Sejarah Cinere sesungguhya hampir seumur dengan Sejarah Land Depok. Namun karena Land Tjinere tidak optimal diusahakan, popularitasnya menjadi kalah dibanding Land Depok. Perbedaan lainnya adalah: Land Depok dibeli oleh Cornelis Chastelein, sedangkan Land Tjinere diberikan oleh Pemerintah kepada Sersan Majoor St. Martin, atas prestasinya memimpin ekspedisi dan mengakhiri tragedi di Banten.
Verponding Tjinere, 1930 |
Kelak, Land Tjinere
menjadi milik Raden Adipati Aria Soeria di Redja, mantan Regent van Chirebon. Lantas
bagaimana situasi dan kondisi sebelum dan sesudah Raden Adipati Aria Soeria di
Redja? Itu pertanyaan yang perlu ditelusuri jawabannya. Mari kita lacak.
Sergeant Majoor St. Martin ‘Mengamankan’ Kapitein Jonker
Keberadaan Tjinere
dan siapa yang kali pertama pemiliknya diketahui dari suatu artikel yang dimuat
dalam surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 24-06-1916. Artikel ini tampaknya
ditulis sehubungan dengan Land Tjinere semakin penting dalam pertumbuhan
industri perkebunan. Dalam artikel ini terungkap berbagai keterangan yang
terkait dengan asal-usul Land Tjinere.
Pada tahun 1689 terjadi tragedi di Bantam atas kekacauan
yang dibuat Kapitein Jonker. Sergeant Majoor St. Martin melihat tingkah laku
komplotan Jonker dapat merugikan negara. Pemerintah lalu mengirim satu
detasemen untuk melakukan ekspedisi ke Bantam di bawah pimpinan St. Martin
untuk mengendalikan situasi. Hasilnya sangat menggemberikan pemerintah. Atas
prestasi St. Martin ke Bantam, pemerintah memberikan lahan kepadanya yang
terletak si sungai Krokot di Land Kanjere atau Tjinere. Ini menambah
kekayaannya yang sudah ada di sungai Bekasi lahan perkebunan tebu dan pabrik
tebu. Persil lahannya yang lain terdapat di Batavia yang kemudian dikenal
sebagai Kemajoran (Land Majoor). Dalam perkembangan lebih lanjut setelah
memiliki Land Tinere, St. Martin memiliki lahan yang disebut Land Tjitajam.
Empat tahun setelah
berakhir tragedi Bantam, St. Martin sakit yang kemudian penmerintah pada 1694
untuk membebaskannya dari tugas. Untuk penyembuhan sakitnya St. Martin memilih
istirahat di pulau Ceylon. Akan tetapi tidak lama kemudian St. Martin dikabarkan
meninggal pada tanggal 14 April 1696. St. Martin meninggal dalam status lajang
dan tidak memiliki keturunan.
St. Martin berkarir di militer dari bawah. Setelah
mengabdi selama delapan tahu, St. Martin pada tahun 1683 mendapat cuti selama
dua tahun ke Vaderland (Belanda). Setelah dua tahun kemudian, St. Martin
kembali ke Hindia Timur. Pada tahun 1689 ditugaskan pemerintah memimpin
ekspedisi ke Bantam untuk mengendalikan situasi yang gagal dilakukan oleh
Kapitein Jonker.
Land Tjinere
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Raden Adipati Aria Soeria di Redja
Raden Adipati Aria Soeria di Redja, mantan Regent van Chirebon sudah lama tinggal di Land Tjinere. Pada
tahun 1886 putrinya Raden Aijoe Henriette, janda Regent van Batang meninggal
dunia di Land Tjinere. Raden Adipati Aria Soeria di Redja memiliki hutang
kepada Said Alie bin Hassan Alatas. Oleh karena itu, untuk menutupinya properti
yang dimilikinya disita dan kemudian dilelang.
Bataviaasch nieuwsblad, 05-07-1889 melaporkan kepemilikan
Raden Adipati Aria Soeria di Redja dilelang hari Jumat 26 Juli 1889 di
Buitenzorg yang terdiri dari meja, kursi, lemari, furniture lainnya dan peralatan
rumahtangga, kerbau, kuda, sapi, pedati, penggilingan padi, gamelan (lengkap)
dan lebih dari 1800 picols padi.
Di dalam lahan eks
milik Raden Adipati Aria Soeria di Redja pada tahun 1897 di Land Tjinere dikabarkan seorang penyewa bernama
Johannes menanam kopi Liberia (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 20-04-1897). Besar kemungkinan Johannes menyewa dari J.
Schoutendorp. Hal ini terindikasi lahan yang berada dibawah penguasaan J.
Schoutendorp akan dijual
Bataviaasch nieuwsblad, 17-12-1898 |
Informasi yang terdapat dalam iklan penjualan ini
terindikasi bahwa Raden Adipati Aria Soeria di Redja telah menjual lahannya dan
pemilik sekarang adalah J. Schoutendorp. Tidak diketahui siapa yang membelinya.
Satu keterangan yang penting terindikasi bahwa yang disebut Land Tjinere adalah
lahan-lahan yang terdapat di sejumlah kampung, yakni Pangkalan
Djati, Tjinere, Tanah Baroe, Krokot dan Maroejoeng.
Bataviaasch nieuwsblad, 03-06-1899 |
Pada tahun 1899 penyewa Land Tjinere adalah Tjio Eng Tek. Lahan yang disewa
ini setiap tahun akan dikeringkan (tidak mendapat pasokan air) dari
westerlokkan (Kali Baroe) antara 15 April hingga 15 September (Bataviaasch
nieuwsblad, 03-06-1899). Pengeringan ini diduga karena Land Pondok Tjina, pemilik Lauw
Tjeng Siang pada tahun sebelumnya mengajukan untuk pengaturan air ke Land Pondok
Tjina (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1898).
NV. Handel, Bouw en Exploitatie Maatschappij ‘Emergo’
Pada Masa Ini
Pada era
kemerdekaan Cinere bahkan tidak pernah dibicarakan, karena pada waktu itu,
Cinere hanyalah kumpulan beberapa dusun yang didiami oleh orang Betawi yang di
sana sini masih terdapat hutan karet, lahan persawahan dan rawa-rawa. Namun
pada masa kini, adakalanya Cinere justru lebih populer dibanding Depok atau
Cimanggis. Apa yang menyebabkan Cinere menjadi begitu populer khususnya bagi
warga Jakarta?
Sebelum tahun 1999, Desa Cinere masuk wilayah Kabupaten
Bogor. Sementara Kota Adimistratif (Kotif) Depok yang dibentuk tahun 1981 hanya
terdiri dari tiga kecamatan, yaitu: Pancoran Mas, Beji dan Sukmajaya. Dalam
perkembangannya, status Kotif Depok pada tahun 1999 ditingkatkan menjadi Kota
Depok dengan menambah tiga kecamatan yang sebelumnya masuk wilayah Kabupaten
Bogor, yakni: Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Limo. Nama
Desa Cinere merupakan salah satu dari delapan desa yang berada di Kecamatan
Limo. Namun demikian, pada waktu itu nama Cinere jauh lebih dikenal daripada
Limo sebagai nama kecamatan.
Secara georafis,
sesungguhnya wilayah Cinere di Kecamatan Limo, Kota Depok secara sosial budaya
berada di wilayah geografis Jakarta. Dengan kata lain, wilayah Cinere ini
tampak menjorok masuk ke dalam wilayah Jakarta. Dari sisi pandang Kota Depok
sekarang, wilayah Cinere berada persis di ‘Kepala Garuda’ Kota Depok. Oleh
karena itu, warga Jakarta sering keliru menganggap Cinere adalah bagian dari
Jakarta, demikian juga warga Depok keliru menganggap Cinere masuk Jakarta.
Padahal, kenyataannya wilayah Cinere masuk wilayah Kecamatan Limo yang
merupakan bagian wilayah Kota Depok. Pada tahun 2007, Kecamatan Cinere
terbentuk (pemekaran dari Kecamatan Limo) yang melengkapi 11 kecamatan di Kota
Depok. Kecamatan Cinere terdiri dari empat kelurahan, yaitu: Cinere, Gandul,
Pangkalan Jati Lama dan Pangkalan Jati Baru. Empat kelurahan inilah yang secara
‘defacto’ berada di wilayah sosial DKI Jakarta, tetapi secara ‘dejure’
merupakan wilayah administratif Kota Depok.
Pada awal pembangunan, nama Depok dan nama Cinere mulai
dikenal masyarakat luas hampir bersamaan. Pada tahun 1979 di wilayah Cinere
sebuah pengembang swasta yang menguasai lahan yang kini luasnya telah mencapai
300 Ha mulai membangun perumahan. Sementara di Depok pada tahun 1976 Perum Perumnas
(milik pemerintah) sudah memulai pembangunan perumnas pertama di Indonesia. Di
perumnas Depok rumah-rumah yang dibangun ditujukan untuk kalangan masyarakat
menengah ke bawah, sementara di kavling pemukiman Cinere, rumah-rumah yang
dibangun justru untuk 'pasar' dari kelompok masyarakat menengah ke atas. Dua
wilayah pemukiman ini umumnya dihuni oleh ex penduduk Jakarta. Namun karena,
rumah-rumah yang dibangun di wilayah Cinere lebih berkualitas dan lebih mewah
maka dengan sendirinya warga Jakarta lebih memfavoritkan Cinere sebagai daerah
hunian dibanding Depok. Dari sisi inilah popularitas Cinere terkesan lebih
tinggi dibandingkan Depok kala itu.
Seiring dengan
perubahan waktu, dua wilayah awal perumahan ini terus membentuk jatidirinya
masing-masing. Wilayah perumahan Depok kemudian diunggulkan ketika akses ke
Depok lebih baik dibandingkan wilayah Cinere. Lebih-lebih dengan kehadiran
Universitas Indonesia di Kota Depok, maka popularitas wilayah perumahan Depok
semakin melejit dibandingkan dengan Cinere. Namun demikian, popularitas wilayah
pemukiman Cinere yang sempat memudar mulai bersinar kembali seiring dengan
adanya rencana akses tol dari dua arah menuju Cinere: dari arah Antasari (tol
Desari) dan dari arah tol Jagorawi (Cijago).
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Cengere
BalasHapusBoleh ni artikelnya ane masukin yutub
BalasHapusSilahkan saja. Semoga membantu
HapusMohon info dsini usaha masyarakatnya apa
Hapusmantabhhhh .. Jas Merah .. jangan lupa sejarahhh ..
BalasHapusYang nyebut /ngeja cengere orang tolol kaga bisa ngeja (TJINERE / KANJERE )
BalasHapusAne lagi cari sejarah cinere
BalasHapusTurun temurun ane ada di cinere
Tapi mati obor
Mungkin agan tau orang2 tua di cenere
Belum tahu, tapi kalau ketemu datanya akan saya tambahkan pada kolom komenter ini
HapusBoleh tahu sejarah para pejuang/orang pribumi Cinere yang Sudah melawan Belanda(VOC)
BalasHapusalm.KH. Muhajir, alm.KH.Muhammad Arsyad, alm.H.Muhasyim, alm.Mad Lapong, alm.Muntohir, alm.Saidi, alm.Musbarun
HapusTerima kasih sangat manfaat info yg disampaikan dan sangat ditunggu berita sejarah Tjinere jaman baheula 👍🙏
BalasHapusPernah dapet keterangan arti Cinere itu Ci= air Nere= Sumber Cinere=Sumber Air
BalasHapusKeren
BalasHapusAda yang tau siapa H Abdul Rosyid bin H Niung dari Cinere gk
BalasHapusSetau saya dia mah tuan tanah yang dermawan n tukang kawin ampe 30an bininya wkwkwk, itu H muhajir H muhasyim H jaeran n H jidi masih keluarga dekatnya, sekarang udah pada hidup masing-masing, mungkin
Hapus