Laman

Sabtu, 20 Juli 2019

Sejarah Bekasi (26): Keju Bekasi Terkenal Tempo Doeloe; Sejarah Peternakan dan Epidemik Ternak Besar di Bekasi (1882)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Tempo doeloe, di Bekasi ada produsen keju (fabriek kaas). Itu ada alasannya. Negeri Belanda adalah negeri produsen keju di Eropa. Tentu saja tidak sulit bagi orang Belanda untuk membuat keju, bahkan di Bekasi sekali pun. Produksi keju Bekasi dijual ke Batavia, tempat dimana terdapat banyak orang Eropa/Belanda. Jadi, keju dan orang Belanda tidak terpisahkan. Penduduk lokal (pribumi) boleh jadi tidak terlalu mengenal keju.

Pedati penumpang tempo doeloe, 1870
Negeri Belanda dan Bekasi jaraknya ribuan kilometer, jarak tempuh pelayaran (masih melalui Afrika Selatan) dilakukan dua setengah bulan. Orang-orang Belanda tetap melakukan kebiasaan sperti makan roti gandum dan keju. Gandum tidak diproduksi di Bekasi karena tidak cocok, karena itu mereka mendatangkan gandum. Sementara untuk produksi keju dapat dilakukan di Bekasi, karena ternak penghasil susu sebagai bahan dapat diusahakan di Bekasi. Itulah sebab mengapa ada produksi keju di Bekasi. Satu hal lagi, soal mentega. Orang Belanda tidak perlu mengimpor mentega dari Belanda. Mentega (boter) yang berbahan minyak kelapa diproduksi di Pondok Laboe. Mentega Pondok Laboe cukup terkenal di Batavia. Demikian juga susu segar (melk) dari Dapok terkenal di Batavia.

Penduduk pribumi sangat akrab dengan ternak dan dunia peternakan dalam menghasilkan susu. Keju dengan bahan dasar susu menyebabkan orang Belanda dan orang pribumi terhubung. Susu yang sehat menghasilkan keju yang baik dan sehat. Atas dasar inilah pemerintah Hindia Belanda cukup peduli terhadap lapangan usaha pribumi ini. Tentu saja tidak hanya itu. Ternak juga digunakan pribumi untuk banyak hal: membajak sawah, menarik gerobak (pedati) untuk membawa batang dan tentu saja untuk kebutuhan daging dalam pesta besar. Ini juga menyebabkan pemerintah Hindia Belanda cukup peduli terhadap ternak pribumi ini.

Pedati pengangkut tebu, 1902
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Epidemik Ternak di Tjabangboengin, 1865

Ternak dan peternakan boleh jadi seumur dengan peradaban. Namun persoalan penyakit (epidemik) ternak di Indonesia (baca: Hindia Belanda) dan catatan tertua baru ditemukan pada tahun 1865. Dilaporkan penyakit ternak besar pecah di Tjabangboengin dan Telok Djambe (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-07-1865). Ahli bedah hewan pemerintah segera dikirim ke TKP untuk menyelidikinya. Hasilnya, ditemukan penyakit antraks.

Perhatian terhadap kesehatan ternak sudah disadari pemerintah lebih awal. Pemerintah mendatangkan dokter-dokter hewan dari Belanda. Pada tahun 1861 di Soerabaja mulai dirintis sekolah kedokteran hewan untuk melatih sejumlah pemuda pribumi. Ahli bedah hewan yang ada di Soerabaja inilah yang diduga didatangkan ke Bekasi. Identifikasi penyakit ternak di District Bekasi tepat berada di tangan ahlinya.

Hasil penyelidikan dokter hewan dari Soerabaja ini mengindikasikan bahwa penyakit ternak kerbau yang diselidiki identik dengan antraks (penyakit tertua ternak besar). Para ahli ini tidak berdaya menyelamatkan hewan yang sekarang dan banyak yang telah mati, gejala penyakitnya sudah lama berlangsung dan sulit ditangani. Namun begitu, para ahli ini menemukan sebab-sebab munculnya epidemik tersebut.

Sebab pertama karena kurangnya perawatan yang dilakukan oleh penduduk terhadap ternaknya. Ternak mengikuti alamnya, selepas makan berendam di kubangan lumpur semalaman. Perilaku hewan ini juga ditemukan pada perilaku pemiliknya yang kurang memperhatikan kandang ternak yang kotor dan basah. Hal inilah yang diduga menyebabkan kuman yang menyebabkan antraks berkembang biak dengan cepat. Peristiwa epidemik ini telah menemukan jalan ke upaya pencegahan. Sekolah kedokteran hewan bagi pribumi menjadi perlu.

Satu abad sebelum kejadian epidemik ini, di Tandjoeng West (kini Tanjung Barat) terdapat peternakan besar yang dikelola oleh orang Eropa/Belanda, Andries Duurkoop. Peternakan Tandjoeng West ini mengusahakan sebanyak 5.000 ekor sapi dengan mempekerjaan sebanyak 400 budak. Usaha peternakan (ranch) Tandjoeng West memasok kebutuhan susu segar ke Batavia. Jhos Rach sempat mengabadikan land Tandjong West lewat beberapa lukisan pada tahun 1760. Untuk menunjukkan kekagumannya, Jhos Rach menyebut ranch Tandjoeng West ini bagaikan Frisia di timur (Oostvriesland).

Land Tandjong West, latar G. Salak (lukisan 1760)
Frisia adalah suatu wilayah pantai di sebelah utara Belanda dan Jerman. Friesland adalah suatu wilayah pertanian yang sejak dari dulu terkenal dengan sapi berwarna hitam dan putih dan kuda hitam yang juga terkenal. Sebagai wilayah peternakan dan pertanian, wilayah ini juga sejak dari dulu penghasil susu yang terkenal. Hingga saat ini wilayah ini tetap terkenal sebagai produsen susu. Salah satu merek susu terkenal yang ada sekarang adalah susu merek Frisian Flag. Lanskap Land Tandjong West, latar G. Salak (lukisan 1760)

Pada tahun 1780 Jan Andries Duurkoop diketahui tidak mampu lagi membayar kepada tenaga kerjanya (lihat Soerabaijasch handelsblad, 17-08-1893). Namun tidak dijelaskan sebab-sebabnya mengapa demikian. Apakah ada kaitannya dengan penyakit ternak?  Pada tahun 1791 Jan Andries Duurkoop diketahui telah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan seorang anak yang masih kecil. Tampaknya sang istri yang ditinggal tidak meneuskan ranch ini. Ranch Tandjoeng West tamat.

Meski ranch Tandjoeng West ini telah berakhir, tetapi peternakan-peternakan kecil yang dikelola penduduk bermunculan di berbagai tempat seperti di Lenteng Agoeng, Djagakarsa dan Pondok Ranggon. Penduduk yang mengusahakan peternakan sapi skala kecil ini besar dugaan adalah para mantan cowboy-cowboy dari ranch Tandjoeng West. Usaha-usaha peternakan skala kecil pada gilirannya, diduga telah berkembang di daerah aliran sungai Bekasi.

Peternakan sapi penduduk dan ternak besar penduduk penghela pedati (kerbau) dan kereta (kuda) menjadi satu paket perhatian pemerintah. Sapi, kerbau dan kuda harus dijaga kelangsungannya mungkin demikian cara berpikir pemerintah sehingga harus mendatangkan dokter hewan dari Belanda. Itulah awal kehadiran dokter-dokter hewan Belanda dan menjadi awal mula rintisan sekolah kedokteran hewan di Soerabaja yang kemudian mereka dapat bertemu dengan penduduk di Bekasi yang resah dengan ternak-ternak mereka yang sekarat dan sudah banyak yang mati.

Industri Keju dan Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

1 komentar: