*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Bima memiliki sejarah tersendiri. Meski memiliki kedekatan dengan sejarah Dompu, tetapi dalam perkembangannya sejarah Bima lebih dekat dengan Tambora. Dalam perkembangan berikutnya, sejarah Bima overlap dengan sejarah Makassar. Sebaliknya sejarah Lombok di satu sisi overlap dengan sejarah Bali dan di sisi lain sejarah Lombok overlap dengan sejarah Sumbawa. Namun seperti kata pepatah Bima jauh di mata Lombok dekat di hati. Oleh karena itulah, Lombok, Sumbawa, Dompu, Tambora dan Bima disatukan dalam satu wilayah tersendiri: Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Sejarah Bima memiliki sejarah tersendiri. Meski memiliki kedekatan dengan sejarah Dompu, tetapi dalam perkembangannya sejarah Bima lebih dekat dengan Tambora. Dalam perkembangan berikutnya, sejarah Bima overlap dengan sejarah Makassar. Sebaliknya sejarah Lombok di satu sisi overlap dengan sejarah Bali dan di sisi lain sejarah Lombok overlap dengan sejarah Sumbawa. Namun seperti kata pepatah Bima jauh di mata Lombok dekat di hati. Oleh karena itulah, Lombok, Sumbawa, Dompu, Tambora dan Bima disatukan dalam satu wilayah tersendiri: Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Middelburgsche courant, 25-09-1762 |
Di antara semua daerah-daerah di Nusa Tenggara
Barat, meski Lombok lebih awal dikenal oleh orang Belanda, tetapi Bima kemudian
menjadi yang lebih terkenal. Mengapa? Itulah sebabnya mengapa sejarah Bima begitu
penting di Nusa Tenggara Barat. Hubungan yang intim antara kerajaan Bima dan
kerajaan Makassar (di utara) menambah pentingnya Bima dalam keseluruhan sejarah
kepulauan Sunda Kecil. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan
sejarah nasional, mari kita telusuri sumbe-sumber tempo doeloe.
Kabupaten Bima di Nusa Tenggara Barat (Now) |
Nama Bima
Nama Bima di pulau Sumbawa paling tidak sudah
diberitakan pada tahun 1762 (lihat Middelburgsche courant, 25-09-1762).
Disebutkan kapal dari Batavia menuju Banda melalui Bima Sumbawa. Banda dan
Amboina dua diantara tempat yang menjadi tujuan akhir di timur Hindia. Ini
mengindikasikan bahwa Bima tetap dianggap penting setelah hampir satu abad
berlalu. Nama Bima dianggap penting sejak 1661.
Ekspedisi
pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman telah mengunjungi Lombok
(teluk Lombok di pantai timur Lombok) pada tahun 1597. Pada ekspedisi kedua
Belanda juga telah mengunjungi teluk Lombok pada tahun 1599. Lalu kemudian
jalur pantai-pantai utara Jawa, Madoera, Bali, Lombok, Soembawa, Flores dan
Timor menjadi jalut utama pelayaran (VOC) Belanda dari Batavia ke Banda dan
Amboina. Dalam catatan harian Kasteel Batavia (Daghregister) nama Bima kali
pertama dicatat pada tanggal 31 Januari 1661, kapal de Haes dari Batavia menuju
Bima. Itu berarti sejak 1661 hingga tahun 1762 selama satu abad adanya hubungan
(komunikasi) antara Batavia dan Bima. Sementara itu dua tahun sebelumnya
hubungan (komunikasi) antara Batavia dan Bali menurut Daghregister dicatat pada
tangga 31 Januari 1659. Ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de
Houtman juga telah mengunjungi Bali pada tahun 1597. Kapal de Haes kembali
mengunjungi Bima sesuai catatan Daghregister pada tanggal 12 Februari 1661.
Hubungan timbal balik antara Batavia (VOC) dengan
Bima yang dimulai pada tahun 1661 paling tidak muncul setelah adanya surat dari
viceroy dari Bima (lihat Dagregister 12 September 1661). Viceroy dalam hal ini adalah
gubernur VOC. Hasil pembicaraan antara Residen VOC dengan radja Bima (koning
van Bima) dicatat dalam Daghregister pada tanggal 4 Oktober 1661. Dalam hal
ini, Bima menjadi tempat terpenting kedua VOC di timur (selain Amboina). Di
Bima adalah tempat gubernur dan residen VOC.
Sebelum
itu, Abraham Verspreet ditugaskan sebagai gubernur (landvoogden) di Makassar
tahun 1655. Namun belum lama bertugas Abraham Verspreet harus ditarik ke
Batavia. Tidak diketahui mengapa penarikan gubernur ini dilakukan. Terjadi
kekosongan gubernur (landvoogden) di Makassar sejak 1655. Fungsi gubernur di
Makassar ini diduga telah ditempatkan di Bima,
Hubungan
(komunikasi) timbal balik antara Batavia dan Makassar sudah lama ada. Ini
dimulai pada era Gubernur Jenderal kesembilan, Anthony van Diemen mengangkat
seorang pedagang (koopman) di Makassar N van Vliet sebagai gubernur
(landvoogden). N van Vliet terbunuh pada tahun 1638 lalu digantikan oleh oleh
kepala pedagang (opperkoopman) VOC di Makassar, Johan van Suijdewijk.
Pengangkatan Johan van Suijdewijk sebagai gubernur hanya berlangsung hingga
1646. Setelah itu fungsi gubernur VOC di Makassar ditadakan, Namun pada tahun
1651 fungsi gubernur diaktifkan kembali dengan mengangkat Evert Jansz. Ruijs.
Pada tahun 1655 Ruijs digantikan oleh Abraham Verspreet. Namun belum lama
menjabat sebagai gubernur, Abraham Verspreet harus ditarik kembali ke Batavia.
Sejak gubernur VOC ditempatkan di Bima, situasi
politik di Makassar semakin menghangat. Perseteruan antara Belanda (VOC) dengan
kesultanan Gowa semakin terbuka. Ini bermula tahun 1666, Abraham Verspreet
memimpin sebuah ekspedisi kedua di Sumatra’s Westkust. Abraham Verspreet
bertindak sebagai Komisaris (civiel) merangkap komandan (militair) untuk
menumpas pelawanan Paoeh di muara sungai Batang Araoe yang beberapa bulan
sebelumnya telah memberi perlawanan kepada ekspedisi Belanda pertama dibawah
pimpinan Jacob Grujs. Abraham Verspreet membawahi pasukan ‘multi nasional’ yang
dibawa dari Batavia pada bulan Agustus 1666 yang terdiri dari 300 orang
Belanda, 130 orang Bugis dibawah komando Aroe Palakka dan 100 orang Ambon
dibawah komando Kapitein Jonker.
Pada
bulan Desember 1660 Aroe Palakka melarikan diri ke Boethon karena dianggap
Kerajaan Goa (Makassar) melakukan pemberontakan di Bone. Boethon yang berada di
bawah perlindungan Ternate (yang telah bekerjasama dengan VOC) berseberangan
dengan Makassar. Pasukan Bone atas nama Makassar mengejar Aroe Palakka hingga
ke Boethon. Lalu Boethon meminta Aroe Patodjo (dan Aroe Palakka) ke Batavia.
Sekitar satu bulan kemudian Aroe Palakka dengan keluarganya bergabung dengan
warga Ambonsch yang bersekutu dengan orang-orang VOC. Aroe Palakka tinggal di
Angke (bersama dengan orang-orang Bugis). Aroe Palakka menawarkan pasukannya
250 orang untuk bergabung dengan ekspedisi di bawah komando Poolman ke
Sumatra’s Westkust tahun 1666 yang berjumlah 1.000 orang. Aroe Palakka telah
melayani dengan baik ekspedisi dan kembali ke Batavia 3 November 1666 dengan
banyak penghormatan. Persahabatan Poolman dan Aroe Palakka semakin intens dan
menjadi sahabat.
Delapan belas hari setelah di Batavia, Aroe
Palakka berangkat dengan salah satu kapal yang menuju Makassar untuk bergabung
dengan Speelman yang akan mengeksekusi Goa-Tallo yang telah melanggar
perjanjian (contract). Armada Speelman meninggalkan Batavia pada tanggal 24
September 1666 dan berlayar terlebih dahulu ke Makassar, sementara Speelman
tiba pada tanggal 10 Desember. Sehari sebelumnya, Aroe Palakka telah menangkap beberapa
orang Badjore, subyek Gowa, di pulau Tanakéké, dan dengan demikian benar-benar
memulai perang sebelum diumumkan.
Bukti
yang ditunjukkan Aroe Palakka dengan pasukannya di Sumatra’s Westkust menjadi
pasword untuk bergabung dengan pasukan Speelman yang akan menghukum Goa-Tallo.
Cornelis Speelman memang membutuhkan sekutu baru untuk bisa mengalahkan
kekuatan Goa-Tallo. Rekomendasi Poolman memperkuaat penerimaan Speelman
terhadap Aroe Palakka.
Speelman tidak menyukai pangeran Makassar karena
telah melakukan banyak pelanggaran teritorial (menyerang kapal-kapal VOC dan
mengganggu pegawai-pegawai VOC) dan segera melakukan serangan dengan menaikkan
bendera merah. Armada Speelman berlayar ke Boethon setelah mengetahui pasukan
Makassar ingin menyerang Boethon karena telah membantu Aroe Palakka. Boeton
tertolong karena armada Speelman berada tiba pada tepat waktu. Pada tanggal 1 Januari 1667 dengan
meningkatnya ekskalasi suhu perang, 5.000 Bonéerér, Soppengers dan Boeginer
lainnya merapat kepada Aroe Palakka (yang datang dari Batavia). Pasukan lawan
yang tersisa menyerah pada tanggal 3 Januari.
Setelah
‘pertempuran’ Speelman dan Gowa-Tallo di Boethon, Aroe Palakka ‘ngepos’ di
Boethon. Sementara Speelman melanjutkan pelayaran ke Maluku untuk tujuan
tertentu. Aroe Palakka mendapat pesan dari Spoelman untuk mengutus pasukan
untuk membebaskan Boné, Soppeng dan Adjatappareng melawan Gowa. Namun semua
pasukan di Bone dihabisi oleh Makassar, tetapi Soppeng dan Adjatappareng
terhindar karena pasukan Speelman yang sudah kembali mendekat. Speelman sendiri
kembali ke Boeton pada bulan Juni 1667 yang didampingi oleh Soelthan Ternate,
Mandarsjah, serta pasukan pembantu dari Ternate, Tidore dan Batjan. Setelah
membuat kontrak dengan Boethon, Speelman pada bulan Juni itu ke Makassar yang
diikuti semua pasukan yang berafiliasi dengan Speelman dari Maluku, pasukan
Aroe Palakka dan ditambah 1.000 pasukan dari Boethon. Total, Speelman di
Makassar membawahi 11.000 pasukan dan siap melawan Goa-Tallo (lihat Sejarah
Bone pada surat kabar Soerabaijasch handelsblad, 16-08-1905). Akhirnya kerajaan
Gowa berhasil ditaklukkan VOC. Benteng Somba Opu yang juga merupakan ibukota
(Stad) Somba Opu pasca penaklukan telah dihancurkan. Hal ini didasarkan pada
perjanjian Bongaya (16 November 1667). Perjanjian ini terdiri dari 30 pasal
(artikel). 10. Pada Art.10 dinyatakan bahwa seluruh benteng di garis pantai
Makassar harus dihancurkan (Barombong, Panekoke, Grise, Marisso, Borrebos).
Hanya benteng Somboepo [Sombaopoe] yang tetap ada bagi Raja. Sedangkan Art.11
menyatakan bahwa benteng Udjoeng Pandang diserahkan kepada VOC dalam keadaan
baik, bersama perkampungan dan lahan di sekitarnya.
Setelah kerajaan Gowa tiada, pemerintah VOC
kembali memperkuat hubungan (komunikasi) dengan kerajaan/kesultanan Bima.
Perjanjian (contract) baru antara pemerintah VOC dan kerajaan Bima diperbarui
tangga 13 November 1669 sebagaimana dicatat dalam Daghregister.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar