*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Sejak era VOC, sejarah (wilayah) Mataram sangat terang benderang apalagi
datanya didukung dari sumber-sumber Portugis. Semakin terang lagi pada era
Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi sejarah wilayah Mataram sebelum
kehadiran orang-orang Eropa, terutama pada era Hindoe Boedha hanya samar-samar.
Ada teks Negarakertagama dan Pararaton, tetapi kurang memadai untuk menggambarkan
era yang lebih tua. Hanya sumber prasasti dan candi yang dapat diandalkan, akan
tetapi jumlahnya tidak banyak. Disebut prasasti tertua di Jawa (bagian tengah)
adalah prasasti Sojomerto. Sedangkan candi tertua di wilayah Mataram adalah
candi yang dibangun dinasti Seilendra sebagaimana disebut pada prasasti Canggal
732 M (dan prasasti Ligor 775 M)
Prasasti di nusantara (Hindia Timur atau Asia Tenggara) disebut
prasasti yang tertua ditemukan di Vietnam, (prasasti Vo Cahn abad ke-3.
Sementara prasasti tertua di wilayah Indonesia yang sekarang ditemukan di Muara
Kaman, Kutai (abad ke-4) dan prasasti Kebon Kopi, Bogor bertarih 400 M.
Prasasti berikutnya di Jawa bagian barat antara lain prasasti Tugu da prasasti
Cidangiang abad ke-5. Lalu pada abad ke-6 adalah prasasti Cianteun. Semua
prasasti di (pulau) Jawa yang bertarih lebih tua ditemukan di Jawa bagian
barat. Boleh jadi karena eksistensi kerajaan Tarumanagara yang disebutkan sejak
abad ke-5. Belakangan ini ditemukan situs candi di Batujaya (Karawang) yang
diduga kuat berasal dari abad ke-5 yang dihubungkan dengan Kerajaan
Tarumanagara. Sebelum adanya prasasti Sojomerto dan prasasti Canggal ditemukan
beberapa prasasti di Sumatra bertarih abad ke-7 seperti prasasti Kedukan Bukit,
prasasti Talang Tuo dan prasasti Kota Kapur
Lantas bagaimana sejarah zaman kuno
di wilayah Mataram? Seperti disebut di
atas, bukti-bukti tertua adalah prasasti Canggal dan situs candi. Lalu
bagaimana hubungan sejarah kuno di wilayah Mataram dengan sejarah zaman kuno di
bagian barat (Tarumangara), bagian utara (Kalingga) dan bagian timur (Kediri,
Singhasari) wilayah Mataram? Dalam hal ini apakah ada kaitannya dengan
prasasti-prasasti yang ditemukan di luar Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Prasasti
Canggal: Candi-Candi di Wilayah Mataram Hingga Kediri, Singhasari, Majapahit
Wilayah Mataram pada
zaman kuno begitu penting. Tidak hanya ditemukan banyak prasasti, juga
ditemukan candi-candi. Salah satu prasasti terpenting adalah prasasti Canggal
yang ditemukan di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Prasasti Canggal ini ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir berangka tahun 654
Saka atau 732 M. Prasasti ini ditulis menggunakan aksara Pallawa dengan bahasa
Sanskerta. Disebutkan raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa
universal dari Kerajaan Mataram (Kuno). Prasasti ini menceritakan tentang
pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan
pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh
Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Sebelum dibuat prasasti Canggal abad ke-8 (732 M)
sudah ada prasasti yakni prasasti Tuk Mas (mata air emas) yang juga disebut prasasti
Dakawu yang ditemukan di lereng barat gunung Merapi, di dusun Dakawu, desa
Lebak, kecamatan Grabag, Magelang. Prasasti Tuk Mas dengan aksara Pallawa dalam
bahasa Sanskerta. Disebutkan aksaranya lebih muda dari aksara masa Purnawarman
dan karena itu diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-6 hingga abad ke-7 M.
Disebutkan isi prasasti menyebutkan adanya sebuah sungai yang mengalir bagaikan
sungai Gangga di India. Pada prasasti ini terdapat pula lukisan alat-alat,
seperti trisula, kendi, kapak, sangkha, cakra, dan bunga tunjung.
Dengan memperhatikan
urutan tarih pada prasasti-prasasti tersebut, keberadaan penduduk wilayah
Mataram paling tidak sudah diketahui pada abad ke-5 (prasasti Tuk Mas).
Kira-kira lebih tua atau seusia dengan candi dan prasasti di Jawa bagian barat
seperti candi Batujaya, prasasti Kebon Kopi I, Ciampea, Bogor; prasasti Tugu, desa
Tugu, kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi; dan prasasti Cidanghiyang atau
Prasasti Munjul, desa Lebak, kecamatan Munjul, Pandeglang. Pada abad ke-7 di
wilayah pantai Jawa bagian tengah diduga telah dibangun candi (ditemukan di desa
Karangsari, Rowosari, Kendal) dan prasasti Sojomerto (ditemukan di desa
Sojommerto, Reban, Batang). Lantas apakah ada hubungan prasasti dan candi di
pantai utara Jawa bagian tengah ini dengan (kerajaan) Sriwijaya.
Berdasarkan data prasasti di (pulau) Sumatra diduga
kuat ada keterkaitan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada prasasti Kedukan
Bukit 682 disebutkan raja Dapunta Hyang Nayik dari Binanga (diduga kuat Kerajaan
Aru) dengan 20.000 tentara tiba di muara Upang (diduga kuat du Bangka) dan
mengukuhkan suatu kerajaan (yang diduga kuat Kerajaan Sriwijaya). Pada prasasti
Talang Tuo 684 M disebutkan raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang Srijayanaga.
Pada prasasti Kota Kapur 686 disebutkan bala tentara (kerajaan) Sriwijaya berangkat
untuk menyerang (bumi) Jawa. Berdasarkan keterangan tiga prasasti ini diduga
kuat Kerajaan Tarumanagara di Jawa bagian barat yang tidak bersedia kerjasama
ditaklukkan dan candi Batujaya hancur, sedangkan kerajaan di Jawa bagian tengah
(Kerajaan Kalingga) bekerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya yang menjadi faktor dibangun
candi (di desa Karangsari, Rowosari, Kendal) pada abad ke-7. Pada prasasti
Sojomerto (desa Sojommerto, Reban, Batang) disebutkan nama raja Dapunta
Seilendra. Dalam hal ini pada era yang sama terdapat tiga raja bergelar sama
(Dapunta) yakni Dapunta Hyang Nayik (Kerajaan Aru), Dapunta Hyang Srijayaga
(Kerajaan Sriwijaya) dan Dapunta (saja) Seilendra (Kerajaan Kalingga).
Seperti disebut di
atas, prasasti Canggal (di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang ditemukan d
halaman candi Gunung Wukir bertarih 732 M. Prasasti ini diduga dibuat setelah
adanya prasasti Sojoerto (desa Sojommerto, Reban, Batang) dan candi Kendal (di desa
Karangsari, Rowosari, Kendal). Pada prasasti Canggal disebutkan nama raja
Sanjaya sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram (Kuno). Prasasti
ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja
oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna,
kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Kerajaan Mataram ini kemudian bergeser ke Jawa bagian timur dengan rajanya yang
terkenal Airlangga.
Seperti halnya kerajaan di Jawa bagian barat Kerajaan
Tarumanagar terkait dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Mataram juga terkait dengan
kerajaan-kerajaan di Jawa bagian timur. Lalu apa kaitannya raja Sanjaya dengan
raja Dapunta Seilendra di pantau utara? Raja Dapunta Seilendra diduga menjadi raja di
Kerajaan Kalingga. Kerajaan Galuh disebut adalah kerajaan Sunda yang wilayahnya
terletak antara sungai Citarum di sebelah barat dan sungai Cisarayu atau Cipamali
(Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan ini adalah penerus dari kerajaan
Kendan, bawahan Tarumanagara. Sejarah mengenai Kerajaan Galuh ada pada naskah
kuno Carita Parahiyangan, suatu naskah berbahasa Sunda yang ditulis pada awal
abad ke-16. Dalam naskah tersebut, cerita mengenai Kerajaan Galuh dimulai waktu
Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi raja resi selama lima belas tahun.
Selanjutnya, kekuasaan ini diwariskan kepada putranya di Galuh yaitu Sang
Wretikandayun. Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun
666 meninggal dunia pada tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Sri
Maharaja Tarusbawa, menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara.
Karena Tarusbawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh,
dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri
sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat
menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya. Sementara itu disebut Kedatuan
Medang (Mḍaŋ) adalah kedatuan yang berdiri di Jawa bagian tengah pada abad
ke-8, kemudian berpindah ke Jawa bagian timur pada abad ke-10. Kerajaan Medang
ini disebutkan didirikan oleh Sanjaya, kedatuan diperintah oleh wangsa
Sailendra dan wangsa Isyana. Berdasarkan sejarahnya penduduk kedatuan ini
sangat bergantung pada pertanian (agraris), terutama pertanian padi. Pada
periode antara akhir abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9, terlihat mekarnya
seni dan arsitektur Jawa klasik tercermin dalam pertumbuhan pesat pembangunan
candi, yang menghiasi lanskap pusat kedatuan Medang di Mataram (wilayah
geografis dataran Kewu). Candi yang terkenal dibangun pada era Medang adalah
Kalasan, Sewu, Borobudur dan Prambanan. Kedatuan Medang dikenal sebagai negeri
pembangun candi. Kemudian wangsa yang memerintah kedatuan Medang terbagi
menjadi dua kubu yang diidentifikasi sebagai Sailendra pemuja Siwa dan
Sailendra penganut Buddha Mahayana. Perang saudara terjadi. Hasilnya adalah
wangsa Sailendra dibagi menjadi dua kerajaan yang kuat; dinasti Sailendra
(pemuja Siwa) berkuasa di kedatuan Medang di Jawa dipimpin oleh Rakai Pikatan
dan dinasti Sailendra (penganut Buddha) memerintah di kedatuan Sriwijaya di
Sumatra dipimpin oleh Balaputradewa. Perselisahan di antara mereka tidak berakhir
sampai 1016 ketika wangsa Sailendra yang berbasis di Sriwijaya menghasut Haji
Wurawari, seorang vasal kedatuan Medang, dari Lwaram yang memberontak
Dharmawangsa Teguh, dan menyerbu ibukota Wwatan di Jawa bagian timur. Serangan
itu dilancarkan secara mendadak dan tak terduga. Akibatnya, kerajaan luluh
lantak dan tak menyisakan apapun kecuali sedikit saja yang selamat. Sriwijaya
bangkit untuk menjadi kekaisaran hegemonik di wilayah tersebut. Seorang
bangsawan Medang yang bertahan, merebut kembali Jawa bagian timur pada 1019,
dan kemudian mendirikan kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Airlangga, putra
Udayana raja ke-8 Bedahulu di Bali dari wangsa Warmadewa. Ibunya bernama
Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Medang. Peristiwa mahapralaya
tersebut disebutkan dalam Prasasti Pucangan yang dikeluarkan oleh Airlangga
pada 1041 M.
Airlangga adalah
pendiri Kerajaan Kahuripan yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri
Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Sebagai
seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk menggubah Kakawin Arjunawiwaha
yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa
pemerintahannya, kerajaannya terbagi dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan
Janggala bagi kedua putranya.
Pada tahun 1022 Kerajaan Chola di India selatan
melakukan invasi hingga ke selat Malaka. Dalam prasasti Tanjore (1030) disebut
Kerajaan Chola menduduki beberapa pelabuhan (kerajaan) di selat Malaka seperti Kadaram
di Semenanjung (Kedah) dan di pantai timur Sumatra seperti Panai dan Sriwijaya.
Panai (yang juga dipertukarkan dengan Binanga) adalah ibu kota Kerajaan Aru di
muara sungai Barumun. Saat serangan
Chola ini diduga kuat ibu kota Kerajaan Sriwijaya berada di muara sungai
Batanghari. Akibat serangan Chola ini, para pemimpin Kerajaan Aru sebagian
melarikan diri ke pedalaman, sebagian yang lain melarikan diri ke kawasan Laut
China Selatan dan sebagian yang lain lagi melarikan diri dan membangunan
Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari. Sementara para pemimpin Kerajaan
Sriwijaya melarikan diri ke daerah aliran sungai Musi (Palembang).
Pasca pendudukan
Chola, Kerajaan Aru di muara sungai Barumun bangkit kembali (suatu federasi
kerajaan, termasuk Kerajaan Mauli). Demikian juga Kerajaan Sriwijaya di daerah
aliran sungai Musi bangkit kembali. Di wilayah Semenanjung muncul Kerajaan Kedah dan Kerajaan Malaka.
Raja-raja Kerajaan Aru yang melarikan diri ke kawasan Laut China Selatan
(Champa, Khmer, Brunai. Ligor dan Luzon).
Tunggu deskripsi
lengkapnya
One Thousand Years Later: Mataram
Kuno hingga Mataram Islam (Now)
Tunggu deskripsi
lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar