*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Sering, jika tidak dikatakan selalu, disebut nama Batavia tempo doeloe adalah [D]jakarta (baca: Jacatra). Pernyataan itu keliru. Kenyataannya tidak pernah Jacatra digantikan dengan Batavia. Keduanya, Batavia dan Jacatra sama-sama eksis. Tentu saja dalam hal ini, nama Jacarta lebih dulu eksis jika dibandingkan dengan Batavia. Nama Jacatra sudah ada sebelum kedatangan orang-orang VOC/Belanda mendirikan Kasteel Batavia.
Sering, jika tidak dikatakan selalu, disebut nama Batavia tempo doeloe adalah [D]jakarta (baca: Jacatra). Pernyataan itu keliru. Kenyataannya tidak pernah Jacatra digantikan dengan Batavia. Keduanya, Batavia dan Jacatra sama-sama eksis. Tentu saja dalam hal ini, nama Jacarta lebih dulu eksis jika dibandingkan dengan Batavia. Nama Jacatra sudah ada sebelum kedatangan orang-orang VOC/Belanda mendirikan Kasteel Batavia.
Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 15-06-1630 |
Kesalahan persepsi kerap terjadi dalam sejarah.
Kekeliruan terjadi bukan kurang andalnya analisis tetapi kurang tersedianya
yang valid atau kurang termanfaatkannya data secara maksimal. Satu lagi sebab
munculnya kekeliruan, analisis sejarah cenderung linier (garis lurus dimensi
satu). Analisis sejarah dengan pendekatan dua dimensi (bidang integral) dan
tiga dimensi (ruang) sangat membantu memahami sejarah keseluruhan. Pendekatan
dimensi dua (spasial) dan dimensi tiga sangat berguna untuk meluruskan sejarah
yang bengkok. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe dengan menerapkan analisis non sejarah.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar
sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung
(pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis)
dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
JacaTRa: Mengapa Bukan JacaRTa
Radja Jacatra tidak bertempat tinggal pelabuhan
Soenda Kalapa, tetapi di suatu area/tempat yang disebut (kota.kampong) Jacatra
(di sekitar Mangga Dua yang sekarang). Area pelabuhan (Soenda Calapa) adalah
wilayah yurisdiksi Kerajaan Jacarta. Seperti halnya di Bantam (Banten),
pelabuhan Soenda Kalapa adalah pelabuhan yang ramai dari berbagai bangsa
termasuk Inggris dan Belanda serta Cina dan Jepang. Ketika (kesultanan) Banten
mulai membangun kekuatan di Jacatra dengan membangun pusat di pelabuhan Soenda
Kalapa, Belanda mulai memikirkan rencana baru: Mengusir (kesultanan) Banten dari
muara sungai Tjiliwong dan menguasa (kerajaan) Jacatra untuk membuka jalan untuk
memindahkan ibu kota VOC/Belanda dari Amboina ke Soenda Kalapa.
Banten
dan Soenda Kalapa saat itu sudah menjadi pelabuhan penting dari dua kerajaan
(Banten dan Jacatra). Batas antara dua kerajaan ini berada pada titik
(demarkasi) di pulau Oentoeng Djawa (Belanda: Ontong Java) dan sungai
Tangerang/sungai Tjisadane. Dalam perkembangannya, Jan Pieterszoon Coen
mengambil posisi dan membangun benteng di pulau Ontong Java. Dengan alasan
pertama untuk melindungai Kerajaan Jacatra (dari Banten), Jan Pieterszoon Coen
yang telah menjadi Gubernur Jenderal VOC menaklukkan Jacatra dan mendudukinya
pada tahun 1619. Penaklukan dan oendudukan ini berawal dari kecelakaan yang
terjadi yang disebabkan pihak kerajaan dengan kerugian di pihak VOC/Belanda. Perjanjian
pun dibuat dengan raja Jacatra. Sejak saat inilah Jan Pieterszoon Coen memulai mengembangkan
benteng (kasteel) dengan membangun kota yang disebut Batavia. Sementara itu
kota Jacatra berada jauh di arah hulu sungai Tjiliwong (sekitar Mangga Dua yang
sekarang).
Perjanjian
antara VOC/Belanda dan kerajaan Jacatra membuat geram Banten dan Mataram.
Inggris tidak menduga tindakan yang dilakukan VOC/Belanda, Inggris ingin Banten
dan Jacatra tetap sebagai pelabuhan (bebas) internasional. Lalu hukum Belanda
diterapkan di Jacatra dan pihak Inggris diposisikan sebagai tamu yang dapat
mendirikan konsulat/ambassador. Orang-orang Jepang juga tidak menduga kebijakan
VOC/Belanda yang menguasai ini karena di dalam militer VOC/Belanda juga
terdapat sejumlah militer Jepang. Segera setelah penaklukkan, Jan Pieterszoon
Coen sudah menyiapkan desain kota yang berpusat di benteng Kasteel (yang
kemudian disebut Kasteel Batavia). Untuk mengamankan keluarga kerajaan Jacatra
(dari tekanan Banten dan Mataran), VOC/Belanda membangun istana yang disediakan
untuk keluarga kerajaan di dalam lingkungan Kasteel. Kekuatan benteng ini
paling tidak telah berhasil menahan serangan dari Mataram (1629). Itu menjadi
sinyal dari Batavia untuk Banten.
Perjanjian antara VOC/Belanda dan kerajaan
Jacatra sangatlah penting bagi Belanda. Secara hukum Eropa/Belanda, pihak
VOC/Belanda syah untuk bertindak atas nama kerajaan Jacatra (yang terdapat
dalam perjanjian). Dengan kata lain, secara spasial, wilayah (administrasi) kerajaan
Jacarta dari batas sungai Tangerang hingga batas sungai Tjitaroem) di bawah
wilayah yurisdiksi kerajaan Jacatra tetapi secara ekonomi, pihak VOC/Belanda
memiliki hak menguasai (monopoli) perdagangan, paling tidak di pelabuhan Soenda
Kalapa (yang berkembang menjadi kota Batavia). Wilaah (Kerajaan) Jacatra di
Asia menjadi semacam ‘negara’ dominion dari Kerajaan Belanda (di Eropa).
Pola
menguasai yang dari sudut pandang Belanda disebut sebagai kerjasama yang
dituangkan dalam perjanjian. Secara teknis pihak Belanda merasa tidak dalam
posisi mengusai (akuisisi) tetapi membangun kerjasama bilateral, tetapi dari
sudut pandang pribumi yakni yang menjadi lawan baru kerajaan Jacatra (Banten
dan Mataram) dianggap sebagai penaklukkan dan pendudukan wilayah kerajaan
Jacatra. Pola ini kelak menjadi model umum yang diberlakukan Belanda untuk
menguasai secara bertahap seluruh Hindia (baca: Indonesia). Pada masa ini pola awal
ini dari sudut pandang bangsa Indonesia masa kini disebut devide et impera,
tetapi dari sudut pandang Belanda mereka menganggap sebagai bentuk kerjasama
(cooperative) dengan penduduk melalui pemimpin lokal.
Catatan:
Pada tanggal 31 Oktober 1617 Jan Pietersz Coen sebagai Gubernur Jenderal
berangkat dari Belanda dan mulai memerintah Juni 1618 dan kemudian memindahkan
pos dari Ambon ke Jacatra 10 Mei 1619. Inilah secara defacto Gubernur Jenderal VOC
pertama. Untuk kali pertama muncul nama Batavia. Jan Pietersz Coen berakhir
tugasnya tahun 1623. Jan Pietersz Coen kembali menjabat Gubernur Jenderal
antara tahun 1627-1629. Sebagai penggantinya bulan Septeber 1629 Specx
diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Jaques
Specx pertama kali datang dari Derdrecht dengan kapal Patria tiba di Batavia
tanggal 23 September 1619. Kapal Patria
adalah kapal perang yang juga berfungsi sebagai kapal penumpang. Specx sebagai
Gubernur Jenderal berakhir pada 7 September 1632 (digantikan Hendrik Brouwer). Jaques
Specx kembali ke Belanda dari Batavia tanggal 3 Desember 1632 dengan kapal
Patria (lihat Almanak 1810). Dalam pelayaran pulang ini, General Jaques Specx
juga bertindak sebagai pemimpin pelayaran dengan membawa tujuh kapal dagang:
Prins Willem, Hollandia, Zutphen, Amelia, Rotterdam, Hoorn dan Amboina (lihat
surat kabar yang terbit di Amstedam, Courante uyt Italien, Duytslandt, &c.,
16-07-1633). Ketujuh kapal tersebut membawa 36 jenis komoditi antara lain lada,
puli, peper, indigo. Porselin dari China, permata (komoditi-komoditi ini dalam
satu sak, pikol, kati, bal, pon dan lainnya). Dalam hubungan ini, Jan Pietersz
Coen dan General Jaques Specx dua orang yang bertanggung jawab dalam menghadapi
serangan (kasteel Batavia) dari Mataram.
Setelah situasi mulai kondusif di seputar kota
(stad/kasteel) Batavia (terutama pasca serangan Mataram pada tahun 1628),
pemerintah VOC/Belanda mulai melindungi stad/kasteel Batavia dengan membangun enam
benteng (fort) dengan menempatkan pasukan pribumi pendukung militer VOC/Belanda
di seputar kota/stad Batavia yakni di benteng pulau Onrust, benteng muara
Antjol, benteng hilir sungai Crokot (kini sekitar Jembatan Lima), benteng di
hulu sungai Crokot (fort Riswijk) dan benteng hulu sungai Tjiliwong (fort Noordwijk)
serta benteng di eks lokasi kerajaan Jacatra yang disebut benteng (fort)
Jacatra.
Sejak
adanya koloni Belanda di wilayah kerajaan Jacatra (di sekitar benteng/kasteel
Batavia) dalam berita-berita pelayaran nama pelabuhan (asal/tujuan) Jacatra dan
Batavia saling dipertukarkan. Adakalanya disebut pelabuhan Batavia dan
adakalanya disebut pelabuhan Jacatra. Dalam hal ini, nama Jacatra adalah
merujuk pada nama kota/kampong Jacatra dan juga nama wilayah administratif
(kerajaan), sedangkan nama Batavia adalah merujuk pada nama kasteel atau kota
Batavia (yang secara yuridis berada di wilayah kerajaan Jacatra). Penyebutan
nama pelabuhan Jacatra di dalam surat kabar paling tidak ditemukan pada surat
kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. edisi 15-06-1630. Sementara penyebutan
pelabuhan Batavia di dalam surat kabar paling tidak ditemukan pada surat kabar Courante
uyt Italien, Duytslandt, &c edisi 31-07-1627.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di
blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah
menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping
pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar
lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya
dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang
tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar