Laman

Sabtu, 22 Juli 2017

Sejarah Kota Depok (18): Sejarah Cinere, Bermula di Land Tjinere Milik St. Martin; Raden Adipati Aria Soeria di Redja, Regent van Chirebon

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Sejarah Cinere sesungguhya hampir seumur dengan Sejarah Land Depok. Namun karena Land Tjinere tidak optimal diusahakan, popularitasnya menjadi kalah dibanding Land Depok. Perbedaan lainnya adalah: Land Depok dibeli oleh Cornelis Chastelein, sedangkan Land Tjinere diberikan oleh Pemerintah kepada Sersan Majoor St. Martin, atas prestasinya memimpin ekspedisi dan mengakhiri tragedi di Banten.

Verponding Tjinere, 1930
Sejarah Cinere pernah saya tulis pada tahun 2012 yang dimuat dalam blog ini. Sayang sekali,  semua kata demi kata dari tulisan itu dicopy paste ke Wikipedia tanpa menyebut sumbernya. Bahkan ada satu kalimat yang saya buat salah tidak sengaja juga ikut terbawa. Okelah, dalam artikel ini saya akan coba koreksi. Namun yang lebih penting, dalam artikel Sejarah Cinere yang sedang anda baca ini akan dirilis lebih komprehensif dengan menyertakan sumber data yang lebih akurat. Selamat membaca.

Kelak, Land Tjinere menjadi milik Raden Adipati Aria Soeria di Redja, mantan Regent van Chirebon. Lantas bagaimana situasi dan kondisi sebelum dan sesudah Raden Adipati Aria Soeria di Redja? Itu pertanyaan yang perlu ditelusuri jawabannya. Mari kita lacak.   

Sergeant Majoor St. Martin ‘Mengamankan’ Kapitein Jonker

Keberadaan Tjinere dan siapa yang kali pertama pemiliknya diketahui dari suatu artikel yang dimuat dalam surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 24-06-1916. Artikel ini tampaknya ditulis sehubungan dengan Land Tjinere semakin penting dalam pertumbuhan industri perkebunan. Dalam artikel ini terungkap berbagai keterangan yang terkait dengan asal-usul Land Tjinere.

Pada tahun 1689 terjadi tragedi di Bantam atas kekacauan yang dibuat Kapitein Jonker. Sergeant Majoor St. Martin melihat tingkah laku komplotan Jonker dapat merugikan negara. Pemerintah lalu mengirim satu detasemen untuk melakukan ekspedisi ke Bantam di bawah pimpinan St. Martin untuk mengendalikan situasi. Hasilnya sangat menggemberikan pemerintah. Atas prestasi St. Martin ke Bantam, pemerintah memberikan lahan kepadanya yang terletak si sungai Krokot di Land Kanjere atau Tjinere. Ini menambah kekayaannya yang sudah ada di sungai Bekasi lahan perkebunan tebu dan pabrik tebu. Persil lahannya yang lain terdapat di Batavia yang kemudian dikenal sebagai Kemajoran (Land Majoor). Dalam perkembangan lebih lanjut setelah memiliki Land Tinere, St. Martin memiliki lahan yang disebut Land Tjitajam.

Empat tahun setelah berakhir tragedi Bantam, St. Martin sakit yang kemudian penmerintah pada 1694 untuk membebaskannya dari tugas. Untuk penyembuhan sakitnya St. Martin memilih istirahat di pulau Ceylon. Akan tetapi tidak lama kemudian St. Martin dikabarkan meninggal pada tanggal 14 April 1696. St. Martin meninggal dalam status lajang dan tidak memiliki keturunan.

St. Martin berkarir di militer dari bawah. Setelah mengabdi selama delapan tahu, St. Martin pada tahun 1683 mendapat cuti selama dua tahun ke Vaderland (Belanda). Setelah dua tahun kemudian, St. Martin kembali ke Hindia Timur. Pada tahun 1689 ditugaskan pemerintah memimpin ekspedisi ke Bantam untuk mengendalikan situasi yang gagal dilakukan oleh Kapitein Jonker.

Land Tjinere

Tunggu deskripsi lengkapnya

Raden Adipati Aria Soeria di Redja

Raden Adipati Aria Soeria di Redja, mantan Regent van Chirebon sudah lama tinggal di Land Tjinere. Pada tahun 1886 putrinya Raden Aijoe Henriette, janda Regent van Batang meninggal dunia di Land Tjinere. Raden Adipati Aria Soeria di Redja memiliki hutang kepada Said Alie bin Hassan Alatas. Oleh karena itu, untuk menutupinya properti yang dimilikinya disita dan kemudian dilelang.

Bataviaasch nieuwsblad, 05-07-1889 melaporkan kepemilikan Raden Adipati Aria Soeria di Redja dilelang hari Jumat 26 Juli 1889 di Buitenzorg yang terdiri dari meja, kursi, lemari, furniture lainnya dan peralatan rumahtangga, kerbau, kuda, sapi, pedati, penggilingan padi, gamelan (lengkap) dan lebih dari 1800 picols padi.

Di dalam lahan eks milik Raden Adipati Aria Soeria di Redja pada tahun 1897 di Land Tjinere dikabarkan seorang penyewa bernama Johannes menanam kopi Liberia (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1897). Besar kemungkinan Johannes menyewa dari J. Schoutendorp. Hal ini terindikasi lahan yang berada dibawah penguasaan J. Schoutendorp akan dijual

Bataviaasch nieuwsblad, 17-12-1898
Bataviaasch nieuwsblad, 17-12-1898: ‘Penjualan ke publik Sabtu 4 Maret 1899, yang pagi hari pada pukul 10 di tempat Kantor Pelelangan di Buitenzorg dua hamparan lahan yang disebut Pangkalan Djati, Tjinere, Tanah Baroe, Krokot dan Maroejoeng yang lebih dikenal sebagai partivuliere Land Tjinere terletak di Afdeeling Buitenzorg blok P deel 10 Nos. 119, 120 dan 121 yang memiliki nilai verponding (pajak) senilai f112,000. Persil lahan ini atas nama Raden Adipati Aria Soeria di Redja dan kawan-kawan. Atas nama penjual: J. Schoutendorp.

Informasi yang terdapat dalam iklan penjualan ini terindikasi bahwa Raden Adipati Aria Soeria di Redja telah menjual lahannya dan pemilik sekarang adalah J. Schoutendorp. Tidak diketahui siapa yang membelinya. Satu keterangan yang penting terindikasi bahwa yang disebut Land Tjinere adalah lahan-lahan yang terdapat di sejumlah kampung, yakni Pangkalan Djati, Tjinere, Tanah Baroe, Krokot dan Maroejoeng.

Bataviaasch nieuwsblad, 03-06-1899
Pada tahun 1899 penyewa Land Tjinere adalah Tjio Eng Tek. Lahan yang disewa ini setiap tahun akan dikeringkan (tidak mendapat pasokan air) dari westerlokkan (Kali Baroe) antara 15 April hingga 15 September (Bataviaasch nieuwsblad, 03-06-1899). Pengeringan ini diduga karena Land Pondok Tjina, pemilik Lauw Tjeng Siang pada tahun sebelumnya mengajukan untuk pengaturan air ke Land Pondok Tjina (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1898).

NV. Handel, Bouw en Exploitatie Maatschappij ‘Emergo’

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pada Masa Ini

Pada era kemerdekaan Cinere bahkan tidak pernah dibicarakan, karena pada waktu itu, Cinere hanyalah kumpulan beberapa dusun yang didiami oleh orang Betawi yang di sana sini masih terdapat hutan karet, lahan persawahan dan rawa-rawa. Namun pada masa kini, adakalanya Cinere justru lebih populer dibanding Depok atau Cimanggis. Apa yang menyebabkan Cinere menjadi begitu populer khususnya bagi warga Jakarta?

Sebelum tahun 1999, Desa Cinere masuk wilayah Kabupaten Bogor. Sementara Kota Adimistratif (Kotif) Depok yang dibentuk tahun 1981 hanya terdiri dari tiga kecamatan, yaitu: Pancoran Mas, Beji dan Sukmajaya. Dalam perkembangannya, status Kotif Depok pada tahun 1999 ditingkatkan menjadi Kota Depok dengan menambah tiga kecamatan yang sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Bogor, yakni: Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Limo. Nama Desa Cinere merupakan salah satu dari delapan desa yang berada di Kecamatan Limo. Namun demikian, pada waktu itu nama Cinere jauh lebih dikenal daripada Limo sebagai nama kecamatan.

Secara georafis, sesungguhnya wilayah Cinere di Kecamatan Limo, Kota Depok secara sosial budaya berada di wilayah geografis Jakarta. Dengan kata lain, wilayah Cinere ini tampak menjorok masuk ke dalam wilayah Jakarta. Dari sisi pandang Kota Depok sekarang, wilayah Cinere berada persis di ‘Kepala Garuda’ Kota Depok. Oleh karena itu, warga Jakarta sering keliru menganggap Cinere adalah bagian dari Jakarta, demikian juga warga Depok keliru menganggap Cinere masuk Jakarta. Padahal, kenyataannya wilayah Cinere masuk wilayah Kecamatan Limo yang merupakan bagian wilayah Kota Depok. Pada tahun 2007, Kecamatan Cinere terbentuk (pemekaran dari Kecamatan Limo) yang melengkapi 11 kecamatan di Kota Depok. Kecamatan Cinere terdiri dari empat kelurahan, yaitu: Cinere, Gandul, Pangkalan Jati Lama dan Pangkalan Jati Baru. Empat kelurahan inilah yang secara ‘defacto’ berada di wilayah sosial DKI Jakarta, tetapi secara ‘dejure’ merupakan wilayah administratif Kota Depok.

Pada awal pembangunan, nama Depok dan nama Cinere mulai dikenal masyarakat luas hampir bersamaan. Pada tahun 1979 di wilayah Cinere sebuah pengembang swasta yang menguasai lahan yang kini luasnya telah mencapai 300 Ha mulai membangun perumahan. Sementara di Depok pada tahun 1976 Perum Perumnas (milik pemerintah) sudah memulai pembangunan perumnas pertama di Indonesia. Di perumnas Depok rumah-rumah yang dibangun ditujukan untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, sementara di kavling pemukiman Cinere, rumah-rumah yang dibangun justru untuk 'pasar' dari kelompok masyarakat menengah ke atas. Dua wilayah pemukiman ini umumnya dihuni oleh ex penduduk Jakarta. Namun karena, rumah-rumah yang dibangun di wilayah Cinere lebih berkualitas dan lebih mewah maka dengan sendirinya warga Jakarta lebih memfavoritkan Cinere sebagai daerah hunian dibanding Depok. Dari sisi inilah popularitas Cinere terkesan lebih tinggi dibandingkan Depok kala itu.

Seiring dengan perubahan waktu, dua wilayah awal perumahan ini terus membentuk jatidirinya masing-masing. Wilayah perumahan Depok kemudian diunggulkan ketika akses ke Depok lebih baik dibandingkan wilayah Cinere. Lebih-lebih dengan kehadiran Universitas Indonesia di Kota Depok, maka popularitas wilayah perumahan Depok semakin melejit dibandingkan dengan Cinere. Namun demikian, popularitas wilayah pemukiman Cinere yang sempat memudar mulai bersinar kembali seiring dengan adanya rencana akses tol dari dua arah menuju Cinere: dari arah Antasari (tol Desari) dan dari arah tol Jagorawi (Cijago).


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

15 komentar:

  1. Boleh ni artikelnya ane masukin yutub

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon info dsini usaha masyarakatnya apa

      Hapus
  2. mantabhhhh .. Jas Merah .. jangan lupa sejarahhh ..

    BalasHapus
  3. Yang nyebut /ngeja cengere orang tolol kaga bisa ngeja (TJINERE / KANJERE )

    BalasHapus
  4. Ane lagi cari sejarah cinere
    Turun temurun ane ada di cinere
    Tapi mati obor
    Mungkin agan tau orang2 tua di cenere

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum tahu, tapi kalau ketemu datanya akan saya tambahkan pada kolom komenter ini

      Hapus
  5. Boleh tahu sejarah para pejuang/orang pribumi Cinere yang Sudah melawan Belanda(VOC)

    BalasHapus
    Balasan
    1. alm.KH. Muhajir, alm.KH.Muhammad Arsyad, alm.H.Muhasyim, alm.Mad Lapong, alm.Muntohir, alm.Saidi, alm.Musbarun

      Hapus
  6. Terima kasih sangat manfaat info yg disampaikan dan sangat ditunggu berita sejarah Tjinere jaman baheula 👍🙏

    BalasHapus
  7. Pernah dapet keterangan arti Cinere itu Ci= air Nere= Sumber Cinere=Sumber Air

    BalasHapus
  8. Ada yang tau siapa H Abdul Rosyid bin H Niung dari Cinere gk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setau saya dia mah tuan tanah yang dermawan n tukang kawin ampe 30an bininya wkwkwk, itu H muhajir H muhasyim H jaeran n H jidi masih keluarga dekatnya, sekarang udah pada hidup masing-masing, mungkin

      Hapus