai Tjikapoendoeng di Bandoeng. Coba renungkan lirik lagu
Bengawan Solo untuk membayangkan sungai Tjikapoendoeng di masa lampau.
Bengawan Solo..
Rihwayatmu ini
Sedari dulu jadi perhatian insani
Musim kemarau
Tak s'brapa airmu
Di musim hujan air meluap sampai jauh
Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut
Itu perahu
Rihwayatmu dulu
Kalau pendatang s'lalu naik itu perahu
Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut
Itu perahu
Rihwayatmu dulu
Kalau pendatang s'lalu naik itu perahu
Rihwayatmu ini
Sedari dulu jadi perhatian insani
Musim kemarau
Tak s'brapa airmu
Di musim hujan air meluap sampai jauh
Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut
Itu perahu
Rihwayatmu dulu
Kalau pendatang s'lalu naik itu perahu
Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut
Itu perahu
Rihwayatmu dulu
Kalau pendatang s'lalu naik itu perahu
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar