*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito, kelak dikenal
sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana X (sekarang). Sultan Hamengkubuwana IX sang
ayah dan Sultan Hamengkubuwana IX sang anak adalah dua pemimpin modern di
Kesultanan Djogjakarta. Antara ayah dan anak hanya beda-beda tipislah, 11, 12.
Secara dejure Hamengkubuwana IX masih menjadi sultan hingga tahun 1988 (sejak
1940), tetapi secara defacto Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sejak 1973 sudah
menjadi Sultan Yogyakarta. Apa, iya?
Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito |
Bendoro Raden Mas (BRM) Herdjoeno Darpito gelar KPH Mangkubumi
pada tahun 1973 sudah berumur 27 tahun. Saat itu, sang ayah, Hamengkubuwana IX
diangkat menjadi Wakil Presiden RI (kosong sejak Mohamad Hatta mengundurkan
diri tahun 1956). Tahun 1973 adalah era baru Wakil Presiden. Hamengkubuwana IX
sebagai Wakil Presiden (1973-1978)
dilanjutkan oleh Adam Malik (1978-1983).
Dua wakil presiden pertama era baru ini adalah generasi 1945 (Djokjakarta).
Lantas seperti apa sejarah awal Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito yang
melanjutkan jabatan historis Sultan Hamengkubuwana IX? Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber sejaman tempo doeloe.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja*. De Volkskrant, 22-04-1967
Bendoro
Raden Mas Herdjoeno Darpito
Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito berangkat dewasa pasca
G 30 S/PKI 1965. Usianya telah
melampaui usia 19 tahun dan terdaftar di tingkat pertama fakultas hukum
Universitas Gadjah Mada di Djokjakarta. Saat terjadi G 30 S/PKI 1965 tentu saja sang ayah berada di Djakarta
sebagai Menteri/Ketua BPK RI. TNI segera dapat mengendalikan situasi dan kondisi di
Djakarta. Sempat muncul kekhawatiran di Djokjakarta tetapi segera pula mereda.
Sejak situasi dan kondisi menjadi lebih tenang, ada rumor bahwa para komandan TNI
meminta Presiden Soekarno untuk menunjuk seorang Wakil Presiden (Vice President)
yang secara otomatis pada waktunya menggantikan Kepala Negara wafat (lihat Leeuwarder
courant : hoofdblad van Friesland, 17-11-1965).
De Volkskrant, 22-04-1967 |
Namun rumor tetaplah rumor. Yang agak membingungkan,
beberapa bulan kemudian muncul pemberitaan bahwa Presiden Soekarno telah ‘memecat’
Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dari posisinya (lihat Trouw, 23-02-1966). Apakah
karena sebelumnya dipromosikan militer Jenderal Abdoel Haris Nasoetion menjadi
Wakil Presiden? Juga
disebutkan bahwa Presiden Soekarno telah menawarkan Jenderal Abdoel Haris
Nasoetion sebagai duta besar, tetapi Jenderal Abdoel Haris Nasoetion telah
menolaknya. Disebutkan pemberitahuan ‘pemecatan’ ini disebutkan pada tanggal 17
Februari, sementara Jenderal Abdoel Haris Nasoetion tidak langsung menjawab,
tetapi akan mengadakan pertemuan para jenderal. Secara khusus, Mayor Jenderal Soeharto,
Kepala Staf Angkatan Darat menyarankan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion untuk
menentang keputusan Presiden.
Disebutkan
salah satu konsekuensi langsung dari ‘penggusuran’ Jenderal Abdoel Haris
Nasoetion adalah bahwa wakilnya Laksamana Martadinata juga akan ‘tergusur’. Disebutkan
Jenderal Abdoel Haris Nasoetion akan digantikan oleh [Mayor Jenderal] Sarbini
yang merupakan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Juga disebutkan Soeltan
Hamengkoeboewono, yang sampai sekarang sebagai Ketua BPK telah ditempatkan sebagai
kepala kementerian pariwisata yang baru. Kementerian yang baru lainnya adalah
pos dan telekomunikasi yang akan dipimpin Marsekal Udara Soerjadarma.
Sementara itu menurut Trouw, 23-02-1966 masih belum jelas
bagaimana berbagai komandan militer di Indonesia bereaksi terhadap ‘pemecatan’
Jenderal Abdoel Haris Nasoetion sebab koneksi dengan berbagai pulau tidak
selalu bekerja dengan cepat. Disebutkan menurut stasion rahasia yang diduga
ditempatkan di suatu tempat di Jawa melaporkan kemarin bahwa situasi di Djakarta
menyusul pemecatan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion sebagai Menteri Pertahanan
dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata merupakan ledakan. Stasion itu melaporkan
bahwa konflik bersenjata dapat pecah kapan saja dan bahwa pengawasan terhadap istana
Presiden Soekarno telah diperkuat.
Perubahan
kabinet ini kini dikenal sebagai perubahan kabinet Dwikora I menjadi Dwikora
II. Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal
Abdoel Haris Nasoetion diganti dengan Mayjen TNI Sarbini; Menteri/Panglima
Angkatan Laut Laksamana Martadinata digantikan oleh Laksamana Muda Muljadi
(plus wakilnya). Posisi Hamengkoeboewono IX yang sebelumnya strategis di BPK
telah diisi oleh Mayor Jenderal Soeprajogi. Hamengkoeboewono IX menempati
kementerian yang baru yang juga merangkap menteri koordinator pada bidang
tersebut. Secara teknis, Presiden Soekarno telah ‘memecat’ tiga posisi penting
(yang boleh jadi saling terhubung): Jenderal Abdoel Haris Nasoetion (Menteri Koordinator
Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata); Menteri/Panglima Angkatan Laut
Laksamana RE Martadinata; dan Hamengkoeboewono IX (Menteri/Ketua BPK).
Lantas siapa yang diuntungkan dalam reshuffle kabinet ini
(Kabinet Dwikora II)? Apakah Presiden
Soekarno atau yang lain? Yang jelas kandidat Wakil Presiden (Jenderal
Abdoel Haris Nasoetion atau Hamengkoeboewono IX) tidak terwujud. Apakah
pengganti Jenderal Abdoel Haris Nasoetion akan bertahan lama?
Dinamika politik sangat cepat. Situasi dan
kondisi belum sepenuhnya kondusif. Sejak terjadi G 30 S/PKI (Oktober) banyak muncul
tuntutan. Tentara memaksa Soekarno untuk memerintahkan pembersihan pemerintah
komunis. Militer Indonesia mencapai kemenangan politik besar kemarin dengan dikeluarkannya,
atas nama Presiden Soekarno, sebuah dekrit yang memerintahkan pembersihan
pemerintah dari komunis dan individu-individu yang bersimpati dengan kudeta 1
Oktober yang gagal. Dekrit yang dikeluarkan sebagai perintah presiden oleh
komando operasional tinggi (Koti) - Soekarno - ditandatangani atas nama
presiden oleh komandan militer, Mayor Jenderal Soeharto (lihat Leeuwarder courant
: hoofdblad van Friesland, 17-11-1965). Sementara itu, Parlemen Indonesia (beranggotakan
300 orang) menuntut pembubaran partai komunis (lihat Gereformeerd gezinsblad /
hoofdred. P. Jongeling, 19-11-1965). Disebutkan parlemen telah diusir 70 orang
dari partai komunis (hanya tersisa 230 orang). Sementara itu pimpinan angkatan
bersenjata Indonesia telah meminta Presiden Soekarno untuk memberhentikan Marsekal
Omar Dhani sebagai komandan Angkatan Udara. Disebutkan pimpinan militer percaya
bahwa Omar Dhani telah kehilangan otoritasnya karena terlibat dalam kudeta.
Satu bulan kemudian setelah reshuffle kabinet (Kabinet
Dwikora II) terjadi lagi reshuffle kabinet (Kabinet Dwikora III) yang hasilnya
diumumkan pada tanggal 27 Maret 1966. Semua anggota kabinet yang berhaluan
komunis dan terkait dengan kudeta telah diberhentikan. Sejumlah posisi penting
yang ditinggalkan telah diisi. Tiga orang promosi pada tempat yang strategis,
yakni: Adam Malik, Hamengkoeboewono IX dan Soeharto. Ini adalah bayangan trio
baru Indonesia.
Pada awal berdirinya negara Republik Indonesia (1945) ada
trio pendiri negara Indonesia (Three Founding Father) yakni Soekarno, Mohamad
Hatta dan Amir Sjarifoeddin Harahap (Kabinet RI pertama). Tiga orang ini telah
berjuang sejak tahun 1928. Sejak ibu kota RI hijrah ke Djokjakarta, Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap yang mengajak Hamengkoeboewono bergabung ke kabinet 1947.
Saat itu Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap
sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Hamengkoeboewono diposisikan sebagai Menteri
Negara bidang Keamanan Rakyat. Sebelum Hamengkoeboewono bergabung dalam
kabinet, pada tahun 1946 Amir Sjarifoeddin Harahap (Menteri Keamanan Rakyat), Kolonel
Zoelkifli Loebis (kepala intelijen RI) dan Hamengkoeboewono IX (kepala daerah
Djokjakarta) bertiga mendesain struktur Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI.
Lalu pada saat Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menjadi Perdana Menteri, kombinasi
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Hamengkoeboewono IX dipatenkan. Selanjutnya,
pada saat Mohamad Hatta menjadi perdana menteri, Hamengkoeboewono IX
dipromosikan menjadi Menteri Pertahanan. Inilah karir awal Hamengkoeboewono IX
dalam pemerintahan RI. Pada kabinet Natsir, Hamengkoeboewono IX promosi menjadi
Wakil Perdana Menteri (1951). Habis itu Hamengkoeboewono IX sempat menjadi
anggota kabinet Wilopo (sebagai Menteri Pertahanan) tetapi Hamengkoeboewono IX harus
terpaksa pensiun dini (mengundurkan diri) pada tahun 1953,
Pada era demokrasi terpimpin (setelah Dwitunggal
Soekarno-Hatta retak) kembali Presiden Soekarno mengambil marwah Djokjakarta di
dalam kabinetnya. Presiden Soekarno tampaknya tidak cukup hanya dengan Jenderal
Abdoel Haris Nasoetion. Dua menterinya yang baru adalah Mr. Arifin Harahap dan
Hamengkoeboewono IX. Mr. Arifin Harahap sebagai Menteri Muda Perdagangan dan
Hamengkoeboewono IX (Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara) sejak Kabinet
Kerja I/1959.
Mr. Arifin Harahap adalah adik dari Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin
Harahap. Pada saat ibu kota RI di Djokjakarta, Letkol Mr. Arifin Harahap adalah
perwakilan RI di Batavia/Djakarta (semacam duta besar). Mr. Arifin Harahap adalah salah
satu dari 17 sarjana cemerlang yang masih muda yang direkrut Letnan Jenderal
Oerip (atas permintaan kabinet pertama 1945) untuk membentuk tentara fungsional
dengan pangkat Overste (Letkol). Beberapa yang lain diantara 17 orang tersebut
adalah Letkol Dr Ibnoe Soetowo, Letkol Mr. Kasman. Letkol Dr W Hoetagaloeng dan
Letkol Ir MO Parlindoengan (AFP Siregar).
Mengapa Hamengkoeboewono IX mengundurkan diri sebagai
Menteri Pertahanan pada Kabinet Wilopo tahun 1953. Hal ini karena Peristiwa
Oktober 1952 yang kemudian dua sobatnya dipecat Presiden Soekarno yakni Jenderal
TB Simatoepang (KASAP) dan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion (KASAD). Sebagai
rasa solidaritas, Hamengkoeboewono IX mengundurkan diri. Itulah kesetiakawanan
Hamengkoeboewono IX terhadap dua jenderal setia RI tersebut. Pada era Perdana
Menteri Boerhanoeddin Harahap (1955) Jenderal Abdoel Haris Nasoetion
diposisikan kembali (yang kosong sejak 1952). Sebagai jenderal setia, Jenderal
Abdoel Haris Nasoetion masih setia dengan Presiden Soekarno hingga kembalinya
Hamengkoeboewono IX ke kabinet (demokrasi terpimpin). Kini, nostalgia era
Djokjakarta mekar kembali di Djakarta. Hamengkoeboewono IX seakan ‘hidup’ kembali,
partner barunya adalah Mr. Arifin Harahap (adik sahabatnya).
Hamengkoeboewono IX dan Mr. Arifin Harahap tetap bertahan
hingga Kabinet Dwikora III (25 Juli 1966), tetapi tidak dengan Jenderal Abdoel
Haris Nasoetion yang ‘dipecat’ pada Kabinet Dwikora I (sampai 22 Februari 1966),
Pada Kabinet Ampera I (Soeharto), Mr. Arifin Harahap dipensiunkan Soeharto dan
dijadikan duta besar untuk Tunisia. Pada saat Kabinet Ampera I inilah muncul
trio baru Indonesia: Soeharto,
Hamengkoeboewono dan Adam Malik. Adam Malik adalah anak buah Mr. Amir
Sjarifoeddin Harahap di Partai Indonesia (Partindo) 1934 dan pendiri kantor
berita Indonesia Antara (1937). Adam Malik yang masih berumur 15 tahun memulai
karir politik (Partindo) di Pematang Siantar, Sipirok dan Padang Sidempoean (pernah
dibui Belanda di Padang Sidempoean 1935 sebelum hijrah ke Batavia). Ketika Ir. Soekarno berkunjung ke Tapanoeli bersama Amir Sjarifoeddin Harahap untuk kampanye Partindo, Adam Malik dari Padang Sidempoean menyambutnya ke Sibolga. Saat itu Amir Sjarifoeddin Harahap adalah ketua Partindo cabang Batavia.
Kesibukan Hamengkubuwana IX di Djakarta (sebagai Trio
Baru Indonesia) membuat sang anak, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito semakin
intens di Djakarta. Perkuliahan Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito di
Djokjakarta mulai tidak fokus. Hal ini pernah dialami sang ayah, Goesti Raden
Mas Dorodjatoen (Hamengkubuwana IX) yang berkuliah di Belanda mulai tidak fokus
karena sang ayah (Hamengkubuwana VIII) mulai lelah (dan kemudian GRM
Dorodjatoen menjadi Sultan Djokjakarta tahun 1940). Kini, Bendoro Raden Mas
Herdjoeno Darpito sering mendampingi ayahnya di Djakarta (karena kesibukan yang
luar biasa sebagai Trio Baru Indonesia).
Besar
dugaan melihat posisi super sibuk sang ayah (Hamengkubuwana IX) di Djakarta membuat
anak muda Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito di Djakarta mulai ikut membantu
sang ayah. Membantu sang ayah di Djakarta dalam urusan bernegara, dan membantu
sang ayah di Djokjakarta dalam urusan internal kraton.
Ketika jurnalis Belanda datang ke Djokjakarta pada awal tahun
1967, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sudah bertindak di kraton Djokjkarta bagai Soeltan (lihat De Volkskrant, 22-04-1967). Dalam wawancara dan tour di
seputar kraton, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito didampingi oleh adik
perempuan. Sang ayah berada di Djakarta dalam urusan negara. Pada jamuan makan
malam, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito seakan bertindak sebagai ayah yang
duduk di samping sang ibu (yang juga turut saudara-saudara perempuan dalam
jamuan makan tersebut). Tentu saja itu sangat bijaksana dan Bendoro Raden Mas
Herdjoeno Darpito yang sudah berumur 20 tahun dalam status mahasiswa (lajang)
telah dapat menggantikan ketidakhadiran sang ayah di tengah keluarga.
Pengantin baru (1973) |
Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito yang terus commuter
Djokjakarta-Djakarta untuk membantu sang ayah baik dalam urusan negara maupun
urusan kraton, proses menuakan Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito melalui
proses pernikahan, baru terlaksana pada tahun 1973. Bendoro Raden Mas Herdjoeno
Darpito yang berusia 25 tahun dinikahkan dengan Tatiek Dradjad Soepriastoeti
(gelar GKR Hemas) di kraton Djokjakarta.
Sultan
Hamengkubuwana X
Pada kabinet Ampera I, sejak 12 Maret 1967 Soeharto
secara defacto telah menjadi Presiden RI. Trio baru Indonesia ini pada kabinet
Ampera I, Soeharto sebagai Menteri Utama bidang Pertahanan dan Keamanan, Adam
Malik sebagai Menteri Utama bidang Politik dan Hamengkubuwana IX sebagai
Menteri Utama bidang Ekonomi dan Keuangan. Tiga bidang keamanan, politik dan
ekuin adalah tiga posisi strategis.
Trio
baru Indonesia mengantikan trio lama. Komposisi trio lama Indonesia adalah
Soekarno, Mohamad Hatta dan Amir Sjarifoeddin Harahap (sejak Kabinet RI
pertama, 1945). Kini, di tahun 1967 (sejak Kabinet Ampera I967) komposisinya
Soeharto, Adam Malik dan Hamengkubuwana IX. Enam orang dua generasi ini berasal
dari daerah-daerah Republik (100 persen RI, bukan federalis). Trio Indonesia
pertama komposisinya 2+1 (dua Sumatra + 1 Jawa). Trio Indonesia kedua komposisinya
1 + 2 (satu Sumatra + 2 Jawa). Dari Sumatra yang terus eksis adalah Tapanoeli (Amir
Sjarifoeddin Harahap dan Adam Malik). Komposisi ini seakan mengingatkan
himbauan Dr. Soetomo pada tahun 1915 sepulang berdinas dari Tandjoeng Morawa,
Deli meminta diadakan rapat umum Boedi Oetomo di Afdeeling (cabang) Batavia
yang saat itu dipimpin oleh golongan muda terpelajar Dr. Sardjito (kelak Rektor
UGM pertama). Dalam rapat umum tersebut Dr. Soetomo meminta perhatian para
hadirin: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri. Di luar Jawa di Deli orang Jawa sangat
menderita. Banyak orang Tapanoeli yang terpelajar. Mereka ada dimana-mana. Kita
tidak bisa lagi hidup sendiri. Tugas kita lebih luas dari yang kita pikirkan’.
Sebagaimana Trio lama Indonesia, trio baru Indonesia ini juga
‘alumni’ Djokjakarta (semasa ibu kota RI di Djokjakarta 1946-1949). Bendoro
Raden Mas Herdjoeno Darpito melihat komposisi pemimpin Indonesia yang baru,
salah satu sang ayah. Sudah tentu Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito tidak
terlalu mengenal trio lama Indonesia, sebab Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito
baru lahir tahun 1946 (2 April). Ibu kota RI pindah dari Djakarta ke
Djokjakarta pada tanggal 4 Januaru 1946. Itu berarti, tiga bulan kemudian Bendoro
Raden Mas Herdjoeno Darpito lahir, saat ibunya mengandung, saat ayahnya
menyambut kedatangan para Republiken.
Pindahnya
ibukota RI ke Djogjakarta, paling tidak kehadiran tiga pertama pemimpin RI
(Soekarno, Hatta dan Amir) sebagaimana dilaporkan Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 07-01-1946 merupakan amanat KNIP.
Keputusan ini diperkuat dari informasi yang disiarkan (kantor berita) AP
bertanggal 7 Januari di Batavia yang dilansir Het nieuws: algemeen dagblad,
07-01-1946 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia, Sukarno dan Wakil
Presiden, Hatta pindah ke Yogyakarta di Jawa Tengah setelah Pemerintah Indonesia
diminta (KNIP) untuk mendirikan kantor di luar ibukota dengan mengingat situasi
di Batavia, sebab secara umum, situasi di Jawa relatif tenang. Jika
memperhatikan kunjungan Soekarno dan rombongan ke Jogja yang didampingi oleh
Mr. Kasman, perpindahan ibukota ke Jogjakarta secara defacto bersifat alamiah
karena di Djogka sudah dibentuk tentara Indonesia (cikal TNI). Hal itu juga
menjadi pertimbangan KNIP memutuskan agar pemerintahan dipindahkan ke
Djogjakarta.
Perpindahan
ibu kota ke Djogjakarta tentu saja tidak bulat. Sebab ada rumor adanya kesenjangan
diantara para pemimpin sebagaimana dilaporkan surat kabar Merdeka 12 Januari
yang dilansir surat kabar De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad,
15-01-1946. Disebutkan ada indikasi baru terdapat kesenjangan yang semakin
besar antara para pemimpin di Djogjakarta (Soekarno, Hatta dan Amir) dan di
Batavia (Sjahrir dan Menteri lainnya). Para pihak menduga Belanda/NICA ingin
menggunakan Sjahrlr untuk kepercayaannya. Rumor ini juga muncul dari Jogja
sebagaimana dikutip surat kabar yang menyatakan: ‘Radio Djokja menuduh markas
besar (hoofdkwartier) Indonesia di Batavia menutup matanya atas infiltrasi
pihak Belanda ke Djokjakarta (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 17-11-1945).
Proses
perpindahan ibu kota RI dari Djakarta ke Djokjakarta tidak sekaligus. Yang
pertama pindah adalah urusan pertahanan dan keamanan yang dipimpin oleh Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap, beru kemudian menyusul rombongan yang dipimpin Soekarno
dan Mohamad Hatta. Demikian seterusnya secara bergelombang sesuai urutan
kepentingannya, Rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia yang hijrah
dari Djakarta ke Djokjakarta terjadi pada tanggal 16 Oktober 1946. Rombongan
terakhir ini berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari bagian
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan.
Rombongan ini dipimpin oleh Letkol Mr. Arifin Harahap. Rombongan terakhir ini
berangkat dari Stasion Manggarai menuju Djokja yang dikawal oleh polisi Belanda
(lihat Nieuwe courant, 17-10-1946). Letkol Mr. Arifin Harahap adalah adik Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap yang saat trio Indonesia baru mulai berkuasa
(Soeharto, Adam Malik dan Hamengkoeboewono) diangkat menjadi duta besar
berkuasa di Tunisia.
Pada
tahun 1966, Abdul Haris Nasution sebagai senior ABRI, dilantik menjadi Ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pada saat menjabat sebagai
Ketua MPRS, untuk pertama kali Lembaga Tertinggi Negara itu menolak pidato
pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang dikenal dengan nama Nawaksara. Dalam sidang
MPRS di bawah pimpinannya, Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden,
yang kemudian menjadi Presiden pada tahun 1968.
Last
but not least: Ketika disebutkan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion
dibebastugaskan Presiden Soekarno dari jabatan Menteri Koordinator Pertahanan
dan Keagamaan yang kemudian ditawarkan menjadi duta besar, Jenderal Abdoel
Haris Nasoetion menolak, Mungkin bagi Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dirinya didubeskan
adalah suatu pelecehan dalam bernegara. Namun keputusan tetap tidak memberi
tempat baginya di kabinet. Jenderal Abdoel Haris Nasoetion diminta berbagai
pihak untuk menjadi Ketua MPRS. Jenderal Abdoel Haris Nasoetion menerimanya dan
mulai memimpin sidang pada tanggal 20 Juni 1966. Lalu tiba gilirannya
pertanggungjawaban Presiden Soekarno di depan sidang MPRS yang diadakan pada
tanggal 22 Juni. Pidato Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara. Tentu saja
sidang yang dipimpin Jenderal Abdoel Haris Nasoetion menolak. Ini secara
pribadi Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dua kali menolak dalam berurusan dengan
Presiden Soekarno. Hal ini mirip yang pernah dikatakan Mohamad Hatta, saya
menolak diangkat lagi menjadi Wakil Presiden selagi Presiden Soekarno yang
berkuasa. Akhirnya pada sidang MPRS pada tanggal 12 Maret 1967, Soekarno secara
resmi dicopot dari kekuasaan oleh MPRS yang diketuai oleh Jenderal Abdoel Haris
Nasoetion dan selanjutnya melantik Soeharto sebagai Presiden sementara. Secara
resmi pada tanggal 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan
Soeharto sebagai Presiden penuh. Tamat Soekarno orang terakhir dari Trio lama
Indonesia, muncul Soeharto sebagai pemimpin Trio baru Indonesia (Soeharto, Adam
Malik dan Hamengkoeboewono). Lalu Jenderal Abdoel Haris Nasoetion lengser
keprabon.
Pada awal era Trio Baru Indonesia inilah Bendoro Raden
Mas Herdjoeno menjadi dewasa. Lalu pada tahun 1973 pada usia 25 tahun Bendoro
Raden Mas Herdjoeno menikah dengan Tatiek Dradjad Soepriastoeti. Tahun ini adalah
kehidupan permulaan Bendoro Raden Mas Herdjoeno untuk bertanggungjawab kepada
keluarga, kepada kraton dan kepada Republik Indonesia. Semenetara sang ayah, pada
tahun 1973 juga mencapai puncak karir politiknya setelah diangkat menjadi Wakil
Prseiden RI.
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar