Anak-anak Padang Sidempuan telah memainkan peran yang penting dalam sejarah sepakbola di Jakarta dan sejarah Persija Jakarta. Tentu saja anak-anak Padang Sidempuan juga telah berperan penting di Medan dan Surabaya. Tiga kota ini menjadi barometer sepakbola sejak mulai dikenalnya sepakbola di Indonesia hingga ini hari. Di ketiga kota ini, sepakbola telah memberi warna dalam perjalanan anak-anak bangsa Indonesia mulai dari memunculkan gagasan, persiapan, perebutan dan fase mengisinya. Dua tokoh penting sepakbola dalam hal ini adalah Radjamin Nasution dan Parada Harahap. Kerja keras keduanya dan patriotisme yang ditunjukkan (dengan segala hormat) belum ada yang mengalahkannya hingga ini hari. Keduanya bekerja di lapangan sepakbola tanpa pamrih.
Tokoh sepakbola: Parada (Jakarta), Radjamin (Surabaya), Abdul Hakim (Medan) |
Pasca kedaulatan Republik Indonesia (setelah
Desember 1949), sepakbola Indonesia mulai bergairah kembali, dilakukan
pengaturan dan berbagai kompetisi mulai berjalan (pada basis perserikatan).
PSSI yang katanya dibentuk tanggal 19 April 1930 di Jogjakarta, pada tahun 1950
dikonsolidasikan kembali. Tiba saatnya semua orang berbicara sesukanya tentang
sepakbola. Sepakbola Indonesia kemudian dilanjutkan, melanjutkan fondasi
sepakbola yang sudah mulai terbentuk tahun 1907 ketika STOVIA Voetbal Club berkunjung
ke Medan untuk melakukan pertandingan persahabatan dengan Tapanoeli Voetbal
Club.
Radjamin Nasution Masih Bermain Sepakbola pada Usia Tua
Pada masa transisi ini, sisa-sisa kehidupan
sepakbola Indonesia di masa sebelumnya (era Belanda, pendudukan Jepang dan masa
agresi militer Belanda) masih terlihat. Para pendahulu (pionir), seperti
Radjamin Nasution dan Parada Harahap mulai pension dan istirahat. Perjuangan
sudah selesai, kemerdekaan sudah direbut dan pengakuan kedaulatan RI sudah
ditegakkan. Tinggal bagaimana untuk melanjutkannya. Di Surabaya, pembinaan
sepakbola diteruskan anak Radjamin Nasution yakni Letkol Dr. Irsan Radjamin
Nasution.