Hari
ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan menunda sosialisasi perubahan
nama jalan terusan Rasuna Said, Jalan Mampang Prapatan dan Jalan Warung Jati
Barat (Warung Buncit) menjadi Jalan AH Nasution. Usulan ini muncul dari Ikatan
Keluarga Nasution tetapi ada penolakan dari pihak tertentu. Gubernur Anies
Baswedan disamping masih memerlukan kajian dan juga menginginkan partisipasi
sejarawan, budayawan dan ahli tata kota dalam penentuan nama jalan juga ingin
meninjau Surat Keputusan Gubernur Nomor 28 Tahun 2009 terkait pedoman penetapan
nama jalan.
Peta 1938 |
Artikel
ini akan mendeskripsikan sejarah perubahan nama-nama jalan di Jakarta, sejak
era Batavia hingga Pasca Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia (1950). Dalam
artikel ini juga akan dideskripsikan asal-usul nama Mampang dan asal-usul nama
Buncit. Nama Buncit diduga kuat adalah seorang Tionghoa pemilik lahan di
Mampang dan sekitarnya yang bernama Tan Boen Tjit. Deskripsi ini diharapkan
dapat memperkaya pemahaman para sejarawan (yang belum menemukan data).
Perubahan Nama
Jalan di Jakarta: Dari Era Belanda ke Era RI
Secara
defacto, jalan Mampang Prapatan dan Jalan Warung Jati Barat (Jalan Raya Buncit)
sudah sejak lama ada (lihat Peta 1928). Namun namanya tidak pernah disebut.
Nama-nama jalan yang sudah ada hanya jalan-jalan yang berada di sekitar
Koningsplein (Monas yang sekarang). Penabalan nama jalan di era kolonial
Belanda harus berdasarkan keputusan Burgemeester (Wali Kota).
Di era
pendudukan Jepang (1942-1945) nama-nama berbau Belanda diganti dengan nama-nama
berbau Jepang (lihat De bevrijding: weekblad uitgegeven door de Indonesische
Vereniging Perhimpoenan Indonesia, 26-05-1945). Nama-nama Jepang antara lain:
Van Heutz-boulevard diganti menjadi Djalan Imamura; Oranje-boulevard berubah
nama menjadi Djalan Raya Showa; Nassau-boulevard menjadi Djalan Raya Meiji dan
Rijswijk straat menjadi Djalan Istana.
Setelah
Belanda berkuasa kembali, nama-nama yang ada (sebelum tahun 1942) diberlakukan
kembali (karena memang surat keputusannya belum diubah). Setelah berakhirnya
perang, pasca pengakuan kedaulatan RI, nama-nama jalan di era kolonial Belanda
diubah Pemerintah RI via Wali Kota Djakarta. Perubahan nama ini dilakukan
secara bertahap dimulai tahun 1950. Sebelumnya nama Batavia telah diubah
menjadi Djakarta dan nama Buitenzorg
diubah menjadi Bogor.
Dalam fase
transisi perubahan nama masih tampak keraguan, seperti nama Oranje Boulevard
menjadi Djalan Raja Oranje (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant,
08-04-1950). Namun dalam perkembangannya, Oranje Boulevard diubah sepenuhnya
menjadi Djalan Diponegoro (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1950). Bersamaan dengan perubahan nama menjadi
Djalan Diponegoro ini juga berubah nama jalan dan nama taman. Nassau Boulevard
menjadi Djalan Imam Bondjol; Burgemeester Bisschopplein menjadi Taman Surapati
dan Van Heutzboulevard menjadi Djalan Teuku Umar. Total ada perubahan nama
jalan sebanyak 30 buah.
Beberapa
bulan kemudian diumumkan perubahan nama-nama jalan yang baru sebanyak 30 buah
lagi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 11-10-1950). Dengan demikian nama jalan yang telah diubah
menjadi 60 buah. Nam-nama jalan yang baru diubah tersebut antara lain:
Molenvliet West menjadi Djalan Gadjah Mada; Molenvhet Oost menjadi Djalan Hajam
Wuruk; Schoolweg menjadi Djalan Dokter Sutomo; Sipayersweg menjadi Djalan
Dokter Wahidin; Nieuwe weg van Gambir Selatan (Kebonsirih) menjadi Djalan
Thamrin; Rijswrjkstraat menjadi Djalan Modjopahit; Nieuwe Vliegveldlaan menjadi
Djalan Angkasa; Djalan Kemajoran menjadi Djalan Garuda; Eyckmanlaan menjadi Djalan Kimia; Boxlaan
menjadi Djalan Borobudur; Bontiusweg menjadi Djalan Mendut; dan Duracusweg
menjadi Djalan Prambanan.
Saat itu Jalan
Thamrin yang sekarang sesungguhnya belum ada. Di lokasi tersebut masih sebuah
jalan rintisan.
Beberapa
hari kemudian diumumkan kembali perubahan nama jalan sebanyak 30 buah (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
16-10-1950). Jumlah nama jalan/taman yang berubah telah mencapai sebanyak 90
buah. Nama-nama jalan yang berubah tersebut antara lain: Drukkerijweg menjadi Djalan Percetakan Negara
dan Landhuisweg menjadi Djalan Tambak.
Setelah itu
kemudian perubahan nama tambahan diumumkan yakni Sunset Boulevard diubah
namanya menjadi Djalan Djawa (Nieuwe courant, 17-11-1951).
Semua
nama-nama jalan yang diubah tersebut berada di sekitar Istana dan Menteng. Pada
bulan April 1952 diumumkan terjadi perubahan nama-nama jalan dan nama taman
(lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
03-04-1952). Nama-nama jalan yang baru tersebut antara lain: Koningin Emmalaan
menjadi Djalan Slamat Rijadi; Generaal Staallaan menjadi Djalan Djenderal Oerip
Soemohardjo; Stovia weg menjadi Djalan Kwini. Semenetara nama taman
Wilhelminapark menjadi Taman Widjaja Kusuma (kelak menjadi lokasi pembangunan
Masjid Istiqlal). Total ada sebanyak 41 buah.
Pada fase
pertama ini, hingga bulan April 1952 sudah ada sebanyak 131 nama jalan/taman
yang diganti. Meski demikian, beberapa nama jalan susulan diumumkan.
Nama
jalan yang baru yang diumumkan pada bulan Desember 1953 adalah Djalan Teuku
Tjiditiro (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 24-12-1953). Nama jalan Djalan Mampang diganti namanya
menjadi Djalan Teuku Tjiditiro. Disebutkan bahwa Teuku Tjiditiro adalah
pemimpin perlawanan di Aceh. Dalam arti tertentu, dia lebih penting daripada
Teuku Umar—yang kami ketahui dari buku sejarah— karena Teuku Umar mengikuti
perintahnya dan bergabung dalam perang melawan tentara Belanda sesuai dengan
strategi Teuku Tjiditiro. Jadi dia adalah jiwa dari perlawanan di Atjeh.
Setelah sekian
lama diumumkan kembali nama jalan yang baru dan pergeseran nama jalan (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
27-11-1954). Nama jalan baru tersebut adalah Djalan Hadji A. Salim untuk menggantikan Djalan Geredja Theresia.
Sedangkan nama jalan Geredja Theresia
digeser menempati nama jalan Djalan Sunda. Sedangkan nama Djalan Sunda sendiri
menempati jalan yang baru dibangun, yaitu jalan yang menghubungkan Djalan
Thamrin dengan Djalan Hadji Agus Salim.
Nama
jalan Mampang (Mampangweg) paling tidak sudah dilaporkan adanya pada tahun 1913
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-05-1913). Jalan ini
dibangun tahun 1913 yang merupakan terusan jalan Gondangdia (Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie,
05-08-1913). Jalan ini merupakan jalan paling besar dari Koningsplein
menuju selatan kota (tentu saja belum ada jalan MH Thamrin yang sekarang).
Disebut jalan Mampang karena arahnya menuju selatan di Land Mampang.
Pembangunan jalan Mampang ini bersamaan dengan pembangunan Orangeboelevard
(kini jalan Diponegoro). Pembangunan dua jalan ini dalam rangka eksploitasi
pembangunan pemukiman yang baru. Pada tahun 1918 Mampangweg ini terpotong
karena dibangunnya bandjir kanaal (Banjir Kanal Barat). Namun demikian di atas
kanal dibangun jembatan, sehingga layout pembangunan perumahan Menteng tidak
terlalu terganggangu. Karena, pada masa kini terkesan sebagian wilayah
perumahan Menteng menjadi terpisah di wilayah Guntur yang sekarang. Peta
Menteng, 1938
Peta Menteng, 1938 |
Jalan
MH Thamrin yang sekarang dalam peta Tahun 1938 belum ada. Demikian juga Jalan
Rasuna Said yang sekarang juga belum ada. Jalan MH Thamrin yang sekarang, baru
dibangun awal tahun 1950an. Dengan kata lain, jalan baru dengan nama baru MH
Thamrin ditabalkan pada tahun 1950.
Pada
tahun 1953 nama Djalan Mampang telah diubah menjadi nama Djalan Teuku Tjiditiro
(lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
24-12-1953). Nama jalan Mampang ini pada dasarnya di daerah Menteng, namun
karena jalan tersebut menuju wilayah Mampang disebut Djalan Mampang.
Saat itu tentu
saja belum ada Jalan Kuningan atau Jalan Rasuna Said. Jalan dari Menteng ke
Mampang masih melalui Djalan Tjiditiro (eks Djalan Mampang) terus melalui Jalan
Guntur yang sekarang menuju wilayah Mampang.
Dari
Mampang hingga wilayah Pedjaten sudah ada jalan. Dari Pedjaten rute jalan
berbelok ke timur menuju (stasion) Pasar Minggu. Sementara jalan terusan ke
Ragunan belum ada. Ruas jalan antara Mampang ini hingga Pedjaten belum ada nama.
Namun dalam perkembangannya, ruas jalan ini dibagi dua dengan nama Jalan
Mampang Prapatan dan Jalan Warung Jati Barat. Jalan Mampang Prapatan di ruas
sebelah utara, sedangkan Jalan Warung Jati Barat di sebelah selatan.
Nama jalan
Mampang Prapatan mengacu pada prapatan (persimpangan) di Mampang. Di wilayah
Mampang tidak ada (lagi) nama Jalan Mampang Raya. Jika disebut nama Jalan
Mampang Raya adalah Jalan Mampang Prapatan. Hal ini karena Jalan Mampang Raya
pada tahun 1953 telah diubah namanya menjadi Djalan Teuku Tjiditiro (di wilayah
Menteng ke arah wilayah Mampang). Dalam hal ini nama Mampang mengacu pada nama
wilayah Mampang, nama yang sudah ada tempo doeloe.
Jalan
Warung Jati Barat ini disebut sebagai Jalan Warung Buncit. Lantas mengapa
disebut nama Warung Buncit? Nama Buncit sendiri diduga kuat berasal dari nama
seorang Tionghoa bernama Boen Tjit bermarga Tan (Tan Boen Tjit).
Orang-orang
Tionghoa dari marga Tan di era kolonial Belanda termasuk yang memiliki posisi
dan memiliki usaha yang besar dan lahan yang luas. Marga Tan ini cukup banyak
yang memiliki landdrein, seperti di Land Tjimanggis dan Land Pondok Tjina. Tan
Boen Tjit diduga kuat adalah pemilik Land Mampang.
Java-bode, 24-11-1892 |
Bataviaasch nieuwsblad, 27-03-1888 |
Dua
tahun sebelumnya Tan Boen Tjit tuan tanah memerintah penduduk asli yang tinggal
di kampung Kalibata Doeren Tiga melalui Landraad di Meester Cornelis untuk
mengevakuasi lahan yang telah mereka panen di lahan tersebut. Penduduk asli
yang tinggal di kampung tersebut mengajukan kasasi atas putusan dewan tanah
tersebut di Landraad Meester Cornelis namun kasasi ini ditolak dewan (lihat
Bataviaasch handelsblad, 14-07-1890).
Bataviaasch handelsblad, 14-07-1890 |
Waroeng Tionghoa di Weltevreden (Gambir), 1904 |
Jauh
sebelum Sensus 1930 (1900) Batavia terdiri dari dua Afdeeling: Stad Batavia en
Vorsteden dan Meester Cornelis. Wilayah Afdeeling Meester Cornelis adalah
daerah pertanian yang penduduknya jarang. Wilayah ini terdiri dari
kampung-kampung yang digabungkan menjadi sejumlah desa. Afdeeling Meester
Cornelis, terdiri dari tiga district: Meester Cornelis, Kebajoran dan Bekassi.
Sementara Afdeeling Stad Batavia en Vorsteden terdiri dari dua district:
Batavia dan Weltevreden.
Pada tahun 1888
Soetan Abdoel Azis, pejabat di kantor Asisten Residen Mandheling en Ankola di
Padang Sidempoean diangkat menjadi Asisten Demang di District Kebajoran dan
pada waktu yang bersamaan Asisten Demang di District Weltevreden adalah
Maharadja Soetan (Kepala Koeria Batoenadoea Padang Sidempoean). Anak Abdoel
Azis bernama Haroen Al Rasjid lulus Docter Djawa School tahun 1902; Anak
Maharadja Soetan bernama Soetan Casajangan lulus Kweekschool Padang Sidempoean
tahun 1887. Soetan Casajangan (setelah mengabdi menjadi guru selama 10 tahun di
Padang Sidempoean) pada tahun 1905 berangkat studi ke Belanda (untuk mendapat
akta Kepala Sekolah). Pada tahun 1908 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan
mendirikan sekaligus Presiden pertama Perhimpoenan Indonesia (Indisch
Vereeniging) yang kelak menjadi cikal bakal PPI tahun 1924 di Belanda (era M.
Hatta). Haroen Al Rasjid memiliki dua anak yang hebat: Mr. Gele Haroen (alumni
sekolah hukum Universiteir Leiden) dan Dr. Ida Loemongga, Ph.D (alumni sekolah
kedokteran Universiteit Amsterdam). Ida Loemongga Nasution adalah perempuan
Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D) yang berhasil mempertahankan desertasinya di Universiteit Amsterdam tahun 1931. Mr. Gele Harun Nasution adalah
advokat dan Residen pertama Lampoeng (kini tengah diusulkan Pemerintah Lampung untuk menjadi Pahlawan
Nasional dari daerah Lampung).
MH Thamrin,
Abdul Hakim Nasution dan Parada Harahap: Abdul Haris Nasution, TB Simatupang
dan Pierre Tendean
Hubungan
orang-orang Afdeeling Padang Sidempoean (Mandailing en Angkola) sudah sejak
lama terbina dengan baik dengan penduduk asli Batavia (Betawi). Soetan Abdoel
Azis dan Maharadja Soetan adalah pionir, sejak 1888 keduanya menjadi Asisten
Demang di Kebajoran dan Weltevreden.
Sepulang dari
Belanda tahun 1914, Soetan Casajangan menjadi Direktur Normaal School (sekolah
guru) di Meester Cornelis. Soetan Casajangan meninggal tahun 1929 selagi
menjabat Direktur Normaal School. Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat
adalah penasehat berdirinya PPPKI (Permoesjawaratan Perhimpoenan-Perhimponenan
Kebangsaan Indonesia) yang didirikan tahun 1927. Husein Djajadiningrat adalah
sekretaris Soetan Casajangan ketika mendirikan Indisch Vereeninging tahun 1908
di Leiden. Inisiatif pendirian PPPKI ini adalah Parada Harahap, raja media
(tujuh surat kabar) yang kala itu menjadi sekretaris Sumatranen Bond. Saat
pendirian PPPKI ini dihadiri oleh dua anggota Volksraad yang paling vokal di
Pedjambon (kini Senayan) yakni MH Thamrin dan Abdoel Firman Siregar gelar
Mangaradja Soangkoepon (Anggota Indisch Vereeniging bersama Soetan Casajangan
dan Husein Djajadiningrat). Dalam pembentukan PPPKI tersebut di rumah Husein
Djajadiningrat, secara aklamasi memilih MH Thamrin (Kaoem Betawi) sebagai ketua
dan sekretaris Parada Harahap. Dalam pembentukan PPPKI ini awalnya Boedi Oetomo
enggan bergabung (karena menggangap diri sudah besar dan mendapat sokongan dari
pemerintah) akhirnya bersedia setelah dibujuk Dr. Radjamin Nasution (teman
sekuliah di STOVIA). Parada Harahap
mengusulkan agar PPPKI membangun gedung sendiri, lalu MH Thamrin menyediakan
lahan di Gang Kenari (situs gedung itu masih ada sekarang disebut Gedung MH
Thamrin). Di dalam gedung itu, Parada Harahap yang merangkap sebagai kepala
kantor hanya memampang tiga potret: Diponegoro, Soekarno dan M. Hatta.
Parada Harahap dari PPPKI (senior) adalah pembina panitia Kongres Pemuda
(junior) tahun 1928. Parada Harahap sebagai ketua Kadin pribumi Batavia adalah
sponsor pembiayaan Kongres Pemuda dengan menempatkan Amir Sjarifoeddin Harahap
sebagai bendahara. MH Thamrin dan Parada Harahap adalah sama-sama pengusaha
beken di Batavia. Dalam Kongres Pemuda 1928 lagu Indonesia Raya karya WR
Supratman diperdengarkan (WR Supratman adalah anak buah Parada Harahap dalam
mengelola kantor berita Alpena dan tinggal bersama di rumah Parada Harahap).
Ketika
masa kepengurusan (yang pertama) MH Thamrin dan Parada Harahap berakhir tahun
1929, MH Thamrin pada tahun itu juga diangkat sebagai Wakil Wali Kota (Loco
Burgemeester) Batavia. Dua tahun berikutnya di Kota Padang, Dr. Abdoel Hakim
Nasution dipilih dan diangkat untuk menjabat Wakil Wali Kota di Padang.
Gemeente Batavia dan Gemeente Padang, hanya dua kota yang pernah memiliki Loco
Burgemeester yang dijabat oleh pribumi.
Dr. Abdoel Hakim
adalah alumni Docter Djawa School lulus tahun 1905. Abdoel Hakim adalah teman
sekelas Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School. Sebagaimana
diketahui Dr. Tjipto adalah pendiri PNI di Bandoeng. Di Pantai Barat Sumatra
(Sumatra’s Westkust) yang menjadi pimpinan PNI adalah Dr. Abdoel Hakim. Salah
satu anak Dr. Abdoel Hakim bernama Mr. Egon Hakim (lulusan sekolah hukum
Universiteit Leiden) yang menjadi pengacara di Padang. Egon Hakim menikah
dengan putri cantik MH Thamrin. Besar dugaan yang menjadi penghubung dua
keluarga ini adalah Parada Harahap. Dr. Abdoel Hakim menjadi besan MH Thamrin.
Kelak, ketika terjadi pendudukan Jepang, semua orang Belanda merapat ke Kota
Padang untuk evakuasi ke Australia. Ir. Soekarno yang menjadi tahanan di pengasingan
di Bengkulu turut dibawa ke Padang. Pada saat chaos di Padang, Ir. Soekarno
dan keluarga 'diculik' oleh Egon Hakim dari tangan Belanda dan menyembunyikan di rumahnya.
Saat-saat situasi inilah Parada Harahap, M. Hatta dan Soekarno bekerjasama
dengan Jepang. Parada Harahap adalah penentang Belanda, sejak mendirikan surat
kabar dengan nama Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919) dan pada tahun 1933
Parada Harahap memimpin tujuh orang pertama ke Jepang (termasuk M. Hatta).
Sepulang dari Jepang, rombongan tidak langsung ke Batavia tetapi turun di
Soerabaya (disambut Dr. Soetomo, kepala rumah sakit dan Dr. Radjamin Nasution,
anggota dewan kota (gemeenteraad) Surabaya. Kelak Radjamin Nasution menjadi
wali kota pribumi pertama Kota Surabaya. Demikian juga, kelak Dr. Abdoel Hakim
Nasution menjadi Wali Kota pribumi pertama di Kota Padang. Makam WR Supratman
dan makam Dr. Radjamin Nasution berdekatan di satu pemakaman di Kota Surabaya.
Selama
pendudukan Jepang (1942-1945). Parada Harahap, Soekarno dan M. Hatta
bekerjasama dengan Jepang (sebagai wujud kelanjutan oposisi mereka bertiga
terhadap Belanda sejak era kolonial Belanda). Sementara Amir Sjarifoeddin
memilih menolak bekerjasama dengan Jepang. Soekarno dan M. Hatta lalu menjadi
ketua dan wakil ketua penasehat pribumi. Sedangkan Parada Harahap menjadi
Koordinator Media Informasi. Pada saat memimpin kantor media informasi ini, Parada Harahap
menyertakan empat anak buahnya yang selama ini berkecimpung di media: Adam
Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah untuk bekerja di radio militer Jepang dan BM Diah di media cetak.
Sebagai imbal
dari kerjasama, pemerintah militer Jepang mulai membantu ke arah persiapan
kemerdekaan Indonesia. Parada Harahap, Soekarno dan M. Hatta menjadi anggota
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Akhirnya era pendudukan Jepang benar-benar
berakhir setelah Jepang menyerah kepada sekutu (pasca pemboman Hirosima dan
Nagasaki). Adam Malik yang tergolong barisan pemuda mendesak Soekarno dan M.
Hatta memproklamirkan kemerdekaan (Amir Sjarifoeddin masih di dalam penjara
Jepang di Malang). Terjadilah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI di Pegangsaan Timur
Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah
Indonesia merdeka dan teks proklamasi dibacakan pada pagi hari pukul 10
ternyata gaungnya hanya diketahui di Jakarta saja. Radio dan jalur komunikasi
masih dikuasai dan dijaga ketat oleh militer Jepang. Saat inilah salinan teks
proklamsi diduga kuat diberikan Adam Malik kepada Mochtar Lubis untuk dibawa ke
Bandoeng agar bisa disiarkan melalui radio.
Sakti Alamsjah
masih bekerja di radio militer Jepang di Bandoeng. Sakti Alamsjah dan Mochtar
Lubis sangat dekat satu sama lain (kebetulan seumuran, 22 tahun). Pada pukul
tujuh malam, teks proklamasi dibacakan oleh Sakti Alamsjah di radio militer
Jepang yang lokasinya berada jauh di (gunung) Malabar. Siaran pembacaan teks proklamasi
ini kemudian dapat didengar masyarakat Bandoeng dan sekitarnya (Priangan), juga siarannya
dapat dipantau di Djogjakarta dan Australia. Radio Bandoeng merupakan
satu-satunya radio yang berani menyiarkan dengan membacakan teks proklamasi
kemerdekaan RI. Kelak kedua sahabat ini masing-masing memimpin surat kabar:
Mochtar Lubis mendirikan surat kabar Indonesia Raya di Batavia dan Sakti
Alamsjah Siregar mendirikan surat kabar Pikiran Rakyat di Bandoeng. Bukti
kedekatan kedua tokoh muda ini (penerus Parada Harahap) bahwa motto surat kabar
Indonesia Raya dan surat kabar Pikiran Rakyat sama persis: Dari Rakjat, Oleh
Rakjat dan Ontoek Rakjat (tentu saja tidak ada dua surat kabar memiliki motto
yang sama, kecuali Indonesia Raya dan Pikiran Rakyat).
Dalam
perkembangannya, Ir. Soekarno menjadi Presiden dan M. Hatta menjadi Wakil
Presiden. Parada Harahap lalu ‘lengser keprabon’. Perjuangannya sejak di Padang
Sidempoean mendirikan surat kabar Sinar Merdeka (1919), kini benar-benar Indonesia
telah merdeka. Adik-adiknya Soekarno, M. Hatta, Amir, Adam Malik, Mochtar Lubis
dan Sakti Alamsjah sudah mengambil posisi penting di berbagai bidang. Adam
Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah tetap bekerja di bidang media. Amir
Sjarifoeddin yang sarjana hukum setelah keluar dari penjara diangkat Soekarno
dan M. Hatta menjadi Menteri Informasi (Penerangan).
Namun tidak lama
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, sekutu di bawah pimpinan
Inggris mulai melakukan invasi dengan dalih membebaskan tahanan Eropa/Belanda
dan melucuti para militer Jepang. Awalnya Soekarno dan M. Hatta enggan menerima
Inggris karena khawatir diikuti Belanda/NICA dari belakang. Akan tetapi karena
tahanan Eropa/Belanda menjadi beban dan tidak mungkin melucuti militer Jepang
akhirnya Inggris diizinkan. Seperti yang diduga, Inggris ternyata membuka jalan
bagi Belanda/NICA. Perang pun mulai, diawali di Depok. Kejadian ini terjadi
saat Inggris menjalankan tugasnya di Djakarta sebelum bergerak ke Bogor dan
Bandoeng. Inggris juga melakukan hal yang sama di tempat lain di Jawa, di
Sumatra dan wilayah lainnya.
Saat
mulai terjadinya perang (perlawanan terhadap sekutu/NICA), Amir Sjarifoeddin
diangkat Menteri Keamanan Rakyat (Menteri Pertahanan). Tugas menteri Amir
Sjarifoeddin untuk mengkonsolidasikan bentuk-bentuk perlawanan juga untuk
mengorganisasikan kekuatan rakyat yang bersamaan dengan upaya pembentukan
TRI/TNI sebagai kekuatan inti.
Dua mantan
perwira KNIL (yang telah mendapat pelatihan dari militer Belanda di era
kolonial) yakni TB Simatupang dan Abdul Haris Nasution mulai membantu milisi
PETA bentukan Jepang. Dua perwira inilah kemudian yang ditempatkan Amir
Sjarifoeddin berada di bawah komando Sudirman dalam perang di Jawa. Kolonel TB
Simatupang menjadi wakil dari Jenderal
Sudirman dan Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi perwira utama (yang membawahi
Komando Siliwangi di Bandoeng yang bergesekan langsung dengan Inggris/NICA di
Djakarta). Untuk wilayah Bogor dan sekitarnya sahabat Abdul Haris Nasution,
Letkol Kawilarang untuk membantunya. Sementara itu, Kolonel Zulkifli Lubis yang
memiliki keahlian di bidang intelijen menjadi perwira utama membawahi intelijen
RI yang berpusat di Djogjakarta.
Dalam
perkembangannya ibukota RI pindah ke Djogjakarta (awal tahun 1946). Pasukan
Inggris dari Bogor telah merangsek ke Bandoeng. Pada fase inilah (1946) Amir Sjarifoeddin dan Kolonel Zulkifli Lubis di Djogjakarta menyusun desain organisasi TRI/TNI. Tidak lama kemudian terjadi perang di Bandung
utara. Inggris lalu mengultimatum agar mengosongkan Bandung utara dalam tempo
lima hari selambat-lambatnya tanggal 24 Maret 1946. Tentu saja ultimatum ini
tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah
insiden. Pasukan sekutu sendiri mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945.
Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri Keamanan Rakyat) Mr Sjarifoeddin
Harahap (dari Djogjakarta) lantas bergegas ke Bandung dan mendiskusikannya
dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution. Lalu dalam
perkembangan berikutnya Kolonel Abdul Haris di Bandung mendapat pesan dari
perwakilan RI di Batavia (Sjahrir) agar mengakhiri semua pertempuran yang
dilancarkan oleh para pejuang dan pasukan. Sekutu sudah nekad, Memberi
ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km
dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 29 Maret 1946. Politik bumi
hangus di Bandung tidak terhindarkan. Area kebakaran meliputi sepertiga dari
Bandung Selatan. Jumlah bangunan yang terbakar ditaksir sebanyak 150 bangunan
(Algemeen Handelsblad, 30-03-1946).
Setelah
perang yang berlarut-larut dan didahului dua perundingan, akhirnya disepakati
untuk berunding kembali dalam KMB di Den Haag. Belanda kemudian mengakui
kedaulatan RI. Soekarno dan M. Hatta
kembali menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Di Jakarta, Kolonel Abdul Haris
Nasution diangkat sebagai KASAD yang dalam perkembangan berikutnya diangkat
menjadi Panglima dengan pangkat Jenderal.
Singkat kata:
Pada tahun 1965 terjadi kisruh politik yang menyebabkan Jenderal Abdul Haris
Nasution menjadi sasaran penembakan yang dilakukan oleh PKI. Persitiwa ini
dikenal sebagai G 30 S/PKI. Jenderal Abdul Haris Nasution terhindar dari
pembunuhan tetapi tidak dengan putrinya Ade Irma Suryani dan ajudannya Pierre
Tendean. Kelak nama Pierre Tendean diabadikan sebagai nama jalan di wilayah Mampang Jakarta.
Sebelumnya, juga nama Jenderal TB Simatupang sudah diabadikan di Jakarta
Selatan. Antara jalan TB Simatupang dan jalan Pierre Tendean ini kemudian
diusulkan menjadi jalan Jenderal Abdul Haris Nasution. Sebagian dari ruas Jalan
Abdul Haris Nasution ini nama sebelumnya adalah Jalan Buncit Raya.
Nama Mampang dan
Buncit vs Nama Abdul Haris Nasution
Nama
jalan yang merupakan terusan Jalan HR Rasuna Said di utara mulai dari batas
Jalan Jenderal Gatot Subroto melalui Jalan Mampang Raya dan Jalan Buncit Raya
(Jalan Warung Jati Barat) hingga batas Jalan Letjen TB Simatupang di selatan
diusulkan nama keseluruhannya menjadi Jalan Jenderal Besar Abdul Haris
Nasution. Usulan nama Abdul Haris Nasution sesungguhnya tidak berlebihan; juga
nama Mampang dan Buncit tidak terlalu kehilangan.
Perubahan nama
jalan adalah hal yang biasa, yang tidak biasa adalah nama apa yang tepat diberi
nama jalan tersebut. Nama Djalan Mampang Raya pada tahun 1953 telah diubah
dengan nama Teuku Cik Ditiro. Yang tersisa adalah Djalan Mampang Prapatan, ruas
jalan yang akan diusulkan diganti dengan Jalan Abdul Haris Nasution. Nama Teuku
Cik Ditiro adalah nama besar, demikian juga nama Abdul Haris Nasution adalah
nama besar. Oleh karenanya kehilangan nama Mampang (dan nama Buncit) hanyalah
kehilangan kecil, sedangkan penabalan nama Abdul Haris Nasution justru memberi
nilai tambah yang besar bagi keseluruhan warga masyarakat khususnya di wilayah Buncit dan seluruh rakyat Indonesia.
Adanya
penolakan pihak tertentu terhadap penghilangan nama Mampang dan nama Buncit dan
penggantian dengan nama Abdul Haris Nasution boleh jadi hanya reaksi spontan. Hal ini
karena sejarah kedua belah pihak (di satu sisi Mampang dan Buncit) dan di sisi
lain Jenderal Besar Abdul Haris Nasution karena sejarahnya kurang tersosialisasi secara memadai. Abdul Haris Nasution adalah penjaga NKRI sejati yang menjadi
korban pihak PKI dalam peristiwa G 30 S/PKI. Abdul Haris Nasution telah
kehilangan putrinya dan juga seorang ajudannya yang setia. Pemilihan jalan yang
diberi nama Jalan Abdul Haris Nasution tampaknya sudah tepat mengingat jalan
tersebut mempertemukan kepada dua sahabat lamanya semasa hidup di masa lampau: TB
Simatupang dan Pierre Tendean.
Keren...baik pelajari sejarah, utk generasi selanjutnya
BalasHapus