Laman

Rabu, 17 Juli 2019

Sejarah Bekasi (24): Sejarah Rawalumbu, Apakah Ada Sejarahnya? Rawa Panjang, Bojong Menteng dan Kanal Rawalumbu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Rawalumbu sangat terkenal di Bekasi. Lantas apakah ada sejarah Rawalumbu? Nah, itu dia yang ditanyakan banyak orang. Mungkin sulit menemukan nama Rawalumbu dalam arsip narasi berbahasa Belanda. Tapi jangan khawatir, masih ada peta. Jika pun tidak ada peta, sejarah Rawalumbu masih bisa didekati dari tetangganya: Bantar Gebang, Rawa Panjang, Pengasinan dan Bojong Menteng. Dalam hal ini bukan mengikuti pepatah ‘tidak ada akar, rotan pun jadi’. Metodologi sejarah tidak hanya satu, dua cara, tetapi tiga cara. Cara yang ketiga yang akan kita gunakan.

Kanal Rawaloemboe di Bekasi (Peta 1901)
Rawalumbu pasti nama rawa. Suatu area yang bermetamorfosis menjadi nama kawasan perumuhan lalu terbentuk desa/kelurahan. Kini, Rawalumbu telah ditabalkan menjadi nama kecamatan. Suatu kecamatan yang berada sangat dekat dengan pusat Kota Bekasi. Kecamatan Rawalumbu yang dibentuk pada tahun 2000 terdiri dari empat desa/kelurahan, yakni: Pengasinan, Bojong Rawalumbu, Bojong Menteng dan Sepanjang Jaya.

Lalu, apa hebatnya Rawalumbu? Nah, itu dia! Rawalumbu adalah tempat pertama kali pertama yang pernah saya berkunjungi ke Bekasi: Melihat rumah baru teman saya. Itu sudah lama, sekitar tahun 1993. Lantas mengapa sejarah Rawalumbu harus ditulis? Nah, itu dia! Sudah tentu saya masih hapal setiap sudut jalan-jalannya di perumahan tersebut. Tetapi bukan itu yang penting. Bagian terpenting dari sejarah Rawalumbu adalah kanalnya. Kanal Rawalumbu sudah ada sejak lampau. Kanall inilah yang yang ditingkatkan oleh pengembang Perumahan Rawalumbu menjadi saluran drainase utama yang di dua sisi dibangun jalan yang menjadi boulevard Perumahan Elit Rawalumbu. Untuk memahami sejarah awal Rawalumbu ini, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kampong Boedjong Menteng, 1890
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kanal Rawalumbu

Sungai dan rawa adalah timbul karena pengaruh alami dan terbentuk secara alamiah. Sungai yang meluap dan banjir bandang dapat menimbulkan rawa. Sungai mengalirkan air, rawa menyimpan air. Di daerah aliran sungai Bekasi ditemukan banyak rawa. Ada rawa gede dan ada rawa panjang. Rawa yang bentuknya panjang diduga sebuah bekas aliran sungai (sungai kuno atau sungai baru yang timbul dari pengaruh banjir bandang atau banjir yang deras). Dalam hal ini, sungai dan rawa dapat menjadi sumber air (irigasi), yakni dengan cara membendung sungai atau rawa dan membuat saluran ke hilir (kanal).

Kota Bekasi (Peta 1901)
Rawa Loemboe bukanlah rawa Pandjang. Besar dugaan dua rawa ini terkait dengan sungai Bekasi di jaman lampau. Kedua rawa ini berada di sisi timur sungai Bekasi. Rawa Pandjang berada di arah hilir sedangkan rawa Loemboe berada di hulu. Rawa Pandjang adalah rawa ramping yang airnya cukup dalam, sedangkan rawa Loemboe adalah rawa yang sangat luas dan dangkal yang hampir seluruh rawa dapat kering di musim kemarau. Penduduk yang bermukim di sisi rawa Pandjang lambat laun menamakan tempat tingga mereka sebagai kampong Rawapandjang. Rawa Loembo tidak dijadikan sebagai perkampungan. Hal ini karena rawa ini cukup luas tetapi penduduk menjadikan sebagian permuaan rawa untuk persawahan. Besar dugaan penduduk kampong Rawapandjang bersawah di rawa Loemboe. Sementara pekampongan yang muncul tidak jauh dari rawa Loemboe adalah kampong Pengasinan (di sisi timur rawa).   

Rawa Loemboe termasuk wilayah land Bekasi Oost. Sungai Bekasi adalah batas antara land Bekasi Oost dengan land Bekasi West. Kota Bekasi bermula di sisi barat sungai Bekasi (land Bekasi West) tetapi kemudian pasar dibangun di sisi timur sungai (land Bekasi Oost). Jadi, kota Bekasi adalah area diantara land Bekasi West dengan land Bekasi Oost. Rawa Loemboe tidak jauh dari kota Bekasi di arah hulu (jalan dari pasar Bekasi menuju Tjilengsi)..

Banyak jalan darat dari dan ke kota Bekasi. Ke barat laut ke Krandji dan Meester Cornelis (Betavia); ke barat daya ke Pendok Gede melalui Pekajon; ke utara ke Babelan terus ke laut, ke timur ke arah Tamboen terus ke Tjikarang dan Kedoeng Gede. Dari kota Bekasi ke selatan menuju Bantar Gebang dan Tjilengsi. Jalan yang ke selatan ini melalui sisi barat rawa Loemboe. Jalan ini berada di antara sungai Bekasi dan rawa Loemboe.

Sepanjang jalan ke selatan antara (kota) Bekasi dengan (kota) Tjilengsi terdapat sejumlah nama tempat yang diduga nama-nama kampong lama seperti kampong Rawapandjang, kampong Oedjoeng Menteng dan kampong Bantar Gebang. Konon, kampong Bantar Gebang adalah kota kuno yang menjadi kampong/kota tertua di District Bekasi.

Kanal Bantar Gebang (Peta 1901)
Sebelum terbentuk pemerintahan (Hindia Belanda), di sisi barat maupun sisi timur sungai Bekasi sudah terbentuk tanah-tanah partikelir (land) sejak era VOC. Land tertua adalah land Becassie yang diakses dari laut melalui sungai Bekasi. Land pionir ini dibuka oleh Jeremias van Riemsdijk. Dalam perkembangannya land utama ini dipecah-pecah dan diperjualbelikan seperti terbentuknya land Doea Ratoes, land Bekasi West, land Bekasi Oost, land Pondok Potjoeng dan land Babelan. Setelah VOC dibubarkan dan diakuisisi Kerajaan Belanda maka dibentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Residentie Batavia terdiri dari lima afdeeling: Stad en Vorsteden, Meester Cornelis, Tangerang, Buitenzorg dan Becassie. Unit wilayah terkecil di afdeeling, seperti Afdeeling Becassie adalah land yang banyaknya puluhan mulai dari batas sungai Tjakoeng/sungai Soenter di barat hingga batas sungai Tjitaroem di sebelah timur. Afdeeling Becassie kemudian disebut District Bekassie. Afdeeling Becassie kemudian disebut District Bekassie yang dipimpin oleh seorang Schout.

Kampong/kota Bantar Gebang dan Bodjong Menteng adalah dua kampong besar di selatan land Bekasi Oost. Land Bantar Gebang berbatasan langsung dengan land Tjilengsi. Sebagian wilayah Bantar Gebang (lihat Peta 1901) masuk wilayah Afdeeling Bekasi (land Bekasi Oost) dan sebagian yang lain menjadi wilayah land Tjilengsi, district Tjibaroesa, Afdeeling Buitenzorg. Kampong Bodjong Menteng tepat berada di pertemuan sungai Tjilengsi dengan sungai Tjikeas yang ke hilir disebut sungai Bekasi. Bodjong Menteng berada di sisi timur sungai Bekasi (land Bekasi Oost), di sisi barat sungai terdapat kampong Pondok Benda (land Pondok Gede, district Bekasi).

Pertemuan sungai Tjilengsi dan sungai Tjikeas (sungai Bekasi)
Sebagaimana dapat dilihat pada Peta 1901, tepat berada di hulu sungai Tjikeas di sungai Tjilengsi di Bantar Gebang dibangun bendungan. Dari bendungan ini  dibuat saluran air (kanal) ke arah timur (hingga menuju Tjikarang). Bendungan Bantar Gebang ini diduga telah hancur dan kanal irigasi tersebut lambat laun menghilang ditelan waktu. Pada peta jaman Now (googlemaps) tanda-tanda bendungan dan kanal tidak terlihat lagi. Ada sesuatu warisan yang hilang di Bantar Gebang. Bendungan dan kanal Bantar Gebang ini diduga adalah bendungan dan kanal kuno, suatu instrumen pengendali banjir di sungai Bekasi dan sumber air bersih untuk pertanian (irigasi). Bendungan dan kanal ini telah ditingkatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, namun kini tidak berbekas. Bantar Gebang di masa lampau adalah sentra beras (tapi kini menjadi sentra bau keras).

Kemakmuran di Bodjong Menteng dan Bantar Gebang sempat memunculkan gagasan dan telah dibuat rencana pembangunan jalur rel kereta api dari kota Bekasi ke Bodjong Menteng (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-07-1899). Disebutkan rencana rel kereta api ini mulai dari kota Bekasi melewati Bodjoeng Menteng, Tjilengsi, Poelasari Karet en Tjipitjoeng hingga ke Tjibawera. Namun rencana itu tidak pernah terlaksana. Pembangunan jalur kereta api Batavia di Meester Cornelis hingga Bekasi selesai dibangun dan mulai dioperasikan pada tahun 1887.

Pembangunan kanal rawa Loemboe diduga bersamaan dengan peningkatan bendungan dan kanal Bantar Gebang. Kanal Bantar Gebang ini juga dialirkan sebagai debit airnya untuk mendorong genangan air yang terdapat di rawa Loemboe. Dengan adanya daya dorong dari kanal Bantar Gebang dimungkinkan untuk membangun kanal di rawa Loemboe. Kanal inilah yang terlihat pada Peta 1901 di wilayah Rawalumbu yang sekarang. Bekas kanal rawa Loemboe ini kemudian pada masa kini ditingkatkan pengembang Perumahan Rawalumbu sebagai saluran drainase. Pembangunan kanal rawa Loemboe ini juga pada gilirannya mendorong air rawa Pandjang untuk membangun kanal sekunder ke arah hilir untuk mengairi persawahan di dekat pasar Bekasi.  

Rawaloemboe, dari Awal hingga Akhir: Lahan Para Pejuang VOC dan Area Gerilya Perang Kemerdekaan

Pertanyaan ‘sejarah Rawalumbu, apakah ada sejarahnya?’ juga merupakan pertanyaan analog sejarah Bekasi sendiri, apakah ada sejarahnya. Wilayah yang menjadi District Bekasi (saat ini menjadi kabupaten dan kota Bekasi) diduga sebelumnya adalah wilayah kosong yang tidak berpenghuni, suatu wilayah rawa-rawa yang tempo doeloe masuk wilayah (kerajaan) Pakwan-Padjadjaran. Wilayah ini adalah wilayah jatuhan air yang kerap mengalami banjir bandang akibat air yang meluap di hulu sejak jaman kuno. Penduduk hanya berdiam di arah hulu, di wilayah yang kering.

Bataswilayah basah (banjir) dan wilayah kering (berpenghuni) adalah Bantar Gebang, Samadang dan Tjionjong (Tjikarang?). Tiga kota (kampong) ini berada di antara sungai Becassie (hilir dari sungai Tjilengsi) dan sungai Carrawang (hilir dari sungai Tjitaroem). Sebagaimana dapat dilihat pada Peta 1724, kota-kota yang diidentifikasi semakin ke hulu semakin banyak. Pada Peta 1732 tempat-tempat yang berada antara Bantar Gebang dan muara di sungai Bekasi sudah diidentifikasi secara jelas. Peta ini diduga peta tertua Bekasi.

Kota terdekat dari pantai di daerah aliran sungai Bacassie adalah Bantar Gebang. Kota Bantar Gebang diduga adalah kota pelabuhan di jaman kuno (era Pakwan-Padjadjaran). Ketika Pemerintah VOC membangun benteng di muara sungai Bekasi (fort Bacassie), antara dua tempat ini menjadi lalu lintas sungai yang intens. Beberapa perkampungan diantara dua tempat ini di daerah aliran sungai Bekasi adalah Bodjong Menteng, Rawa Pandjang, Becassie, Telok Poetjoeng, Karang Tjongok, Pisangan dan Babelan.

Sebagai wilayah kosong, secara de jure, Pemerintah VOC menempatkan para pemimpin pribumi dan pasukannya yang telah mendukung misi VOC di wilayah-wilayah kosong ini seperti di Tangerang, Angke, Tjilintjing, Bacassie dan Carrawang. Dua kaptein terkenal VOC adalah Kapitan Jonker dan pasukannya ditempatkan di Tjilintjing dan Captein Soeta Wangsa dan pasukannya di daerah aliran sungai Bacassie. Sejak inilah sejumlah benteng dibangun di Antjol, Angke, Maroenda, Tangerang, muara sungai Bacassie dan Tandjoengpoera.    

Kampong-kampong Bantar Gebang, Bodjong Menteng, Rawa Pandjang, Becassie dan Telok Poetjoeng berada di bawah kekuasaan Captein Soeta Wangsa. Sementara kampong Karang Tjongok di bawah kekuasaan Pangeran Poerbaja. Sedangkan kampong-kampong Pisangan, Babelan, Gaboes hingga ke Fort Bacassie dikuasai oleh perwira yang lainnya.

Bagaimana situasi dan kondisi pertama di daerah aliran sungai Bekasi dan daerah aliran sungai Carrawang dirangkum berdasarkan Daghregister, catatan di Kasteel Batavia. Ekspedisi pertama ke daerah aliran sungai Becassie dimulai tahun 1659 di bawah pimpinan Pieter Thomassen. Pada tahun 1661 Pemerintah VOC menempatkan sebanyak 3.000 pasukan Jawa di daerah aliran sungai Becassie dan lalu kemudian ditetapkan Becassie sebagai wilayah pemukiman pasukan Jawa dan mulai membangunnya. Sejak itulah diduga muncul nama-nama kampong yang disebut di atas. Tanpa mengabaikan nama yang muncul karena lingkungan setempat, nama-nama kampong yang ada juga ditemukan di Jawa, seperti Bodjong Menteng, Babalan dan Karang Tjongok.

Kampong-kampong yang lain yang muncul kemudian adalah Sammadang dan Tjikarang. Wilayah Sammadang diketahui dikuasai oleh Pangeran Sammadang, Raden Aria Soura Manggala.

Setelah wilayah daerah aliran sungai Becassie dan sungai Tjikarang, pemerintah VOC mulai mengokuvasi wilayah daerah sungai Carrawang yang kemudian membangun benteng di Tandjoengpoera. Lieutenant Jochum Michielsz pada tahun 1678 dari Tanjongpoura melakukan ekspedisi ke Sammadang. Inilah asal-usul mengapa Odjoeng Krawang, Tjabangboengin, Tjikarang, Samadang sebelumnya masuk wilayah Residentie Krawang (sebelum dipisahkan dan dimasukkan ke wilayah Disttrict Bacassie, Residentie Batavia).

Pada tahun 1682 pasukan Kaptain Jonker menimbulkan kerusuhan di Banten, akibatnya sejumlah militer Belanda ditangkap. Untuk mengendalikan Banten dikirim ekspedisi di bawah pimpinan Majoor St Martin. Atas keberhasilan ini, pemerintah VOC memberi hadiah kepada St Martin dua lahan (land) di Tjinere dan Tjitajam. Kepercayaan orang Belanda terhadap Jonker mulai menurun dan akhirnya Jonker melakukan perlawanan terhadap VOC. Kaptain Jonker kemudian terbunuh. Mantan pasukannya yang berbasis di Tjilintjing banyak yang eksodus ke daerah aliran sungai Carrawang dan daerah aliran sungai Becassie.

Majoor St Martin adalah seorang pemberani, juga menguasai bahasa pribumi dengan baik. Selain itu, St Martin juga adalah peminat botani dan memiliki perpustakaan yang lengkap di Batavia. Pekerjaan menyusun buku botani yang dilakukan oleh Rumphius di Ambon yang terbengkalai karena meninggal diteruskan oleh St Martin. Namun St Martin juga tidak tuntas karena meninggal dan lalu dilanjutkan oleh Cornelis Chastelein (yang telah membuka lahan pertanian (land) di Paviljon (kini Senen) dan kemudian di Srengseng (1695) dan Depok (1704).

Perluasan lahan pertanian (land) ini semakin jauh ke hulu sungai Tjiliwong. Sementara di sisi lain juga perluasan pertanian (tebu) diperluas ke daerah aliran sungai Becassie dan sungai Carrawang. Pada tahun 1685 sebanyak 15 orang Jawa diizinkan untuk membuka lahan pertanian tebu di sekitar sungai Tjikeas (di arah hulu sungai Becassie). Mereka ini diduga adalah mantan pasukan Jawa pimpinan Kaptein Soeta Wangsa. Pada tahun 1686 dibuat resolusi (keputusan) yang mana Kapten Herman Wanderpoel dan sejumlah penduduk untuk menggali parit (kanal) dari sungai-sungai Tjikeas dan sungai Tjilengsi (sungai Becassie) ke sungai Soenter.

Pembangunan kanal dari sungai Tjikeas ke sungai Soenter dan dari sungai Becassie (Tjilengsi) ke sungai Soenter dimaksdukan untuk kebutuhan moda transportasi air di wilayah pedalaman. Penjelasan ini kemudian dapat diketahui dua abad kemudian dari seorang ahli arsip Mr JA van der Chijs (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-10-1886). Disebutkannya bahwa pada tanggal 10 Maret 1679 dikelurkan suatu resolusi ‘Instructie voor den Dijk-graaf ‘buyten en in de ommelanden van Batavia’ yang di dalamnya termasuk sungai Bacassy dapat dilalui dan berlayar melalui sungai Tjikeas dan dari sana lagi di sungai Soenter yang memberikan banyak kemudahan dan penyelamatan bagi ibukota (stad) dan kota (gemeente) untuk mendapatkan bambu-bambu dan kayu-kayu untuk keperluan pembuatan tanggul dan jembatan.

Semakin meningkatnya kegiatan ke arah hulu sungai Tjiliwong, lalu pada tahun 1687 sebuah ekspedisi yang dipimpin sersan Scipio dikirim ke hulu sungai Tjiliwong dan membangun benteng (fort) di titik singgung terdekat antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane (benteng ini kini menjadi lokasi Istana Bogor). Dengan demikian benteng VOC sudah ada dua di pedalaman: fort Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong dan fort Tandjoengpoera di hulu sungai Carrawang.

Setelah dibangunnya dua benteng pedalaman, yakni Fort Tandjoengpoera di hulu sungai Carrawang (sungai Tjitaroem) dan Fort Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong, lalu Fort Bacassie di muara sungai Bacassie diperkuat dengan benteng penghubung di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan di Tandjoeng (kini Pasar Rebo). Dua benteng penghubung ini tidak hanya memperkuat pertahanan antara Batavia (Fort Risjwijk dan Fort Noordwijk) dan Fort Padjadjaran, dua benteng penghubung ini juga untuk menghubungkan garis pertahanan sejajar: (1) Garis pertahanan antara Meester Cornelis dengan Tandjoengpoera dimana garnisun militer di kampong Bacassie; (2) Garis pertahanan antara Tandjoeng dengan Tjicaoe (kini Poerwakarta) dengan membangun garnisun militer di Tjibaroesa. Inilah peta awal pertahanan VOC di sekitar Batavia mulai dari sungai Tjisadane (Ontong Djawa) di barat hingga sungai Tjimanoek di timur dan mulai dari muara sungai Becassi di pantai hingga hulu sungai Tjiliwong di pegunungan. Atas dasar inilah pemerintah VOC mulai menerapkan kebijakan pemberian tanah-tanah partikelir (land).

Setelah daerah aliran sungai Bacassie berkembang dan kondusif (dari perspektif keamanan), Jeremias van Riemsdijk, yang telah menguasai land Antjol membeli land Becassie. Dalam membangun perkebunan tebu, Jeremias van Riemsdijk menambah tenaga kerja dengan mendatangkan para budak dari berbagai wilayah, sedangkan untuk pengembangan pabrik gula pekerja didatangkan dari Tiongkok. Moda transportasi saat ini ke Bacassie masih melalui sungai dari dan ke pantai di muara sungai Bacassie (tempat dimana benteng dibangun: Fort Bacassie).

Ketika pedagang-pedagang VOC mulai intens mengembangkan pertanian di seputar Batavia (Meester Cornelis, Buitenzorg, Tangerang dan Becassie serta Krawang, Pemerintah VOC dalam dilema soal para prajurit pribumi dan para pekerja yang didatangkan dari Tiongkok. Pemberontakan Kaptain Jonker pada masa lalu kembali muncul pemberontakan yang dilancarkan oleh orang-orang Tionghoa. Puncak perseteruan Tionghoa dan Belanda ini terjadi pada bulan Oktober 1740 (yang dikenal sebagai pembantaian orang-orang Tionghoa).

Ekses dari pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia juga merembet ke mana-mana terutama di wilayah pantai utara Jawa. Di daerah aliran sungai Bacassie, pada tanggal 11 Oktober 1740 orang-orang Tionghoa menghancurkan dan membakar segalanya. Perkebunan tebu dan pabrik gula yang diduga milik Jeremias van Riemsdijk habis sudah.

Pemerintah VOC pada tangga 4 Juni 1741 mengirim sebanyak 6.150 prajurit bersenjata dengan perwira ke Bacassy untuk menghukum orang-orang Tionghoa. Terjadi perang di Becassie. Setelah situasi dan kondisi terkendali Jeremias van Riemsdijk membangun kembali Becassie.

Pada tahun 1775 Jeremias van Riemsdijk menjadi Gubernur Jenderal VOC untuk menggantikan Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750). Jeremias van Riemsdijk yang tekun dalam pengembangan pertanian, juga meneruskan program para seniornya.

Peta kota Bekasi dan sekitar (1780)
Gustaaf Willem baron van Imhoff adalah Gubernur Jenderal VOC yang sangat peduli tentang pembangunan pertanian, sebagai wujud untuk meningkatkan keuntungan melalui perdagangan ekspor. Penerus Imhoff yakni Jacob Mossel (1750-1761) juga meneruskan kebijakan seniornya. Lalu kebijakan serupa diteruskan oleh Petrus Albertus van der Parra (1761-1775).

Jeremias van Riemsdijk tidak lama menjabat Gubernur Jenderal karena meninggal tahun 1777. Land Becassie sebagian tetap diusahakan oleh keluarga Riemsdijk dan sebagian yang lain dijual. Land yang berada di sekitar muara sungai Bacassie yang berdekatan dengan land Antjol dipertahankan, sedangkan land yang berada lebih jauh ke pedalaman yakni land Becassie dijual. Land Bacassie ini diketahui telah dimiliki oleh dua Inggris N Engelhard dan WA Senn yang telah mengusahakan delapan pabrik gula (zuiker-molen).

Javasche courant, 12-08-1837
Land Becassie dijual kembali oleh N Engelhard dan WA Senn pada tahun 1813 (lihat Java government gazette, 06-02-1813). Pada tahun 1818 keluarga Riemsdijk menjual asset terakhir di daerah aliran sungai Becassie (yang lalu memindahkan aset di Becassie ke wilayah hulu sungai Tjiliwong. Land Becassie kemudian diketahui telah dibeli oleh Mr. L. Henkevlugt. Setelah L. Henkevlugt meninggal keluarganya menjual land Becassie (bersama land Doea Ratoes dan land Odjoeng Menteng) seharga f200.000 hingga f250.000 (lihat Javasche courant, 12-08-1837).

Land-land yang dirintis oleh orang-orang Eropa/Belanda di sekitar daerah aliran sungai Becassie dan sungai Carrawang satu per satu ditinggalkan dan kemudian dijual. Tidak diketahui mengapa orang Eropa/Belanda melepaskan lahan mereka di wilayah ini dan kemudian pindah ke hulu sungai Tjiliwong. Dugaan kuat adalah faktor moda transportasi yang buruk. Semua land-land di wilayah Bekassie akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Tionghoa. Sementara itu, pemerintahan sendiri di District Becassie mulai diberlakukan pada tahun 1830 dengan menempatkan seorang Schout yang berkedudukan di kampong (kota) Becassie (lihat  Javasche courant, 01-04-1830). Pembentukan pemerintahan dilakukan segera setelah Perang Jawa berakhir.

Pada tahun 1869 di daerah aliran sungai Bekasi kembali muncul ketegangan politik. Para pribumi melakukan pemberontakan. Terhadap para pemimpin pemberontakan ini dikenakan hukuman mati. Pada tahun 1914 kembali muncul ketegangan politik di Bekasi. Dua kejadian politik ini juga terkait dengan orang-orang Tionghoa.   

Demikianlah adanya, antara penduduk yang tinggal di district Bekasi degan orang-orang Tionghoa selalu terjadi pasang surut, bahkan hingga perang kemerdekaan. Pada saat perang kemerdekaan tahun 1946 orang Tionghoa mendukung kehadiran Inggris/Sekutu dan Belanda/NICA.

Salah satu markas tentara Belanda/NICA berada di Pondok Benda, land Pondok Geder (di sisi barat sungai Bekasi). Sedangkan wilayah sisi timur sungai Bekasi mulai dari Rawaloemboe hingga Bantar Gebang menjadi area gerilya TNI dan para laskar.

Tanah Bekasi, dari masa ke masa adalah ruang pertarungan, mulai pertarungan antara manusia dengan alam yang keras tak berpenghuni, pertarungan antara kelompok dengan kelompok lainnya, pertarungan antara kelompok dengan polisi (Schouet) dan pertarungan antara pemerintah (penjajah) dengan pemerintah (RI). Kini, pertarungan di Tanah Bekasi masih terus berlanjut yakni pertarungan antara warga dengan banjir sungai dan antara warga dengan polusi udara dari Bantar Gebang

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar