* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Nama Yogyakarta sudah lama diproklamirkan, tetapi tidak semua orang munuruti. Masih banyak yang menuliskannya dengan nama Jogjakarta. Tahun 1884 warga Semarang sudah mengusulkan agar nama Jogjakarta ditulis dengan Djokjakarta (lihat De locomotief, 26-08-1884). Namun usul itu nyatanya tidak dituruti. Akibatnya hingga kini nama Yogyakarta dan Jogjakarta, keduanya masih eksis.
Nama Yogyakarta sudah lama diproklamirkan, tetapi tidak semua orang munuruti. Masih banyak yang menuliskannya dengan nama Jogjakarta. Tahun 1884 warga Semarang sudah mengusulkan agar nama Jogjakarta ditulis dengan Djokjakarta (lihat De locomotief, 26-08-1884). Namun usul itu nyatanya tidak dituruti. Akibatnya hingga kini nama Yogyakarta dan Jogjakarta, keduanya masih eksis.
De locomotief, 26-08-1884 |
Pada masa lampau, penulisan
nama Yogyakarta tidak hanya dua tiga macam, tetapi sangat banyak ragamnya.
Boleh dikatakan 1001 macam penulisan. Itu semua bersumber dari apa yang
dipikirkan, diucapkan dan ditulis tidak sejalan dengan apa yang diinginkan, didengar
dan dibaca. Bagaimana itu semua terjadi? Mari kita telusuri.
Mataram dan Cartasoera (Peta 1700) |
Kapan Nama Kota Yogyakarta Muncul?
Nama kota Jogjakarta
berasal dari nama kraton Ngajogjakarta Adiningrat. Itu baru dimulai tahun 1755.
Sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, secara historis terbentuknya kota
Yogyakarta dihubungkan dengan kehadiran orang-orang Eropa/Belanda. Dalam hal
ini, tempat kedudukan pemerintahan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda (VOC/Belanda)
menjadi kota utama (hoofdplaat) yang kemudian menjadi ibukota wilayah.
VOC/Belanda mengadopsi nama kota
(ibukota) paling tidak berdasarkan tiga nama situs: nama area penduduk (kampong,
kraton, dll), nama alam (sungai, gunung, dll), dan nama benteng (nama benteng
juga ada yang mengikuti nama dua yang pertama). Dalam pembentukan kota,
VOC/Belanda tidak pernah mengakuisisi area atau pemukiman penduduk. Sebab
penduduk dan pemimpin lokal adalah mitra strategis VOC/Belanda (untuk bekerja
sama). Oleh karena itu, VOC/Belanda memilih tempat tidak jauh dari area pemukiman
penduduk untuk mendirikan pos perdagangan atau benteng (koloni). Dengan pusat
di loji (loge) atau benteng (fort) kota secara perlahan-lahan terbentuk. Lalu
pada gilirannya nama kota terbentuk. Itu yang terjadi dengan kota-kota Batavia,
Semarang, Sourabaja dan Cartasoera atau Soeracarta.
VOC/Belanda mendirikan
loji (loge) di sisi timur jalan antara kraton dan simpang (kelak disebut
Toegoe). VOC/Belanda memperluas area perdagangannya ke wilayah kraton Ngayogyakarta
Adiningrat setelah era baru VOC/Belanda dengan kraton Soeracarta tahun 1754. Di
area loji ini berkembang pasar. Pasar ini semakin berkembang sehubungan dengan
semakin banyaknya orang-orang Tionghoa yang datang dari Semarang. Namun dalam
perkembangannya terjadi pendudukan Prancis tahun 1795. VOC/Belanda yang mulai
melemah dan akhirnya dibubarkan. Kerajaan Belanda mengambil alih VOC/Belanda
sehubungan dengan peralihan dari Prancis ke Belanda dengan membentuk
Pemerintahan Hindia Belanda (1800).
Langkah pertama yang
dilakukan Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai pada era Daendels adalah
memgembangkan pertanian/perkebunan yang sudah ada di seluruh Jawa. Untuk
menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1809 dibangun jalan
utama (Grooteweg). Dari Batavia ke arah barat di Anjer melalui Anke, Tangerang,
Serang. Lalu dari Batavia ke Panaroekan melalui Buitenzorg, Tjiseroa, Baybang,
Sumadang, Chirebon, Tegal, Paccalongan, Semarang, Joana, Banjer, Sidajoe dan
Sourabaija. Akan tetapi pada tahun 1811 terjadi pendudukan Inggris. Kraton Ngajogjakarta
Adiningrat tidak senang dengan kehadiran Inggris dan pemberontakan yang terjadi
dapat dipadamkan Inggris di bawah komando Kolonel Gillespie pada tanggal 20
Juni 1812.
Intensitas hubungan
Eropa/Belanda dengan kraton baru dimulai lagi tahun 1822 dengan menempatkan
seorang Residen di wilayah kraton Ngayogyakarta Adiningrat. Residen pertama
adalah HG Nahuijs. Residen tidak berkedudukan di loji (loge) yang sudah ada
sejak era VOC/Belanda yang berada tidak jauh dari kraton (loji besar). Residen
menempati loji kecil di jalan menuju Magelang (dekat simpang). Pemerintah
Hindia Belanda mendirikan tugu di simpang ini sebagai penanda navigasi yang
disebut Witte Paal (kemudian dikenal sebagai Toegoe). Sementara loji besar
dijadikan sebagai pos pos perdagangan utama.
Eskalasi politik kembali meningkat. Pangeran
Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Residen
menyingkir ke Soeracarta. Perang besar tidak terhindarkan dan terjadilah perang
(Perang Jawa). Perang yang berlarut-larut ini baru berakhir pada tahun 1830
setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro.
Pos perdaganan utama
(loji besar) baru dikembangkan setelah usai Perang Jawa (1825-1830). Loji besar
ini ditingkatkan menjadi benteng besar (fort) yang kemudian dikenal sebagai
Fort Vredeburg. Pada fase DOM ini markas militer tidak berada di benteng
Vredeburg tetapi dibangun di sebelah barat benteng (Pakis). Sementara barak
militer dibangun di belakang benteng. Pada saat ini Pemerintah Hindia Belanda
dipulihkan dengan menempatkan kembali Residen. Rumah/kantor Residen dibangun di
seberang jalan benteng Vredeburg (lihat Peta 1833). Dalam peta ini nama kota telah
diidentifikasi sebagai Djocjocarta.
Peta Yogyakarta (1833) |
Peta tahun 1833
mengindikasikan suatu peta Daerah Operasi Militer (DOM). Dalam peta ini area
sekitar benteng diidentifikasi dengan nama Djocjocarta, suatu nama tempat utama
(hoofdplaat) yang menjadi kedudukan Residen. Nama Djocjocarta diduga kuat
mengambil nama kraton Ngajogjakarta Adiningrat yang diduga telah muncul sejak
era VOC/Belanda. Sejauh ini (1833), nama Yogyakarta sebagai nama suatu kota
atau nama suatu wilayah masih sangat jarang ditemukan. Peta ini adalah salah
satu diantara sumber awal yang mengindikasikan nama Yogyakarta sebagai sebuah
kota.
Identifikasi Yogyakarta
sebagai nama kota atau nama wilayah haruslah dipandang sebagai kepentingan orang
Eropa (Belanda dan Inggris). Sebab pihak kraton tetap menyebut lingkungan
(area) kraton dengan Ngajogjakarta Adiningrat. Dalam hal ini orang Eropa sangat
kesulitan untuk menyebut Ngajogjakarta Adiningrat sebagai penanda suatu tempat.
Orang Eropa menyebut dengan lebih ringkas sesuai yang mereka dengar dan
menuliskannya dalam aksara Latin sebagai Djocjocarta.
Nama Djocjocarta paling tidak sudah
muncul pada era VOC/Belanda tahun 1786 (lihat Leydse courant, 16-02-1787).
Disebutkan kepala pedagang (opper koopman) dan Residen pertama di Djocjocarta
JM van Rhijn cuti ke Belanda. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa
penempatan pertama Residen di Soeracarta terjadi tahun 1753, sementara nama Ngajogjakarta
Adiningrat muncul tahun 1755 sehubungan dengan pemisahan kraton di Mataram.
Besar dugaan yang meringkas nama Ngajogjakarta Adiningrat menjadi Djocjocarta
adalah para pejabat VOC/Belanda di Soeracarta.
Pada saat pendudukan
Inggris (1811-1816) nama Djocjocarta masih terus dilestarikan sebagai nama
wilayah dimana kraton Ngajogjakarta Adiningrat berada. Berdasarkan Almanak 1815
Residen Inggris di Djocjocarta adalah Captain C. Garnham dan Lieutenant E
Taylor sebagai Assistant.
Dalam Almanak 1810 (era Gubernur
Jenderal Daendels) Pemerintahan Hindia Belanda di Pantai Utara dan Timur Jawa
(Noord en Oost-kust) disebut Semarang en Demak (yang meliputi Semarang, Demak,
Tegal, Paccalongan, Japara, Rembang, Soerabaja, Gresik, Pasoerouan dan
Namjoewangi). Nama Surakarta dan Yogyakarta belum disebut. Artinya, bahwa sejak
era VOC/Belanda berakhir tidak ada lagi pemerintahan (Belanda) di Djocjocarta
dan baru kembali ada setelah pendudukan Inggris. Sebagaimana telah disebutkan
di atas pada tahun 1812 terjadi perang antara pihak kraton dengan militer
Inggris (lihat Java government gazette, 01-08-1812).
Setelah Inggris
digantikan kembali oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1816 nama Djocjocarta
tetap dipertahankan, Dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda baru membentuk
kembali pemerintahan di Djocjocarta pada tahun 1822 dengan mengangkat HG
Nahuijs sebagai Residen (lihat Bataviasche courant, 04-01-1823). HG Nahuijs
sendiri sebelumnya adalah Residen di Soeracarta yang ditempatkan pada tahun
1818 (lihat Bataviasche courant, 11-04-1818).
Nahuijs adalah pahlawan Belanda di
Soeracarta dan Djocjocarta. Nahuijs tidak hanya sebagai residen pertama di
Soeracarta dan Djocjocarta pada era Pemerintah Hindia Belanda tetapi juga aktif
dalam Perang Jawa. Dalam penangkapan Pangeran Diponegoro dan perundingan
kembali dengan pihak kraton pasca Perang Jawa peran HG Nahuijs sangat besar
(lihat Algemeen Handelsblad, 04-05-1857). HG Nahuijs adalah seorang tentara
profesional yang berpangkat Luitenant Colonel. Untuk sekadar catatan HG Nahuijs
adalah orang Eropa pertama yang berhasil mencapai puncak (kawah) gunung Merapi tahun
1820 pada saat menjadi Residen Soeracarta. Saat meletus gunung Merapi tanggal
31 Desember 1822 HG Nahuijs sudah ditempatkan di Djocjocarta sebagai Residen.
Pasca Perang Jawa, di
lingkungan kraton Ngajogjakarta Adiningrat telah muncul sebuah kota baru yang
disebut Djocjocarta. Sejak ini nama Djocjocarta baik sebagai nama tempat (kota)
maupun sebagai nama wilayah semakin sering dilaporkan atau diberitakan pada
surat kabar. Penggunaan nama Djocjocarta bersifat tunggal sejak era pendudukan
Inggris. Pada tahun 1826 mulai ada yang mengeja dengan nama Djocjacarta (lihat Nederlandsche
staatscourant, 20-11-1826). Dalam hal ini huruf o diubah menjadi huruf a. Yang menulis
dengan Jocjacarta (tanpa didahului oleh huruf D) mulai muncul pada tahun 1843 (Opregte
Haarlemsche Courant, 19-09-1843).
Pada tahun-tahun selanjutnya
penulisan nama Yogyakarta semakin beragam. Boleh jadi karena pada era tersebut
belum ada aturan baku. Namun demikian, seorang penulis buku geografi
mengingatkan di dalam bukunya Geografische Namen (1907) seharusnya penulisan
nama tempat disesuaikan dengan nama aslinya. Di dalam buku itu disebutkannnya Ngawi
dan Ngandjoeq dalam pelafalan orang Jawa untuk asal kata Awi dan Andjceq. Tapi
penulis ini lupa mengomentari mengapa Ngajogjakarta kemudian harus dikorting
menjadi hanya Jogjakarta.
Penulisan nama Yogyakarta yang
beragam tersebut teridentifikasi sebagai berikut: Djocjocarta, Djocjacarta, Djokdjokarta,
Djokdjocarta, Djokdjakarta, Djokdjacarta, Djokjacarta, Djokjakarta, Djocjokarto,
Djocjocarto dan Djokjokarto. Selain itu nama Yogyakarta ditulis seperti
berikut: Jokjakarta, Jokjacarta, Jogjacarta, Jogjakarta, Jogdjakarta, Jogdjacarta,
Jockjakarta, Jagjakarta, Jogjokarto, Jokjokarto, Meski sudah muncul penulisan Yogyakarta
tetapi masih sangat jarang. Variasi lainny adalah Yogyacarta, Yogjakarta dan Yogdjakarta.
Dari berbagai penulisan yang beragam
tersebut yang paling banyak ditemukan (di atas 10 ribu entri) adalah penulisan
dengan Djokjakarta (70 ribu entri); Jogjakarta (15 ribu entri); dan Djocjakarta
(10 ribu entri). Itu baru satu hal. Hal lainnya adalah penulisan nama Yogyakarta
juga dilakukan dengan cara memisahkan sebagai misal Jogjakarta ditulis dengan
Jogja Karta. Jumlah entri keseluruhan pemisahan ini juga sangat banyak. Namun
ternyata tidak hanya itu saja, penulisan nama Yogyakarta juga dilakukan dengan
cara pemenggalan nama. Sebagai contoh penulisan dengan nama Djokja terdapat 120
ribu entri (sudah termasuk pemisahannya); penulisan dengan nama Jogja terdapat 14
ribu entri.
Penulisan nama Yogyakarta
yang beragam mulai ada yang mengusulkan agar ditulis dengan nama Djokjakarta
untuk menggantikan penulisan Jogjakarta (De locomotief, 26-08-1884), Boleh jadi
usul ini ingin mempertahankan penulisan yang lama yang diawali dengan huruf D
sehubungan dengan semakin populernya penulisan dengan tanpa huruf D
(Jogjakarta). Besar dugaan bahwa penulisa dengan didahului huruf D lebih umum
di Semarang, sebaliknya di wilayah Yogyakarta ditulis dengan tanpa guruf D
(Jogjakarta).
Melihat perimbangan penulisan Djokjakarta
sangat dominan (70 ribu) sementara penulisan dengan Jogjakarta hanya 15 ribu
entri. Boleh jadi alasan ini yang menyebabkan warga Semarang agar penulisan
Jogjakarta diubah menjadi Djokjakarta.
Bataviaasch nieuwsblad, 01-09-1898 |
Dalam perkembangannya, penegasan
penulisan nama Yogyakarta dengan huruf tanpa D (Jogjakarta) diperkuat dari
lingkungan kraton. Dalam suatu kesempatan di hadapan Gubernur Jenderal
sehubungan naik tahta putri Kerajaan Belanda tepat pada ulang tahun yang ke-18.
Sultan membacakan teks tertulis yang kemudian dikutip oleh berbagai surat
kabar. Di dalam teks itu ditulis dengan Ngajogjakarta (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 01-09-1898). Tulisan ini boleh merupakan publikasi pertama dari
kerajaan dalam bentuk teks tertulis dalam aksara Latin.
Penulisan nama Yogyakarta selain
didahului huruf D dan huruf J, pernah muncul penulisan yang didahului dengan
huruf Y yakni Yogyakarta (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 15-08-1894). Penulisan dengan nama Yogyakarta pernah muncul
beberapa kali pada tahun 1894. Namun setelah itu tidak pernah muncul lagi. Penulisan
Yogyakarta serupa ini baru muncul pada tahun 1970an setelah penyesuaian ejaan
ke EYD yang mana huruf j menjadi huruf y. Penulisan Yogyakarta dalam hal ini sudah
barang tentu mengacu pada Jogjakarta.
Pada masa kini tentu
saja penulisan yang benar adalah Yogyakarta. Namun di luar hal yang bersifat
resmi, warga Yogyakarta adakalanya menulis dengan nama lama Jogjakarta. Namun
yang menjadi persoalan mengapa harus memunculkan kembali nama Jogjakarta sementara
di kota lain, misalnya Jakarta sangat jarang kembali dengan penulisan nama lama
Djakarta. Apakah ada hambatan untuk meninggalkan masa lampau seperti halnya
dulu warga Semarang sulit melupakan penulisan nama Yogyakarta yang didahului
dengan huruf D. Cara begini hanya membebani para pencari data dan informasi.
Tidak hanya cukup satu nama entri tetapi harus dua nama entri.
Ada perbedaan antara orang-orang (warga)
Belanda di Semarang dengan kraton yang ingin nama kota ditulis dengan
Djokjakata sementara kraton tetap dengan Ngajogjakarta. Dua pihak memiliki
kepentingan masing-masing. Namun lambat laun secara alamiah yang mengemuka dalam
lebih kompomistis yakni Jogjakarta. Dalam hal ini tidak ditulis dengan
Djokjakarta dan juga tidak dengan Ngajogjakarta. Namun pada masa ini ada
sebagian warga Yogyakarta yang menulis dengan Jogjakarta padahal sudah sejak
lema diformalkan menjadi Yogyakarta.
Persoalan penulisan nama
Yogyakarta bukanlah hal sepele. Sebab konsekuensinya ternyata cukup besar.
Ketika anda belajar sejarah Yogyakarta dengan hanya mengandalkan kata kunci
Yogyakarta ketika melakukan pelacakan data dan informasi di internet (google
atau situs tertentu) maka anda sesungguhnya tidak mendapatkan apa-apa.
Dari persoalan penulisan nama
Yogyakarta yang sangat beragam ini kita belajar bahwa untuk mengenal sejarah
Yogyakarta tidak cukup hanya satu kata Yogyakarta. Kita harus menggunakan kata
kunci yang banyak. Juga perlu memperhatikan persoalan pemisahan dan pemenggalan
kata. Hanya dengan demikian kita dapat meningkatkan reliabilitas dan validitas
data dan informasi dalam penulisan sejarah Yogyakarta. Repot memang, tetapi
harus dilakukan. Itulah yang sedikit pusing dalam memahami sejarah Yogyakarta.
.
.
Pelajaran ini tidak
hanya berlaku untuk Yogyakarta, tetapi juga berlaku untuk kota-kota lain.
Mungkin anda cukup berpikir hanya menggunakan kata kunci untuk sejarah Semarang
yakni Semarang dan Samarang. Akan tetapi
itu ternyata tidak cukup harus menggunakan kata kunci ketika Samarangh. Hal
yang sama juga dengan sejarah Surabaya harus piawai menggunakan kata-kata kunci
lainnya seperti Soerabaja, Soerabaija atau Sourabaja. Tentu saja untuk Bogor
meski tampak seakan kata kunci gembok tunggal, ternyata harus juga menggunakan
kata kunci Inggris yakni Buitenzorg. Selamat belajar sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar