*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Seorang politisi tidak salah menjadi pemain bola. Pemain bola (gibol) juga banyak yang aktif berpolitik. Dalam hal ini tidak semua harus menjadi gibol. Sebab gibol adalah satu hal, sedangkan yang lainnya adalah hal lain. Namun yang jadi masalah adalah mengapa seseorang diberi label yang bukan miliknya. MH Thamrin disebut ‘gibol’. Kenyataannya MH Thamrin tidak pernah terhubung dengan sepakbola. Seharusnya sejarah dilihat apa adanya, sejarah bukan diciptakan. Biarlah MH Thamrin adalah MH Thamrin; dan sepakbola adalah sepakbola.
Seorang politisi tidak salah menjadi pemain bola. Pemain bola (gibol) juga banyak yang aktif berpolitik. Dalam hal ini tidak semua harus menjadi gibol. Sebab gibol adalah satu hal, sedangkan yang lainnya adalah hal lain. Namun yang jadi masalah adalah mengapa seseorang diberi label yang bukan miliknya. MH Thamrin disebut ‘gibol’. Kenyataannya MH Thamrin tidak pernah terhubung dengan sepakbola. Seharusnya sejarah dilihat apa adanya, sejarah bukan diciptakan. Biarlah MH Thamrin adalah MH Thamrin; dan sepakbola adalah sepakbola.
Patung MH Thamrin di Monas |
Namun demikian, MH Thamrin tidak alergi sepakbola. MH
Thamrin memiliki banyak dimensi. Satu dimensi yang tidak dimilikinya adalah
soal sepakbola. Lantas mengapa hal sepakbola dipaksakan kepada MH Thamrin?
Itulah yang menjadi soal. Masalahnya adalah banyak yang mengarang sejarah,
sejarah yang tidak sesuai dengan orangnya. Itu namanya hoaks. Untuk meluruskan cerita-cerita
yang tidak berdasar tersebut dan menjelaskan siapa MH Thamrin, mari kita
telusuri sumber-sumber lama yang otentik dan kredibel.
Untuk menjadi nama
stadion sepakbola tidak harus seorang yang gila bola. Ir. Soekarno sejatinya
bukan orang yang gila bola. Meski demikian, Ir. Soekarno sangat menyadari
perlunya stadion yang megah. Lalu muncullah stadion Ikada tahun 1951. Stadion
Ikada tersebut dibongkar utuk mendirikan monumen nasional (Monas) dan
pembangunan stadion sepakbola di Senayan yang kini disebut Stadion Gelora Bung
Karno (SGBK). Di Padang, stadionnya diberi nama Stadion Haji Agus Salim, meski
Agus Salim sendiri pernah menjadi pengurus PSSI tetapi bukan seorang gila bola.
Untuk stadion di Jakarta, nama MH Thamrin pantas untuk diberi nama stadion,
tetapi jangan pula MH Thamrin lalu disebut gila bola. MH Thamrin adalah MH
Thamrin, sepakbola adalah sepakbola dan gibol adalah gibol. Gibol adalah peminat
sepakbola, orang yang setiap saat membicarakan (dunia) sepakbola.
VIJ dan Stadion: Sesuai Peraturan Daerah (Kota)
Perserikatan sepakbola
Jakarta (Voetbalbond Indonesia Jacatra, disingkat VIJ) didirikan pada tanggal 28
November 1928. Untuk memenuhi kebutuhan lapangan sepakbola bagi VIJ, Iskandar
Brata dan Soekardi menyewa sebidang tanah dari Gemeente (Kotamadya) di Laan
Trivelli pada tanggal 1 Januari 1931 selama 5 tahun. Lahan itu menjadi bagian
rencana aloon-aloon kota yang luasnya 110.000 M2 yang telah diusulkan pemerintah
ke dewan kota tahun 1930 seperti tampak dalam gambar. Proposal ini telah
disetuji dewan dan segera akan dibangun (Bataviaasch nieuwsblad, 16-09-1930).
Bataviaasch nieuwsblad,
16-09-1930. |
Pada sidang Gemeeteraad
tanggal 1 Februari 1932, Iskandar Brata keberatan dengan usulan Kantor B en W
(kantor PU) agar lapangan sepakbola dipindahkan dari pusat kota. Keberatan Iskandar
Brata adalah jika terlalu jauh )dari tempat yang sekarang) penonton akan berkurang.
Alderman (wakil ketua dewan) mendukung BW sebab ada lahan kosong yang berada di
luar area taman yang sekarang. Iskandar Brata kemudian melunak dan setuju dipindahkan
tapi lahan itu harus diberikan secara cuma-cuma (gratis) dan jika lahan itu
dibangun, pemerintah harus juga membangun jalan ke lokasi stadion (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 02-02-1932).
Pada tahun 1934 Iskandar Brata kembali dicalonkan untuk anggota dewan kota.
Dalam pemilihan, Iskandar Brata terpilih (kembali). Ini untuk kali kedua
Iskandar Brata sebagai anggota dewan kota (gemeeteraad).
Pada tahun 1935 muncul kebijakan pemerintah kota bahwa
stadion dimana berada VIJ akan dihapus sebagai tanah yang disewakan (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1935). Ini berarti sewa lahan
stadion VIJ yang akan berakhir lima tahun mau tak mau harus berakhir. Pihak BW
menyarankan untuk mempertimbangkan lahan yang akan dipersiapkan di dekat Petodjo.
Pihak VIJ mengusulkan agar dewan menganggarkan sebesar f2.560 untuk pembangunan
fasilitas.
Bataviaasch nieuwsblad, 16-03-1936 |
Perjuangan Iskandar
Brata akhirnya terwujud. Setelah fasilitas lapangan sepakbola yang baru selesai
di Tjideng Barat, Pemerintah Kota menyerahkan fasilitas tersebut kepada VIJ
yang kini dipimpin Mr. Koesoema Atmadja (Ketua Landraad Batavia). Serah terima
lapangan tersebut dilakukan dalam satu upacara pada hari Sabtu sore (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 16-03-1936). Dalam acara serah terima tersebut turut
hadir Amangkoerat, pengurus PSSI.
Stadion VIJ/PSSI yang baru
yang berada di Tjideng Barat ini telah menambah jumlah stadion di Batavia/Djakarta.
Sebelumnya sejumlah klub (terutama yang berafiliasi dengan VBO/NIVU) telah
memiliki stadion sendiri-sendiri seperti klub Oliveo di Meester Cornelis (kini
Jatinegara) dan klub VIOS di Menteng (dulu homebase Persija tetapi kemudian
dijadikan taman). Stadion VIJ yang diresmikan pada tahun 1935 ini hingga kini
masih eksis di Kelurahan Cideng.
Pada era pengakuan kedaulatan RI
oleh Belanda (1950) pemerintah mulai membangun stadion yang lebih
representatif. Ini sehubungan dengan penyelenggaraan PON yang akan diadakan di
Djakarta pada tahun 1951. Lapangan Deca Park yang menjadi lapangan pacuan kuda
dekat stasion kereta apa Gambir yang sekarang dibangun stadion baru dengan nama
Stadion Ikada. Stadion ini hanya dirancang dan digunakan untuk lima tahun.
Sebab setelah itu akan dibangun stadion yang lebih besar di Senayan yang akan
dibangun sehubungan dengan penyelenggaraan Asian Games (1962). Paralel dengan
pembangunan stadion di Senayan, stadion Ikada dibongkar untuk dijadikan pembangunan
monumen nasional (Monas). Stadion yang terdapat di komplek olahraga Senayan
kelak disebut Stadion Gelora Bung Karno (SGBK).
Ada perbedaan pengertian gila bola (gibol) pada masa
lampau dengan pada masa kini. Pada masa kini, gibol bisa siapa saja. Seorang
penonton sepakbola di rumah atau dimana saya via televisi atau smartphone yang
selalu intens melakukannya dapat dikatakan sebagai gibol. Sudah pasti bahwa
seorang pemain bola dan pengurus sepakbola adalah gibol. Namun dalam hal ini,
MH Thamrin tidak pernah terdeteksi sebagai pemain sepakbola atau sebagai
pengurus sepak bola. Pada masa doeloe seorang dapat dikatakan gibol jika selalu
intens datang langsung ke stadion untuk menontong pertandingan sepakbola. Sebab
saat itu belum ada televisi (yang menyiarkan pertandingan sepak bola). Jadi
sangat tidak mungkin MH Thamrin adalah seorang gibol.
Iskandar Brata adalah
seorang gibol. Iskandar Brata dan MH Thamrin pernah sama-sama di dewan kota.
Saat penyerahan stadion oleh Pemerintah Kota kepada VIJ, MH Thamrin sudah
menjadi anggota Volksraad bersama Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja
Soangkoepon. Tidak ada anggota Volksraad yang gibol saat ini. Anggota dewan
kota yang gibol selain Iskandar Brata di Batavia adalah Dr. Abdoel Hakim
Nasution di Padang, Dr. Radjamin Nasution di Soerabaja dan Abdoel Hakim Harahap
di Medan. Tiga yang disebut terakhir disebut gibol karena selain menjadi pemain
bola juga menjadi pengurus sepakbola. Dr. Abdoel Hakim dan MH Thamrin adalah
hanya dua pribumi yang menjadi anggota dewan yang diangkat menjadi Wakil Wali Kota
(locoburgemesster) di era kolonial Belanda. Pada tahun 1936 Dr. Abdoel Hakim
dan MH Thamrin menjadi besanan: Putra Dr. Abdoel Hakim (Mr. Egon Hakim) menikah
dengan putri jelita MH Thamrin. Dr. Radjamin Nasution kelak menjadi Wali Kota
pertama Kota Soerabaja; sedangkan Abdoel Hakim Harahap menjadi Wakil Perdana
Menteri RI di Jogjakarta dan Gubernur Sumatra Utara yang pertama.
Pengurus VIJ dan pengurus PSSI di era kolonial Belanda
adalah orang-orang gibol. Mereka datang dari berbagai profesi seperti
pengusaha, pejabat pemerintah, dokter, guru, wartawan dan sebagainya. Meski
umur mereka tidak muda lagi, tetapi banyak diantaranya yang masih bermain sepak
bola pada usia tua (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1938). Pada era
kolonial Belanda sepakbola bukanlah kegiatan yang berada di rimba belantara yang
tidak jelas. Memang ada dua federasi sepakbola yakni NIVU dan PSSI. Kedua
federasi ini diakui oleh pemerintah, tetapi FIFA hanya mengakui NIVU. Masih
ingat PSSI vs KPSI?
Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1938 |
Semuanya hidup
berdampingan. Olahraga adalah olahraga, sepakbola adalah sepakbola apapun warna
kulit. Pemerintah netral dalam hal perbedaan diantara stakeholder sepakbola.
Yang dipentingkan pemerintah adalah apakah dari NIVU maupun PSSI ada pemasukan
dalam bentuk retribusi atau pajak. Visi misi NIVU dan PSSI ada perbedaan tetapi
dalam menjalankan program masing-masing keduanya kerap bekerja sama. Memang
pemain-pemain di klub PSSI hampir semuanya pribumi, tetapi pemain-pemain di
klub-klub NIVU seperti di Batavia (Oliveo dan VIOS) jumlah pemain pribumi juga
sangat banyak. Tim PSSI dan Tim NIVU bahkan kerap melakukan pertandingan.
Sepakbola: Bukan Alat Perjuangan, Tetapi Alat Pemersatu
Sepakbola adalah alat mempersatukan bangsa, tetapi bukan
alat perjuangan bangsa. Permainan sepakbola adalah olahraga untuk tujuan
kesehatan yang dapat dipertandingkan (game) tetapi bukan untuk perang yang
dapat mencederai lawan atau membunuh musuh. Kompetisi dalam sepakbola adalah
bersaing untuk menang (juara) di atas pondasi jiwa dan raga yang sehat
(sportivitas).
Tidak ada dua tim yang bertanding atas dasar permusuhan atau pada saat
situasi dan kondisi perang. Pertandingan sepakbola terjadi dalam suasana
kerjasama atau situsi damai. Karena itulah ada wasit. Jika kondisi dalam
situasi permusuhan atau perang, maka pertandingan sepakbola tidak (akan) dapat
dilangsungkan, paling tidak salah satu tidak hadir (WO). Hal ini yang
menyebabkan tidak pernah terjadi pertandingan antara Tim Indonesia dengan Tim
Israel. Pada era kolonial Belanda, PSSI dan NIVU berada dalam koridor
kerjasama. Kerjasama ini diperkuat dalam suatu agreement (butir-butir agreement
lihat De Indische courant, 30-01-1937). Bentuk-bentuk kerjasama diwujudkan
dalam bentuk pertandingan Tim PSSI vs Tim NIVU. Ketika H Agus Salim dan AM
Sangaji serta kawan-kawan membuat kelompok oposisi di tubuh PSSI dalam
hubungannya dengan agreement PSSI dan NIVU yang dibuat, justru kelompok oposisi
ini dikeluarkan dari kepengurusan PSSI. Dalam hal ini PSSI adalah alat
pemersatu diantara orang-orang pribumi yang memiliki visi dan misi yang sama. Situasi
dan kondisilah yang membuat PSSI sulit melakukan kerjasama dengan NIVU, yakni
kerjasama yang terkandung di dalam filosofi olahraga itu sendiri.
Pilihan yang diambil MH
Thamrin dalam mempersatukan bangsa adalah organisasi-organisasi lainnya, tetapi
bukan organisasi olahraga (sepakbola). Organisasi itu adalah organisasi
kebangsaan lainnya apakah organisasi Kaoem Betawi atau organissi PPPKI atau
organisasi politik (Parindra). Jika organisasi sepakbola, seperti yang
dilakukan Iskandar Brata dan Koesoema Atmadja, maka itu akan berpusat di
Petodjo/Tjideng Barat, tempat dimana VIJ bermarkas. Organisasi kebangsaan, yang
mana peran MH Thamrin sangat penting, itu akan berpusat di Gang Kenari. Jika
stadion VIJ di Petodjo/Tjideng Barat adalah hanya pusat persatuan bangsa (di
bidang olahraga), di Gang Kenari tidak hanya pusat persatuan bangsa, juga
menjadi pusat perjuangan bangsa. Di Gang Kenarilah seharusnya MH Thamrin
diposisikan, bukan di stadion VIJ Petodjo/Tjideng Barat.
Pemerintah menyediakan fasilitas
umum untuk digunakan publik. Tidak hanya sekolah, rumah sakit tetapi juga
lapangan. Fasilitas-fasilitas itu dapat digunakan masyarakat atau disewa oleh
suatu perkumpulan. Untuk klub atau perkumpulan sepak bola yang bonafit dapat
membangun stadionnya sendiri, tetapi sebagai unit usaha juga dikenakan pajak
bangunan. Pemerintah tidak menyediakan fasiltas untuk kemasyarakatan
(societeit), tetapi societeit sendiri yang mambangun fasilitasnya. Pada bulan
September 1927, Parada Harahap, pemilik surat kabar Bintang Timoer yang juga
sebagai sekretaris Sumatranen Bond menggagas perlunya persatuan diantara
oraganisasi-organisasi kebangsaan yang lalu kemudian diadakan pertemuan di
rumah Husein Djajadiningrat. Hasil keputusan dibentuk organisasi supra
kebangsaan yang diberinama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan
Indonesia disingkat PPPKI. Di dalam rapat yang juga turut dihadiri Ir. Soekarno
(PNI), Dr. Soetomo (Boedi Oetomo) secara aklamasi mengangkat MH Thamrin (Kaoem
Betawi) sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Agenda pertama
kepengurusan PPPKI adalah membangun gedung kantor dan menyelenggarakan kongres
PPPKI pada tahun 1928 (yang kemudian terintegrasi dengan kongres pemuda).
Parada Harahap yang juga ketua pengusaha pribumi Batavia (semacam Kadin pada
masa ini) menggalang dana untuk pembangunan gedung kantor PPPKI. Dalam hal ini,
MH Thamrin menyediakan lahan miliknya untuk pertapakan gedung yang berlokasi di
Gang Kenari. Di gedung PPPKI gang Kenari inilah Parada Harahap dan MH Thamrin
berkantor, suatu gedung yang menjadi pusat pergerakan dan perjuangan bangsa.
Gedung ini masih eksis hingga ini dan dikenal sebagai Gedung MH Thamrin.
Gang Kenari adalah pusat
perjuangan bangsa Indonesia. Disinilah awalnya persatuan seluruh bangsa
Indonesia dilembagakan, ditumbuhkembangkan dan diperkuat satu sama lain oleh
berbagai elemen bangsa Indonesia. MH Thamrin sadar dan mengetahui risiko di
atas lahannya ditempatkan suatu pusat perjuangan bangsa Indonesia. Parada
Harahap, sebagai kepala kantor hanya memasang tiga foto/lukisan di kantor PPPKI
ini, yakni: Soeltan Agoeng, Ir. Soekarno dan Mohamad Hatta. Dua tokoh pemersatu
bangsa ini saling bersinergi.
Parada Harahap sudah sangat kenal
dengan dua pemuda revolusioner Soekarno dan Mohamad Hatta. Parada Harahap yang
masih berumur 29 tahun adalah seorang pemuda revolusioner pada usia belia sudah
berani mendirikan dan sekaligus editor surat kabar yang diberi nama Sinar
Merdeka di Padang Sidempoean (1919-1922). Dengan modal inilah Parada Harahap
yang pernah membongkar kasus ponalie sanctie di Medan tahun 1919 pada tahun
1923 hijrah ke Batavia dengan mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Pada tahun
1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi pertama dengan merekrut WR
Supratman. Setelah memahami situasi dan kondisi di Batavia, pada tahun 1926,
Parada Harahap mendirikan surat kabar yang lebih revolusioner yang diberi nama
Bintang Timoer. Ir. Soekarno yang baru lulus THS di Bandoeng, kerap mengirim
tulisan ke Bintang Timoer. Sejak itulah keduanya memiliki kimia yang sama dalam
perjuangan bangsa. Seperti halnya Soekarno, Parada Harahap juga tidak memiliki
hutang kepada (pemerintah) Hindia Belanda. Parada Harahap hingga tahun 1926
sudah belasan kali masuk bui dengan tuduhan delik pers. Parada Harahap sudah
tidak ada takutnya lagi untuk berjuang demi bangsa Indonesia. Mohamad Hatta
yang kini (sejak 1924) menjabat sebagai Perhimpoenan Indonesia di Belanda sudah
dikenal Parada Harahap sejak 1919 ketika kongres pertama Sumatranen Bond di
Padang. Parada Harahap saat itu adalah ketua delegasi pemuda dari Tapanoeli dan
Mohamad Hatta sebagai aktivis muda di Kota Padang. Pembina kongres Sumatranen
Bond di Padang saat itu adalah Dr. Abdoel Hakim yang menjabat sebagai anggota
dewan kota (gemeenteraad) Padang. Dr. Abdoel Hakim juga ada Ketua NIP wilayah
Pantai Barat Sumatra. Ketua NIP Pusat adalah Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Dr.
Abdoel Hakim dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo adalah satu kelas di STOVIA dan
sama-sama lulus tahun 1905. Dr. Abdoel Hakim Nasution kelak menjadi besan MH
Thamrin (kedua tokoh nasionalis ini kebetulan pernah sama-sama menjabat sebagai
wakil wali kota atau locoburgemeester). Yang mempertemukan putra Abdoel Hakim
dan putri MH Thamrin sudah barang tentu adalah Parada Harahap.
MH Thamrin (Ketua Kaoem
Betawi) dan Parada Harahap (Sekretaris Sumatranen Bond) sangat sadar mereka
berdua datang dari kaum minoritas, karena itu mereka berdua sangat bersemangat
untuk membersarkan organisasi PPPKI. Sebab hanya dengan mempersatukan semua
organisasi kebangsaan ke dalam wadah PPPKI, nama mereka menjadi sangat berarti
di dalam berjuang untuk melawan praktek kolonialisme Belanda. Hanya dengan
bendera PPPKI mereka berdua dapat menunjukkan visi misi dalam berbangsa.
Sumatranen Bond di Sumatra memang dominan tetapi di Batavia, organisasi
Sumatranen Bond dan Kaoem Betawi hanyalah minoritas. Boedi Oetomo karena
dominan di Jawa, tidak merasa perlu ikut bergabung dengan PPPKI (yang bervisi
nasional). Soekarno dan Soetomo sudah lama tidak terkait dengan Boedi Oetomo
(yang tetap mengusung visi kedaerahan). Pasoendan sudah beberapa waktu
membentuk diri dari Boedi Oetomo. Soekarno dan Soetomo kebetulan berjiwa
revolusioner dan memiliki visi Indoenesia.
Gedung dan Patung MH Thamrin di Gang Kenari |
Menjelang Kongres PPPKI
1928, Parada Harahap dan Soekarno membidani kelahiran (kembali) partai politik.
Dalam suatu pertemuan (rapat) umum di Bandoeng yang juga dihadiri Parada
Harahap dari PPPKI, Ir. Soekarno mengumumkan organisasi kebangsaan Perhimpoenan
Nasional Indonesia (PNI) berubah menjadi organisasi politik dengan nama Partai
Nasional Indonesia (PNI). Dengan demikian dalam Kongres PPPKI akan turut
diperkaya dengan partai politik yang baru. Parada Harahap lalu menunjuk Dr.
Soetomo untuk menjadi ketua panitia Kongres PPPKI.
Sehubungan dengan Kongres PPPKI
bulan September 1928, kegiatan kongres pemuda diintegrasikan yang akan diadakan
sebulan kemudian pada bulan Oktober 1928. Panitia Kongres Pemuda lalu ‘dibentuk’
oleh Parada Harahap dan Dr. Soetomo. Untuk ketua panitia diinisiasi Soegondo
yang diawali dengan pembentukan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia
(PPPI). Soegondo mahasiswa RHS menjadi ketua PPPI dan juga akan menjadi Ketua
Panitia Kongres Pemuda. Dr. Soetomo sangat dekat dengan Soegondo. Untuk
sekretaris diinisiasi dua mahasiswa RHS yakni Mohamad Jamin dan sebagai
bendahara Amir Sjarifoedin Harahap. Kedua mahasiswa ini adalah ‘anak buah’
Parada Harahap yang mana Mohamad Jamin dari Sumatranen Bond dan Amir
Sjarifoeddin dari Bataksch Bond. Untuk sponsor dua kongres ini yakni Kongres
PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) adalah para pengusaha yang dipimpin
oleh Parada Harahap yang juga sebagai Ketua Kadin Batavia. Satu lagi yang diinisiasi
di dalam Kongres Pemuda walau bukan berasal dari organisasi pemuda adalah musisi
WR Supratman (anak buah Parada Harahap di kantor berita Alpena). Last but not
least: Untuk menyemarakkan dua kongres ini, Parada Harahap, pemiliki surat
kabar Bintang Timoer menerbitkan edisi Semarang (untuk Midden Java) dan edisi
Soerabaja (untuk Oost Java).
Pada saat Kongres PPPKI
perwakilan Minahasa dan Ambon tidak hadir. Tidak diketahui secara jelas mengapa
tidak hadir. Boedi Oetomo meski di dalam statuta masih berbasis kedaerahan
(Jawa dan Madura) tetapi mengirim delegasi yang diwakili oleh Boedi Oetomo cabang
Batavia yang dipimpin oleh Dr. Sardjito. Dalam kongres PPPKI yang dilaksanakan
di Gang Kenari Ir. Soekarno dan Mohamad Hatta diundang untuk berbicara. Namun
Mohamad Hatta tidak bisa hadir karena tugas tesis tetapi mengirim utusan dari
Perhimpunan Indonesia Ali Sastroamidjojo. Hasil keputusan Kongres PPPKI yang
penting adalah perubahan platform PPPKI dari berbasis organisasi kebangsaan
menjadi berbasis organisasi politik. Hasil kongres juga memutuskan mengangkat
Dr. Soetomo sebagai ketua yang baru. Keputusan lainnya adalah kongres
berikutnya akan diadakan di Solo pada tahun 1929.
Sementara itu dalam Kongres Pemuda
yang dilaksanakan tidak jauh dari Gang Kenari di Jalan Kramat, menghasilkan
keputusan yang dituangkan dalam Putusan Kongres yakni memperkuat persatuan
dengan ikrar Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia. Satu hal yang
penting lainnya pada saat Kongres Pemuda tersebut diperdengarkan lagu Indonesia
Raya yang dibawakan oleh WR Supratman.
Lantas mengapa Parada
Harahap dan Dr. Soetomo menjadi begitu dekat satu sama lain. Sebagaimana
sebelumnya Parada Harahap dengan Mohamad Hatta saling kenal pada saar kongres
Sumatranen Bond di Padang pada tahun 1919. Saat itu Parada Harahap, usia 20
tahun pendiri dan editor surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean menjadi
pimpinan utusan dari Tapanoeli. Parada Harahap saling kenal dengan Ir. Soekarno
karena surat kabar Bintang Timoer di Batavia pimpinan Parada Harahap intens
memberitakan kiprah Soekarno di Bandoeng, sebaliknya Soekarno kerap mengirim tulisan
dari Bandoeng ke Bintang Timoer. Lantas bagaimana dengan kedekatan Parada
Harahap dan Dr. Soetomo? Ceritanya sangat panjang, tetapi kronologisnya dapat
diringkas sebagai berikut:
Sebagaimana Dr. Abdoel Hakim dan Dr.
Andul Karim satu kelas dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo sewaktu kuliah di
Docter Djawa School dan sama-sama lulus tahun 1905, di era STOVIA (nama baru
Docter Djawa School) Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution sama-sama satu kelas
dan lulus tahun 1912. Sebelumnya mereka berdua adalah sama-sama aktivis di
kampus STOVIA. Soetomo adalah aktif di organisasi kampus STOVIA, Radjamin
Nasution aktif sebagai pemain sepakbola STOVIA. Klub sepakbola STOVIA diberi
nama Docter Djawa Clubvoetbal (mengikuti nama STOVIA terdahulu).
Docter Djawa Club yang boleh
dikatakan klub pribumi berkompetisi di Bataviasch Voetbalbond (DVB). Ketika
jeda kompetisi, klub-klub lain di DVB melakukan pramusim ke Jawa, Docter Djawa
Club sebagai satu-satunya klub pribumi di DVB justru melawat pada pramusim ke
Medan untuk melawan klub Tapanoeli Voetbal Club. Kapten Docter Djawa Club ke
Medan adalah Radjamin Nasution. Tapanoeli Voetbal Club adalah klub yang
dibentuk anak-anak asal Mandailing en Angkola di Medan yang tergabung dalam
organisasi kebangsaan Sjarikat Tapanoeli. Sponsor Docter Djawa Club adalah NV
Sjarikat Tapanoeli, suatu organ usaha syarikat.
Pada bulan Mei 1908, Soetomo dkk di
STOVIA membentuk syarikat baru yang diberinama Boedi Oetomo. Boleh jadi Soetomo
melalui Radjamin Nasution melihat sukses Sjarikat Tapanoeli yang mampu bersaing
dengan orang-orang Tionghoa di Medan. Sjarikat Tapanoeli didirikan oleh Saleh
Harahap gelar Dja Endar Moeda bersama Sjech Ibrahim di Medan. Dja Endar Moeda
sebelumnya di Padang surat kabarnya Pertja Barat terkena delik pers dan dihukum
cambuk dan diusir dari Padang oleh Belanda. Dja Endar Moeda sebelumnya adalah
pendiri organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang tahun 1900 dan menjadi
direktur pertama. Medan Perdamaian adalah organisasi kebangsaan (Indonesia)
pertama.
Jelang kongres Boedi Oetomo yang
pertama di Djogjakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1980, diketahui visi misi Boedi
Oetomo telah bergeser menjadi visi kedaerahan sehubungan dengan terkooptasinya
Boedi Oetomo oleh para golongan senior (yang umumnya para pengeran/bupati).
Para pemuda.mahasiswa di Boedi Oetomo yang sejatinya adalah penggagas dan
pendiri mulai tergeser oleh para senior. Soetomo yang bervisi nasional tidak berdaya
melihat perubahan visi Boedi Oetomo yang begitu cepat. Di Belanda, para
mahasiswa yang mendengar dinamika yang terjadi di Boedi Oetomo, atas prakarsa
Soetan Casajangan membentuk organisasi nasional dengan basis persatuan nasional
dengan nama Indisch Vereeniging. Sebagai presiden secara aklamasi mengangkat
Soetan Casajangan dan Raden Soemitro sebagai sekretaris dan bendahara Husein
Djajaningrat serta Dr. Abdoel Rivai sebagai komisaris. Soetan Casajangan adalah
adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean.
Soetan Casajangan setelah menjadi guru selam 13 tahun di Padang Sidempoean
melanjutkan studi ke Belanda tahun 1905. Saat pendirian Indisch Vereeniging 1908
jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sebanyak 20 orang. Sejak Oktober inilah
Boedi Oetomo mundur menjadi berbasis visi kedaerahan (sesuai statutanya hanya
terbatas di Jawa dan Madura) dan sejak Oktober ini pula Indisch Vereeniging
tetap berbasis dan mengusung visi nasional. Sejak kongres Boedi Oetomo ini pula
Soetomo tidak banyak terlibat (lagi) di Boedi Oetomo.
Pada tahun 1912 Soetomo dan Radjamin
Nasution lulus dari STOVIA dan mendapat gelar dokter. Uniknya, Dr. Radjamin
Nasution setelah di bea cukai (bidang kesehatan) di Batavia, pemerintah
menempatkannya di bea dan cukai Soerabaja. Sebaliknya, Dr. Soetomo ditempatkan
di Tandjong Morawa, Deli. Kedua mantan aktivis ini sama-sama melihat kenyataan
di masyarakat. Dr. Radjamin Nasution melihat buruh pelabuhan dalam kondisi
menyedihkan. Sebagai dokter, Radjamin Nasution turut membantu peningkatan
kesehatan buruh pelabuhan. Sementara itu, di Dr. Soetomo di Tandjong Morawa
melihat penederitaan kuli asal Jawa di perkebunan-perkebunan. Dr. Soetomo
sebagai dokter pemerintah di Tnadjong Morawa mulai melakukan advokasi kepada
kuli-kuli asal Jawa.
Dr. Soetomo cukup lama di Deli dan
dipindahkan ke Jawa tahun 1914. Ketika Dr. Soetomo tiba di Batavia hatinya pilu
dan sedikit marah. Dr. Soetomo meminta ketua Booedi Oetomo cabang Batavia, Dr.
Sardjito untuk dilakukan rapat umum. Dr. Soetomo dalam pidatonya berapi-api.
Dr. Soetomo menyatakan: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri’. Dr. Soetomo
melanjutkan, ‘Kita tidak bisa hidup sendiri, bangsa kita Jawa tidak bisa
terkungkung, kuli-kuli asal Jawa sangat menderita di Deli atas perlakukan yang
tidak adil dari para planter’. Dr. Soetomo melanjutkan: ‘Banyak orang Tapanoeli
yang pintar, mereka ada dimana-mana...kita tidak bisa hidup sendiri lagi’.
Pidato ini tentu dicatat intel/polisi Belanda sebab dalam rapat umum ini turut
hadir pejabat-pejabat pemerintah. Mengapa Dr. Soetomo bersemangat dengan
nasioalis. Sjarikat Tapanoeli di Medan, idem dito Medan Perdamian di Padang
memiliki visi nasional, apalagi Indisch Vereeniging di Belanda. Apa yang
diinginkan Dr. Soetomo di dalam rapat umum Boedi Oetomo di Batavia adalah bahwa
menangani permasalahan kuli Jawa di Deli harus dilakukan secara nasional. Boedi
Oetomo tidak bisa berpangku tangan soal poenali sanctie perkebunan-perkebunan di
Deli.
Sementara itu, pada tahun yang sama
(1914) Radjieoen Harahap gelar Soetan Casajangan, pendiri Indisch Vereeniging
pulang ke tanah air setelah selesai studi dan melakukan berbagai kegiatan di
Belanda. Setelah tiba di tanah air, Soetan Casajangan ditempatkan sebagai guru
di sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock. Sembari mengajar di Soetan
Casajangan membentuk organisasi masyarakat di Fort de Kock dan di Padang
Sidempoenan. Oleh karena di Padang Sidempoean tidak ada media, Soetan
Casajangan pada tahun 1915 mendirikan surat kabar berbahasa Batak di Padang
Sidempoean yang diberi nama Poestaha. Soetan Casajangan di Belanda pernah
menjadi editor suratkabar.majalah Bintang Hindia dan Bintang Perniagaan.
Pengalaman ini yang diintroduksinya di kampung halamannya di Padang Sidempoean.
Pada tahun 1917 (tiga tahun sepulang
Dr. Soetomo dari Deli), seorang krani (juru tulis di perusahaan perkebunan di
Deli), masih belia, umur 18 tahun membongkar kasus poenalie snactie. Laporannya
dikirimkannya ke surat kabar Benih Merdeka yang terbit di Medan. Editor Benih
Merdeka tidak berani menerbitkannya. Namun setelah lama, pada bulan April 1918
Benih Merdeka mengolah tulisan yang dikirim krani tersebut ke dalam beberapa
artikel. Artikel-artikel yang dimuat Benih Merdeka ditanggapi secara dingin di
Medan karena kasus itu dianggap sebagian orang sebagai hal yang umum dan
sebagian yang lain menganggap itu sebagai kabar burung. Namun menjadi berbeda
ketika artikel-artikel tersebut dirilis kembali oleh surat kabar Soeara Djawa
ke dalam beberapa edisi pada bulan Juni 1918. Heboh di Jawa. Semua mata melihat
ke Deli. Lalu pemerintah pusat di Batavia bereaksi dan dilakukan penyelidikan.
Satu yang pasti pasca penyelidikan, krani yang menjadi sumber pemberitaan itu
dipecat sebagai krani dan menjadi menganggur. Krani yang dipecat itu bernama
Parada Harahap.
Saat heboh kasus pembongkaran kasus
ponalie sanctie di Deli, Dr. Soetomo tengah berdinas di Palembang. Tentu saja
Dr. Soetomo membaa berita kasus kuli di Deli ada yang membongkar, sumringah.
Mungkin Dr, Soetomo dalam hati berkata: ;Apa kubilang, kita (di Boedi Oetomo)
tidak bisa hidup sendiri’. Sudah barang tentu Dr. Sardjito, mantan ketua Boedi
Oetomo cabang Batavia yang bekerja di lembaga Pasteur di Batavia berpikiran
sama di dalam hati: ‘Benar yang dulu dikatakan Dr. Soetomo, kita tidak bisa
hidup sendiri’. Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito adalah dua sarjana yang
berseberangan dengan golongan senior. Boedi Oetomo cabang Batavia adalah
satu-satunya cabang Boedi Oetomo yang bersikap kritis di dalam tubuh Boedi
Oetomo. Entah ada hubungannya dengan kasus poenali sanctie yang dibongkar
Parada Harahap, yang jelas Dr. Soetomo dan Dr. Satdjito ‘diasingkan’ ke Belanda
yakni dengan diberikan fasilitas untuk melanjutkan studi ke Belanda agar keduanya
lebih jinak. Dr. Soetomo dan Dr. Satdjito berangkat ke Belanda tahun 1919.
Di Deli, Parada Harahap yang tengah
menganggur akibat dipecat dari pekerjaan sebagai krani, mulai menyingsingkan
lengan baju. Dari Soengai Karang di Deli hijrah ke Medan pada kahir tahun 1918
untuk melamar menjadi wartawan Benih Merdeka. Anehnya, bukannya diterima
sebagai wartawan, malahan Parada Harahap diminta pengurus untuk menjadi editor
Benih Merdeka. Parada Harahap siap lahir batin. Sejak Parada Harahap ikut
bergabung dengan Benih Merdeka, surat kabar-surat kabar berbahasa Belanda kerap
mengutip berita-berita Benih Merdeka juga pendapat-pendapat dari Parada
Harahap. Surat kabar berbahasa Belanda juga seakan berada berdiri di belakang
inisiatif Parada Harahap. Oleh karena pengusaha-pengusaha perkebunan di Deli
adalah gurita, maka enath bagaimana Benih Merdeka dikenakan pasal delik pers
dan akhirnya dibreidel. Parada Harahap kemudian pindah menjadi editor di surat
kabar Pewarta Deli. Surat kabar ini adalah organ Sjarikat Tapanoeli yang
didirikan pada tahun 1909 di bawah NV Sjarikat Tapanoeli dengan editor Dja
Endar Moeda. Namun, Parada Harahap tidak lama di Pewarta Deli dan pulang
kampung ke Padang Sidempoean. Pada tahun 1919 Parada Harahap mendirikan surat
kabar di Padang Sidempoean yang diberi nama Sinar Merdeka. Boleh jadi Parada
Harahap sudah saatnya benih merdeka ditumbuhkembangkan menjadi Sinar Merdeka.
Di Padang Sidempoean. Parada Harahap merangkap sebagai editor surat kabar
Poestaha yang berubah menjadi mingguan. Poestaha didirikan Soetan Casajangan
pada tahun 1915.
Di Belanda, Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito
selain tekun belajar juga mulai aktif ikut di dalam Indisch Vereeniging. Di
dalamnya sudah ada tokoh-tokoh radikal yang dapat dikatakan ‘anak buah’ Soetan
Casajangan. Mereka itu antara lain Drh. Sorip Tagor Harahap, Todoeng Harahap
gelar Soetan Goenoeng Moelia, Dahlan Andoellah dan Tan Malaka. Mereka inilah
yang di tahun 1917 dalam kongres mahasiswa Hindia yang diketuai oleh van Mook (Indo,
Tionghoa dan pribumi) mengusulkan nama Hindia Belanda diganti dengan nama
Indonesiache. Untuk sekadar catatan: kelak Drh. Sorip Tagor Harahap dikenal
sebagai dikter hewan pertama Indonesia yang juga adalah kakek buyut Inez dan
Risty Tagor (artis) dan Deisti Astriani Tagor (istri Setua Novanto); Soetan
Goenoeng Moelia (Menteri Pendidikan RI yang kedua setelah Ki Hadjar Dewantara);
Dahlan Andoellah (Wali Kota Djakarta pertama); dan Tan Malaka (tokoh politik
terkenal); serta van Mook (Letnan Jenderal NICA/Belanda dalam perang
kemerdekaan RI).
Ketika Indisch Vereeniging dipimpin
oleh Dahlan Abdoellah tahun 1917/1918 organisasi semakin radikal. Hal ini
mengikuti perubahan dalam eskalasi internasional maupun eskalasi politik di Hindia
Belanda. Pada tahun 1922 Dr. Soetomo menjadi ketua Indisch Vereeniging. Pada
tahun ini nama Indisch Vereeniging diubah namanya menjadi Indonesiasche
Vereeniging. Pada tahun 1924 kepemimpinan dilanjutkan oleh Mohamad Hatta yang
kemudian mengubah nama Indonesiasche Vereeniging menjadi sepenuhnya nama
Indonesia dengan nama Perhimpoenan Indonesia (disingkat PI). Pada tahun ini (1924)
Dr. Soetomo kembali ke tanah air dan lalu mendirikan studieclub (Klub Studi) di
Soerabaja. Klub studi ini adalah klub studi pertama di Hindia Belanda yang
dibentuk untuk menerjemahkan situasi dan kondisi ketidak adilan masyarakat pribumi
Indonesia dan menyusun rekomenfasi-rekomendasi dalam peningkatan kehidupan
masyarakat. Klub ini sedikit mendapat resistensi dari para tokoh-tokoh di
Soerabaja yang masih berkiblat ke Boedi Oetomo. Dr. Soetomo diharapkan pemerintah
menjadi jinak, malahan sepulang dari Belanda justru menjadi lebih radikal dan
bahkan lebih intens mengkritisi Boedi Oetomo. Inilah yang menjadi pangkal
adanya resistensi ketika studieclub dididirkan di Soerabaja.
Pada tahun 1924 Parada Harahap
adalah pemimpin dan editor surat kabar Bintang Hindia di Batavia. Surat kabar
ini didirikan pada tahun 1923 setelah Parada Harahap hijrah dari Padang
Sidempoean ke ibukota Batavia. Parada Harahap awalnya bersama Dr. Abdoel Rivai
mengelolanya, tetapi kemudian Dr, Abdoel Rivai yang sudah mulai menua lebih
memilih istirahat. Bintang Hindia adalah majalah dua mingguan yang dulu pernah
terbit di Belanda yang sirkulasinya di Hindia. Yang pernah menjadi editor
Bintang Hindia, selain Dr. Abdoel Rivai adalah Soetan Casajangan. Pada tahun
1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi pertama yang diberi nama
(singkatan) Alpena. Parada Harahap merekrut WR Supratman dari Bandoeng sebagai
salah satu wartawannya yang mana WR Soepratman tinggal di rumah Parada Harahap.
Pada tahun 1926 Parada Harahap
mendirikan surat kabar baru yang lebih radikal, meniru platform surat kabarnya
dulu Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dengan nama Bintang Timoer. Nama ini
boleh jadi dipilih untuk meninggalkan Bintang Hindia di barat (Belanda) dan
berorientasi ke bintang timur di Jepang. Saat itu sudah ada anggapan bahwa
kemajuan di negara Belanda tidak ada apa-apanya lagi jika dibandingkan dengan
kemajuan yang pesat di Jepang. Pada tahun ini juga (1926) Ir. Soekarno lulus
dari THS Bandoeng. Mengikuti langkah Dr. Soetomo di Soerabaja, Ir. Soekarno dan
kawan-kawan di Bandoeng mendirikan studieclub. Pada tahun-tahun inilah kiprah
Ir. Soekarno mulai terlihat dan diliput oleh surat kabar Bintang Timoer. Parada
Harahap juga mulai mengundang Ir. Soekarno untuk mengirim tulisan ke Bintang Timoer.
Beberapa bulan kemudian di Batavia juga didirikan studieclub yang didalamnya
termasuk Mr. Dahlan Abdoellah dan Dr. Sardjito. Semakin diperbanyaknya jatah
anggota dewan kota untuk pribumi di berbagai kota seperti Batavia, Soerabaja,
Bandoeng, Medan dan Padang, para mantan aktivis mahasiswa dan aktivis
pergerakan juga banyak yang mulai terjun ke area politik untuk bersaing dalam
perebutan menjadi anggota dewan kota. Di Batavia tiga anggota dewan kota yang
terpilih dan namanya sudah terkenal adalah MH Thamrin, Mr. Dahlan Abdoellah dan
Dr. Sardjito. Untuk sekadar catatan: kelak Dr. Sardjito lebih dikenal sebagai
Rektor UGM pertama). Di Soerabaja, Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution juga
mulai merintis jalan ke dewan kota; Di Padang, tokoh pergerakan NIP (Dr, Tjipto
M) yakni Dr. Abdoel Hakim Nasution semakin menguat di dewan kota. Di Medan juga
para aktivis merintis jalan ke dewan kota seperti Abdoel Hakim Harahap dan
jurnalis senior Abdoellah Lubis (editor Pewarta Deli). Catatan: kelak Abdoel
Hakim Harahap lebih dikenal sebagai Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta dan
Gubernur Sumatra Utara pertama); dan Dr. Abdoel Hakim Nasution menjadi besan
dari MH Thamrin.
Pada tahun 1927, sang revolusioner,
setelah melalui rintangan di Benih Merdeka (di Medan), Sinar Merdeka (di Padang
Sidempoean) dan Bintang Timoer (di Batavia), Parada Harahap yang telah memiliki
sejumlah media dan ketua pengusaha pribumi Batavia mempelopori diperkuatnya
persatuan dan dibentuknya kesatuan. Lalu, lahirlah PPPKI (Permoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia) yang diadakan di rumah Prof.
Husein Djajadiningrat yang juga turut dihadiri oleh Mr. Mangaradaja
Soangkoepon, Mr. Soetan Casajangan dan Dr. Abdoel Rivai. Keempat nama terakhir
adalah pendiri dan pengurus Indisch Vereeniging di Belanda. Dalam hal ini, dua
tokoh muda, Parada Harahap dan MH Thamrin dikawal oleh tokoh-tokoh senior
alumni Belanda.
Last but not least:
Dalam pertemuan di rumah Prof. Huesin Djajadiningrat antara lain hadir Kaoem
Betawi diwakili oleh MH Thamrin; Sumatranen Bond diwakili Parada Harahap; PNI
diwakili oleh Ir. Soekarno; dan Boedi Oetomo ‘diwakili’ oleh Dr. Soetomo. Dalam
hal ini sejatinya, Dr. Soetomo tidak sepenuhnya mewakili Boedi Oetomo, karena
Boedi Oetomo masih nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada. Dr. Soetomo dan
Dr. Radjamin Nasution datang dari Soerabaja sebagai bagian dari tokoh
studieclub. Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution sudah merintis organisasi
kebangsaan yang baru yang disebut Persatoean Bangsa Indonesia (PBI). Lewat PBI
kemudian Dr. Radjamin Nasution terpilih sebagai anggota dewan kota di
Soerabaja.
Sejak pembentukan PPPKI
inilah Parada Harahap dan Dr. Soetomo mulai saling kenal, lebih-lebih diperkuat
oleh Dr. Radjamin Nasution. Parada Harahap
dan Dr. Radjamin Nasution kebetulan sama-sama gibol. Sedangkan Parada
Harahap dan Dr. Soetomo adalah dua insan yang saling tidak kenal di Deli pada
era waktu yang berbeda memiliki visi misi yang sama. Dr. Soetomo selama di Deli
(1912-1914) mengadvokasi kuli asal Jawa di Deli dan Parada Harahap pada tahun
1917/1918 membongkar kasus penindasan kuli asal Jawa di perkebunan di Deli.
Langsung tidak langsung, keduanya boleh dikatakan memiliki ‘guru’ yang sama:
Soetan Casajangan. Parada Harahap meneruskan kepemimpinan surat kabar/majalah
Poeshan yang didirikan Soetan Casajangan di Padang Sidempoean; dan Dr. Soetomo
meneruskan kepemimpinan organisasi mahasiswa Indisch Vereeniging yang didirikan
Soetan Casajangan di Leiden/Belanda.
Pada jelang Kongres PPPKI tahun 1928
(yang diintegrasikan dengan kongres pemuda) tiga tokoh yang sangat kuat sudah
terbentuk di Gang Kenari yang boleh dikatakan sebagai Trio Gang Kenari: Parada Harahap, MH Thamrin dan Dr. Soetomo. Pada
jajaran para pemuda juga telah terbentuk tiga tokoh mahasiswa yang boleh
dikatakan sebagai Trio Kampus THS: Soegondo, Mohamad Jamin dan Amir
Sjarifoeddin Harahap. Tentu saja sudah sejak lama terbentuk tiga tokoh senior
yang kuat: Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, Husein Djajadiningrat dan
Dr. Abdoel Rivai (para pendiri dan pengurus Indisch Vereeniging).
Setelah Kongres PPPKI
(senior) yang dilaksanakan di Batavia
tanggal 28 September 1928 dan setelah Kongres Pemuda (junior), ketika
kepemimpinan bangsa Indonesia dipimpin oleh Dr. Soetomo, MH Thamrin dan Parada
Harahap kembali fokus kepada profesi masing-masing. MH Thamrin tetap berjuang
di dewan, Parada Harahap tetap berjuang lewat media. Dalam perkembangannya MH
Thamrin dan Parada Harahap ikut mendukung keberadaan partai politik Partai
Bangsa Indonesia (PBI) yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin
Nasution.
MH Thamrin dan Parada Harahap pada
akhirnya menjadi bagian dari organisasi partai politik. Ini bermula, setelah
Kongres PPPKI kedua di Solo 1929, organisasi kebangsaan PPPKI telah diubah
namanya dengan nama Perhimpoenan Partai-Partai Politik Indonesia (tetap
disingkat dengan PPPKI). Pada tahun 1930 Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution
mendirikan partai politik yang baru yakni Partai Bangsa Indonesia (PBI). Saat
itu paling tidak sudah berdiri dua partai politik yang berhaluan nasional
Indonesia dan mengusung semangat revolusi yakni Partai Nasional Indonesia (PNI)
dan Partai Bangsa Indonesia (PBI). Dalam hal ini MH Thamrin dan Parada Harahap
memilih bergabung dengan PBI. Sedangkan di PNI sudah tergabung Soekarno,
Mohamad Hatta dan Sartono. Kedua partai ini saling mengisi dalam perjuangan,
tidak pernah terjadi perselisihan dan justru yang terjadi saling memperkuat.
Ibarat bertetangga saling akur (tidak seperti parati-partai masa ini yang
cenderung antar partai terkesan saling bermusuhan).
Namun tidak lama kemudian
datang bencana. Ir. Soekarno dan kawan-kawan di Partai Nasional Indonesia (PNI)
ditangkap alalu ditahan untuk menunggu proses peradilan. Ir. Soekarno dituduh
telah mengkampanyekan dan menyerang otoritas pemerintah kolonial Belanda. Sementara
Ir. Soekarno masih di penjara, pers pribumi semuanya dibreidel tahun 1932,
termasuk surat kabar Bintang Timoer di Batavia pimpinan Parada Harahap, Fikiran
Ra’jat di Bandoeng yang didirikan ir. Soekarno dan surat kabar Soeara Oemoem di
Soerabaja yang didirikan Dr. Soetomo. Catatan: Surat kabar Soeara Oemoem adalah
organ PBI yang cikal bakalnya adalah surat kabar Bintang Timoer edisi Soerabaja
(yang dioperasikan Parada Harahap jelang Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda).
Pasca pers pribumi ini diberangus, Parada Harahap memimpi tujuh revolusioner
berkunjung ke Jepang.
Melihat situasi dan kondisi yang
genting ini, Parada Harahap berteriak bahwa pers Belanda juga turut melemahkan
pers pribumi. Dalam kemarahan, Parada Harahap memimpin tujuh revolusioner
berangkat ke Jepang. Belanda dibelakangi, Jepang mulai dirangkul. Pada bulan
November 1933 dengan kapal Panama Maru, Parada Harahap dengan rombingan
berangkat ke Jepang. Dalam rombongan ini turut Abdullah Lubis (pemimpin surat
kabar Pewarta Deli di Medan), Mr. Sjamsi Widagda (guru bergelar Ph.D di Bandoeng),
Panangian Harahap (mantan guru) dan Mohamad Hatta yang baru pulang selesai
studi di Belanda. Berita keberangkatan Parada Harahap ke Jepang membuat pers
Belanda molohok dan pemerintah wait en see. Di Jepang menurut pers Belanda
berdasarkan surat kabar di Jepang, rombongan disambut bagaikan delegasi negara
(bacaL Indonesia) dan Parada Harahap dijuluki sebagai The King of Java Press.
Sepulang dari Jepang,
Parada Harahap dkk tidak langsung ke Batavia tetapi turun di Soerabaja. Pada
hari yang sama tanggal 13 Januari 1934, saat Parada Harahap mendarat din
pelabuhan Tandjong Perak Soerabaja, Ir. Soekarno diberangkatkan ke pengasingan
di Flores melalui pelabuhan Tandjong Priok di Batavia. Di pelabuhan Tandjong
Perak kemudian datang dua tokoh PBI untuk menyambut: Dr. Soetomo dan Dr.
Radjamin Nasution.
Setelah dianggap situasi dapat
diketahui oleh rombongan, seminggu kemudian anggota delegasi ke Jepang itu
kembali ke rumah masing-masing. Namun tidak lama kemudian, seminggu setelah
dari Soerabaja, Parada Harahap dan Mohamad Hatta ditangkap di Batavia. Di
pengadilan, keduanya tidak terbukti terhadap yang dituduhkan, karena atase
Jepang di Batavia (baca: kedubes) ikut memberikan kesaksian di pengadilan.
Parada Harahap dan Mohamad Hatta dibebaskan. Tetapi tidak lama kemudian,
diberitakan bahwa Mohamad Hatta ditangkap lagi yang dituduh kampanye dan
melakukan provonasi di surat kabar/majalah Daoelat Ra’jat enam bulan sebelumnya.
Sejumlah tokoh PNI (baca: Pendidikan Nasional Indonesa, parati baru yang
didirikan setelah PNI dibubarkan pasca Ir. Soekarno ditangkaop). Mereka yang
ditangkap antara lain Mohamad Hatta, Soetan Sjahrir, Mohamad Jamin dan Amir
Sjarifoeddin serta Abdoel Moerad (editor Daoelat Ra’jat). Oleh karena Mohamad
Jamin dan Amir Sjarifoeddin masih muda dan masih berkuliah di RHS dapat
pembelaan dari dosen mereka Prof. Husein Djajadiningrat dan anggota Volksraad
MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon. Juga mendapat pembelaan dari Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia yang baru pulang studi dari Belanda
setelah meraih gelar doktor (Ph.D). Dua tokoh muda Kongres Pemuda ini bebas. Untuk
hukuman terhadao Dr. Abdoel Moerad ditetapkan dengan tahanan rumah. Lalu
setelah berbagai proses peradilan, Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir diasingkan
ke Digoel (tetapi karena ada negosiasi dari tokoh politik seperti MH Thmarin
dan Mangaradja Soeangkoepon akhirnya lokasi pengasingan dialihkan ke
Bandaneira).
Empat orang dari PBI (Dr.
Soetomo, Dr. Radjamin Nasution, MH Thamrin dan Parada Harahap) masih memiliki
hutang kepada rakyat Indonesia, yakni Boedi Oetomo yang belum bersedia beralih
ke visi misi nasional (Indonesia). Statuta Boedi Oetomo masih terbatas di Jawa
dan Madura. Dalam hal ini, jangan lupa pendiri dan ketua pertama Boedi Oetomo
adalah Dr. Soetomo. Hutang ini masih tanggungan Dr. Soetomo tetapi karena Dr.
Soeotmo terus didukung tiga teman baik Dr. Radjamin Nasution, MH Thamrin dan
Parada Harahap maka semangat Dr. Soetamo yang terus kukuh ingin mengubah Boedi
Oetomo menjadi organisasi nasionalis semakin termotiviasi. Sementara itu, pada
kepengurusan di Boedi Oetomo pada tahun-tahun terakhir sudah semakin menguat dari
golongan muda dan terpelajar, diantaranya Dr. Sardjito dan Mr. Soepomo. Inilah
saatnya bagi Dr. Soetomo untuk merangkul kembali Boedi Oetomo, suatu organisasi
yang pernah dibidaninya.
Dr. Sardjito dan Mr. Soepomo adalah
dua tokoh muda yang memulai semangat nasional di Boedi Oetomo cabang Batavia. Dr.
Sardjito alumni STOVIA (sebelum GHS) dan Mr. Soepomo alumni Recht School
(sebelum menjadi RHS). Pada tahun 1914, Dr. Sardjito selaku ketua Boedi Oetomo
cabang Batavia memberikan panggung kepada Dr. Soetomo dalam suatu rapat umum di
Batavia sesaat Dr. Soetomo pulang dari Deli. Lalu setelah itu, Dr. Soetomo dan
Dr. Sardjito ‘diasingkan’ ke Belanda sebagai tugas belajar dari pemerintah. Dr.
Soetomo menjadi pengurus Indisch Vereenigig dan setelah mendapat gelar dokter
penuh (setara Eropa) pulang ke tanah air, sedangkan Dr. Sardjito masih lanjung
ke program doktoral dan kemudian meraih Ph.D sebelum pulang ke tanah air. Dr.
Soetomo ke Soerabaja, Dr. Sardjito ke Batavia. Dr. Sardjito bukan gibol, tetapi
gila catur (pemain catur andal di Batavia). Sementara itu, Mr. Soepomo, meski
bukan pemuda radikal seperti Sardjito, tetapi sebagai ahli hukum paham
ketidakadilan. Mr. Soepomo setelah menyelesaikan program doktoral di Belanda
dan mendapat gelar Ph.D kembali ke tanah air. Mr. Soepomo ditempatkan sebagai
ketua Landraad di Djogjocarta. Disinilah Mr. Soepomo terpilih sebagai saltu
pengurus Boedi Oetomo (pusat). Sejak inilah Mr. Soepomo memainkan peran penting
dari dalam jantung tubuh Boedi Oetomo. Singkat kata: Mr. Soepomo yang
meratifikasi statuta Boedi Oetomo menjadi organisasi kebangsaan menjadi visi
nasional. Kelak, Dr. Sardjito, Ph.D adalah rektor UGM yang pertama; dan Mr.
Soepomo, Ph.D menjadi rektor UI yang kedua.
Dengan semangat Dr.
Soetomo yang didukung Dr. Radjamin Nasution, akhirnya Boedi Oetomo semakin
tersudut di dalam tataran nasional lalu mulai melunak dan meratifikasi visi
nasional. Ketika Boedi Oetomo sudah berada di barisan visi nasional, Dr.
Soetomo mengajak Boedi Oetomo bergabung dengan partai politik PBI. Para
pemimpin Boedi Oetomo kewmudian bersedia yang kemudian PBI dan Boedi Oetomo
dilebur (fusi) dengan membentuk partai baru yang disebut Partai Indonesia Raya
(sesuai lagu Indonesia Raya yang digubah oleh WR Supratman dan diperdengarkan
di Kongres Pemuda 1928).
Selesai sudah tugas dua pionir
pemersatu bangsa, Parada Harahap dan MH Thamrin. Selesai pula misi dua pionir
pejuang besar ini. Mereka kemudian lengser keprabon. Para senior satu persatu
tiada. Soetan Casajangan telah lama meninggal dunia, kemudian Dr. Abdoel Rivai
meninggal dunia tahun 1937. Yang tidak diduga, kabar berita muncul dari
Soerabaja, Dr. Soetomo tidak berumur panjang meninggal tahun 1938.
Parada Harahap, sebagai
tokoh media yang tidak punya hutang ke Belanda kembali gelisah. Para senior
telah tiada (Soetan Casajangan, Abdoel Rivai dan Dr. Soetomo), Sementara tokoh
muda di pengasingan (Ir. Soekarno. Drs. Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir).
Hanya tersisa beberapa para revolusioner yang masih eksis (Parada Harahap, MH
Thamrin. Mohamd Jamin dan Amir Sjarifoeddin Harahap). Muncullah ide pembebasan Ir.
Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta yang tengah berada di pengasingan. Parada
Harahap tentu mengetahui betul siapa Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta. Hanya
foto berdua, dan Soeltan Agong yang dipajang Parada Harahap di gedung/kantor
PPPKI di Gang Kenari.
Pada tahun 1938 dua anggota
Volksraad yang vokal, MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon mulai bersuara bahwa
hukuman Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta perlu ditinjau kembali. Pada fase
lobi-lobi ini tidak berhasil. Namun MH Thamrin, Mangaradja Soeangkoepon dan
Parada Harahap tidak putus asa. Lalu muncul gagasan memindahkan pengasingan Ir.
Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta untuk ditempatkan di Sumatra. Tempat
pengasingan Drs. Mohamad Hatta tidak berhasil dipindahkan karena alasan
pemerintah Drs Mohamad Hatta berasal dari Sumatra. Hanya pemindahan Ir.
Soekarno yang berhasil yakni dipindahkan ke Sumatra dengan tempat yang dipilih
di Bengkoelen. Pada saat pemindahan rute perjalanan yang dibuat adalah Flores
ke Soerabaja, lalu dari Soerabaja via laut ke Batavia dan kemudian dari Batavia
dengan mobil ke Anjer dan kemudian dari Anjer ke Telok Betong dan dilanjutkan
ke Lahat baru kemudian ke Bengkoelen. Parada Harahap yang memiliki jaringan
yang luas berkoordinasi dengan kawan-kawan sesama revolusioner. Di Soerabaja,
Dr. Radjamin Nasution yang diandalkan untuk bertemu dengan Ir. Soekarno; di
Batavia akan dilakukan MH Thamrin dan Parada Harahap. Lalu di Lampung disiapkan
dua tokoh muda ahli hukum yakni Mr. Gele Harun Nasution (cucu Dja Endar Moeda)
dan Mr. Abdul Abbas Siregar (keponakan Parada Harahap). Setiba di Soerabaja,
Dr. Radjamin Nasution mendampingi kerabat Ir. Soekarno untuk bertemu. Dalam
perjalanan ke Batavia terjadi perubahan moda secara tiba-tiba, yang awalnya via
laut lalu berubah menjadi transportasi kereta api malam. Di Batavia MH Thamrin
dan Parada Harahap dengan kedudukan MH Thamrin sebagai anggota Volksraad dapat
bertemu dengan Ir. Soekarno. Dari Batavia dilanjutkan perjalanan ke Bengkoelen
sesuai rute yang direncanakan yakni melalui Telok Betong.
Mungkin anda tidak percaya, jika di
Bengkoelen sudah ada guru muda yang mengajar di sekolah swasta namanya Abdul
Haris Nasution. Selama di Bengkoelen yang kerap mengunjungi Ir. Soekarno adalah
Mr. Gele Harun Nasution dan Mr. Abdul Abbas Siregar yang mampir dalam
perjalanan pulang kampung dari Telok Betong ke Padang Sidempoean. Kapal-kapal
dari dan ke Batavia di pantai barat Sumatra selalu singgah di Bengkoelen,
Padang dan Sibolga. Dari Padang juga kerap mengunjungi Ir. Soekarno di
Bengkoelen oleh Mr. Egon Hakim Nasution ketika mengunjungi mertua ke Batavia.
Mr. Egon Hakim Nasution adalah ahli hukum alumni Belanda, anak Dr. Abdoel Hakim
Nasution dan menantu MH Thamrin sendiri.
Pada 11 Januari 1941
kabar duka diterima dan diberitakan di berbagai surat kabar. MH Thamrin telah
meninggal dunia. Para revolusioner berduka, seluruh rakyat Indonesia berduka.
Saat jelang meninggalnya MH Thamrin, sang revolusioner muda, sang menantu, Mr.
Egon Hakim Nasution berada disampingnya. Besan MH Thamrin, yang juga ayag Mr.
Egon Hakim Nasution bergegas dari Padang ke Batavia. Tentu saja Ir. Soekarno
tidak bisa datang. Akan tetapi empat tokoh yang dekat dengan Ir. Soekarno di
Bengkolen turut menghadiri pemakaman MH Thamrin yakni Mr. Egon Hakim Nasution,
Mr. Abdoel Abbas Siergar, Mr. Gele Harun Nasution dan Sersan KNIL Abdoel Haris
Nasution. Sudah barang tentu Parada Harahap yang menjadi tokoh yang dituakan
dalam pemberangkatan MH Thamrin ke pemakaman. Sebagaimana Dr. Radjamin Nasution
yang memberikan kata-kata terakhir sebelum ke pemajaman ketika meninggal Dr.
Soetomo, Parada Harahap yang melakukan hal serupa ketika MH Thamrin
diberangkatkan ke pemakaman.
Untuk sekadar catatan: empat tokoh
muda revolusioner tersebut kelak dikenal sebagai berikut: pertama, Abdoel Haris
Nasution (panglima militer) yang menjadi KASAD disamping Ir. Soekarno sebagai
Presiden RI. Kedua, Mr. Abdoel Abbas Siregar (anggota PPKI tahun 1945, yang
diketuai oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta). Ketiga Mr. Gele Harun
Nasution, Residen pertama Lampong (yang kini tengah diusulkan menjadi Pahlawan
Nasional dari daerah Lampung). Keempat Mr. Egon Hakim Nasution, menantu MH
Thamrin.
Mungkin anda tidak menyangka, Ir.
Soekarno adalah orang yang meminta guru muda di Bengkoelen, Abdul Haris
Nasution untuk beralih profesi dari guru menjadi militer. Pada tahun 1938
Pemerintah Belanda akan merekrut taruna baru untuk KNIL yang akan dilatih atau
mengikuti pendidikan di Bandoeng. Dari sinilah awal karir militer Abdoel Haris
Nasution. Last but not least: Mungkin anda tidak menyangka jika Mr. Egon Hakim Nasution
yang menculik Ir. Soekarno di Padang. Ini terjadi pada tahun 1942 ketika
terjadi penyerangan militer dan saat awal pendudukan Jepang di Indonesia. Semua
pejabat Belanda akan dievakuasi ke Australia. Untuk semua pejabat Belanda yang
berada di wilayah Sumatra berkumpul di pelabuhan Padang untuk berangkat dengan
kapal ke Australia. Saat inilah Ir. Soekarno dan keluarga dari Bengkoelen
dibawa ke Padang. Ketika situasi dan panik dalam evakuasi di Padang, Mr. Egon
Hakim Nasution ‘menculik’ Ir. Soekarno dan keluarga dan mengamankannnya di
rumah kediamannnya. Ketika militer Jepang dari Fort de Kock (Bukit Tinggi)
merangsek ke Padang, Mr. Egon Hakim Nasution membawa Ir. Soekarno ke markas
Jepang di Bukit Tinggi untuk dipertemukan dengan petinggi militer Jepang. Di
Batavia, Parada Harahap memainkan peran penting dalam negosiasi dengan pemerintahan
militer Jepang. Untuk sekadar diingat, nama Parada Harahap sudah sangat
terkenal di Jepang, ketika Parada Harahap dan rombongan berkunjung ke Jepang
tahun 1933/1934. Setelah enam bulan Ir. Soekarno di Fort de Kock lalu
dipindahkan ke Batavia. Parada Harahap dan Ir. Soekarno kembali bertemu.
Di Batavia, pada saat
pendudukan Jepang ini, tiga revolusioner senior berkolaborasi dengan Jepang,
yakni: Parada Harahap, Ir. Soekarno dan Dr. Mohamad Hatta. Sementara diantara
tiga junior hanya Mohamad Jamin yang bersedia berkolaborasi dengan Jepang.
Sedangkan dua junior tidak bersedia. Amir Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir
terang-terangan melawan Jepang. Oleh karena Amir Sjarifoeddin terlalu keras
lalu ditangkap dan dibui di penjara di Malang (hingga tahun 1945).
Pada saat persiapan kemerdekaan
Indonesia di era pendudukan Jepang, Parada Harahap, Soekarno dan Mohamad Hatta
menjadi anggota BPUPKI. Pada saat pembentukan PPKI Parada Harahap yang sudah
mulai menua dan lelah mengundurkan diri dan digantikan oleh juniornya Mr. Abdul
Abbas Siregar. Ketua PPPKI adalah Ir. Soekarno dan Wakil adalah Drs. Mohamad
Hatta.
Akhirnya tercapai
kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Pasca kemerdekaan ini,
Ir. Soekarno diangkat menjadi Presiden dan Wakilnya Drs. Mohamad Hatta. Untuk
memperkuat posisi kabinet di masa sekutu, Mr. Amir Sjarifoeddin yang masih
dibui di Malang dijemput dan diangkat sebagai Menteri Penerangan.
Pada kabinet parlementer, diangkat
perdana menteri yang pertama Soetan Sjahrir. Kemudian jabatan berikutnya
sebagai Perdana Menteri adalah Amir Sjarifoeddin dan kemudian diestafetkan
sebagai Perdana Menteri kepada Dr. Mohamad Hatta.
Pasca pengakuan kedaulatan RI oleh
Belanda hubungan Soekarno dan Mohamad Hatta melai retak dan akhirnya pecah
seperti yang ditulis dalam sebuah surat kabar pada tahun 1956: Dwi Tunggal:
Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal. Parada Harahap yang sudah menua tidak lagi
mampu merekatkan kembali dua pemimpin yang diproyeksikannya itu ke tika dulu
berkantor di gedung PPPKI. Tidak ada lagi persatuan diantara Soekarno dan
Mohamad Hatta yang berujung dengan penumpasan PRRI 1958. Tidak lama setelah
menghadiri wisuda anaknya yang lulus di Fakultas Hukum UI, Parada Harahap
meninggal dunia dengan tenang pada tahun 1959. .
Sejarah Gang Kenari
berakhir. MH Thamrin dan Parada Harahap telah tiada. Di Gang Kenari nama dua
tokoh pemersatu ini memulai karir politik. Gedung Gang Kenari haruslah dipandang
lebih besar dari Stadion VIJ di Petodjo. MH Thamrin adalah Gang Kenari, dan Gang
Kenari adalah MH Thamrin.
MH Thamrin bukan seorang gibol. MH
Thamrin memulai karir sebagai pegawai pemerintah. Lalu menjadi pengusaha.
Setelah itu menjadi politisi yang memulai berjuang di parlemen kota
(gemeenteraad) hingga menjadi anggota parlemen pusat (Volksraad). Parada Harahap
adalah seorang gibol sejak menjadi krani di perkebunan di Deli. Setelah dipecat
sebagai krani karena kasus pembongkaran kasus penderitaan kuli asal Jawa di
perkebunan di Deli, Parada Harahap menjadi jurnalis. Setelah hijrah ke Batavia,
kegemaran bermain sepak bola ini masih diteruskan. Pada tahun 1923 di Batavia,
Parada Harahap adalah pemain sekaligus pemimpin klub sepakbola Bataksch
Voetbalclub. Di antara pekerjaannya sebagai jurnalis andal yang ditakuti pers
Belanda, Parada Harahap aktif sebagai motor pergerakan organisasi dan sebagai
motor perjuangan politik dan yang pernah memimpin tujuh revolusioner ke Jepang
tahun 1933. Pada saat pendudukan Jepang,Parada Harahap adalah koordinator media
pribumi di dalam pemerintahan militer Jepang, sementara Ir. Soekarno dan
Mohamad Hatta sebagai pemimpin rakyat Indonesia (Poesat Tenaga Ra’jat, Poetera)
dan juga menjadi anggota BPUPKI. Pada saat kabinet pertama Ir. Soekarno pasca
kemerdekaan RI, Parada Harahap masih diminta oleh juniornya Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap yang menjabat sebagai Menteri Penerangan untuk
mengkoordinir pusat informasi pemerintah (Badan Informasi Kementerian
Penerangan).
MH Thamrin (1894-1941): Kiprah
Mohamad Hoesni Thamrin
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar