Laman

Selasa, 03 Juli 2018

Sejarah Yogyakarta (1): Dr. Sardjito, Ph.D, Dokter Bergelar Doktor; STOVIA, Boedi Oetomo, Leiden, Pasteur Instituut, UGM


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Sardjito, hanya itu namanya: singkat dan padat. Namun kapasitas Sardjito tidak hanya seorang dokter lulusan Stovia, tetapi Dr. Sardjito adalah dokter Indonesia generasi pertama yang berhasil meraih gelar doktor (Ph.D). Tidak hanya itu, Dr. Sardjito, Ph.D juga adalah tokoh penting organisasi kebangsaan Boedi Oetomo. Nama dokter Sardjito juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari Pasteur Instituut dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dr. Sardjito, Ph.D
Dr. Sardjito, Ph.D adalah orang Indonesia kedua yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran (1923). Dr. Sardjito, Ph.D adalah pribumi pertama yang menjabat direktur Pasteur Instituut. Sementara itu, perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran adalah Dr. Ida Loemongga, Ph.D (1931). Sedangkan Dr. Achmad Mochtar, Ph.D adalah orang pribumi pertama yang menjabat direktur Eijkman Instituut. Ida Loemongga kelahiran Padang dan Achmad Mochtar kelahiran Bondjol adalah sama-sama berasal dari Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean, Tapanoeli). Ida Loemongga adalah anak Dr. Haroen Al Rasjid Nasution dan Achmad Mochtar adalah anak guru Omar Loebis.

Namun sangat disayangkan, riwayat Dr. Sardjito ditulis sangat singkat, padahal Dr. Sardjito catatan karirnya sangat fantastik: Dokter doktor kedua, Direktur Pasteur pertama dan Rektor UGM pertama. Data riwayat Dr. Sardjito, Ph.D yang singkat tersebut ternyata banyak informasinya yang ditulis keliru. Satu hal lain tidak pernah ditulis ternyata Dr. Sardjito juga 'master' dalam permainan catur. Untuk itu, sejarah Dr. Sardjito, Ph.D perlu ditulis kembali (selengkap mungkin dan seakurat mungkin). Mari kita telusuri surat kabar sejaman.

Artikel ini disusun berdasarkan data publik secara kronoligis. Untuk memperkaya pemahaman riwayat Dr. Sardjito, disajikan berbagai hal yang terkait (membuat relasi) dengan kejadian atau peristiwa penting yang terjadi (bersifat kontekstual). Dengan demikian riwayat Dr. Sardjito, Ph.D  tidak tumpang tindih, riwayat Dr. Sardjito juga akan menjadi terlihat jelas dalam konteks dinamika bangsa (sebelum dan selama Sardjito kuliah di STOVIA, selama berdinas, program doktoral di Belanda dan seterusnya) hingga kehidupan Dr Sardjito di usia tinggi.

Docter Djawa School dan STOVIA

Sardjito diterima di sekolah kedokteran STOVIA tahun 1906. Pada tahun 1907 Sardjito naik kelas dari kelas satu ke kelas dua tingkat persiapan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1907). Satu kelas dengan Sardjito antara lain Radjamin (Nasution), yang naik ke kelas tiga antara lain Sjahaboedin (Lubis), yang naik ke kelas satu tingkat medik antara lain Abdoel Rasjid (Siregar) dan Mohamad Sjaaf, yang naik ke kelas tiga antara lain Raden Soetomo, yang naik ke kelas lima antara lain Kajadoe dan Mohamad (Daoelaj) dan yang naik ke kelas enam antara lain M. Antariksa.

 Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902
Sejak 1898 Docter Djawa School berubah menjadi STOVIA. Antariksa lulus STOVIA tahun 1908 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-09-1908). Dr. Antariksa adalah lulusan pertama STOVIA. Lulusan terakhir Docter Djawa antara lain Abdoel Hakim (Nasution) van Padang Sidempoean, Abdoel Karim van Padang Sidempeoan dan Tjipto Mangoenkoesoemo van Poerwodadi (lihat Soerabaijasch handelsblad, 27-11-1905).  Nama-nama siswa Docter Djawa School yang naik dari kelas tiga ke kelas empat tingkat medik tahun 1902 lihat Het nieuws van den dag voor NI, 27-11-1902.

Sardjito lulus di sekolah kedokteran STOVIA tanggal 26 Juni 1915 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-06-1915). Ini berarti Sardjito menyelesaikan pendidikan dokter di STOVIA tepat waktu (sembilan tahun).

Sardjito lahir di Madioen tahun 1889. Ayah Sardjito adalah Mohamad Sajid, diangkat sebagau guru tahun 1883 di Pemalang (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 16-04-1883). Jabatan terakhir Mohamad Sajid adalah guru HIS di Bondowoso yang diangkat menjadi pengawas sekolah (De Indische courant, 17-12-1925).

Nama-nama yang belum disebut sebelumnya: yang lulus bersamaan dengan Sardjito antara lain Achmad Saleh. Sementara nama-nama lainnya yang lulus kelas lima antara lain Achmad Mochtar, yang lulus kelas dua antara lain Sjoeib Prohoeman, dan yang lulus kelas satu tingkat medik antara lain Mamoer Al Rasjid. Sedangkan yang lulus kelas tiga tingkat persiapan antara lain T. Mansoer, yang lulus kelas dua antara lain Abdoel Moenir

Siswa-siswa yang berasal dari Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean) terbilang cukup banyak diterima di Docter Djawa School dan STOVIA. Dua siswa pertama yang diterima adalah Si Asta dan Si Angan tahun 1854 (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Dua siswa asal Mandailing dan Angkola ini adalah siswa-siswa yang pertama di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa. Sekolah kedokteran Docter Djawa School dibuka tahun 1851. Dua siswa ini kemudian lulus tahun 1856 dan mendapat gelar Dokter Djawa (Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad : algemeen advertentie-blad, 02-04-1857).  Dua tahun berikutnya diterima dua siswa asal Mandailing dan Angkola yakni Si Toga gelar Dja Dorie dan Si Napang gelar Dja Bodie (lihat Bataviaasch handelsblad, 17-12-1859). Lama studi sekolah dokter ini awalnya dua tahun dan kemudian tahun 1865 menjadi tiga tahun. Sejak tahun 1875 lama studi menjadi tujuh tahun. Dua dokter terkenal saat itu adalah Dr. Madjilis (asal Mandailing dan Angkola) dan Dr. Abdoel Rivai (asal Bengcoelen). Pada tahun 1890 siswa yang diterima harus lulusan ELS. Beberapa lulusan yang terkenal adalah Dr. Haroen Al Rasjid (lulus 1902) ayah dari perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D), Ida Loemongga; Dr. Mohamad Hamzah Harahap (lulus 1902) adalah sepupu Soetan Casajangan pendiri Indisch Vereeniging di Belanda tahun 1908; Dr. Abdoel Hakim Nasution (lulus 1905) wali kota pertama Kota Padang; dan tentu saja Dr. Tjipto Mangoengkoesoemo (lulus 1905). Pada tahun 1902 lama studi menjadi sembilan tahun yang mana namanya berubah menjadi STOVIA. Lulusan awal STOVIA antara lain Dr. Soetomo (pendiri Boedi Oetomo, lulus 1911) dan Dr. Radjamin Nasution (lulus 1912, Wali Kota pertama Kota Soerabaja) dan tentu saja Dr. Sardjito (lulus 1915).

STOVIA dan Boedi Oetomo

Boedi Oetomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Sardjito besar dugaan hadir dalam pembentukan tersebut, namun bukan sebagai pemimpin. Sardjito masih mahasiswa kelas dua tingkat persiapan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-09-1908). Yang menjadi pendiri Boedi Oetomo adalah mahasiswa yang lebih senior, seperti  Soetomo, Angka, Goenawan, Soeleman, Soeradjim Soewarno dan lainnya. Ketua terpilih adalah Raden Soetomo.

Raden Soetomo duduk di kelas tiga tingkat medik. Yang juga duduk di kelas tiga adalah Goenawan, Soeleman dan Saleh. Sementara Soewarno duduk di kelas empat. Sedangkan yang duduk di kelas dua adalah Angka dan Soeradji. Sardjito sudah barang tentu menjadi Boedi Oetomo. Jumlah siswa asal Jawa di STOVIA sekitar 80 persen. Sisanya berasal dari Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempeoan, Residentie Tapanoeli), West Java, Province Sumatra’s Westkust, Manado dan Minahasa serta Amboina.  

Kongres pertama Boedi Oetomo diadakan di Djokdjakarta. Pada pertemuan asosiasi Boedi Oetomo, yang diselenggarakan di Djokdjakarta 3 Oktober 1908 (Kongres pertama Boedi Oetiomo, red) pemerintah menanggapi pertanyaan dari Bupati Temanggoeng bahwa di luar Djawa sudah ada asosiasi sejenis, (seperti cabang) Medan Perdamaian di Fort de Kock yang didirikan 17 Oktober 1907. Organisasi Medan Perdamaian (sebagaimanai) diketahui bertujuan untuk mewakili kepentingan anggota dan populasi dalam satu kata: kemajuan. Untuk mencapai tujuan, organisasi Medan Perdamaian telah diputuskan menerbitkan majalah (maandelijksch) yang akan dicetak dan diterbitkan oleh penerbit pribumi Dja Endar Moeda di Padang yang akan berisi ilmu sehari-hari yang berguna dan yang diperlukan di bidang pertanian, peternakan, industri, pendidikan, kesehatan di kampung, keadilan, dll. Organisasi (cabang) Fort de Kock ini sudah memiliki anggota 700 orang (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908).

Ini menunjukkan bahwa peserta kongres pertama Boedi Oetomo sudah mengetahui adanya Medan Perdamaian. Organisasi kebangsaan Medan Perdamaian didirikan tahun 1900 di Padang. Medan Perdamaian adalah organisasi yang tidak eksklusif bagi dirinya sendiri. Medan Perdamaian ketika masih dipimpin oleh direktur (ketua) Dja Endar Moeda pada tahun 1902 sebagaimana dilaporkan De Locomotief (edisi 21-08-1902) bahkan telah memberi sumbangan bagi peningkatan pendidikan di Semarang sebesar f 14.490 yang diserahkan melalui Charles Adrian van Ophuijsen yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Province Sumatra;s Westkust (Pantai Barat Sumatra). Ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa Medan Perdamaian, organisasi sosial pribumi pertama di Indonesia membuktikan sifatnya yang memang multi etnik dengan sasaran seluruh populasi (pribumi) di seluruh Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Platform organisasi (baru) Boedi Oetomo sesungguhnya persis sama (copy paste) dengan organisasi (lama) Medan Perdamaian. Hanya saja bedanya: Medan Perdamaian tetap cenderung bersifat multi etnik (nasional), sedangkan Boedi Oetomo cenderung bersifat kedaerahan. Ini terkait dengan munculnya organisasi sejenis sebagai reaksi dari mahasiswa-mahasiswa asal Pasoendan di STOVIA.

Yang membedakan Medan Perdamaian dengan Boedi Oetomo, selain misinya (nasional vs daerah) adalah Medan Perdamaian dibentuk oleh para senior sedangkan Boedi Oetomo dibentuk oleh para junior (mahasiswa). Lalu kemudian muncul reaksi. Soetan Casajangan menggagas didirikannya perhimpoenan mahasiswa Indonesia (nasional) di Belanda yang diberi nama Indisch Vereeniging.

Namun dalam perkembangannya organisasi yang didirikan para pemuda di STOVIA tersebut kemudian terkooptasi oleh para senior. Ini dapat diambil satu contoh tentang pembentukan cabang di Bangkalan. Bataviaasch nieuwsblad, 12-02-1909: ‘Semakin banyak partisipasi. Kami menerima laporan dari Bangkalan, Madura. Bupati mengumpulkan banyak pejabat, dengan tujuan untuk mendirikan vereeniging Boedi Oetomo. Ada sekitar seratus orang pejabat pribumi hadir. Oleh mantri keboepaten, Notokoesomo, seorang dokter hewan, Raden Abdulrahman, memberi ceramah tentang tujuan dan metode kerja dari asosiasi, yang memiliki hasil yang baik. Pemimpin rapat memutuskan untuk membentuk skema bantuan. Mereka yang hadir berjanji untuk mendukung Boedi Oetomo dengan hati dan jiwa, sedangkan setelah kuliah terdapat 60 orang yang bergabung segera. Sekitar pukul 11 malam rapat ditutup oleh Bupati’,   

Diproklamirkannya Indisch Vereeniging tanggal 25 Oktober 1908 di Belanda mungkin Soetomo dan kawan-kawan di STOVIA tidak menyadarinya. Boedi Oetomo terus bergulir, Soetomo dan kawan-kawan mulai kehilangan kendali.

Pendirian organisasi Boedi Oetomo tahun 1908 oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA pada dasarnya tidak terlepas dari Dr. Wahidin. Pada tahun 1906 Dr. Wahidin melakukan keliling Jawa untuk pembentukan dan penggalangan dana untuk studi. Untuk membingkai gagasan pembentukan dana studi ini direspon mahasiswa-mahasiswa STOVIA seperti Soetomo, Goenawan dan Soeradji untuk mendirikan organisasi kebangsaan Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Dalam kongres Boedi Oetomo yang pertama di Djogjakarta pada bulan Oktober terbentuk dewan baru yang diketauai oleh Dr. Wahidin. Gagasan Dr. Wahidin untuk membentuk dana studi boleh jadi melihat ‘keberhasilan’ Medan Perdamaian yang digagas oleh Dja Endar Moeda tahun 1900 yang mana pada tahun 1902 Dja Endar Moeda telah memberikan bantuan dana sebesar f14.000 untuk peningkatan pendidikan di Semarang. Sementara itu, jelang kongres Boedi Oetomo yang pertama di Djogjakarta, nun jauh disana di Belanda Soetan Casajangan menggagas pembentukan organisasi mahasiswa Indisch Vereeniging yang di satu sisi merespon pendirian Boedi Oetomo yang bersifat kedaerahan dan di sisi lain untuk tetap menjaga persatuan diantara mahasiswa di Belanda, sebagaimana wujud persatuan yang ada selama ini di Medan Perdamaian (yang bersifat nasional). Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah adik kelas Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Dalam hal ini head to head guru Dja Endar Moeda vs dokter Wahidin dan Soetan Casajangan dkk vs Soetomo dkk.   

Boedi Oetomo tumbuh dan berkembang menjadi besar tetapi menjadi organisasi yang eksklusif bagi dirinya sendiri. Setelah ditempatkan di daerah, Soetomo mungkin tidak terlalu intens di Boedi Oetomo. Raden Soetomo cukup lama di Loeboek Pakam.

Raden Soetomo lulus STOVIA tahun 1911 dengan menyandang gelar baru sebagai dokter (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-04-1911). Selain Soetomo yang lulus adalah Goenawan, JE Latumeten, Slamet, Matamad Saleh, AB Andu, Goembrek dan Ramelan. Selanjutnya Raden Soetomo ditempatkan di Semarang (Bataviaasch nieuwsblad, 15-04-1911). Kemudian dari Semarang dipindahkan ke Rembang Residentie Toeban (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-03-1912). Raden Soetomo dipindahkan dari Semarang ke Loeboek Pakam, Oostkust Sumatra (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-03-1912). Selanjutnya Raden Soetomo dipindahkan dari Loeboek Pakam ke Malang, Resiedentie Pasoeroean (Bataviaasch nieuwsblad, 11-05-1914).

Dalam satu kesempatan sepulang dari Loeboek Pakam, Dr. Soetomo memberikan ceramah di sarikat Boedi Oetomo cabang Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 28-07-1914). Ceramah ini diadakan di gedung Boedi Oetomo di Gang Kwinie 3. Tema yang dibicarakan Dr. Soetomo tentang kontrak kuli di Deli. Tentu saja dalam ceramah Dr. Soetomo ini hadir Sardjito yang masih kuliah pada tahun terakhir di STOVIA.

Setelah lama Dr. Soetomo tidak terlibat secara langsung dengan Boedi Oetomo, boleh jadi setelah pulang dari Deli, Dr. Soetomo kembali aktif di Boedi Oetomo. Dr. Soetomo merasa perlu aktif di organisasi untuk memperjuangkan banyak permasalahan yang dirasakannya termasuk permasalahan koeli asal Jawa di Deli. Seperti tampak dalam kepengurusan baru Boedi Oetomo, Dr. Soetomo menjadi salah satu anggota dewan pusat Boedi Oetomo (De Preanger-bode, 08-08-1915). Disebutkan dalam rapat Boedi Oetomo tersebut yang menjadi ketua dewan pusat Boedi Oetomo adalah RM Ario Soeriosoeparto, seorang pangeran Solo yang telah menggantikan Dr, Wahidin yang telah menjabat sebanyak tiga kali sejak periode pertama. Dalam rapat tersebut juga hadir pemimpin Sarikat Islam yang mengungkapkan keterkejutannya, bahwa orang muda Jawa sangat sedikit dalam kepengurusan Boedi Oetomo. Dalam dewan Boedi Oetomo yang baru terkesan hanya Raden Soetomo yang terbilang muda. Abdoel Moeis dari Sarikat Islam yang hadir dan berbicara dalam pertemuan Boedi Oetomo ini mengkritik bahwa selama tujuh tahun Boedi Oetomo berdiri di tangan para intelektual Jawa, tampaknya terus mengecualikan penduduk lain di Nederlandsch lndie. Abdoel Moeis menggarisbawahi begitu banyak dana yang diberikan kepada Boedi Oetomo namun aliran dana itu tidak sampai kepada para emigran yang terdapat di Lampoeng, Midden Sumatra, Oostkust van Sumatra en Atjeh) yang sekan bukan perhatian orang Jawa, dan hanya untuk mengingini kemajuan pulau Jawa dengan Jawa-nya. Lebih lanjut mengharapkan bahwa manajemen pusat sekarang sudah diisi oleh orang muda Jawa yang sejati dengan ide-ide muda, pembicara (Abdoel Moeis) berpikir bahwa mereka harus memperhatikan fakta bahwa waktunya telah tiba untuk Boedi Oetomo untuk memutus arah konservatif. Setiap Jawa muda harus diyakinkan tentang fakta bahwa tidak mungkin membuat kemajuan Jawa hanya dengan orang Jawa, tetapi kemajuan Hindia melalui pergaulan boemipoetra yang juga diharapkan Boedi Oetomo juga akan lebih mengarah pada keadilan. Soeara dari luar Boedi Oetomo ini tampaknya mampu diresapi oleh Dr. Soetomo, lebih-lebih Dt. Soetomo cukup lama berada di Deli.

Pasteur Instituut te Weltevreden dan Iniversiteit te Leiden

Setelah lulus STOVIA, Sardjito diangkat sebagai dokter di dinas kesehatan kota (Burgerlijke Geneeskundige Dienst) di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 29-06-1915). Selama di Batavia, Dr. Sardjito ikut berpartisipasi sebagai anggota Maleische kiesvereniging (semacam asosiasi para pemilih untuk dewan kota). Dalam keanggotaan asosiasi ini juga terdapat Dr. Husein Djajadiningrat (Bataviaasch nieuwsblad, 03-03-1916). Dr. Sardjito kemudian dipindahkan ke Pasteur Instituut di Weltevreden (kini Gambir). Di lembaga inilah Dr. Sardjito membuka peluang untuk melanjutkan studi ke Belanda.

Sudah sejak lama lulusan sekolah di Indonesia (baca: Hindia Belanda) melanjutkan studi ke Belanda, antara lain: Raden Mas Kartono lulusan HBS Semarang berangkat tahun 1896 (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-07-1896).Soetan Casajangan alumnsi Kweekschool Padang Sidempoean berangkat tahun 1905 untuk studi keguruan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-08-1905). Dr. Abdoel Rivai, alumni Docter Djawa School meraih gelar dokter di Universiteit Amsterdam tahun 1908; Dr. PH Laoh juga alumni Docter Djawa School meraih gelar dokter di Universiteit Amsterdam 1909. Jumlah mahasiswa di Belanda tahun 1908 banyak 20 orang. Jumlah mahasiswa yang datang dari tahun ketahun semakin meningkat. Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon tiba di Belanda 1910 dan kemudian disusul Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia tahun 1911. Lalu pada tahun 1913 Sorip Tagor Harahap lulusan Veeartsen School di Buitenzorg melanjutkan studi kedokteran hewan di Utrecht. Juga Ibrahim gelar Tan Malaka lulusan Kweekschool Firt de Kock tiba di Belanda tahun 1913. Sementara itu Husein Djajadiningrat meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1913 di Universiteit Leiden. Gondokoesoeno lulusan Rechts School Batavia untuk melanjutkan studi hukum tahun 1918. Soewarno meraih gelar dokter di Utrecht tahun 1914 (Het nieuws van den dag : kleine courant, 19-12-1914) lalu kemudian Sowarno meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1919 (De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 08-02-1919). Dr. Soewarno lulus STOVIA tahun 1911 (bersama Dr. Soetomo). Dr. Sowarno terbilang yang pertama alumni STOVIA yang melanjutkan studi ke Belanda (1913). Pada tahun 1919 Dr. Soetomo dan Dr. Sjaaf tiba di Belanda untuk melanjutkan studi kedokteran. Kedua dokter alumni STOVIA ini meraih gelar dokter pada bulan November 1920 (De Telegraaf, 20-11-1920).

Dr. Sardjito diketahui akan melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Dalam fase persiapan tersebut Dr. Sardjito juga diketahui mengadakan ceramah umum untuk anggota Boedi-Oetomo yang diadakan di Inlandsche societeit Mardi-Hardjo (De Preanger-bode, 25-03-1920). Dengan kapal Goentoer, Dr. Sardjito berangkat dari Tandjoeng Priok tanggal 8 Desember 1920 menuju Rotterdam (Bataviaasch nieuwsblad, 07-12-1920).

Pada tahun 1921 Mohamad Hatta setelah lulus HBS di Batavia tiba di Belanda untuk studi ekonomi. Masih pada tahun 1921 Amir Sjarifoeddin Harahap setelah lulus ELS di Medan langsung ke Belanda untuk melanjutkan sekolah menengah pertama (setingkat SMP). Pada tahun 1923 Ida Loemongga Nasution setelah lulus HBS di Batavia tiba di Belanda untuk studi kedokteran. Pada tahun 1924 Egon Hakim Nasution (anak Dr. Abdoel Hakim) tiba di Belanda untuk melanjuitkan sekolah menengah atas (setingkat SMA).

Dr. Sardjito yang sudah banyak pengalaman riset di Pasteur Instituut di Weltevreden, tidak mengalami kesulitan untuk meraih gelar dokter. Dalam tempo yang singkat (satu semester saja!) Dr. Sardjito berhasil meraih gelar dokter di Universiteit Amsterdam pada bulan Juni 1921 (Algemeen Handelsblad, 22-06-1921).

Dr. Sardjito juga aktif di perhimpoenan mahasiswa Indonesia ‘Indische Vereeniging’.  Dr. Sardjito  mengikuti teman-temannya yang sudah lebih dulu di Belanda yakni Moh. Sjaaf, Raden Soetomo, Raden Soeratino, Mas Sardjono, RM Noto Soeroto Mas Hermon Kartowisastro (Rotterdamsch nieuwsblad, 13-09-1921).

Dr. Sardjito yang telah berhasil meraih gelar dokter, mengajukan proposal untuk tingkat doktoral. Dr. Sardjito lulus ujian pertama pada bulan Januari 1922 (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 25-01-1922).

De Preanger-bode, 22-01-1923 merangkum hasil-hasil yang diraih oleh mahasiswa Indonesia di Belanda selama tahun 1922. Dipromosikan ke doktor hukum R Soegondo dan RM Koesoema Atmadja dengan desertasi masing-masing ‘Vernietiging van Dorpsbesluiten’ dan ‘De vrome Mohammedaansche stichtingen in Indie’. Lulus ujian sarjana hukum R Oerip Kartodirdjo, R Moekiman, M. Besar, M Soemardi, R Sastromoeljono, dan R Panji Singgih. Lulus gelar dokter M Sardjito. Lulus candidat sarjana hukum  Pamoentjak. Lulus kandidat sarjana  akuntan R Pandji Nindito, juga lulus kandidat sarjana perdagangan umum (tidak disebut nama), M Herman lulus kandidat lndologi, dan lulus ujian ilmu perdagangan M. Aboetari.

Dr. Sardjito akhirnya lulus ujian tingkat doktotal dan meraih gelar doktor (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 11-07-1923). Disebutkan Dr. Sardjito lahir di Madioen berhasil mempertahankan desertasi di Universiteit Leiden berjudul ‘Immunisatie tegen bacillaire dysenterie door middel van de baéteriophaag antidysénteria Shiga-Kruse’.

Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 11-07-1923
Dr. Sardjito telah menambah daftar orang Indonesia yang berhasil meraih jenjang pendidikan tertinggi (Ph.D). Dr. Sardjito, Ph.D telah menjadi dokter Indonesia kedua yang meraih gelar doktor (Ph.D). Pada tahun 1913 Husein Djajadiningrat berhasil meraih gelar doktor di Universiteit Leiden, sebagai doktor pertama Indonesia, dengan desertasi berjudul ‘‘Critische beschouwingen van di Sadjarah Banten’. Husein Djajadiningrat tiba di Belanda tahun 1904. Rekan Dr. Sardjito yang sama-sama berangkat ke Belanda Dr, Moh. Sjaaf juga telah meraih gelar doktor (Algemeen Handelsblad, 13-06-1923)

Setelah beberapa waktu tidak terdengar kabar Dr. Sardjito, Ph.D, muncul kabar pernikahannya. ‘Dr. Sardjito menikah di Belanda dengan JEM Wulffraat pada tanggal 19 Juli 1924’. Demikian bunyi iklan singkat (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 19-07-1924). JEM Wulffraat adalah seorang gadis Belanda.

Dr. Sardjito, Ph.D kembali ke tanah air tanggal 13 September 1924 dengan kapal Grotius dari pelabuhan Amsterdam menuju Batavia ((Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 12-09-1924). Di dalam manifest kapal namanya dicatat Dr. Sardjito dan istri. Bataviaasch nieuwsblad, 14-10-1924 melaporkan kapal akan tiba di Tandjong Priok tanggal 16 Oktober 1924.

Tidak lama setelah tiba di Batavia, Dr. Sardjito, Ph.D diangkat sebagai dokter pemerintah (gouvernment arts) (Algemeen Handelsblad, 04-12-1924). Dokter pemerintah dalam hal ini adalah dokter yang telah disetarakan dengan dokter orang-orang Eropa/Belanda. Dokter pemerintah yang bergelar Ph.D merupakan kriteria yang diutamakan untuk menduduki jabatan kepala dinas kesehatan regional (residentie), kepala rumah sakit kota dan kepala laboratorium. Dr. Sardjito, Ph.D. dokter bergelar doktor pertama Indonesia telah memicu munculnya doktor-doktor baru di bidang kedokteran.

Dokter-dokter bergelar doktor (Ph.D) pertama di Indonesia adalah sebagai berikut: Dr. Soewarrno, Ph.D (1919); Dr. Sardjito, Ph.D (1923); Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D (1923); Dr. JA Latumeten, Ph.D (1924); Dr. R Soesilo, Ph.D (1925), saudara Dr. Soetomo; Dr. HJD Apituley, Ph.D (1925); Dr. Achmad Mochtar, Ph.D (1927) dengan desertasi berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosptrenstammen’; Dr. AB Andu, Ph.D (1928); Dr. T Mansoer, Ph.D (1928); Dr. RM Saleh, Ph.D (1928); Dr. MH Soeleiman, Ph.D (1929); Dr. M Antariksa, Ph.D (1930); Dr. Sjoeib Paroehoeman, Ph.D (1930) dengan desertasi berjudul ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’; Dr. Seno Sasroamidjojo, Ph.D (1930); Dr. Ida Loemongga, Ph.D (1931) dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’; dan Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D (1932) dengan desertasi berjudul ‘Abortus: voorkomen en behandeling’.

Sejak 1932 sudah muncul doktor lulusan Batavia. Di bidang kedokteran adalah Dr Djaenal Asikin Widjajakusumah lulus dari Geneeskundige Hoogeschool Batavia tahun 1932 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1932). Dr. Asikin lulus Stovia tahun 1914 dan melanjutkan studi kedokteran ke Belanda dan meraih gelar dokter di Universiteit Leiden tahun 1925 (Haagsch courant, 31-10-1925). Di bidang hukum juga muncul doktor baru di Batavia. Dr. Hazairin meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1936 di Rechts Hoogeschool Batavia dengan judul desertasi ‘De Redjang’ (Bataviaasch nieuwsblad, 30-05-1936). Setelah beberapa waktu menjadi dosen di kampusnya pada tahun 1938 Mr. Hazairin Harahap diangkat sebagai ketua pengadilan Landraad di Padang Sidempoean (De Sumatra post, 21-07-1938).

Orang Indonesia pertama meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum adalah Mr. Gondokoesoema (1922); yang kedua adalah RM Koesoemah Atmadja (1922); yang ketiga adalah Raden Soegondo (1923), yang keempat adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (1925) dengan desertasi berjudul ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Mereka ini semua meraih doktor di Universiteit Leiden. Sementara orang Indonesia pertama meraih gelar doktor di bidang sastra adalah Husein Djajadiningrat (1913), yang kedua adalah Poerbatjaraka (1926) dan yang ketiga adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia tahun 1933 dengan desertasi berjudul ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'. Ketiganya meraih doktor di Universiteit Leiden.

Boedi Oetomo dan Kelompok Reformis

Dr. Sardjito, Ph.D kembali bekerja di tempatnya semula di Pasteur Instituut di Wetevreden. Seperti sebelum berangkat studi ke Belanda, Dr. Sardjito sambil bekerja juga aktif di organisasi, terutama di Boedi Oetomo. Di Belanda Dr. Sardjito juga aktif di Indisch Vereeniging.  Sekembalinya ke tanah air, Dr. Sardjito kembali aktif di organisasi kebangsaan Boedi Oetomo. Pada kongres ke-16 Boedi Oetomo di Solo, Dr. Sardjito memimpin delegasi dari Batavia. Dalam kongres ini kemudian terbentuk kepengurusan baru untuk menggantikan kepengurusan yang lama. Sebelum terbentuk kepengurusan baru didahului suatu persaingan yang ketat untuk memilih siapa yang menjadi ketua umum Boedi Oetomo (De Indische courant, 15-04-1925).

Sesuai harapan Abdoel Moeis pada tahun 1915 (De Preanger-bode, 08-08-1915), Boedi Oetomo sudah mulai banyak diisi oleh kaum munda pada jajaran dewan pusat (termasuk ketua cabang). Dr. Sardjito dan Dr. Soetomo telah menjadi nasionalis sepulang dari Belanda. Meski Dr. Soetomo bukan muda lagi tetapi sangat menyayangkan orang-orang Boedi Oetomo tidak terlalu memperhatikan orang mudanya. Tampaknya Dr. Soetomo sudah lama berada di luar Boedi Oetomo. Dr. Soetomo di dalam studieclub di Soerabaja telah mengidentifikasi bahwa partai politik adalah tempat bersatu (bukan Boedi Oetomo). Dr. Soetomo setelah pulang ke tanah air tahun 1924 dan mendirikan Studieclub di Soerabaja secara defacto maupun secara dejure telah keluar dari Boedi Oetomo. Sementara pada kongres ke-16 Boedi Oetomo di Solo bulan April 1925 masih kental dengan suara-suara yang bersifat kedaerah dibandingkan dengan suara-suara yang lebih bersifat nasionalis (lihat De Indische courant, 17-04-1925). Dalam satu sesi di kongres hari kedua bahwa ada pembicara yang mangatakan bahwa Boedi Oetomo menentang penjajahan di Jawa, tetapi akan menyetujui kolonisasi di Sumatra. Namun statement itu menimbulkan reaksi dari yang lain bahwa (seharusnya) tidak hanya berkaitan dengan Jawa tetapi (juga) berkaitan dengan seluruh Indonesia. Satu pembicara lain menggarisbawahi bahwa banyak orang-orang menonjol Sumatera. Kuncinya adalah gerakan Boedi Oetomo (haruslah) menentang penjajahan dimana saja di Indie (baca: Indonesia). Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito masuk dalam barisan ini di Boedi Oetomo. Satu hal lain dalam kongres Boedi Oetomo ke-16 ini sudah ada perwakilan dari Oostkust Sumatra. Ini juga sesuai harapan Abdoel Moeis pada kongres Boedi Oetomo tahun 1915. Kini (1925) di Medan sudah ada HIS yang dibangun oleh Boedi Oetomo. Ini mengingatkan kembali bahwa pada tahun 1900 organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang yang dipimpin oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda telah memberi bantuan sebesar f14,000 untuk peningkatan pendidikan di Semarang. Meski demikian, dalam kongres ini kedekatan pemerintah dengan Boedi Oetomo masih sangat kental dan karena itulah dana terus mengalir ke pundi-pundi Boedi Oetomo. Dalam kongres ini, seperti kongres-kongres sebelumnya turut hadir petinggi Belanda seperti Penasehat untuk Urusan PribumiDr. Kern, Inspektur Pendidikan Pribumi Mr. Croes, Anggota Volksraad E. Stokvis dan Mr. S. Koperberg dari Java Instituut (De Indische courant,       15-04-1925).

Dalam debat publik muncul pro kontra ada yang menginginkan ketua lama tetap menjabat (Woerjaningrat, pangeran Solo), tetapi tidak sedikit yang menentangnya. Mr. Singgih menyuarakan bahwa studieclub Soerabaja tidak ada yang menginginkan pengurus lama berkuasa kembali. Sebagaimana diketahui studieclub di Soerabaja telah didirikan tahun 1924 yang dipimpin oleh Dr. Soetomo. Ketua lama akhirnya (menyadari dan) menyatakan secara terbuka tidak akan ikut mencalonkan diri.

Lalu muncul tiga kandidat (De Indische courant, 17-04-1925), yakni: (dokter) Slamat dari Semarang, (notaris) Soewandi dan Dr. Sardjito dari Batavia. Daftar pemilih sebanyak 90 peserta. Sebanyak 30 untuk Slamat, 16 untuk Soewandi dan 22 untuk Dr. Sardjito dan 31 abstain. Pada putaran kedua Slamat mendapat 38 suara dan Dr. Sardjito 29 suara, sementara 29 suara kosong. Lalu diputuskan dewan pusat Boedi Oetomo di Semarang yang mana Ramelan dan Poesposoedarsono dipilih sebagai sekretaris dan bendahara serta Oto Soebrata en Soetopo Wonobojo sebagai anggota dewan pusat. Anggota lainnya yang dipilih adalah sebagai berikut: Mr. Sastromoeljono (Semarang), Mr. Soejoedi (Madioen), Hardjosoesastro (Semarang) en Dr. Sardjito (Batavia).

Meski menang, Dr. Satiman dalam ancaman karena tidak lama kemudian Dr. Soetomo dkk dari Studieclub Soerabaja keluar dari Boedi Oetomo. Permasalahannya bukan karena kemenangan Dr. Satiman tetapi menjurus ke Boedi Oetomo sendiri yang belum keluar dari sifatnya yang kedaerahan (Jawa sentris). Sementara, dengan keluarnya Dr. Soetomo dari Boedi Oetomo akan sendirinya orang-orang Boedi Oetomo yang sepaham dengan Dr. Soetomo (persatuan Indonesia) juga akan keluar dari Boedi Oetomo. Organisasi Boedi Oetomo dengan caranya sendiri, Dr. Soetomo juga dengan jalannya sendiri.

Pada tahun 1923 Soetomo pulang ke tanah air, Lalu kemudian Dr. Soetomo ditempatkan di rumah sakit kota CBZ Soerabaja (De Preanger-bode, 30-06-1923). Pada tahun ini (1923) Dr. Soetomo mendirikan studieclub ‘Neu-Orientierung’ namun gagal karena kurang keberanian. Pada tanggal 12 Juli 1924 akhirnya RMH Soejono klub studi intelektual tersebut diganti nama Studieclub yang memiliki karakter Indonesia. Dalam pertemuan tersebut juga dilakukan pengabadian nama-nama dengan memajang potret sejumlah orang di dinding, yakni potret orang-orang terkenal Diponegoro, Mangkoenegoro IV, Mangkoenegoro VI, Raden Adjeng Kartini, Dr. Wahidin, juga potret Doewes Dekker, Dr. Tjipto, Dr. Soewardi dan Tjokroaminoto. Pada tahun 1925 Dr. Soetomo tampak hadir dalam sebuah pertemuan yang diadakan studi klub di Soerabaja (De Indische courant, 23-02-1925). Pertemuan publik pertama turut hadir Mr. La Fontaine, asisten Residen dan Mr. JE Stokvis, anggota Volksraad dan banyak wanita. Dr. Soetomo membuka pertemuan dengan singkat dalam bahasa Melayu. Singgih mengambil podium yang pertama mengatakan bahwa studieclub adalah kebangkitan dari klub intelektual. yang didirikan oleh RMH Soekono dan M. Soendjoto.

Dr. Soetomo terus membesarkan studieclub Soerabaja (Indonesiassch Studieclub) dan mempertajam visi-misinya dan terus mengolah kebutuhan bangsa Indonesia, mendukung persatuan Indonesia dan menggali dan menyebarluaskan permasalahan bangsa yang terus dieksploitasi Belanda. Boleh jadi Dr. Soetomo telah melihat sendiri bagaimana para kuli Jawa begitu menderita di Deli, di luar jurisdiksi Boedi Oetomo (di luar Jawa). Boleh jadi Dr. Soetomo melihat permasalahan kuli Jawa di Deli tidak bisa diselesaikan oleh orang Jawa sendiri.

Pada tahun 1917 seorang krani di sebuah perkebunan di Deli, Parada Harahap membongkar kasus poenalie sanctie, yang mana para kuli dari Jawa banyak yang disiksa oleh para majikan. Parada Harahap yang masih berumur 18 tahun melakukan investigasi sendiri, menulis laporannya dan kemudian mengirimkan tulisan-tulisan tersebut ke surat kabar Benih Mardeka di Medan. Para editor cukup lama mendiamkan laporan yang masuk tersebut tetapi akhirnya para editor berkekuatan hati untuk mengolah bahan dari Parada Harahap tersebut menjadi sejumlah artikel yang dimuat pada beberapa edisi pada tahun 1918. Berita itu dianggap biasa-biasa saja. Boleh jadi selama ini penyiksaan para kuli asal Jawa di perkebunan sudah lama menjadi kabar burung. Namun ceritanya menjadi lain ketika surat kabar Soeara Djawa yang terbit di Jawa melansir artikel-artikel yang dimuat di Benih Mardeka. Heboh di Jawa. Investigasi Parada Harahap itu berselang 3-4 tahun setelah Dr. Soetomo kembali ke Jawa dari dinas dua tahun di Deli (1912-1914). Segera Dr. Soetomo pulang dari Deli melakukan ceramah umum tentang contrak kuli asal Jawa di Deli yang tidak adil di Boedi Oetomo cabang Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-07-1914). Namun di kalangan dalam orang-orang Boedi Oetomo tema itu tidak menggema alias sedikit dianggap angin lalu atau berita burung. Lalu kemudian baru pada tahun 1918 isu kuli Jawa di Deli hasil investigasi Parada Harahap mencuat kembali. Atas laporan itu, Parada Harahap terpaksa dipecat sebagai krani. Saat heboh kasus kuli asal Jawa hasil investigasi Parada Harahap tersebut, tahun 1918 Dr. Soetomo tengah berdinas di Residentie Palembang di Batoeradja (Dr. Soetomo dipindahkan dari Magetan, Residentie Madioen ke Residentie Palembang tahun 1917). Sebagaimana diketahui tahun 1919 Dr. Soetomo, Dr Sjaaf dan Dr. Sardjito mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda. Lalu di Belanda ketiga dokter alumni STOVIA ini bergabung dengan Indisch Vereeniging dimana di dalamnya tergabung mahasiswa dari semua daerah. Dari Tapanoeli antara lain Dr. Sorip Tagor Harahap dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia; dari Minangkabaoe antara lain Ibrahim gelar Tan Malaka dan Dahlan Abdoellah; dari Minahasa antara lain Dr. JA Kaligis. Setelah kepengurusan Dahlan Abdoellah, giliran Dr. Soetomo yang menjalankan roda organisasi Indisch Vereeniging. Saat kepengurusan Dr. Soetomo inilah nama Indisch Vereeniging dipermak lebih radikal dengan nama Indonesiasch Vereeniging. Singkat kata: di Indisch Vereeniging pemberontakan Dr. Soetomo terhadap Boedi Oetomo muncul. Boedi Oetomo dan (pulau) Jawa yang sudah dalam zona nyaman dan sifat egois sebagian para anggota Boedi Oetomo membuat Dr. Soetomo ‘geram’ dan mendorong semangat Indonesia. Pada tahun 1917 Dahlan Abdoellah dalam forum Hindia Belanda, yang juga hadir HJ van Mook (mewakili orang-orang Indo), melontarkan kali pertama kata-kata ‘kami Indonesia. Setelah era Dr. Soetomo berakhir muncul kepengurusan Mohamamd Hatta dkk yang mengubah nama organisasi menjadi Perhimpoenan Indonesia. Catatan: kelak nama Tan Malaka lebih dikenal sebagai pemimpin radikal Indonesia, Dr. Sorip Tagor. Orang Indonesia pertama meraih gelar dokter hewan di Belanda (1920) adalah kakek Inez/Risty Tagor; Soetan Goenoeng Moelia sebagai Menteri Pendidikan RI kedua (setelah Ki Hadjar Dewantara); dan HJ van Mook sebagai pemimpin NICA (1945-1948) yang mengultimatum Djogja yang disebut agresi militer Belanda kedua. . .

Dr. Soetomo sejatinya menginginkan Dr. Sardjito yang menang dalam pemilihan ketua Boedi Oetomo. Namun faksi di Boedi Oetomo masih lebih banyak yang ‘anti gerakan Dr, Soetomo’ dan sebagian lebih senang menyalurkan suaranya ke Dr. Satiman. Dalam kepengurusan Boedi Oetomo yang baru Dr. Sardjito masih disuarakan teman-temannya untuk menjadi pemimpin Boedi Oetomo di Batavia. Namun demikian, Dr. Sardjito hatinya tidak lagi 100 persen untuk Boedi Oetomo tetapi sudah mulai mendua: satu kaki di Boedi Oetomo dan satu kaki yang lain di nasionalis. Nama Dr. Sardjito yang cenderung nasionalis mulai mendapat tempat di Batavia. Dr. Sardjito lalu diusulkan untuk menjadi kandidat anggota dewan kota (Gemeenteraad) Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-06-1926). Dalam daftar kandidat juga terdapat nasionalis MH Thamrin. Dalam pemilihan yang dilakukan MH Thmarin dan Dr. Sadjito terpilih menjadi anggota pribumi dewan kota Batavia.Pada sidang pertama dewan kota Dr. Sardjito masuk pada komisi pasar dan rumah potong hewan dan juga komisi layanan kesehatan (Bataviaasch nieuwsblad, 24-08-1926). Dr. Sardjito, Ph.D mulai berjuang di dewan kota untuk meningkatkan tarap hidup pribumi dari semua bangsa Indonesia (tidak lagi hanya bangsa Jawa).

Bataviaasch nieuwsblad, 21-08-1926
Dr. Sardjito adalah orang Jawa yang langka. Dr. Sardjito, Ph.D adalah dokter pribumi yang terbilang awal yang mampu meraih gelar doktor (Ph.D). Dr. Sardjito juga sangat aktif berorganisasi. Dr. Sardjito, Ph.D selain bertugas di Laboratorium Batavia juga adalah seorang nasionalis anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia. Dr, Sardjito, Ph.D seorang ilmuwan ternyata tidak hanya ‘kutu buku’ tetapi juga master dalam permainan catur. Dr. Sardjito di Batavia adalah anggota klub catur Schaakmat di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 21-08-1926). Dr. Sarjito sebagai pemain catur memungkinkannya mudah berinteraksi dengan orang Batak. Dua klub catur terkuat di Batavia adalah klub Jong Batak dan klub Schaakmat. Dalam satu pertandingan beregu antara Jong Batak melawan Schaakmat yang berakhir imbang (71/2-71/2), Dr. Sardjito mampu mengalahkan S. Siregar. Dalam tim Jong Batak terdapat nama Emil Harahap yang dikalahkan oleh Popkens Brouwer dan Armijn Pane (sastrawan  yang tahun 1922 menerjemahkan buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ yang berisi surat-surat RA Kartini) mampu mengalahkan Langedijk Sr. Emil Harahap adalah ayah dari FKN Harahap, seorang mahasiswa di Belanda yang juga pengurus Perhimpoenan Indonesia pernah mengalahkan Max Euwe, juara catur Belanda (yang kemudian juara catur Dunia). FKN Harahap kelahiran Depok, kelak menjadi penulis buku catur.

Boedi Oetomo dan PPPKI

Dr. Sardjito, Ph.D meski tidak terlalu peduli lagi dengan Boedi Oetomo, tetapi orang-orang di Boedi Oetomo masih menganggap Dr. Sardjito, Ph.D adalah tokoh penting Boedi Oetomo. Oleh karena itu dalam kongres Boedi Oetomo yang akan diadakan di Djokja pada tanggal 25 Desember nama Dr. Sardjito masih ada yang mengusulkan untuk menjadi ketua Boedi Oetomo. Dalam daftar kandidat terdapat sebanyak 31 orang termasuk Dr Sardjito (De Indische courant, 25-11-1926). Dalam daftar terakhir sebelum pemilihan nama Dr. Sardjito tidak tercantum lagi. Boleh jadi Dr. Sardjito, Ph.D ingin fokus dalam pekerjaannya dan tetap memupuk rasa kebangsaan Indonesia diantara suku bangsa lainnya di Batavia. Pada tahun-tahun ini di Batavia Parada Harahap melalui surat kabarnya Bintang Timoer di satu sisi melancarkan polemik dengan pers Belanda dan di sisi lain, Parada Harahap mulai menjalin komunikasi intens dengan berbagai pihak.


Parada Harahap dipecat dari jabatannya sebagai krani di perkebunan di Deli. Ini berawal dari laporan investigasinya tentang penyiksaan kuli Jawa di perkebunan yang telah dimuat Benih Mardeka. Parada Harahap kemudian merantau ke Medan. Ketika melamar menjadi wartawan di Benih Mardeka, Parada Harahap justru ditawarkan sebagai editor. Sejak itu Parada Harahap menjadi wartawan. Namun belum setahun menjadi editor, Benih Mrdeka dibreidel. Parada Harahap lalu pulang kampung di Padang Sidempoean tahun 1919. Awalnya menjadi editor surat labat Poestaha (yang didirikan Soetan Casajangan tahun 1915), lalu kemudian Parada Harahap mendirikan surat kabar baru yang lebih radikal yang diberi nama Sinar Merdeka. Pada tahun ini juga (1919) di Padang diadakan kongres pertama Sumatranen Bond (organisasi ini didirikan tahun 1917). Parada Harahap memimpin delegasi Tapanoeli ke Padang. Saat inilah Parada Harahap bertemu dengan Mohamad Hatta yang masih MULO sebagai pengurus Sumatranen Bond cabang Padang. Pembina kongres Sumatranen Bond di Padang adalah Dr. Abdoel Hakim (Nasution), teman sekelas Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School yang menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang. Pada tahun 1921 kembali diadakan kongres Sumatranen Bond di Padang. Kembali pula Parada Harahap bertemu dengan Abdoel Hakim dan Mohammad Hatta (yang sudah bersekolah HBS di Prins Hendrik School Batavia). Sehabis kongres, Mohamad Hatta berangkat studi ke Belanda (dimana Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito sudah berada di Belanda sejak 1919). Pada tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke Batavia karena surat kabarnya Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dibreidel. Awalnya Parada Harahap menjadi wartawan di surat kabar lain, lalu pada tahun 1923 di Batavia Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi yang diberi nama Alpena. Parada Harahap merekrut WR Supratman dari Bandoeng untuk diposisikan sebagai editor Alpena. Pada tahun 1926 tahun yang mana Dr. Sardjito, Ph.D menjadi anggota dewan kota Batavia, Parada Harahap mendirikan satu lagi surat kabar yang lebih radikal yang diberi nama Bintang Timoer. Surat kabar yang dipimpin oleh Parada Harahap ini langsung melejit dengan tiras paling tinggi di Batavia. Ir. Soekarno yang baru lulus THS di Bandoeng kemudian mendirikan studieclub seperti studieclub yang dibentuk Dr. Soetomo di Soerabaja pada tahun 1924. Pada waktu inilah Ir. Soekarno kerap mengirim tulisan ke surat kabar Bintang Timoer. Sementara itu, pada tahun 1926 ini Mohammad Hatta menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Tiga revolusioner yang tidak punya ‘hutang’  kepada Belanda (Parada Harahap, Soekarno dan Mohamad Hatta) mulai memainkan peran sentral diantara para revolusioner Indonesia. Sementara Dr. Sardjito berjuang di parlemen kota di Batavia, De tribune : soc. dem. Weekblad, 02-06-1926 melaporkan sejumlah individu dalam kongres Boedi Oetomo yang terakhir (25 Desember 1926, red) terindikasi telah bersuara keras dan menggunakan tutur kata yang tidak baik. Juga disebutkan dalam berita ini sejumlah individu akan diadili oleh pemerintah, Dalam blacklist tersebut adalah Slamet, ketua pandu pribumi, anggota dewan kota yang mengkritik pemerintah; Mr. Sajoeti, pengurus organisasi pengacara, pengacara di Djogjakarta yang mengatakan bahwa pemuda di dalam negeri agar menghindari layanan pemerintah; Mr. Iskak, pengacara di Baudoeng, ketua studieclub Bandoeng juga meminta pemuda menghindari layanan pemerintah; Dr. Satiman (mantan ketua Boedi Oetomo yang mengalahkan Dr. Sardjito pada tahun 1925), dokter di Bangil, karena kritiknya yang sangat tajam terhadap pemerintah dan politiknya; dan Dr, Soetomo, dokter di CBZ di Socrabaja, karena pemikirannya tentang kerjasama atau tidak kerjasama (dengan Belanda). Catatan: yang dimaksud ‘kerjasama atau tidak kerjasama’ adalah bahwa dalam hal tertentu cooperative tetapi dalam hal lain non-cooperative dengan Belanda.
  
Langkah pertama yang dilakukan Parada Harahap adalah mulai menghubungi para senior seperti Dr. Abdul Rivai dan Soetan Casajangan. Lalu menghubungi para anggota Volksraad.  Lalu diadakan pertemuan orang Sumatra di Welteverden (De Indische courant, 10-02-1927). Pertemuaan ini diadakan karena Sumatranen Bond sudah lama vakum. Komite sementara (formatur) terdiri dari Sutan Mohamad Zain, Parada Harahap dan Dr Abdoel Rivai. Pertemuan memutuskan susunan dewan Sumatranen Bond yang baru antara lain Soetan Mohamad Zain (ketua) dan Parada Harahap (sekretaris). Lalu kemudian pertemuan publik pertama diadakan di rumah Dr. Abdul Rivai (Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1927). Dalam pertemuan ini, Parada Harahap naik ke mimbar mewakili Residentie Tapanoeli.

Anggota Volksraad di Pedjambon yang berasal dari Sumatra juga turut hadir dalam pertemuan ini. Tiga diantaranya (kebetulan asal Padang Sidempoean) adalah Todoeng (Harahap) gelar Soetan Goenoeng Moelia, wakil dari golongan pendidikan di Batavia, Abdul Firman (Siregar) gelar Mangaradja Soeangkoepon, wakil Oostkust Sumatra dan Alimoesa Harahap wakil dari Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli en Residentie Atjeh).

Langkah berikutnya yang dilakukan Parada Harahap adalah untuk menginisiasi persatuan diantara organisasi-organisasi kebangsaan yang ada di Batavia. Pada bulan September 1927 dibentuk organisasi kebangsaan yang bersifat nasional. Organisasi supra kebangsaan ini disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia, disingkat PPPKI. Dalam pembentukannya, Mohammad Hoesni Thamrin didaulat menjadi ketua dan tentu saja Parada Harahap sebagai penggagas diposisikan sebagai sekretaris. MH Thamrin adalah anggota Volksraad dari perwakilan dewan kota (gemeenteraad).

Mohammad Hoesni Thamrin dan Parada Harahap adalah sama-sama pengusaha. Usaha MH Thamrin bergerak di bidang perdagangan dan industri pengolahan di Batavia. Sedangkan Parada Harahap pengusaha di bidang media dan percetakan. Parada Harahap adalah ketua pengusaha di Batavia (semacam Kadin pada masa ini).  

Pertemuan pembentukan PPPKI diadakan di rumah Mr. Husein Djajadiningrat (yang turut dihadiri Soetan Casajangan, Direktur sekolah Normaal School di Meester Cornelis). Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D saat itu adalah salah satu dosen di Rechthoogeschool di Batavia.  Rumah Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat di Kramat tidak terlalu jauh.

Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927: ‘Minggu di Weltevreden para pemimpin yang berbeda dari Serikat pribumi bertemu di Batavia di rumah Mr Husein Djajadiningrat. Diputuskan untuk mendirikan organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari berbagai serikat pribumi, dengan ketua komite adalah MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Serikat yang hadir adalah Boedi Oetomo, Pasoendan, Kaoem Betawi, Sumatranenbond, Persatoean Minahasa, Sarekat Amboncher dan NIB (Perserikatan Nasional Indonesia).

Silsilah Para Pionir Persatuan Menuju Kemerdekaan Indonesia
Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat adalah senior para mahasiswa Indonesia keduanya adalah angkatan pertama di Indisch Vereeniging di Belanda. Pada awal pendirian tahun 1908 Soetan Casajangan sebagai Ketua dan Husein Djajadiningrat sebagai sekretaris. Soetan Casajangan menyelesaikan studi menjadi sarjana tahun 1911 dan Husein Djajadiningrat meraih Ph.D tahun 1913, Soekarno masik di sekolah dasar (ELS) di Soerabaya. Soekarno lulus ELS tahun 1915.  Pada saat ini (1927) Soekarno baru lulus di Technisch Hoogeschool di Bandoeng, Mohammad Hatta kuliah tingkat akhir di Handelschool di Rotterdam, Amir Sjarifoeddin kuliah tingkat awal di Rechthoogeschool dan Soetan Sjahrir masih SMA di Bandoeng.

Sebelum pertemuan tersebut muncul kesulitan mengajak Boedi Oetomo. Hal ini karena Boedi Oetomo adalah organisasi kebangsaan yang sangat besar (relatif terhadap organisasi kebangsaan lainnya). Sebagaimana kita lihat nanti, Parada Harahap meminta bantuan Dr. Radjamin Nasution membujuk Dr. Soetomo. Dr. Radjamin dan Dr. Soetomo sewakru di STOVIA sudah kenal satu sama lain. Sebaliknya, sebagaimana kita lihat nanti, Persatoean Minahasa, Sarekat Amboncher dalam pembentukan ini tanpa masalah tetapi dalam perkembangannya keduanya kurang respon. Sebagaimana kita lihat nanti, kurang tertariknya Persatoean Minahasa dan Sarekat Amboncher sangat disayangkan oleh Parada Harahap.

Kantor PPPKI ditetapkan di Gang Kenari. Lahan dan gedung tersebut merupakan sumbangan dari Mohammad Hoesni Thamrin. Gedung PPPKI ini kemudian lebih dikenal sebagai Indonesiesch Clubhuis (gedung ini masih eksis hingga ini hari di Jalan Kenari Salemba). Parada Harahap sebagai sekretaris PPPKI yang merangkap kepala kantor di Gang Kenari hanya memajang di dinding tiga foto yang diduga menjadi idolanya, yakni Diponegoro, Soekarno dan Mohammad Hatta.

Mengapa harus Diponegoro, Soekarno dan Mohammad Hatta? Mudah ditebak. Diponegoro adalah pejuang masa lalu, Soekarno dan Mohammad Hatta adalah pejuang masa dekat. Parada Harahap sebagai seorang aktivis (berbagai organisasi) yang suka membaca dan seorang jurnalis tentu dapat memetakan masa lalu dan memproyeksikan masa datang. Khusus, untuk Diponegoro adalah terbilang salah satu angkatan awal sebagai pejuang (pribumi) melawan (kehadiran Belanda). Bagaimana dengan Soekarno dan Mohammad Hatta? Dua orang muda revolusioner ini sudah sangat dkenal oleh Parada Harahap.  

Sementara Parada Harahap sangat aktif di PPPKI, pers Belanda terus menyorot sepak terjang Parada Harahap di media. Soal tanah air, banyak ahlinya, tetapi soal tanah air di media, Parada Harahap jagonya. Hanya Parada Harahap yang bergelora dan berani memainkan penanya yang tajam ke depan hidung pers Belanda.  Sejak tulisan Parada Harahap (tentang isu fascism) yang dimuat di Java Bode dan disarikan oleh De Indische courant, 17-09-1925, pers Belanda terus mengikuti sepak terjang Parada Harahap. Perang sesama pers (Pribumi vs Eropa/Belanda) terus memanas.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-11-1927 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘diskusi tentang mayoritas Indonesia, bahwa Indonesia adalah warisan nenek moyang, sebagai protes keras Parada Harahap dari Bintang Timur. ‘Jika Indonesia warisan nenek moyang, KW cs menganggap sebagai pemberontakan.. Jadi saya memahami komunikasi yang dilakukan oleh Pemerintah, bermain aman! Dan Anda? K.W’.

Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda

Pada saat pembentukan PPPKI tanggal 25-09-1927 di rumah Mr Husein Djajadiningrat, Ph.D disebutkan turut hadir perwakilan Boedi Oetomo. Namun tidak jelas siapa yang mewakili Boedi Oetomo, apakah Dr. Soetomo dari Studieclub Soerabaja atau Dr. Sardjito, Ph.D yang besar dugaan masih menjabat sebagai ketua Boedi Oetomo cabang Batavia. Ada dugaan kuat yang hadir mewakili Boedi Oetomo adalah Dr. Sardjito, Ph.D. Sementara Dr. Soetomo diduga kuat turut hadir bersama Ir. Soekarno dan sebagai wakil dari Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI).

Pada tahun 1926 di Bandoeng dibentuk Studieclub yang mana sebagai sekretaris adalah Ir. Soekarno (yang baru lulus THS). Pada bulan Februari 1927 diadakan rapat tahunan. Ketua yang baru adalah Ir. Anwari yang menggantikan Putuhena. Posisi Soekarno tetap sekretaris. Di Bandoeng dibentuk panitia Rapat Besar yang akan mempersiapkan kongres nasionalis di Bandoeng. Promotor kongres yang akan diadakan adalah Ir. Soekarno dan Mr. Iskaq (Algemeen Handelsblad, 24-06-1927). Dalam fase inilah, didirikan Perserikatan Nasional Indonesia disingkat PNI, suatu organisasi kebangsaan yang diketuai oleh Ir. Soekarno yang juga masih anggota Alegemene Studieclub yang telah berubah nama menjadi Indonesiasche Studieclub. Perubahan nama studieclub baik yang di Bandoeng dan Soerabaja (dan sudah barang tentu di Batavia) menjadi Indonesiasche Studieclub. Para anggota Indonesiasche Studieclub inilah yang kemudian membentuk organisasi kebangsaan dengan nama Indonesia yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia. Rapat Besar yang rencananya diadakan pada Minggu pagi 15 Agustus 1927 di bioskop Oriental terpaksa batal karena bersamaan adanya festival (Bataviaasch nieuwsblad, 10-08-1927). Rapat Besar sedianya akan dipimpin oleh Ir. Soekarno yang telah disepakati oleh sebuah komite yang berasal dari PNI, PSI, Boedi Oetomo dan Pasoendan. Rapat Besar ini disebut inisiatif PNI. Para pembicara sudah dilist seperti Dr. Tjipto, Ir. Soekarno, Ir. Anwari dan banyak anggota dewan lainnya dari Indonesiasche Studieclub dan organisasi kebangsaan lain yang turut hadir. Gagasan Rapat Besar ini muncul sehubungan dengan investigasi rumah-rumah mahasiswa di Belanda (lihat Nieuwsblad van het Noorden, 15-08-1927).  

Pembentukan PPPKI, sebagai wadah bagi semua organisasi kebangsaan Indonesia diawali dengan pendekatan yang dilakukan oleh Parada Harahap kepada semua elemen bangsa mulai dari tokoh-tokoh senior, anggota Volksraad, pemimpin-pemimpin organisasi kebangsaan. Lalu kemudian Parada Harahap mengundang mereka untuk bertemu di rumah Husein Djajadiningrat. Dua keputusan penting dalam pertemuan tersebut adalah disepakati wadah organisasi disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat PPPKI dan ditunjuk sebagai ketua MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap.

Dalam pembentukan PPPKI tersebut Parada Harahap mewakili Sumatanen Bond (Parada Harahap adalah sekretaris Sumatranen Bond). Tokoh senior yang hadir dalam pertemuan tersebut selain Husein Djajadingrat (dosen rechts school) sebagai tuan rumah adalah Soetan Casajangana (direktur Normaal School di Meester Cornelis). Anggota Volksraad yang hadir selain MH Thamrin (yang kemudian ditunjuk sebagai ketua) adalah Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon. Yang hadir mewakili Boedi Oetomo adalah Dr. Sardjito dan yang mewakili Kaoem Betawi adalah MH Thamrin. Sedangkan Dr. Soetomo dan Ir. Soekarno mewakili Perserikatan Nasional Indonesia. Catatan: Soetan Casajangan adalah presiden pertama Indisch Vereeniging dan sekretarisnya adalah Husein Djajadiningrat. Mangaradaja Soeangkoepon menjadi anggota Indisch Vereeniging di era kepengurusan Soetan Casajangan. Dr, Sardjito dan Dr. Soetomo sama-sama melanjutkan studi ke Belanda tahun 1919 yang kemudian menjadi pengurus Indisch Vereeniging. Sebelum MH Thamrin menjadi anggota Volksraad adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia bersama-sama Dr. Sardjito. Dalam fase ini Dr. Sardjito masih anggota Boedi Oetomo, sedangkan Dr. Soetomo dan Ir. Soekarno bukan lagi anggota Boedi Oetomo tetapi sudah menjadi anggota Perserikatan Nasional Indonesia.     

Dalam fase inilah spirit non-cooperative semakin menguat diantara para revolusioner Indonesia. PNI secara terang-terang menyebut non-cooperative. Sejarah kolonial telah berevolusi. Pada awal VOC perdagagan bebas (diawali di Banten), lalu kerjasama perdagangan (di Maluku), kemudian menginisiasi penduduk (di Jawa) lalu penduduk dijadikan subjek (di Sumatra’s Westkust). Pada era pemerintah Hindia Belanda (1800), sejak Daendels dan van de Bosch, eksploitasi Belanda sampai ke tulang sumsum. Pada awal 1900 muncul politik etik (politik etik yang hanya terbatas di Boedi Oetomo?), Lalu muncul protes coklat-putih oleh Soetan Casajangan di dalam kerjasama West en Oost (Indisch Vereeniging). Setelah itu muncul spirit non-cooperative (gerakan kemerdekaan): Parada Harahap, Mohamamd Hatta dan Soekarno adalah tiga nama yang menonjol dari kelompok non-cooperative. Sedangkan MH Thamrin, Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito mewakili kolompok kompromistik: dalam hal tertentu cooperative dan hal yang lain non-cooperative. Kompromi ini dilaksanakan melalui mekanisme demokratis di parlemen (Volksraad dan gemeenteraad).

Sejauh ini sudah ada sejumlah organisasi kebangsaam yang bersifat non-cooperative. Organisasi kebangsaan ini ditandai dengan penggunaan nama Indonesia. Organisasi kebangsaan tersebut antara lain suksesi Indisch Vereeniging yakni Perhimpoenan Indonesia (PI) yang diketuai oleh Mohamad Hatta dengan organ majalah Indonesia Merdeka; hasil metamorfosis Indonesiasche Studieclub (Bandoeng dan Soerabaja) yakni Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno dengan organ Soeloeh Indonesia; dan PPPKI sendiri yang diketuai oleh MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap dengan organ surat kabar Bintang Timoer (pimpinan Parada Harahap). Organ lainnya Perserikatan Nasional Indonesia adalah golongan pemuda yang disebut Pemoeda Indonesia, sementara organ lainnya PPPKI adalah PPI (Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia) yang diketuai oleh Soegondo.

Parada Harahap sebagai sekretaris PPPKI kemudian melakukan konsolidasi di dalam internal dalam kepengurusan PPPKI (supra organisasi yang baru). Konsolidasi tersebut termasuk mempformalkan administrasi organisasi (ke pemerintah), penyiapan gedung/kantor PPPKI dan kampanye PPPKI di media. Kampanye ini dilakukan melalui surat kabar Bintang Timoer.

Dalam pembangunan gedung dan kantor PPPKI ini lahannya disediakan oleh MH Thamrin yang berlokasi di Gang Kenari. Untuk biaya pembangunan diduga kuat bersumber dari para pengusaha pribumi. Ketua sarikat pengusaha pribumi di Batavia (semacam KADIN pada masa ini) adalah Parada Harahap. MH Thamrin sebagai pengusaha juga menjadi anggota sarikat pengusaha pribumi Batavia. Salah satu pengusaha yang menjadi anggota yang perlu dicatat adalah kerabat Mohamad Hatta di Pasar Senen. Setelah gedung PPPKI selesai dibangun, Parada Harahap sebagai kepala kantor PPPKI memajang tiga foto di ruang pertemuan PPPKI. Tiga foto tersebut adalah foto Diponegoro, Soekarno dan Mohamad Hatta. Boleh jadi Parada Harahap mengasumsikan pemimpin masa lalu adalah (pangeran) Diponegoro dan memproyeksikan pemimpin masa depan Indonesia adalah dua orang yang sangat dikenal Parada Harahap yakni Soekarno dan Mohamad Hatta (kelak doa Parada Harahap ini terbukti!).

Agenda lainnya PPPKI dan yang terbilang strategis adalah mempersiapkan agenda besar pada tahun 1928. Agenda tersebut adalah PPPKI akan menyelenggarakan Kongres PPPKI pada bulan September tahun 1928 di Batavia. Sebelum Kongres PPPKI akan diadakan pertemuan di Bandoeng. Kongres PPPKI yang akan dilaksanakan ini akan diintegrasikan dengan Kongres Pemuda yang akan diadakan pada bulan Oktober 1928. Untuk menggelorakan Kongres PPPKI (senuior) dan Kongres Pemuda (junior) Parada Harahap menerbitkan surat kabar Bintang Timoer untuk edisi (khusus) Semarang untuk mencakup Midden Java dan edisi (khusus) Soerabaja untuk mencakup Oost Java.

Sementara itu, Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) terus berupaya untuk melebarkan sayap ke berbagai tempat, seperti Batavia, Djogjakarta, Pekalongan, Soerabaja dan lainnya. Bataviaasch nieuwsblad, 02-12-1927: ‘Minggu pagi pukul sembilan, Afdeeling Jacatra Perserikatan Nasional Indonesia mengadakan rapat propaganda publik di Cinema Palace di Krekot. Pembicara adalah Ir. Soekarno, Mr. Boediarto dan Mr. Sartono’. De Indische courant, 06-02-1928 melaporkan pendirian cabang PNI di Soerabaja. Siapa yang menjadi pengurus Perserikatan Nasional Indonesia cabang Soerabaja sejauh ini belum diketahui. Walau bukan Dr. Soetomo, tetapi peran Dr. Soetomo sangat besar di PNI cabang Soerabaja.

Ketua Kongres PPPKI ditunjuk Dr. Soetomo. Kongres akan dilaksanakan di Batavia yang bertempat di Clubhuis Gang Kenari (gedung PPPKI). Dalam Kongres PPPKI ini Boedi Oetomo diwakili oleh Dr. Sardjito, Ph.D dan kawan-kawan di Batavia. Untuk Kongres Pemuda, Parada Harahap menempatkan tiga tokoh pemuda yang sangat dikenalnya di jajaran inti komite kongres pemuda. Sebagai ketua ditempatkan Soegondo; sekretaris adalah Mohamad Jamin dan bendahara adalah Amir Sjarifoeddin Harahap. Ketiganya adalah mahasiswa Rechts Hoogeschool Batavia dimana Mr. Husein Djajadiningrat sebagai dekan. Soegondo adalah ketua PPI (organ pemuda/pelajar PPPKI). Kantor PPI berada di Gang Kenari. Mohamad Jamin adalah ketua Jong Sumatranen Bond dan Amir Sjarifoeddin adalah ketua Jong Bataksch Bond. Parada Harahap sendiri adalah anggota Sumatranen Bond dan juga anggota Bataksch Bond. Penempatan tiga orang muda ini sangat ideal. Soegondo sebagai ketua PPPI membawa nama Indonesia (Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia); Mohamad Jamin seorang yang cocok sebagai konseptor (pengadministrasian kegiatan kongres); Amir Sjarifoendin sebagai penghubung sumber pendanaan kongres. Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda disponsori oleh pengusaha-pengusaha pribumi.

Menjelang Kongres PPPKI diadakan kongres pertama PNI yang akan diadakan di gedung Indonesiasch studieclub di Soerabaja yang dimulai hari Minggu tanggal 27 Mei sejumlah agenda telah dirilis yang mana agenda pertama adalah pengesahan beberapa afdeeling baru di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi (De Indische courant, 25-05-1928). Dalam agenda juga ada pertemuan tertutup di rumah Dr. Soetomo di Simpang Doekoeh 12. Agenda juga termasuk penting adalah penentuan posisi PNI dalam hubungannya dengan PPPKI. Sebagaimana diketahui PPPKI adalah organisasi kebangsaan, bukan organisasi politik. Lantas apakah PNI akan berubah menjadi partai politik? Hasil kongres PNI di Soerabaja ini telah memutuskan bahwa Perserikatan Nasional Indonesia (organisasi kebangsaan) menjadi Partai Nasional Indonesia (partai politik) (De Indische courant, 20-06-1928). Meski demikian, singkatan namanya tetap PNI. Ini adalah suatu kemajuan, setelah sebelumnya Partai Komunis Indonesia dilarang, maka PNI sejauh ini menjadi satu-satu partai di Indonesia. Partai Komunis Indonesia pada awalnya bernama ISDV yang dibentuk 1914 dan pada tahun 1920 diubah namanya menjadi Perserikatan Komunis Hindia (pengurusnya kombinasi Belanda dan pribumi). Pada tahun 1921 berkurang anggotanya karena SI melarang anggotanya menjadi anggota PKI. Pemerintah lalu membatasi kegiatan politik yang lalu mengakibatkan SI hanya fokus di bidang keagamaan. Pada tahun 1922 organisasi merah ini memimpin pemogokan nasional untuk semua sarikat buruh. Atas kejadian ini Tan Malaka ditangkap dan diasingkan ke luar negeri. Lalu partai komunis ini dilanjutkan oleh Semaun yang baru pulang dari luar negeri. Pada tahun 1924 nama Perserikatan Komunis Hindia diubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 melancarkan tujuan PKI untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Pemberontakan ini terjadi ketika pimpinan Ailimin dan Muso tengah berada di luar negeri untuk membicarakan dengan Tan Malaka. Pemberontakan ini dapat dilumpuhkan pemerintah dan menangkap para kadernya dan mengasingkannya ke Boven Digoel. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Nama PKI sempat muncul mengubah namanya menjadi Partai Rakjat Indonesia namun gagal karena kurang pengikut, sementara para pemimpinnya banyak yang dipenjara/diasingkan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 06-10-1927). Pada jelang ujung kisah PKI ini muncul gagasan Parada Harahap membentuk PPPKI yang mana kemudian anggota PPPKI yakni Perserikatan Nasional Indonesia berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Pada saat keberangkatan interniran PKI ke Digoel di Bandoeng tahun 1926 para anggota Algemeene Studieclub masih sempat menyaksikannya. Anggota klub studi yang menyaksikannya termasuk diantaranya Ir. Soekarno, Ir. Anwari dan Dr. Tjipto Mangoenkoesomo. Sejak itulah, para anggota klub studi membentuk organisasi kebangsaan Perserikatan Nasional Indonesia yang kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia. Catatan: Tan Malaka adalah salah satu pendiri Sumatranen Bond di Belanda tahun 1917 yang mana sebagai ketua Sorip Tagor, wakil ketua Dahlan Abdullah serta Soetan Goenoeng Moelia sebagai sekretaris. Saat Parada Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond tahun 1927, Parada Harahap mulai menggagas pembentukan PPPKI.  

Hasil terpenting dari Kongres PPPKI yang telah dilaksanakan pada tanggal 25-28 September 1928 (dimulai pada tanggal 25 September, tanggal pembentukan PPPKI di rumah Husein Djajadiningrat) adalah terus memperkuat persatuan (sangat disayangkan Parada Harahap dalam kongres tidak datang perwakilan Minahasa dan Ambon). Keputusan lain yang sangat penting adalah perubahan semangat kebangsaan PPPKI yang mana nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) diubah menjadi Perhimpoenan Partai Politik Kebangsaan Indonesia (singkatannya tetap sama: PPPKI). Namun adakalanya supra organisasi ini disebut Perhimpoenan Partai-Partai Politik Indonesia (PPPI). Dalam kongres ini juga Dr. Soetomo (ketua Kongres PPPKI) terpilih sebagai Ketua PPPKI. Keputusan lainnya adalah kongres PPPKI berikutnya akan diadakan pada bulan Desember 1929 di Solo.

Sementara itu hasil terpenting dari Kongres Pemuda adalah dihasilkannnya Putusan Kongres yang berisikan semangat persatuan: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia. Hal lain yang cukup penting dalam kongres ini lagu Indonesia Raja diperdengarkan (yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia). Lagu kebangsaan Indonesia Raja ini digubah dan diperdengarkan oleh WR Supratman. Sebagaimana diketahui WR Supratman adalah ‘anak buah’ Parada Harahap yang diposisikan sebagai editor kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap). Parada Harahap telah menganggap WR Supratman sebagai keluarga, karena WR Supratman tinggal di (pavilium) rumah Parada Harahap. Kelak, isi putusan kongres ini (1954) spiritnya ditingkatkan menjadi isi Sumpah Pemuda dalam peringatan Kongres Pemuda yang diselenggarakan para pemuda yang dipimpin oleh Ali Mochtar Hoetasoehoet di gedung Akademi Wartawan di Deca Park. Saat itu ketua Kopertis adalah Parada Harahap dan Menteri Pendidikan adalah Mohamad Jamin. Parada Harahap adalah pendiri dan pimpinan (dekan) Akademi Wartawan, sedangkan Ali Mochtar Hoeta Soehoet adalah ketua dewan mahasiswa Akademi Wartawan, mantan tentara pelajar di Padang Sidempoean yang membantu Parada Harahap memimpin majalah Detik di Boekitting tahun 1948 (saat ibukota RI berada di pengungsian di Boekittinggi). Ali Mochtar Hoeta Soehoet sambil kuliah bekerja sebagai kepala kantor surat kabar Indonesia Raja (pimpinan Mochtar Lubis). Kelak, Ali Mochtar Hoeta Soehoet mendirikan sekolah tinggi publisistik/jurnalistik yang kini dikenal sebagai IISIP Lenteng Agung, Jakarta.  .
  
Dalam fase ini Dr. Sardjito, Ph.D terus berjuang di parlemen kota Batavia. Dr. Sardjito, Ph.D terpilih sebagai anggota dewan kota Batavia tahun 1926. Kontribusi Dr. Sardjito, Ph.D sebagai seorang nasionalis di dalam pembangunan kota Batavia cukup signifikan. Dr. Sardjito, Ph.D sebagai dokter kelas satu yang bekerja di Laboratorium Batavia, juga di dewan masuk komisi yang membidangi kesehatan. Dr. Sardjito, Ph.D juga menjadi anggota komisi pasar. Sebagai anggota dewan tanpa jeda sejak 1926, pada tahun 1929 Dr. Sardjito. Ph.D diposisikan sebagai anggota dewan senior (Wethouder) (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-07-1929 wethouder).

Pada pemilihan anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia tahun 1929 Dr. Sardjito, Ph.D dinominasikan kembali sebagai kandidat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-11-1929). Dr. Sardjito, Ph.D kembali terpilih (Bataviaasch nieuwsblad, 14-01-1930). Ini untuk periode yang kedua bagi Dr. Sardjito, Ph.D di dewan kota Batavia. Bataviaasch nieuwsblad, 31-01-1930 memberitakan bahwa Dr. Sardjito, Ph.D, dokter pemerintah kelas-1 di Weltevreden (baca: Pasteur Instituut)) ditunjuk untuk jabatan rangkap sebagai kepala dinas kesehatan Batavia efektif mulai 31 Januari (1930). Disebutkan Dr. Sardjito adalah asisten senior di Pasteur Instituut.

Dr. Sardjito, Ph.D dan Laboratorium Semarang

Belum lama Dr. Sardjito, Ph.D memulai kerja sebagai anggota dewan kota Batavia periode kedua, Dr. Sardjito, Ph.D dimutasi. Dr. Sardjito, Ph.D dipindahkan ke Makassar.

Berita mutasi bagi pegawai dan pejabat pemerintah adalah hal yang lumrah. Dr. Sardjito berdinas di Batavia tepatnya di Pasteur Instituut sudah sejak tahun 1924 (sepulang studi dari Belanda). Ini berarti Dr. Sardjito sudah berdinas di Batavia selama enam tahun dalam tahun-tahun terakhir ini. Kepastian Dr. Sardjito, Ph.D pindah ke Makassar terindikasi dari berita Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-03-1930 dimana di dewan kota Batavia telah diterima surat dari Dr. Sardjito tertanggal Makassar 16 Februari 1930 yang menyatakan bahwa Dr. Sardjito mengundurkan diri dari anggota dewan kota Batavia.

Namun tidak lama kemudian diberitakan oleh Algemeen Handelsblad, 29-05-1930 bahwa terhitung tanggal 5 Desember 1930 Dr. Sardjito, Ph.D dokter pemerintah kelas-1 akan cuti selama tiga bulan. Lalu muncul pertanyaan mengapa begitu cepat muncul berita (pengajuan) cuti ini padahal Dr. Sardjito belum lama berada di Makassar. Pertanyaan ini baru bisa dijawab pada akhir tahun 1931 ketika Dr. Sardjito, Ph.D ditempatkan di Semarang sebagai Kepala Laboratorium Semarang (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-12-1931).

Dr. Sardjito, Ph.D tampaknya telah lama diproyeksikan sebagai pimpinan laboratorium. Sejak 1924 hingga 1930 Dr. Sardjito, Ph.D adalah peneliti di Pasterur Instituut di Weltevreden. Dengan pengalaman riset tersebut, Dr. Sardjito dikirim ke Belanda yang boleh jadi untuk meningkatkan pengetahuaannya di bidang laboratorium. Setelah beberapa hari dari tanggal cuti yang ditetapkan, Dr. Sardjito, Ph.D berangkat ke Be;anda (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-12-1930). Dr. Sardjito berangkat pada tanggal 17 Desember 1930 dengan kapal Baloeran ke Rotterdam . Dalam manifest kapal Dr. Sardjito berangkat sendiri (tanpa keluarga). Ini boleh jadi benar-benar dinas, bukan cuti berlibur. Dr. Sardjito tiba di Rotterdam pada tanggal 7 Januari 1931 (Algemeen Handelsblad, 09-01-1931). Selama di Belanda tidak pernah terberitakan. Nama Dr. Sardjito baru muncul pada bulan Oktober 1931 (Algemeen Handelsblad, 28-10-1931). Disebutkan dalam manifes kapal bahwa nama Dr. Sardjito pada tanggal 28 Oktober 1931 berangkat dari Amsterdam ke Batavia. Dr. Sardjito akan tiba tanggal 28 November 1931 di Tandjong Priok (De Indische courant, 14-11-1931). Ini berarti Dr. Sardjito berada di Belanda selama  sembilan bulan efektif. Namun tidak diketahui jelas apa yang dilakukan Dr. Sardjito selama waktu itu dan apakah Dr. Sardjito hanya berada di Belanda? Pertanyaan serupa ini pernah terjadi tahun 1923. Dr. Sardjito setelah lulus dan meraih gelar doktor (Ph.D) pada bulan Juli 1923, tidak langsung pulang ke tanah air, Dr, Sardjito, Ph.D baru pulang pada bulan Oktober 1924. Dengan kata lain, Dr. Sardjito baru pulang setelah setahun kemudian dari kelulusan. Besar dugaan Dr. Sardjito, Ph.D diantara waktu yang lama itu, Dr. Sardjito telah melakukan tugas (semacam post doktoral) di Amerika Serikat. Ini terindikasi bahwa tulisan Dr. Sardjito, Ph.D pernah dimuat dalam buku bunga rampai kedokteran (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-09-1926). Disebutkan bahwa Dr. Sarjito, Ph.D menulis chapter yang berisi tentang  mempelajari kesan dari Amsterdam dan Baltimore.

Dr. Sardjito, Ph.D terbilang cukup lama sebagai kepala laboratorium Semarang. Laboratorium Semarang adalah salah satu diantara beberapa laboratorium yang sudah ada. Selain laboratorim yang terdapat di Pasteur Instituut, juga di Batavia sudah sejak lama terdapat laboratorium kota Batavia (kemudian menjadi Eijkman Instituut), Laboratorium lainnya terdapat di Soerabaja. Satu laboratorium swasta terdapat di Medan, laboratorium dari rumah sakit Senembah Mij di Tandjong Morawa yang bangun oleh Dr, Shuffner.

Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Laboratorium Semarang, Dr. Sardjito, Ph.D kerap berinteraksi dengan dokter-dokter lainnya. De Indische courant, 14-08-1933 melaporkan bahwa komisi lepra untuk anak telah dibentuk yang mana sebagai ketua komisi adalah Dr. Soetomo, dosen di NIAS dan anggota antara lain Dr, Sardjito, kepala laboratorium di Semarang. Masih pada tahun 1933, Dr. Sardjito, Ph.D kepala laboratorium Semarang difungsikan untuk menjabat (rangkap) sebagai kepala dinas kesehatan (DVG) kota Semarang terhitung sejak 31 Desember 1933 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-12-1933).

Sementara itu kepala rumah sakit CBZ di Semarang adalah Dr. Achmad Mochtar, Ph.D. Pada tahun 1932 Dr. Achmad Mochtar dipindahkan ke rumah sakit CBZ di Semarang.

Dr. Achmad Mochtar berangkat studi ke Belanda tanggal 1 September 1923. Dr. Achmad Mochtar lulus ujian pertama untuk akte dokter 1924. Dr. Achmad Mochtar akhirnya berhasil mencapai gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran pada tahun 1927 (De Telegraaf, 11-02-1927). Dr. Achmad Mochtar, Ph.D ditempatkan di rumah sakit CBZ di Weltevreden, Batavia (kini RSPAD). Dr. Achmad Mochtar, Ph.D mendapat kenaikan pangkat menjadi dokter pemerintah kelas satu (Soerabaijasch handelsblad, 01-08-1929). Ini adalah pangkat tertinggi bagi pribumi. Pangkat ini sudah lebih dulu dicapai oleh Dr. Sardjito, Ph.D pada tahun 1926 (Bataviaasch nieuwsblad, 01-12-1926).

Dr. Sadjito, Ph.D selama menjabat kepala laboratorium Semarang juga kerapa melakukan komunikasi ilmiah dengan dokter-dokter senior. Algemeen Handelsblad, 13-11-1934 melaporkan bahwa Prof. Dr. W Schuffner dari Amsterdam melakukan penelitian dengan Dr. Sardjito tentang darah seorang pasien yang menderita perikarditis dengan eksudat homophagic yang dilakukan pada kelinci percobaan. Dr. Schuffner adalah pengembang laboratorium Senembah Mij sejak tahun 1896 dan kini telah menjadi guru besar bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam. Salah satu hal yang penting dari tugas Schuffner adalah pemberantasan malaria di Tapanoeli yang berkantor di Padang Sidempoean (1919-1922) yang mana sebagai asistennya adalah Dr. Achmad Mochtar. Pada tahun 1927 Dr. Schuffner merekomendasikan Dr. Achmad Mochtar untuk melanjutkan studi ke Belanda hingga meraih gelar doktor (Ph.D) pada tahun 1927.  

Sebagai kepala laboratorium di Semarang juga difungsikan menjabat (rangkap) untuk memimpin rumah sakit kusta jika Dr, Sitanala sedang ada tugas di tempat lain (Bataviaasch nieuwsblad, 11-06-1935). Hal ini juga untuk Dr. Achmad Mochtar.  Bataviaasch nieuwsblad, 18-06-1935 memberitakan bahwa Dr. Achmad Mochtar, Ph.D ditunjuk sebagai pejabat (rangkap) sebagai kepala laboratorium di Semarang jika Dr, Sardjito tidak berada di tempat ketika melakukan dinas pemberantas penyakit lepra.

Dr. Sardjito, Ph.D pada bulan Desember 1935 melakukan kunjungan ke rumah sakit kusta di Kabanjahe (De Sumatra post, 11-12-1935). Dr. Sardjito selama seminggi di Kabanjahe mempelajari pengobatan kusta di dataran tinggi Laoe Simomo. Setelah pulang dari Kabanjahe, Dr. Sardjito akan bertemu di Batavia dengan Dr. J B Sitanala seorang spesialis lepra yang terkenal yang baru pulang dari Belanda. Selama di Belanda, Dr. Sitanala sempat mengunjungi Inggris dan bertemu dengan spesialis lepra di Kalkuta, India. Dalam waktu dekat Dr. Sardjito kepala laboratorium Semarang akan bahu membahu dengan Dr. Sitanala dalamupaya untuk pengendalian kusta dan pengobatan lepra (di Jawa). Dalam kunjungannya ke Kabanjahe, Dr. Sardjito juga mengunjungi pusat rehabilitasi penderita kusta di pulaoe Sitjanan (De Sumatra post, 18-12-1935). Pusat rehabilitasi kusta Sitjanang (dekat kota Medan) ini dirintis oleh Dr. Mohamad Daoelaj tahun 1918 dengan sponsor Tjong A Fie (pengusaha terkenal di Medan).

Dr. Achmad Mochtar, Ph.D ketika di Semarang berposisi sebagai kepala Laboratorium Semarang, Ketika dipindahkan ke Laboratorium Batavia posisinya sebagai wakil kepala untuk membantu direktur, Dr. WK Mertens, Ph.D.  Dengan bergabungnya Dr. Achmad Mochtar, Ph.D, Laboratorium Batavia (Laboratorium Eijkman) menjadi sebuah laboratorium berprestasi di bidang penelitian kedokteran.

Dr. Sardjito, Ph.D dan Partai Indonesia Raya

Pada tahun 1930 ketika Dr. Sardjito, Ph.D berangkat ke Belanda untuk mempelajari manajemen laboratorium, Dr. Soetomo mendirikan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Ini seakan kelompok yang dipimpin oleh Dr. Soetomo ingin mempertegas diri di dalam eskalasi politik yang ada saat itu. Ini di satu sisi seakan PBI ingin mempertegas bahwa mereka bukan PNI. Saat itu PNI dalam tekanan, PNI tengah disorot pemrintah dan Ir. Soekarno sudah ditangkap dan proses peradilannya masih berjalan. Sementara di sisi lain, PNI ingin terus menghidupkan pentingnya partai politik bagi bangsa Indonesia. Suatu partai politik yang di satu sisi cooperative dan di sisi lain non-cooperative.

Partai Bangsa Indonesia (PBI) didirikan di Soerabaja oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution. Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution sudah sejak kuliah di STOVIA saling kenal. Dr. Radjamin Nasution dipindahkan ke Batavia tahun 1926. Saat pembentukan PPPKI, Dr. Radjamin Nasution yang diminta oleh Parada Harahap agar Dr. Soetomo dapat meneguhkan hati agar ikut mendukung dan bergabung dengan PPPKI. Pada tahun 1929 Dr. Radjamin Nasution sebagai pejabat kelas-1 di Bea dan Cukai batavia dipindahkan (kembali) ke Bea dan Cukai Soerabaja. Di Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution mendirikan sarikat buruh pelabuhan. Sarikat para pegawai pelabuhan yang notabene di bawah Bea dan Cukai menjadi elemen penting dalam pembentukan Partai Bangsa Indonesia tahun 1930. Pada awal 1931 Dr. Radjamin Nasution dicalonkan dan behrasil menjadi anggota dewan (gemeenteraad) Soerabaja. Di belakang Dr. Radjamin Nasution sebagai anggota dewan adalah Partai Bangsa Indonesia yang diketuai oleh Dr. Soetomo.

Dr. Sardjito sebagai individu dari Boedi Oetomo dan sudah sejak lama bagian dari kolompok Dr. Soetomo, dengan dibentuknya PBI dengan sendirinya Dr. Sardjito, Ph.D adalah anggota PBI. Sebagaimana Dr, Sardjito, Ph.D telah lama sebagai Kepala Laboratorium Semarang, Dr. Soetomo juga sudah sejak lama tetap menjadi kepala rumah sakit CBZ Soerabaja. Dalam tahun-tahun inilah Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito, Ph.D ingin merangkul Boedi Oetomo untuk bergabung dengan partai politik.

Boedi Oetomo sebagai organisasi kebangsaan yang besar (anggotanya sangat banyak) tampaknya tetap menjadi hutang bagi Dr, Soetomo, karena anggota Boedi Oetomo belum menjadi anggota partai politik. Keinginan Dr. Soetomo ini tampaknya ingin melanjutkan upaya Ir. Soekarno dulu pernah meminta Boedi Oetomo untuk turut berjuang demi seluruh bangsa (Indonesia). Sebagaimana diktehaui saat ini Ir. Soekarno tengah berada di pengasingan di Flores.

Positioning partai PBI terbilang kecil dalam peta politik Indonesia. Partai politik yang terbilan kuat saat ini adalah Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Mr. Sartono dan partai Pendidikan Nasional Indonesia dimana pemimpinnya Mohamad Hatta telah diasingkan ke Digoel. Untuk itulah Dr. Soetomo ingin merangkul Boedi Oetomo untuk dua tujuan: pertama, untuk mengubah pandangan politik (anggota) Boedi Oetomo berjuang demi bangsa Indonesia. Kedua, untuk memperkuat positioning PBI dan memperbesar jumlah anggota PBI.

Keinginan Dr. Soetomo dan kemauan anggota Boedi Oetomo untuk ikut berpolitik menjadi cair pada akhir tahun 1935. Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 31-01-1936 melaporkan telah terjadi fusi antara Boedi Oetomo dan PBI. Disebutkan fusi ini melahirkan partai politik yang baru yang disebut Partai Indonesia Raja (yang disingkat Parindra).

Dengan bergabungnya orang-orang Boedi Oetomo dalam partai Parindra, maka Boedi Oetomo telah memulai langkah baru dalam upaya-upaya menuju Indonesia Raja, memulai babak baru dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Lantas bagaimana dengan reaksi Dr.Sardjito, Ph.D? Tidak bisa ditebak. Platform PBI (partai lama) dan Parindtra (partai baru) kurang lebih sama. Namun ketika Boedi Oetomo telah turut berpolitik, momentum memperjuangkan Indonesia Raya dan Indonesia merdeka semakin di dalam Parindra semakin tajam. Dalam kaitan inilah pertanyaan kepada Dr. Sardjito, Ph.D sulit ditebak. Sebagaimana diketahui Dr. Sardjito, Ph.D beristri seorang perempuan Belanda. Namun yang jelas, Dr. Sardjito, Ph.D tetap konsisten dalam bidang pekerjaannya di bidang pelayanan kesehatan masyarakat dan bidang penyelidikan penyakit yang diderita oleh penduduk.

Dr. Sardjito, Ph.D telah diangkat menjadi ketua pengendali kusta. Dr. Sardjito, Ph.D yang menjabat sebagai kepala laboratorium Semarang masih terkait dengan berbagai pengendalian penyakit. Pada tahun 1936 diadakan kongres YBC di Malang. Pada tahun 1937 kongres TBC diadakan di Semarang (Nieuwe Apeldoornsche courant, 20-07-1937). Masih pada tahun 1937, kongres kusta diadakan di Ngandjoek (De Indische courant, 02-11-1937). Disebutkan dalam kongres kusta ini hadir ketua pengendali lepra Indonesia, Dr. Sardjito dari laboratorium Semarang dan Dr. Abdoel Rasjid, anggota Volksraad. Dalam hal ini Dr. Sardjito, Ph.D menggantikan Dr. Sitanala. Dr. Abdoel Rasjid Siregar adalah alumni STOVIA lulus tahun 1914 adalah anggota Volksraad dari dapil Nord Sumatra (Residentie Tapanoeli en Residentie Atjeh).

Dr. Sardjito, Ph.D yang telah menjadi ahli penyakit kusta dalam banyak hal telah meringankan tugas yang salama ini dilakukan oleh Dr. Sitanala. Seperti pernah dilakukan sebelumnya, Dr. Sardjito, Ph.D sebagai kepala laboratorium Semarang kembali memangku ketua pengendali kusta di Indonesia (baca: Hindia Belanda) untuk menggantikan Dr. Sitanala (Bataviaasch nieuwsblad, 24-02-1938).

Dr. Sardjito, Ph.D tidak hanya sebagai kepala Laboratorium Semarang tetapi juga telah diangkat menjadi kepala dinas kesehatan (DVG) Kota Semarang menggantikan Dr. Achmad Mochtar, Ph.D. Seperti diberitakan sebelumnya, setelah cukup lama di Semarang, Dr. Achmad Mochtar, Ph.D dipindahkan ke Geneeskundig Laboratorium te Batavia pada bulan Mei 1937 yang juga diperbantukan di dinas kesehatan kota DVG Batavia dalam penanganan penyakit kusta (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1937).   

Dokter Soetomo diberitakan meninggal dunia (Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1938). Disebutkan  Dr. Soetomo adalah satu dari tiga dokter yang dikirim studi ke Belanda tahun 1818 (bersama Dr. Saaf dan Dr. Sardjito). Setelah Dr. Soetomo lulus ujian dokter di Belanda pertama kali bekerja di bawah Prof. Dr. Mendes da Costa di Amsterdam dan kemudian di bawah Prof. Dr. Plaut di Hamburg untuk menjadi spesialis penyakit kulit dan kelamin. Dia kembali dari Eropa pada tahun 1923 sebagai dokter kulit di rumah sakit CBZ di Surabaya. Dr. Soetomo sebelum meninggal juga bertugas sebagai dosen di NIAS Soerabaja (juga Dr. Mohamad Sjaaf, Ph.D).

Setelah sukses di Residentie Riaou, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dipindahkan ke wilayah baru di Oost Java (Bataviaasch nieuwsblad, 26-10-1938). Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D dari Tandjong Pinang dipindahkan ke Kota Soerabaja. Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D  diangkat sebagai kepala laboratorium besar di Soerabaja. Ini mengindikasikan bahwa saat ini terdapat tiga dokter yang begelar doktor (Ph.D) yang berdinas di tiga laboratorium besar. Dr. Sardjito, Ph.D di laboratorium Semarang, sementara di laboratorium Soerabaja adalah Dr, Sjoeib Proehoeman. Sedangkan Dr. Achmad Mochtar sebagai wakil kepala di laboratorium Batavia. Setelah lama tidak terdengar kiprah laboratorium Senembah Mij di Deli, praktis hanya tiga laboratorium penting (Batavia, Semarang dan Batavia) plus laboratorium Pasteur Instituut di Werltevreden. Dr. Sardjito asal Madioen; Dr. Achmad Mochtar, Ph.D dan Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D sama-sama berasal dari afdeeling Mandailing dan Angkola (afdeeling Padang Sidempoean).

Dr. Sardjito, Ph.D kembali mengikuti kongres. Kali ini adalah Kongres Kedokteran di Semarang (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-12-1938). Disebutkan Ketua Komite Kongres di Semarang ini adalah Dr. Sardjito, Ph.D. yang telah memberikan pidato sambutan pada pembukaan kongress. Pada tahun 1940, kepala laboratorium Semarang, Dr. Sardjito adalah ketua Asosiasi Dokter Indonesia atau Vereeniging van Indonesische Geneeskundigen (Soerabaijasch handelsblad, 21-09-1940). Dr. Sardjito, Ph.D hingga tahun 1940 masih menjabat sebagai kepala laboratorium Semarang (Bataviaasch nieuwsblad, 14-05-1941). Ini berarti posisi Dr. Sardjito, Ph.D sebagai kepala laboratorium Semarang tidak tergantikan sejak 1931 hingga berakhirnya era kolonial Belanda.

Pasteur Instituut dan Bandung Lautan Api

Dr. Sardjito setelah lulus STOVIA pertama kali ditempatkan di Pasteur Instituut. Pada awalnya Pasteur Instituut adalah upaya pemerintah untuk pengoperasian laboratorium yang menjadi bagian tidak terpisahkan Pasteur Institute di Prancis. Pasteur Instituut awalnya berada di Weltevreden kemudian pada tahun 1923 dipindahkan ke Bandoeng.

Pasteur Instituut didirikan di tahun 1890 di Weltevreden. Pasteur Instituut ini menjadi bagian dari rumah sakit militer (kini rumah sakit RSPAD). Di rumas sakit militer ini juga diselenggarakan sekolah kedokteran Docter Djawa School sejak 1851. Pada tahun 1896 di Deli didirikan laboratorium yang menjadi bagian dari rumah sakit Senembah Mij di bawah pimpinan Dr. Schuffner. Sejak 1923 Pasteur Instituut dipindahkan ke Bandoeng. Eks Pasteur Instituut ini menjadi laboratorium kota Batavia.

Setelah berakhirnya era kolonial Belanda pada masa pendudukan Jepang, Pasteur Instituut diambil alih oleh militer dan dioperasikan oleh para dokter militer Jepang. Sementara itu, Eijkman Instituut di Batavia dioperasikan oleh orang Indonesia. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D adalah orang Indonesia yang ditunjuk untuk menjabat sebagai Direktur Laboratorium Eijkman. Keutamaan Pasteur Instituut di Bandoeng karena peralatannya yang lebih lengkap jika dibandingkan dengan Eijkman Instituut. Alasan inilah yang menyebabkan para ahli Jepang memilih bekerja di Pasteur Instituut di Bandoeng.

Ketika militer Jepang melakukan suntikan vaksin hasil Pasteur Instituut Bandoeng kepada para romusha di Djakarta, hasilnya gagal yang mengakibatkan ratusan orang romusha mengalami kematian.  Vaksin-vaksin ini sebelumnya disimpan di laboratorium Eijkman Instituut. Untuk menjalankan suntikan vaksin yang telah disimpan di Eijkman Instituut dilakukan oleh dokter-dokter dari dinas kesehatan kota. Untuk menutupi kegagalan militer Jepang ini lalu kemudian dicari kambing hitam dan militer Jepang menghukum para dokter-dokter dari laboratorium Eijkman dan dinas kesehatan kota Djakarta. Beberapa dokter sudah dieksekusi mati. Namun untuk menghindari korban yang lebih banyak, Dr. Achmad Mochtar, Ph.D, kepala Eijkman Instituut rela berkorban untuk dihukum mati untuk melindungi para dokter-dokter Indonesia. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D lalu dieksekusi mati. Sejak eksekusi tersebut Eijkman Instituut berhenti beroperasi dan ditutup.

Setelah Indonesia merdeka Pasteur Instituut yang sebelumnya di bawah kesehatan militer Jepang diambil alih orang Indonesia. Yang ditunjuk sebagai pimpinan adalah Dr. Sardjito, Ph.D. Pasteur Instituut adalah satu-satunya laboratorium yang masih beroperasi setelah di era pendudukan Jepang Eijkman Isntituut ditutup (yang mana pimpinan Eijkman Instituut, Dr. Achmad Mochtar, Ph.D telah dieksekusi mati).

Pertahanan RI dimulai dengan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibawah komando Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1945. Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima). Sejak ibukota RI dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Wilayah pertahanan dibagi ke dalam beberapa divisi dengan mengangkat panglimanya. 

Setelah sekutu/Inggris tiba di Bandoeng mulai melakukan pengendalian. Reaksi penduduk negatif terhadap kehadiran sekutu. Akibatnya muncul penyerangan dari pihak Indonesia. Dalam situasi ini Pasteur Instituut yang sudah dioperasikan oleh orang Indonesia harus ditinggalkan.

Pada saat pasukan Inggris/sekutu berhasil mengendalikan situasi kota pihak Belanda sudah ikut merangsek dari belakang. Pasteur Instituut dihidupkan kembali oleh Belanda setelah pada akhir Desember 1945 Pasteur Instituut termasuk salah satu situs yang diamankan oleh tentara sekutu/Inggris. Ahli-ahli Indonesia yang bekerja di Pasteur Instituut mulai tidak nyaman dan meninggalkan laboratorium. Para ahli Indonesia tentunya tidak lupa untuk mengamankan vaksin-vaksin yang disimpan di dalam laboratorium ke tempat lain.

Setelah Pasteur Instituut ditinggalkan oleh ahli-ahli Indonesia, bebera waktu kemudian Pasteur Instituut dioperasikan kembali oleh Belanda. Algemeen Handelsblad, 05-02-1946 melaporkan Pasteur Instituut dioperasikan kembali. Untuk mengoperasikan Pasteur Instituut seorang dokter Belanda yang selama ini berada diinterniran selama pendudukan Jepang dipanggil. Dokter Belanda yang memimpin Pasteur Instituut tersebut adalah Prof. Dr. Louis Otten.

Prof. Dr. Louis Otten sudah pernah bekerja di Pasteur Bandoeng. Salah satu keahliannya adalah pengombatan sampar. Louis Otten semasa muda adalah pemain sepak bola handar dan menjadi bagian dari tim olimpiade Belanda. Setelah lulus sekolah kedokteran, Otten banyak mendalami pengobatan penyakit. Dengan keahlian yang dimilikinya, Otten berangkat ke Hindia Belanda.

Niat sekutu/Inggris yang memang ingin memberi jalan bagi Belanda dan keteguhan hati penduduk yang tidak ingin kehadiran orang asing, tidak terhindarkan pepeperangan. Inggris/sekutu memberi ultimatim tanggal 24 Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada tanggal 21 November 1945 yang mana tentara sekutu meminta Bandung Utara dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum ini tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah insiden.

Pasukan sekutu/Inggris sendiri mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945. Pasukan sekutu/Inggris ini lebih dahulu membebaskan tahanan interniran Belanda oleh militer Jepang di Buitenzorg. Dalam perjalanan dari Batavia ke Buitenzorg satu detasemen sekutu/Inggris juga telah membebaskan sandera di Depok. Para sandera ini berada di tangan pejuang kemerdekaan setelah sebelumnya tanggal 11 Oktober terjadi kerusuhan di Depok.  

Sekutu sudah nekad dan kembali memberi ultimatum. Yang mana dalam hal ini ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan sehari sebelumnya. Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri Keamanan Rakyat), Amir Sjarifuddin Harahap lantas bergegas dari Djogjakarta ke Bandung dan mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution.

Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi III Siliwangi, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, lantas menyampaikan pengumuman agar TRI dan penduduk untuk meninggalkan kota. Saat pejuang dan penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini terjadi pembakaran. Terjadinya kobaran api yang besar ini dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’.

Politik bumi hangus di Bandung akhirnya terjadi di Bandung Selatan. Tindakan bumi hangus ini bersamaan dengan serangkan mortir yang dilancarkan oleh republic ke Bandung Utara tempat dimana pasukan Inggris berada. Tindakan ini telah memicu kemarahan sekutu yang dalam hal ini Inggris. Ini bukan provokasi tetapi tindakan patriot antara TRI dan penduduk di Bandung.

Limburgsch dagblad, 26-03-1946: ‘Dilaporkan dari Bandung, Minggu malam di Bandung Selatan telah terjadi kebakaran hebat berdasarkan pemantaun yang dilakukan patroli pesawat. Ini mengingatkan tempat kejadian menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran pertama yang disebabkan oleh serangan udara di London pada tahun 1940. Beberapa menit sebelum tengah malam terjadi kebakaran di Onion saat yang bersamaan saat dilakukan tembakan mortir yang ditujukan ke Bandung Utara dalam melawan posisi Inggris. Meskipun tidak mungkin untuk melakukan estimasi kerusakan di malam hari, adalah, tanpa diragukan lagi, lebih dari sepertiga dari Zuid Bandung dibakar. Ini adalah politik bumi hangus yang digunakan oleh pejuang dengan maksud untuk menunda ultimatum Inggris. Kebakaran Minggu itu yang disebabkan sebagian besar oleh lingkaran Republik berakibat permohonan TRI penundaan operasi Inggris ditolak’.

Aksi bumi hangus yang dilakukan oleh republik karena sebelumnya Inggris menolak penundaan ultimatum. TRI coba memuinta ultimatum ditunda tetapi atas penolakan itu penduduk gerah dan melakukan tindakan bumi hangus. TRI tidak bisa menenangkan penduduk (Nieuwe Apeldoornsche courant, 26-03-1946). Terjadilah pembakaran dimana-mana. Republik dituduh dibantu tentara Jepang sehingga cukup tersedia bahan bakar yang menjadi api mudah berkobar.

Leeuwarder koerier, 03-04-1946: ‘Het instituut Pasteur te Bandoeng. Pasteur Instituut di Bandoeng menderita kesulitan besar, yang menghambat perang melawan tifus, disentri dan wabah dan bahkan cacar, terutama sekarang saat ini kondisi higienis membutuhkan kewaspadaan tertentu. Instituut, yang memperoleh ketenaran besar di seluruh Asia Timur sebelum perang, tidak dapat segera diambil alih oleh pihak berwenang setelah pendudukan Jepang dan pertama kali berada dibawah zona perlindungan pada akhir Desember tahun lalu. Sementara itu telah dicuri, sejauh persediaan belum dimusnahkan’.

Bandoeng akhirnya dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Militer Belanda telah menggantikan fungsi pasukan sekutu/Inggris.

Nieuwe courant, 26-06-1946: ‘melaporkan dengan judul Bandung Dibawah Komando Nederlandsch. Pasukan republic di Bandung selatan melancarkan protes. Dalam fase ini TRI bekerjasama dengan kelompok-kelompo misterius (dalam hal ini laskar) mulai melakukan tindakan praktek pengrusakan terutama di selatan sungai Tjitaroem. Yang dihancurkan antara lain, jembatan, berkembang ke Soekamiskin, lokasi brigade Belanda di sisi utara jalan pos. Dalam operasi, banyak ditemukan mortar di jalan yang ditinggalkan ketika pejuang republic melarikan diri. Di sisi utara dan selatan Tjimahi para penembak jitu Belanda terkena tembakan dan dinyatakan empat orang Belanda luka. Kerigian di pihak republic tidak diketahui. Pengambilalihan resmi komando Inggris oleh pasukan Belanda di Kabupaten Bandung telah terjadi di 18 tempat. Markas Nederlandsche terletak di Bandung dibawah komando Mayor Jenderal De Waal. Markas Green Brigade dibawah Kapten Van Gulik konsentrasi di Tjiiandjoer. Brigade-7 Infanteri Britisch Indiers sudah melakukan perjalanan (kembali) ke Batavia. Bandara di Andir telah digantikan oleh sebuah unit dari penerbangan militer Belanda, untuk kepentingan pengamatan udara. 

Pasteur Instituut yang telah mulai beroperasi pada bulan Februari 1946 di bawah pimpinan Louis Otten sudah mulai dimanfaatkan. Dalam situasi perang yang semakin intens dan semakin meluas berbagai penyakit sudah mulai diidentifikasi. Salah satu penyakit yang banyak ditemukan terutama di Batavia dalah penyakit rabies.

Di Djakarta/Batavia muncul rabies. Pihak Belanda meminta warga segera melapor ke Kantor Pelayanan Medis Koningsplein West 21 untuk perawatan untuk dirujuk ke Pasteur Instituut Bandoeng (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 26-08-1946).

Pemerintah Indonesia semakin terdesak. Belanda semakin menekan. Akhirnya pemerintah RI harus pindah ke Jogjakarta. Rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia hijrah dari Jakarta ke Jogjakarta. Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Sutan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946).

Sementara itu di Jogjakarta sudah dibentuk Kabinet Sjarir III. Dalam kabinet ketiga Sutan Sjahrir ini, posisi Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Pertahanan pada waktu kabinet sebelumnya diubah menjadi Menteri Keamanan Rakyat. Perubahan kementerian ini besar kemungkinan karena pertahanan sudah porak-poranda oleh Belanda dan republik lebih memperhatikan keamanan rakyat (dan mengkonsolidasikan laskar dan pembentukan kesatuan tentara RI) . Namun kabinet Sjarir ini tidak lama lalu digantikan oleh Kabinet Amir Sjarifoeddin Harahap (mulai 3 Juli 1947).  Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin Harahap merangkap Menteri Pertahanan (hingga 29 Januari 1948).

Prof. Dr. Louis Otten yang sudah sangat lemah akibat penderitaan selama diinternir oleh militer Jepang tampaknya tidak cukup kuat lagi. Louis Otten dipulangkan ke Belanda. Namun tidak lama kemudian Louis Otten dikabarkan telah meninggal dunia. Ini dapat dilihat dalam iklan keluarga yang dimuat Algemeen Handelsblad, 09-11-1946. Disebutkan dalam iklan tersebut bahwa hari ini (9 September 1946) Otten meninggal dalam usia 63 tahun dalam status duda.

De West : nieuwsblad uit en voor Suriname, 11-11-1946): Dr. Louis Otten, direktur Pasteur Instituut di Bandoeng, yang merupakan penemu vaksin melawan wabah sampat, meninggal pada hari Kamis pada usia 63 tahun akibat serangan jantung. Dr. Otten, datang setelah sejumlah wilayah dikuasai kembali oleh Belanda. Dia berada dalam kondisi lemah sebagai akibat dari pemenjaraan di kamp konsentrasi di Jawa’.

Pada tahap berikutnya Belanda yang melakukan serangan terhadap TRI dan penduduk yang kemudian dikenal yang disebut Politie Actie atau Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948). Pada saat ibukota RI berada di Djogjakarta yang menjabat sebagai kepala dinas kesehatan Djogjakarta adalah Dr. Parlindoengan Lubis kelahiran Batang Toroe Padang Sidempoean, orang Indonesia satu-satunya yang pernah ditahan militer Jerman di kamp konsentrasi NAZI. Parlindoengan Lubis adalah Ketua Perhimpoenan Indonesia di Belanda (1936-1940).

Satu kejadian dalam agresi militer di Djogjakarta ini adalah ditangkapnya sebanyak enam orang ilmuwan Indonesia pada hari pertama agresi militer Belanda di Djogjakarta dan yang pertama ditembak mati adalah Dr, Masdoelhak Nasution, Ph.D. Mendengar aksi teror Belanda ini membuat PBB marah besar dan meminta Kerajaan Belanda melakukan penyelidikan segera (lihat De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949). Dr, Masdoelhak Nasution, Ph.D adalah panasehat hukum Soekarno dan Mohamad Hatta. Dr, Masdoelhak Nasution, Ph.D meraih gelar doktor di bidang hukum di Utrecht (Rijksuniversiteit) pada tahun 1943 dengan predikat suma cum laude. Friesche courant, 27-03-1943 memberitakan Masdoelhak gelar Managaradja Hamongangan berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Dr, Masdoelhak Nasution, Ph.D adalah saudara sepupu dari dokter Dr. Ida Loemongga, Ph.D, perempuan Indonesia pertama bergelar doktor, Kematian Dr, Masdoelhak Nasution, Ph.D telah menambah daftar ilmuwan asal Padang Sidempoean (Afdeeling Mandailing dan Angkola) yang menjadi korban akibat ulah keji dari imperialis Belanda dan Jepang. Catatan: dokter pertama periah gelar Ph.D adalah Dr. Soewarno (1919) dan yang kedua adalah Dr. Sardjito (1923). Sedangkan ahli hukum pertama periah gelar Ph.D adalah Mr. Gondokoesoemo (1922), sedangkan yang keempat adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (1925) kelahiran Batang Toroe Padang Sidempoean dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Perempuan pertama asal Sumatra yang menjadi sarjana hukum adalah putri Radjamin Nasution (wali kota pertama Soerabaja) yang bernama Sheherazade Radjamin (1955) sedangkan yang kedua adalah putri Parada Harahap yang bernama Aida Dalkit Harahap (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-05-1956).

Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda lembaga penyelidikan penyakit dan obat Pasteur Instituut ini tetap beroperasi. Pada tahun 1957 pemerintah RI menerapkan kebijakan nasionalisasi. Pasteur Instituut termasuk yang dinasionalisasi (dijadikan sebagai perusahaan negara). Pada tahun 1961 namanya menjadi perusahaan negara Bio Farma.

Dr. Sardjito, Ph.D, Presiden Univeristas Gadjah Mada di Djogjakarta

Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta adalah universitas negeri di Indonesia pertama yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Cikal bakal Universitas Gadjah Mada di Djogjakarta sudah muncul usaha pendirian Universitas Gadjah Mada segera setelah ibukota RI pindah ke Djogjakarta pada tanggal 3 Maret 1946 atas inisiatif Menteri Pendidikan RI. Universitas Gadjah Mada terdiri dari dua fakultas (faculteit der rechten en faculteit der letteren).

Menteri Pendidikan RI saat itu adalah Soetan Goenoeng Moelia. Awal pendidikannya dimulai tahun 1911 berangkat studi ke Belanda mengambil bidang pendidikan.Setelah berhasil meraih gelar sarjana pendidikan kembali ke tanah air dan menjadi guru dan berpindah-pindah diantaranya sebagai guru HIS di Kotanopan. Pada tahun 1927 diangkat sebagai anggota Volksraad yang jabatannya adalah ketua komite pendidikan pribumi. Pada tahun 1929 berangkat lagi ke Belanda untuk melanjutkan studi doktoral. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia kelahiran Padang Sidempoean berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) dalam bidang sastra dan filsafat di Universiteit Leiden tahun 1933 dengan desertasi berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap' (Algemeen Handelsblad, 09-12-1933). Soetan Goenoeng Moelia adalah saudara sepupu Mr. Amir Sjarifoeddin (Perdana Menteri RI kedua) dan Mr. Arifin Harahap (Menteri terlama dalam berbagai bidang selama tujuh tahun dalam tujuh kabinet di era Presiden Soekarno).   

Universitas Gadjah Mada kemudian secara resmi sebagai universitas para Republiken (De waarheid, 25-03-1947). Jumlah dosen semakin bertambah. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-10-1948 memberitakan Mr. Iwa Koesoemasoemantri diangkat sebagai profesor di universitas Gadjah Mada di Djokjakarta pada tanggal 1 November. Ada kemungkinan bahwa Mr Moh. Jamin juga akan menjadi profesor untuk posisi dosen. Mr. Iwa Koesoemasoemantri adalah sekretaris Universitas Gadjah Mada (Limburgsch dagblad, 05-08-1949).

De locomotief, 08-12-1949
Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-10-1949 memberitakan bahwa Universitas Gadjah Mada akan dibuka kembali tanggal 1 November 1949. De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-11-1949 memberitakan Sekretariat universitas republik di Djokja telah mengumumkan bahwa Rabu malam pembukaan kembali resmi sekolah tinggi ilmu hukum Gadjah Mada dan akademi ilmu politik. Soeltan Djokja akan memimpin, dalam kapasitasnya sebagai ketua dewan curator Pembukaan serius ini akan diadakan di Sitinggil. ruang resepsi terhubung ke kraton. Trouw, 07-11-1949: ‘Membuka kembali universitas republik. Soeltan Djokja, sebagai ketua dewan kurator pada kesempatan pembukaan kembali universitas republik Gadjah Mada di Djokja, menyatakan penghargaannya terhadap sikap siswa dan profesor dalam melaksanakan tugas mereka selama pendudukan Belanda. Soeltan mengatakan bahwa pembentukan RIS tidak berarti bahwa tujuan perjuangan telah tercapai. ‘Kami harus melanjutkan perjuangan dengan kekuatan bersatu, perjuangan budaya akan dimulai dan kita sekarang harus membangun benteng untuk mempersiapkan perjuangan ini’ kata sultan. De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-12-1949 melaporkan 'pada tanggal 5 Desember, Fakultas Hukum di Universitas Gadjah Mada lulus ujian Rosiah Sardjono dengan skripsi berjudul ‘Hoekoem Antara Negara-Negara’. Rosiah Sardjono adalah sarjana wanita pertama, yang lulus di Universitas Republiken'.

Pada masa pendudukan Belanda (1945-1949) Belanda kembali menyelenggarakan pendidikan tinggi. Universiteit van Indonesie dibuka kembali pada tanggal 21 Januari 1946 (tidak lama setelah ibukota RI mengungsi ke Djogjakarta).

Universiteit van Indonesie dibentuk dari tiga sekolah tinggi, Technisch Hoogeschool di Bandoeng, Rechts Hoogeschool di Batavia dan Geneesgundige Hoogeschool di Batavia. Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940.dan memulai perkuliahan awal pada tanggal 4 Desember 1940 dan kemudian disusul Faculteit der Landbouwwetenschap di Buitenzorg. Saat pendudukan Jepang, Universiteit van Indonesie berhenti tetapi dihidupkan kembali oleh pemerintah militer jepang namun tidak berjalan lancar.

Jumlah fakultas yang sebelumnya bertambag fakultas ekonomi (faculteit der economische). Oleh karena situasi dan kondisi yang sulit setelah Belanda kembali ke Indonesia ada kebijakan baru setelah perang karena sulitnya ekonomi dan pembiayaan bagi angkatan 1940 dan 1941 uang kuliah akan digratiskan (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 12-11-1946). Pada saat dibukanya kembali 'Universitas Darurat' Universitas Indonesia terdiri dari delapan fakultas (faculteit)dan selusin lembaga (institute) yang semua dibawah naungan Universitas Indonesia (lihat Het nieuws: algemeen dagblad, 24-10-1947).

Fakultas yang ada terdiri dari Fakultas Kedokteran (faculteiten der geneeskunde di Batavia, Fakultas Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian (faculteit van landbouw wetenschap) di Bogor. Selain itu terdapat Fakultas Hukum (faculteiten der rechts), Fakultas Ilmu Sosial (faculteiten der sociale weten), Fakultas Sastra dan Filsafat (faculteit der letteren en wijsbegeerte). Fakultas lainnya adalah Fakultas Sains dan (faculteit der exacte wetenschap) dan Fakultas Teknik (faculteit van technische wetenschap) di Bandoeng. Lembaga/institut yang ada dan yang akan diadakan antara lain: pendidikan jasmani (instituut voor lichamelijke) di Bandung, dental institute (tandheelkundig instituut) di Surabaija dan pelatihan meteorologi di Bandoeng dan pelatihan guru yang akan diadakan. Dalam hubungan ini, mahasiswa-mahasiswa yang ada di Indonesia hanya yang berada di fakultas dan institut tersebut di bawah naungan Universiteit Indonesie.

Dengan dimulainya otonomi kampus, Ida Nasoetion bersama G. Harahap dari jurusan jurnalistik menggagas dan mendirikan perhimpunan mahasiswa Universiteit van Indonesie. Dengan kawan-kawan yang lain, Ida Nasoetion meresmikan organisasi mereka dengan nama Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat PMUI pada tanggal 20 November 1947. Pada awal organisasi mahasiswa ini didirikan anggotanya baru sebanyak 30 mahasiswa dan lambat laun sebelum ulang tahun yang pertama anggotanya sudah menjadi 100 mahasiswa (hanya memperhitungkan yang di Batavia). Ida Nasoetion adalah presiden pertama perhimpunan mahasiswa Indonesia.

Sebelumnya Lafran Pane di Djogjakarta bersama teman-temannya yang lain mendeklarasikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947. Lafran Pane kemudian menjadi Presiden pertama Himpunan Mahasiswa Islam. Lafran Pane memulai pendidikan di Akademi Ilmu Politik yang merupakan bagian dari Universitas Gajah Mada  pada bulan April 1948. Universitas swasta ini lalu kemudian diakuisi pemerintah republik 1949 dan menjadi universitas RI dan akademi ini berubah menjadi fakultas. Lafran Pane menggagas perlunya dibentuk organisasi mahasiswa Islam untuk turut memberi wadah dalam situasi politik perang. Lafran Pane adalah adik dari sastrawan terkenal Sanoesi Pane dan Armijn Pane. Ini mengingatkan kembali ke awal organisasi mahasiswa pertama didirikan oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di Belanda tahun 1908 yang disebut Indisch Vereeniging. Ini bukan serba kebetulan bahwa Soetan Casajangan, Lafran Pane dan Ida Nasution sama-sama berasal dari Padang Sidempoean.

Sementara itu, pada tanggal 19 Desember 1949 sebanyak enam fakultas diresmikan sebagai bagian dari Universitas Gadjah Mada yang diatur dalam PP No.23 tahun 1949. Ini terjadi menjelang pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Presiden Universitas Gadjah Mada yang pertama diangkat Prof. Dr. Sardjito, Ph.D. Proklamasi Universitas Gadjah Mada sebagai universitas republik dan pengangkatan Dr. Sardjito, Ph.D sebagai presiden (baca: rektor) pertama universitas menjadi satu titik penting dalam sejarah nasional Indonesia. Universitas Gadjah Mada didirikan oleh para Republiken pada era RI, tepat sehari sebelum dibentuk RIS tanggal 20 Desember 1949.

Indonesia pasca KMB 1949 sejatinya terbelah-belah bagaikan buah belimbing: antara negara-negara federal dan daerah otonono di satu pihak dan wilayah-wilayah republik (RI) di pihak lain. Negara-negara federal adalah negara setengah Belanda alias negara-negara boneka bentukan Belanda seperti Negara Sumatra Timur, Negara Jawa Timur, Negara Pasoendan, Negara Sumatra Selatan, Negara Indonesia Timur dan lainnya. Sementara negara-negara otonomi diantaranya ditemukan di pulau Kalimantan. Sedangkan wilayah RI hanya tinggal secuil dan wilayah RI yang seteril hanya tinggal wilayah Djogjakarta (dan sekitarnya) dan wilayah Tapanoeli. Saat ini wilayah Indonesia disebut negara RIS, singkatan dari Republik Indonesia Serikat.  Meski namanya berlabel Republik Indonesia tetapi sesungguhnya hanya sebagian kecil yang masih Republik Indonesia. Sebagian besar adalah wilayah yang menjadi negara-negara federal (dimana Belanda masih memiliki pengaruh kuat). Satu wilayah negara federal dimana orang-orang Republiken cukup dominan adalah Negara Sumatra Timur (NST). Dalam situasi yang tidak menguntungkan para Republiken ini, justru Soekarno dan Mohammad Hatta ‘mengingkari’ RI dan menjadi Presiden RIS yang mana Mohamamd Hatta sebagai Perdana Menteri beserta para menteri kabienetnya yang berkedudukan di Djakarta/Batavia, sementara wilayah RI (RI 100%) beribukota di Djogjakarta dimana terdapat Presiden, Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri serta para menterinya. Presiden RI di Djogjakarta adalah Mr. Assaat, Perdana Menteri Abdoel Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim Harahap.

Dalam perkembangannya para Republiken di berbagai wilayah mulai gerah karena terjadi dua (kepemimpinan) pemerintahan yang mana kepemimimpinan pemerintahan RI dalam posisi yang tidak menguntungkan. Lalu, mulai ada gerakan yang menghubungkan RI di Djogjakarta (Abdoel Hakim Harahap) dan Republiken di Medan (NST) yang dipimpin oleh Dr. Djabangoen Harahap (adik kelas Dr. Sardjito dulu di STOVIA). Gerakan ini memunculkan protes keras (semacam permberontakn) ke pusat RIS di Batavia. Dr. Djabangoen Harahap, Soegondo, GB Joshua Batubara dan lainnya menyelenggarakan Kongres Rakyat di NST. Gerakan RI dan Kongres Rakyat ini sangat dikhawatirkan oleh PM (RIS) Mohamad Hatta dan para pentolan NST kasak-kusuk ke Batavia/Djakarta menemui Mohamad Hatta untuk menghambat kongres tersebut. Namun gerakan RI dan Kongres Rakyat yang dislenggarakan pada tanggal 25 April 1950 hasilnya adalah Bubarkan NST dan Bentuk NKRI. Hasil ini membuat Presiden Ir. Soekarno menjadi paham dan lalu memberikan dukungan terhadap Hasil Kongres di Medan dan mulai memikirkan kembali negara kesatuan RI. Proses perubahan RIS menjadi NKRI ini butuh waktu hingga jelang tanggal 17 Agustus 1950. Pada tanggal 17 Agustus 1950 di Medan peringatan hari kemedekaan dilakukan dengan inspektur upacara Mr. GB Josua Batubara (pemilik sekolah Joshua Instituut). Dalam upacara ini untuk kali pertama dinyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raja. Dengan lagu Indonesia Raya tersebut, Medan dan sekitarnya benar-benar merasakan kemerdekaan sejati oleh para Republiken.

Selama gerakan RI dan Kongres Rakyat di Medan di Djogjakarta tenang-tenang saja, kecuali mungkin Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim yang terus memantau perkembangan. Namun suasana menjadi lain ketika situasi semakin menguat membubarkan RIS dan membentuk NKRI, para menteri kabinet Mohammad Hatta menginginkan Universitas Gadjah Mada dipindahkan ke Djakarta, digabungkan dengan universitas yang ada di Djakarta. Djogjakarta bereaksi dan senat Universitas Gadjah Mada melakukan rapat mendadak di ruang pertemuan Fakultas Kedokteran (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 25-05-1950). Diseutkan Prof. Dr. Sardjito mewakuli senat setelah rapat menyatakan bahwa universitas (Gadjah Mada) harus tetap di Djogja, sebab itu penting karena Djogjakarta adalah pusat perjuangan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kabinet Halim) S. Mangunsarkoro mengamini hasil keputusan rapat senat Gadjah Mada. Presiden Mr. Assaat juga melontarkan pendapat bahwa tidak pada tempatnya untuk memindahkan Universitas Gadjah Mada. Selamatlah Universitas Gadjah Mada hingga hari ini tetap berada di Jogyakarta.

Di tingkat pusat NKRI baru terlaksana pada tanggal 6 September 1950 yang mana PM Mohammad Hatta harus mengundurkan diri dan kabinetnya dibubarkan yang lalu kemudian ditunjuk M. Natsir sebagai Perdana Menteri yang baru dalam konteks NKRI. Yang mana sebagai Presiden tetap Soekarno dan Mohammad Hatta kembali menjadi Wakil Presiden. Negara-negara federal lainnya lalu kemudian turut dibubarkan. Dan dengan demikian, tentu saja pemerintahan RI di Djogjakarta lega dan legowo membubarkan diri.

Djogjakarta sebagai pusat perjuangan sebagai salah satu alasan Universita Gadjah Mada tetap berada di Djogjakarta juga terungkap ketika RIS beribukota di Djakarta, di Djogjakarta Wakil Perdana Menteri RI Abdoel Hakim Harahap memimpin langsung pemindahan semua pahlawan yang gugur dalam berjuang melawan Belanda untuk disatukan di dalam satu tempat pemakaman yang kemudian disebut Taman Makam Pahlawan. Terkait dengan taman makam pahlawan Djogjakarta ini Presiden Assaat menginisiasi pembangunan masjid raya baru yang disebut Masjid Syuhada (masjid para pejuang). Taman Makam Pahlawan Djogjakarta adalah yang pertama di Indonesia. Boleh jadi Abdoel Hakim Harahap merasakan arti perjuangan dan bagaimana cara menghormati para pejuang yang telah gugur karena Abdoel Hakim Harahap sendiri pada era Agresi Militer Belanda II (dimulai 19 Desember 1948) adalah Residen Tapanoeli yang ikut bergerilya dan berperang melawan militer Belanda di seputar Afdeeling Padang Sidempoean. Sedangkan taman makam pahlawan di Djakarta baru direncanakan pada tahun 1952 yang merupakan usul ketua komisi pertahanan di parlemen Zainoel Arifin Pohan dengan membentuk Biro Konstruksi Nasional dan yang sekaligus ketuanya. Taman Makam Pahlawan Kalibata lalu diresmikan oleh Zainoel Arifin Pohan tahun 1954. Zainoel Arifin Pohan adalah panglima Hizbullah, ketua parlemen, pendiri Partai NU dan Wakil Perdana Menteri.

Selanjutnya, mantan Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta diangkat Presiden Soekarno menjadi Gubernur Sumatra Utara (gabungan dari tiga Residentie: Tapanoeli, Atjeh dan Sumatra Timur). Inilah kemenangan RI terhadap RIS yang dimulai di Medan.

Dr. Djabangoen Harahap dkk telah mendudukkan kembali Ir. Soekarno menjadi Presiden NK(RI) dan juga mengantarkan Abdoel Hakim Harahap menjadi Gubernur Sumatra Utara. Abdoel Hakim Harahap adalah pejabat ekonomi di Djawa di era Belanda yang ditunjuk militer Jepang menjadi ketua dewan di Tapanoeli. Pada era perang kemerdekaan Indonesia, Abdoel Hakim Harahap menjadi Residen Tapanoeli. Dalam delegasi RI ke konferensi KMB di Den Haag, Abdoel Hakim Harahap yang menguasai tiga bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis) bertindak sebagai penasehat ekonomi. Namun hasil sidang KMB tidak menguntungkan RI yang mana RIS yang berbau Belanda tidak disetujui oleh Abdoel Hakim Harahap yang lalu kemudian sepulang dari KMB di Den Haag langsung hijrah ke Djogjakarta untuk bergabung dengan para Republiken (100 % RI).     

Setelah Indonesia kembali ke (NK)RI, Universitas Gadjah Mada, universitas para Republiken (100% RI) dengan cepat tumbuh dan berkembang. Peran Dr. Sardjito, Ph.D dalam hal ini cukup menonjol. Para senat Universitas Gadjah Mada tampaknya lega setelah Ir. Soekarno mendukung penuh NKRI. Ir. Soekarno yang sempat ‘mengingkari’ RI dan membelakangi Djogjakarta kemudian direspon baik oleh senat Universitas Gadjah Mada.

Untuk mengikat komitmen Ir. Soekarno terus berjuang demi NKRI. Senat Universitas Gadjah Mada kemudian menilai dan memberikan gelar doktor honaris causa kepada Ir, Soekarno (lihat Nieuwe courant, 20-09-1951). Promosi gelar tersebut dilakukan di auditorium Universitas Gadjah Mada. Presiden Universitas, Profesor Sardjito membuka sidang dan kemudian membacakan isi penganugerahan itu lalu diserahkan kepada Presiden Soekarno. Presiden Soekarno kemudian menyampaikan pidato.

Sementara fakultas-fakultas Universiteit van Indonesie (yang notabene dulu berada di wilayah negara federal) secara berangsur-angsur digeser dan diubah menjadi universitas yang mandiri seperti Universitas Indonesia di Djakarta, Institut Teknologi Bandoeng di Bandoeng dan Universitas Airlangga di Soerabaja.

Di Djakarta kegiatan Universitas Indonesia dimulai pada tanggal 2 Februari 1951. Ini dilakukan setelah dileburnya Badan Perguruan Tinggi RI dengan Universiteit van Indonesiea dengan mengusung nama Universiteit Indonesia atau Universitas Indonesia. Selanjutnya dibentuk Jajasan Universitas Indonesia (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 26-07-1951). Jajasan ini adalah badan penyelenggara Universitas Indonesia. Yang menjadi Presiden Jajasan (sekaligus Presiden Universitas Indonesia) adalah Prof. Dr. Mr. Soepomo (ahli hukum Indonesia yang keenam peraih gelar Ph.D). Akta pendirian Univeristas Indonesia dibuat oleh notaris Mr. Soewandi (notaris Indonesia pertama). Bedanya Universitas Indonesia yang dipimpin Prof. Mr. Soepomo dengan Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Prof. Dr. Sardjito adalah di Universitas Indonesia masih banyak dosen dan guru besar orang-orang Eropa/Belanda, Universitas Gadjah Mada (sejauh ini) seluruh dosen adalah orang Indonesia. Fakultas-fakultas Universitas tersebar di Djakarta, Bogor, Bandoeng dan lainnya. Di Padang didirikan sekolah tinggi hukum, perguruan tinggi pertama di Sumatra. (Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951). Disebutkan dalam pembukaannya dihadiri oleh Prof. Mr. Hazairin Harahap, Ph.D. Pendiri sekolah hukum ini adalah Mr. Egon Hakim Nasution, sarjana hukum alumni Universiteit Leiden, anak wali kota Padang, Dr. Abdoel Hakim (sekelas dengan Dr, Tjipto Mangoenkoesoemo di Docter Djawa School di Batavia). Di Medan dibentuk Jajasan Universitas Sumatra Utara (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1952). Jajasan ini adalah badan penyelenggara Universitas Sumatra Utara. Presiden Jajasan adalah Abdoel Hakim Harahap (gubernur Sumatra Utara) yang mana dalam susunan dewan terdapat Dr. Mohamad Ildrem Siregar, alumni fakultas kedokteran Universiteit Amsterdam, bendahara Perhimpoenan Indonesia (1936-1940). Akta pendirian Univeristas Sumatra Utara dibuat oleh notaris Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoeman (notaris Indonesia kelima). Di Soerabaja didirikan Universitas Airlangga yang langsung diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1954 (De nieuwsgier, 12-11-1954).

De nieuwsgier, 24-09-1952
Sebelum universitas/institut lain berkembang, Universitas Gadjah Mada sudah memperbanyak jumlah bidang pengajarannya. Pada tahun 1952 departemen ekonomi Universitas Gadjah Mada dibuka yang dimasukkan pada fakultas hukum. Presiden Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Sardjito berpidato dihadapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bahder Djohan pada tanggal 1 September 1952 dalam rangka pembukaan Departemen Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta (De nieuwsgier, 24-09-1952).

Lafran Pane akhirnya lulus ujian dan menjadi sarjana di Fakultas Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 26 Januari 1953. Lafran Pane kelahiran Padang Sidempoean sendiri terbilang sebagai sarjana ilmu politik pertama di Indonesia. Lafran Pane adalah pendiri organisasi mahasiswa HMI di Djogjakarta pada tahun 1947. Kelak, di fakultas ini menyusul Ashadi Siregar, lulusan SMA Padang Sidempoean (1964)/ Ashadi Siregar lalu menjadi dosen di departemen Publisistik/Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Ashadi Siregar juga terkenal sebagai penulis novel produktif (12 novel) dengan novelnya yang terpopuler berjudul Cintaku di Kampus Biru. Mungkin maksud Ashadi Siregar adalah cintanya terhadap Universitas Gadjah Mada.

Enam fakultas Universitas Gadjah Mada diantaranya fakultas ilmu politik, fakultas hukum, fakultas kedokteran dan fakultas teknik. Sebelum digabungkan sebagai bagian dari Universitas Gadjah Mada, fakultas teknik adalah sekolah tinggi teknik yang didirikan oleh Prof. Rooseno (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 04-08-1953). Sementara itu, Universitas Indonesia yang fakultas-fakultasnya terdapat di beberapa kota terus dilakukan konsolidasi. Presiden Universitas Indonesia masih dijabat Prof. Mr. Soepomo, sebagaimana Presiden Universitas Gadjah Mada masih dijabat oleh Prof. Dr. Sardjito. Dies natalis yang ketiga (1953) Universitas Indonesia akan diselenggarakan di Bandoeng yang diadakan di aula van de technische faculteit (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1953). Dies natalis Universitas Gadjah Mada yang keempat baru akan dilakukan bulan Desember (De nieuwsgier, 21-12-1953).

Presiden Soekarno mengundang Prof. Sardjito untuk presentasi di Istana Merdeka (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-07-1953). Presiden Universitas Gadjah Mada di depan Presiden Soekarno yang juga turut dihadiri Menteri Pendidikan Bahder Djohan dan para profesor dari Universitas Indonesia menyampaikan kertas kerjanya tentang arkeologi dan sejarah (seni) patung di Indonesia. Dalam pertemuan ini yang boleh dikatakan sebagai pertemuan ilmiah, Presiden Soekarno juga ikut memberikan pandangannya terhadap sejarah patung. Presiden Soekarno bertanya apakah tjandi seperti Borobudur dan Mendut, dan struktur kemudian, seperti Javasche Bank, dapat dianggap sebagai ekspresi artistik Indonesia. Presiden Soekarno menjawab sendiri bahwa sesainnya berasal dari orang asing, tetapi dalam hal apapun, orang Indonesia yang telah berkontribusi pada bangunan-bangunan itu dengan pengetahuan mereka tentang kerajinan yang dapat dianggap sebagai kontributor. Undangan Presiden Soekarno ini seakan presentasi balasan yang mana pada tahun 1951 Prof. Sardjito mengundang Presiden Soekarno untuk berpidato di Universitas Gadjah Mada dalam rangka pemberian gelar doktor honoris causa.

Prof. Sardjito memimpin delegasi Indonesia ke kongres sains kedelapan di Manila (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 23-11-1953). Kongres ini adalah kongres Asia Pasifik yang berada dibawah naungan UNESCO yang telah berjalan dalam sepuluh tahun terakhir. Dalam delegasi yang berjumlah (12 orang) 12 kertas kerja ini juga terdiri dari para profesor dari Djakarta, Bandung, Bogor. Anggota delegasi dari Bandoeng terdiri dari tiga orang yang semuanya profesor berkebangsaan Belanda. Disebutkan kongres ketujuh telah diadakan di Bogor pada bulan Januari tahun lalu.

Pada awal tahun 1954 Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada membuka cabang di Semarang (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-01-1954). Disebutkan perguruan tinggi farmasi ini adalah perguruan tinggi yang pertama di Semarang. Pembukaan dilakukan oleh Presiden Universitas Gadjah Mada yang turut dihadiri Prof. Sardjono dan Prof Mr Notonegoro dan undangan lainnya seperti Overste Saragih, Komandan Teritorial. Perguruan tinggi cabang fakultas farmasi ini dibimbing oleh enam dosen antara lain Liem Han Tjioe dan Liem Hok Ie. Pada tahun 1951 di Soerabaja sudah berdiri perguruan tinggi farmasi, jauh sebelum Univesitas Airlangga didirikan. Salah satu dosen perguruan tinggi farmasi di Soerbaja ini adalah Ismail Harahap. Sekolah farmasi/apoteker (artsenubereidkunst) kali pertama diadakan pada tahun 1938. Pada tahun 1941 lulus apoteker sebanyak 17 orang salah satu diantaranya Ismail Harahap (lihat  Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1940). Ismail Harahap awalnya ditempatkan pemerintah di Batavia tetapi tahun 1941 dipindahkan ke Soerabaja. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, pada tahun 1951 pemerintah Republik Indonesia  membuka sekolah tinggi farmasi di Soerabaya. Kepala sekolah yang ditunjuk adalah Dr. GP Parijs (Belanda) dan dosen adalah Drs. Gouw Soen Hok, Yap Tjiong Ing, Tjoa Siok Tjong dan Ismail Harahap. Sekolah farmasi Soerabaya tersebut mewisuda pertama pada tanggal 27 Juni 1954 (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 29-06-1954). Beberapa dosen farmasi di Semarang dan dosen di Soerabaja terindikasi adalah seangkatan dengan Ismail Harahap di Artsenubereidkunst 1938-1940. Boleh jadi dosen-dosen fakultas farmsi Univesitas Gadjah Mada di Djogjakarta adalah lulusan Artsenubereidkunst. Sekolah farmasi Soerabaja ini kemudian ikut bergabung dalam pendirian Universitas Airlangga (1954). Ismail Harahap adalah ayah dari Datoe Oloan Harahap yang lebih dikenal sebagai Ucok AKA Harahap, pionir musik rock Indonesia.    

Dr. Sardjito sudah menjadi presiden Unversitas Gadjah Mada ssejak 1949. Pada tahun 1954 Dr/ Sardjito sudah memimpin universitas selama lima tahun. Pada rapat tahunan yang dipimpin Dr. Sardjito terungkap bahwa jumlah mahasiswa sebanyak 7444 orang, dosen sebanyak  122 serta asisten dosen sebanyak 115 orang, tigas asisten WHO, sebanyak 28 orang profesor asing termasuk 21 profesor Belanda (De vrije pers : ochtendbulletin, 20-09-1954). Disebutkan dari hasil rapat tahunan ini fakultas voor juridische, economische, sociale en politieke wetenchappèn akan dipecah menjadi tiga fakultas: Faculteit voor juridische; Faculteit voor Sociale en Economische; dan Faculteit voor politieke wetenchappèn.

De nieuwsgier, 21-09-1954: ‘Universitas Gadjah Mada saat ini memiliki 7.444 mahasiswa. Sebanyak 1.944 mahasiswa kedokteran dan farmasi, sebanyak 3.101 mahasiswa ilmu hukum, ekonomi, sosial dan politik. Sementara sebanyak 1.113 mahasiswa teknik dan sebanyak 419 mahasiswa pertanian. Sedangkan mahasiswa filsafat, litarature dan pedagogi’.

Presiden Universitas Gadjah Mada Prof. Sardjito mulai menghadapi kesulitan dalam soal dosen. Ini terkait dengan pendirian Universitas Air langga di Soerabaja. Sejumlah dosen dan profoesor yang mengajar di Universitas Airlangga juga adalah dosen dan profesor di Universitas Gadjah Mada, Untuk mencari solusi telah bertemu dan mendiskusikan persoalan ini antara Presiden Universitas Airlangga di Surabaya, Prof. AG Pringgodigdo dan Prof. Sardjito (Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 01-12-1954). Prof. Sardjito menyatakan bahwa para profesor yang mengajar di Universitas Airlangga akan tetap sebagai profesor Universitas Gadjah Mada karena mereka memegang keputusan pengangkatan sebagai profesor di Universitas Gadjah Mada. Namun, Universitas Gadjah Mada akan terus mendukung Universitas Airlangga yang belum memiliki profesor dan dosen yang berkualitas. Sebelum pertemuan dua presiden univeritas ini sebelumnya, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sempat ditutup setelah pembukaan resmi Universitas Airlangga oleh Presiden Soekarno. Hal ini karena sebelumnya tidak ada kontak yang dilakukan antara Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada.

De vrije pers: ochtendbulletin, 11-11-1954
Universitas Airlangga diresmikan pada tanggal 10 November 1954 (De vrije pers: ochtendbulletin, 11-11-1954). Peresmian ini dilakukan oleh Presiden Soekarni yang diadakan di auditorium Fakultas Kedokteran Uvirsitas Airlangga di Karangmendjangan, Soerabaja. Peresmian ini juga dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Mr. Hoetasoit. Sebelum diresmikan AG Pringgodigdo, Presiden Universitas Airlangga tampil memberikan pidatonya.

Sebagaimana Universitas Gadjah Mada, sebelum Universitas Airlangga didirikan sudah berdiri beberapa perguruan tinggi di Soerabaja. Salah satu perguruan tinggi tersebut adalah fakultas kedokteran Soerabaja yang merupakan kelanjutan sekolah kedokteran di era kolonial Belanda (NIAS) dan menjadi bagian dari Universiteit Indonesia. Salah satu profesor fakultas kedokteran Soerabaja tersebut adalah Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, alumni STOVIA yang meraih gelar Ph.D di Belanda tahun 1930. Pada tahun 1935 Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D diangkat sebagai kepala laboratorium Soerabaja. Saat ini Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga adalah Kepala Dinas Kesehatan di Jawa Timur. Di era kolonial Belanda Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D juga pernah menjabat kepala dinas kesehatan Residentie Soerabaja dan juga Residentie Kediri. Fakultas kedokteran ini menjadi salah satu pendukung didirikannya Universitas Airlangga.

De vrije pers: ochtendbulletin, 06-04-1951: ‘Fakultas kedokteran. Dengan keputusan Menteri Pendidikan, Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, dokter di klinik dokter praktik di Soerabaja, ditunjuk sebagai dokter kelas satu, di Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran di Soerabaja’.

Dr. Sardjito akan berakhir masa jabatannya sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada. Dr. Sardjito mulai menjabat pada tanggal 19 Desember 1949. Ini berarti pada tanggal 19 Desember 1954 Dr. Sardjito telah menjadi Presiden Universitas Gadjah Mada selama lima tahun. Kini, Dr. Sardjito sudah lima tahun lebih menjabat. Dalam rapat kabinet diputuskan pengangkatan kembali Profesor M. Sardjito sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-04-1955). Sejauh ini memang, Dr. Sardjito terbilang sukses menata dan mengembangkan Universitas Gadjah Mada. Alasan itulah yang besar kemungkinan mengapa Dr. Sardjito masih dipecaya pemerintah untuk menjabat sebagai Presiden Universitas Gadjah Mada untuk periode kedua (1955-1960). Beberapa hari kemudian Dr. Sardjito menghadiri acara pemisahan fakultas di Universitas Airlangga di Soerabaja.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-04-1955: ‘Di hadapan Presiden Universitas Gadjah Mada dan Presiden Universitas Indonesia, banyak dosen dan profesor dari Universitas Airlangga dan banyak tamu undangan, Sabtu Menteri Pendidikan, Mohamad Jamin, Ketua dan anggota Dewan Pengawas dan Presiden Universitas Airlangga di auditorium fakultas kedokteran di Surabaja. Setelah membaca teks pemisahan Fakultas Kedokteran dan Institut Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, dan teks pemisahan Fakultas Ilmu Hukum dan Fakultas Ekonomi, Sosial dan Politik dari Universitas Gadjah Mada, masing-masing oleh Presiden Univeristeit Indonesia, Prof. Bahder Djohan dan Presiden Universitas Gadjah Mada, Prof. Sardjito, menandatangani akta pemisahan empat fakultas. Menteri Pendidikan mengatakan dalam sambutannya bahwa, berkat keunggulan universitas-universitas di Universita Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, maka Universitas Airlangga dapat didirikan. Berbicara tentang masa depan Universitas Airlangga, Mohamad Jamin mengatakan bahwa jumlah profesor dan dosen akan ditambah sesegera mungkin. Jumlah fakultas di Universitas Airlangga juga akan diperluas, sementara pembangunan blok bangunan yang dibutuhkan akan dipercepat. Mohamad Jamin mengatakan bahwa dana yang diperlukan tersedia meskipun fakta bahwa kondisi keuangan, seperti yang dia katakan, saat ini masih ‘gelap’. Dalam pidatonya setelah penandatanganan akta pemisahan empat fakultas, Prof. Sardjito, Presiden Universitas Gadjah Mada memnberi gambaran singkat tentang perkembangan fakultas hukum Universitas Gadjah Mada di Soerabaja sejak didirikan. Jumlah keseluruhan mahasiswa adalah 169 mahasiswa, yang mengikuti ujian pendahuluan, diantaranya sebanyak 12 mahasiswa telah lulus (66.4%) dan dari 21 mahasiswa yang mengikuti ujian akhir, diantaranya 14 berhasil (66,7%). Setelah acara resmi, Menteri, para presiden universitas, dewan para kurator, para profesor, dosen dan tamu yang hadir menuju ruang resepsi, dimana dilakukan acara pemberian ucapan selamat kepada Presiden Universitas Airlangga dan Dewan Pengawas’.   

Dr. Sardjito dan dan Parada Harahap: Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Presiden Soekarno

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar