*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Siapa Ir Soekarno, tentulah semua orang mengetahuinya. Siapa Dr Soetomo, tentu pula semua orang mengetahuinya. Namun ada yang terlupakan. Bagaimana hubungan kedua tokoh nasional ini. Dr Soetomo berawal dari organisasi kebangsaan Boedi Oetomo. Ir Soekarno berawal dari organisasi kepemudaan Jong Java. Keduanya sama-sama berasal dari Soerabaja. Lantas apa lagi? Ir Soekarno salah satu pendiri partai politik Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandoeng. Dr Soetomo juga salah satu pendiri partai politik Partai Bangsa Indonesi (PBI) di Soerabaja. Yang jelas sama-sama Indonesia. Mengapa jadinya begitu?
Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional Ir Soekarno dan Pahlawan Nasional Dr Soetomo? Seperti disebut di atas, keduanya beda generasi dari Soerabaja tetapi akhirnya sama-sama memiliki pemikiran yang sama yakni tentang Indonesia. Lalu bagaimana interaksi kedua tokoh beda generasi ini? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Nasional Ir Soekarno Asal Soerabaja: Dr Soetomo dan Mohamad Tabrani
Suatu ketika di tahun 1942 Ir. Soekarno yang baru terbebas sebagai interniran dalam proses evakuasi orang-orang Belanda ke Australian, di Djakarta/Batavia secara tidak terduaga bertemu seseorang yang diduga adalah pacar lamanya. Sang noni memanggil Ir Soekarno dari belakang: ‘Sukarno?’. Ir Soekarno melihat seorang wanita, ‘Ya, saya Soekarno’. Noni itu kemudian tertawa: ‘Tebak siapa aku?”. Ir Soekarno menatapnya dengan seksama. Ir Soekarno setelah memperhatikan menyatakan: ‘Tidak Noni. Saya tidak bisa menebak. Siapa kamu?’. Noni itu lalu menjawab sendiri: ‘Mien Hessels’. Si Noni tertawa lagi. Ir Soekarno tidak menyangka dan kaget: ‘Bah! Mien Hessels?’. Benar Noni itu adalah mantan pacarnya. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa Ir Soekarno ketika kaget, spontan bilang Bah!. Besar dugaan, Ir Soekarno sering mendengar kata kaget ‘bah’ itu dari Parada Harahap dan Amir Sjarifoeddin Harahap.
Parada Harahap pada tahun 1923 di Batavia menerbitkan surat kabar Bintang Hindia. Lalu pada tahun 1925, mantan pemimpin redaksi surat kabar di Padang Sidempeoan Sinar Merdeka (tetapi kemudian dibredel), mendirikan kantor berita Alpena dengan editornya WR Soepratman. Pada tahun 1926, saat Soekarno lulus di THS Bandoeng mendapat gelar insinyur, Parada Harahap menerbitkan surat kabar yang lebih revolusioner yang sekaligus pemimpin redaksinya yakni Bintang Timoer, Tidak lama kemudian Ir Soekarno dkk mendirikan studieclub di Bandoeng. Kiprah Ir Soekarno di klub studi itu memancing minat Parada Harahap menggelitik di kolom editorial Bintang Timoer tentang tokoh muda Ir Soekarno: ‘Bung, sudah saatnya turun gunung! Tidak hanya di lingkungan kampus’. Beberapa waktu kemudian Ir Soekarno menulis surat pembaca dimuat di Bintang Timoer yang sekaligus menjawab tantangan Parada Harahap: ‘Tunggu tanggal mainnya, Bang!’. Tidak lama kemudian Ir Soekarno dkk pada bulan Juli 1927 mendirikan organisasi kebangsaan dengan nama Perhimpoenan Nasional Indonesia. Tentu saja itu membuat Parada Harahap di Batavia sumringah. Pada bulan September, Parada Harahap menyurati semua pimpinan organisasi kebangsaan di Batavia untuk melakukan suatu pertemuan. Dalam pertemuan itu disepakti dibentuk supra organisasi kebangsaan (semacam majelis) yang diberi nama Permoefakatan Perhimpoenan0Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat PPPKI. Pertemuan itu secara aklamasi mengangkat ketua PPPKI yakni MH Thamrin (Kaoem betawi) dan sebagai sekretaris Parada Harahap (Sumantranen Bond). Dalam pertemuan itu sejumlah organisasi kebangsaan hadir termasuk Pasoendan, Boedi Oetomo cabang Batavia, Jong Islamieten Bond, Studieclub Soerabaja (diwakili oleh Dr Soetomo), Bataksch Bond dan Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) Bandoeng yang langsung diwakili ketuanya Ir. Soekarno. Dalam pembentukan PPPKI itu diputuskan dua program jangka pendek yakni membangun gedung permusyawaratan dan menyelenggarakan Kongres PPPKI pada tahun 1928 di Batavia.
Pertemuan pimpinan organisasi kebangsaan (Indonesia) pada bulan Juli 1927 dapat dikatakan (secara politis) adalah pertemuan pertama antara Dr Soetomo dan Ir Soekarno keduanya sama-sama mengidentifikasi sebagai ‘Anak Soerabaja’. Satu lagi yang mengidentifikasi diri sebagai Anak Soerabaja adalah Mohamad Tabrani.
Ir Soekarno lahir di Soerabaja tanggal 6 Juni 1901 (lihat Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad, 04-12-1965). Soekarno menyelesaikan pendidikan HBS di Soerabaja sebelum melanjutkan studi di THS Bandoeng (diterima tahun 1921). Selama di Soerabaja, Soekarno aktif di organisasi kepemudaan Jong Java (onderbouw organisasi kebangsaan Boedi Oetomo). Di Jong Java Soerabaja, Soekarno dan Mohamad Tabrani (sekolah MULO) adalah dua diantara anggota yang terkesan revolusioner. Pada saat diadakan rapat umum Jong Java Soerabaja, Soekarno menyarankan penggunaan bahasa Melayu dan juga menyarankan organ Jong Java (majalah) juga ditulis dalam bahasa Melayu dan Belanda yang mana saat itu tulisan di majalah tersebut dalam bahasa Belanda (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1921, No 13). Juga disebutkan ‘Soekarno juga pernah mengusulkan agar diperbolehkan berpidato di Kongres dalam bahasa Melayu, tetapi usulan ini menjadi penyebab perdebatan sengit, dimana Soekarno diancam akan dikeluarkan oleh ketua’. Dalam Kongres Jong Java keempat di Bandoeng juga turut dihadiri oleh Sokarno (lihat De Preanger-bode, 13-06-1921). Di dalam kongres ini ada satu peserta berbicara dalam bahasa Melayu, meski stuta Jong Java bahasa resmisnya bahasa Belanda. Kemudian Soekarno diberikan kesempatan dan ternyata setelah beberapa tahun menjadi anggota dia harus menanyakan kepada ketua apa yang sebenarnya diinginkan oleh Jong Java. Apakah Jong Java menginginkan Jawa yang besar dengan banyak pabrik, kapal besar, rel kereta api yang besar? Situasinya sekarang tidak dapat dipertahankan; dekat Toeloeng Agoeng penduduk mendesah di bawah kaki kapitalisasi; di Ponorogo anak-anak dijual karena kelaparan seharga empat atau lima gulden...(tepuk tangan). Ketua menjawab pertanyaan dari seorang peserta tentang prinsip Jong Java yang dijawab bahwa Jong Java menginginkan kemerdekaan dari tanah air. Jong Java dan Jong Sumatra memiliki satu musuh untuk diperjuangkan. Jong Java menginginkan solidaritas di antara kaum intelektual sehingga mereka dapat memperoleh banyak kekuasaan. bisa dan berkembang. Sampai sekarang, pemerintah telah mampu mengistirahatkan kekuasaannya pada perpecahan. Tetapi jika kaum intelektual adalah satu, itu lebih baik karena pemerintah tidak memiliki kesempatan untuk bermain-main dengan yang lain. Soekarno bertanya dalam menanggapi pernyataan prinsip ketua apakah ini pendapat pribadinya atau pendapat asosiasi. Ketua menjawab bahwa ini adalah pertanyaan yang sulit, tetapi kemudian mengumumkan bahwa ini adalah pendapat badan pengurus dan tentu saja dari mayoritas anggota. Dalam kongres yang juga dihadiri delegasi Jong Sumatra yang dalam diskusi muncul usul untuk pembentukan federasi antara Jong Java dan Jong Sumatra yang kemudian dilakukan pemungutan suara apakah akan mengadopsi prinsip-prinsip ikatan Jong Soematranen dan Jong Java tidak tercapai kesepakatan karena perlawanan Batavia. Oleh karena itu, rencana federasi tidak dilanjutkan.
Dua anggota Jong Java cabang Soerabaja, Soekarno dan Mohamad Tabrani seakan mendapat tempat yang sesuai di Bandoeng. Pemikiran mereka yang kurang berterima di Soerabaja tampaknya mulai bersemai di Bandoeng. Soekarno sudah menunjukkan itu ketika Kongres Jong Java diadakan di Bandoeng tahun 1921.
Saat Soekarno masih sibuk kuliah di THS Bandoeng, Mohamad Tabrani setelah lulus OSVIA ogah menjadi pegawai (Ambtenaar) dan lebih memilih mengadu peruntungan di Batavia di bidang jurnalistik. Saat ini juga seorang yang mengidentifikasi diri sebagai ‘Anak Soerabaja’ di Bandoeng yang menjadi salah satu editor majalah Kaoem Kita tergusur karena masuknya Abdoel Moeis (sehubungan dengan perubahan majalah dwimingguan menjadi harian).
Editor yang tergusur itu ditemukan Parada Harahap dan mengajaknya ke Batavia yang kebetulan baru mulai mendirikan kantor berita Alpena. Mantan editor Kaoem Kita yang menjadi pemimpin redaksi kantor berita Alpena tersebut bernama WR Soepratman. Mohamad Tabrani yang hijrah dari Bandoeng ke Batavia menemukan jalan menjadi salah satu editor surat kabar Bintang Baroe (lihat De Indische courant, 20-07-1925). Di dalamnya sudah ada editor lain yakni Hadji Agoes Salim. Tidak lama kemudian Parada Harahap menggagas pembentukan sarikat para jurnalis pribumi, non Eropa/Belanda (lihat Deli courant, 02-09-1925).
Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, No 41: ‘Journalistenbond Asia diresmikan pada 6 Oktober, dan menurut laporan di majalah Hindia Baroe, ketua terpilih pada pertemuan: Tabrani DI (Hindia Baroe). wakil ketua: Kwee Kek Boeng (Sin Po), sekretaris: WR Soepratman (Alpena), bendahara Boen Joe On (Perniagaan) dan RS Palindih (Berita). Anggota Dewan Pengawas adalah: Parada Harahap (Bintang Hindia), Sing Yen Chen (Sin Po, edisi Mandarin), Khoe Boen Sioe (Keng Po), Boe Giauw Tjoen (Sin Po) dan Achmad Wongsosewojo (Sastra Rakjat), Kontribusi untuk pemimpin redaksi adalah f1,50, editor f1 dan koresponden f 0.50 sebulan, sedangkan biaya masuk dua kali lipat. Serikat pekerja juga telah dibentuk di Medan, sedangkan Parada Harahap akan melakukan propaganda untuk afiliasi di Sumatera.
Parada Harahap sendiri adalah wartawan pribumi terbaik menurut versi orang-orang Eropa/Belanda di Batavia. Tiras surat kabar Bintang Hindia terbilang paling tinggi di Batavia. Layout surat kabar ini sudah standar dan sudah mampu mencetak halaman bergambar. Surat kabar pimpinan Parada Harahap ini diterbirkan di bawah perusahaan NV Bintang Hindia. Sebelumnya Parada Harahap tengah berpolemik dengan pers Eropa/Belanda.
De Indische courant, 17-09-1925 (Indisch fascisme. Het blanke front): ‘Mr. Parada Harahap, editor Bintang Hindia, menulis dalam Java Bode tanggal 10 lalu dengan judul Kranten en Klanten (Koran dan Pelanggan) setelah posisi Lokomotif diambil oleh Soerabija HBL dengan operasi pasar di Semarang. Artikel ini di Soerabajasch Handelsblad dan Algemeen Handelsblad di Semarang. Parada Harahap mengatakan: ‘Sebagai pribumi, kemajuan negara-negara ini sangat dekat dengan hati saya, dan berusaha agar masyarakat tetap harmonis dari semua lapisan di Hindia, harus mencatat bahwa saya pikir saya memiliki pemahaman, setidaknya mewakili wartawan dari pers (berbahasa) Melayu. Mohon izin saya harus memberi pendapat yang sama dikhususkan pada Soer. Hbld hari ini yang kesannya sikap yang diambil membahayakan kerjasama yang harmonis masyarakat di Hindia. Ini telah lama mengancam kepercayaan umum penduduk pribumi niat baik dari Belanda akan hilang disini di Hindia, oleh tindakan beberapa pers Eropa/Belanda dan masyarakat ETI, terutama cepat meluncurkan oleh mereka dari tuduhan senegara mereka sendiri, yang mendukung keselamatan Hindia dan rakyatnya dengan cara mereka, jika mereka bersalah mengkhianati rakyat dan negara mereka sendiri. Kesenjangan antara Timur dan Barat dan tidak sedikit duri (tindakan yang dimaksudkan Anda dari Soer. Hbld) untuk membentuk sebuah front kosong, yang begitu banyak memiliki untuk menandakan tantangan resmi yang ditujukan kepada umat berwarna di Hindia. Bagaimana Pribumi dan Cina disini yang mana Lokomotif berpikir sempurna akrab bagi saya. Lokomotif adalah salah satu organ (media) yang menekankan sopan santun yang baik bagi kita. Dalam hal ini bagi kami adalah bukti bahwa tidak semua Belanda memusuhi kami, baik antar penduduk asli termasuk Cina, bahwa semua orang Eropa di Hindia kepercayaan rakyat tidak pantas berada sendirian dengan menunjuk ke item yang terdapat di Soer. Hbld. dan simpatisannya. Memang benar bahwa Soer. Hbld. tidak hitam-putih terhadap pribumi, tetapi efek yang diperoleh oleh sesama seperti Mr Ant Lievegoed menunjuk sebagai anti-Belanda atau orang berbahaya bagi Nederlander di Hindia tidak berbeda dengan semakin yakin terletak diantara pribumi bahwa setiap pelatih (orang yang lebih pintar Belanda) asal Belanda, yang berusaha untuk kemajuan dan pengembangan tanah dan orang dan yang tidak memperkuat depan putih, dan antagonisme yang mengabaikan putih dan coklat, dengan bangsanya sebagai pengkhianat. Ini sekarang jelas tulisan anda lebih berbahaya daripada tulisan wartawan pribumi. Pers ETI (Eropa/Belanda) bergema di dunia asli tapi resonansinya jauh dari menguntungkan untuk hubungan timbal balik di Hindia. Menurut pendapat saya tugas pers putih sekarang jauh lebih besar dari sebelumnya, sekarang jadi harus memperhitungkan jutaan orang di Hindia, yang oleh pers sendiri dan melalui komunikasi yang lebih baik dan karena itu lebih menjamin kontak diantara mereka sendiri, akan diinformasikan diberitahu tentang apa yang terjadi di pers ETI tercermin apa yang mereka percaya sebagai yang kulit putih di wilayah ini. Anda telah mendorong ke arah fasisme. Hal ini unsur-unsur, seperti Komunis, akan datang untuk mengeksploitasi pernyataan tidak membantu seperti dan taktik dasar merusak mereka kemudian turun, dan digunakan sebagai alat propaganda. Soer. Hbld. Telah berusaha kebohongan, bahwa ada lebih kecurigaan terangsang antara pribumi melawan Belanda di Hindia? Bukankah sekarang delapan orang datang waktu untuk menahan suara seseorang dari journalistieken diucapkan sikap simpatik terhadap penduduk pribumi menunjukkan sikap yang menurut banyak pihak, melihat orang Barat telah mulai menaruh minat kompromi. Tapi kemajuan daerah ini telah membuat kemajuan besar juga, sudah ada terlalu banyak intelektual pribumi yang merupakan penilaian independen untuk mengetahui untuk membuat peristiwa politik saat ini dari yang klik taruhan reaksioner akan berani secara terbuka untuk keluar orang untuk prinsip-prinsip etika hanya sebagai musuh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, adalah komunisme jika diperlukan untuk membenarkan kampanye. Ada yang mau mengikut Aku, yang akan menyelesaikan pekerjaan saya ini?’. [artikel ini juga dilansir De Sumatra post, 24-09-1925].
Polemik tersebut diduga dipicu yang bermula ketika Parada Harahap dkk telah mendirikan organisasi Hindia (De Indische Associatie Vereeniging) di Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 13-01-1925). Disebutkan program organisasi ini sesuai AD/ART meliputi kegiatan poolitik yang sehat, pengembangan pendidikan, pelatihan kejuruan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar, untuk mempromosikan tingkat kesehatan, kesejahteraan, hubungan keuangan Negara dengan daerah dan lainnya. Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo dan Komisaris antara lain Parada Harahap, Raden Goenawan, Oey Kim Koel, JK Panggabean dan A. Cbatib.
Dalam konteks inilah semua, organisasi Hindia (pribumi dan Indo) dan berpolemik dengan pers Eropa/Belanda serta sarikat jurnalistik pribumi, Parada Harahap melakukan lawatan jurnalistik ke seluruh kota-kota besar di Sumatra dan Semenanjung (Malaka). Hasil perjalanan jurnalistik tersebut kemudian dibukukan dan diterbitkan untuk publik pada tahun 1926 bertepatan dengan terbitnya surat kabar baru yang lebih revolusiioner dengan nama Bintang Timoer di bawah NV Bintang Hindia. Sebagai pemimpin redaksi surat kabar (harian) Bintang Timoer adalah Parada Harahap sendiri. Pada tahun ini di Bandoeng lulus ujian akhir di THS dan mendapat gelar insinyur (Ir) sebagaimana diberitakan Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 05-05-1926.
Ir Soekarno tidak bekerja di pemerintahan tetapi bersama Ir Anwari membentuk firma di Bandoeng (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 19-06-1926). Disebutkan Ir R. Soekarno dan Ir M. Anwari telah mendirikan sebuah firma teknik dan arsitektur bersama-sama untuk menetap di Bandosng untuk saat ini. Rencananya nanti ke Djokja. Mereka adalah dua seniman muda yang menjanjikan. Sementara itu disebutkan Ir M. Soetedjo kini ditempatkan sebagai pegawai honorer di kantor daerah Pekaiongan, untuk dipekerjakan sebagai insinyur tetap jika dianggap sesuai. Tampaknya Soekarno dan Mohamad Tabrani yang sama-sama berasal dari Soerabaja (Jong Java) kini bekerja di luar kantor pemerintah. Seperti disebut di atas, Mohammad Tabrani tidak menjadi pegawai (ambtenaa) tetapi lebih memilih di dunia jurnalis.
Pada bulan Aparil 1926 di Batavia telah diadakan Kongres Pemuda yang pertama. Yang menjadi ketua panitia kongres tersebut adalah Mohamad Tabrani yang bekerja sebagai pemimpin redaksi surat kabar Hindia Baroe. Kongres itu sendiri sudah mulai dipersiap pada akhir tahun 1925 (lihat De Indische courant, 30-12-1925). Perencanaan kongres pemuda ini tidak lama setelah sarikat jurnalistik dibentuk dimana sebagai ketua Mohamad Tabrani (editor Hindia Baroe) dan Parada Harahap (pemimpin redaksi Bintang Hindia) sebagai komisaris (lihat (lihat Deli courant, 02-09-1925). Sarikat jurnalis ini diresmikan pada tanggal 6 Oktober 1925.. Mohamad Tabrani yang belum lama luslus OSVIA di Bandoeng diketahui menjadi editor Hindia Baroe pada bulan Juli (lihat De Indische courant, 20-07-1925). Dalam hal ini diduga kuat yang menjadi pembinan Kongres Pemuda pertama adalah Parada Harahap (wartawan terbaik pribumi versi pers Eropa/Belanda) yang menjadi pemimpin NV Bintang Hindia (pemilik percetakan dan surat kabar Bintang Hindia). Parada Harahap juga adalah pengurus organisasi kebangsaan Sumatranen Bond sebagai sekretaris.
Di Batavia sudah terhubung antara Parada Harahap dengan Mohamad Tabrani dan WR Soepratman. Tampaknya melihat track record Ir Soekarno sejak di Jong Java dan belum lama ini di Bandoeng mendirikan klub intelektual muda di lingkungan Jong Java sudah masuk radar politik Parada Harahap. Seperti disebut di atas, pada tahun 1926, Parada Harahap menantang Ir Soekarno untuk turun gunung di kolom editorial surat kabar Bintang Timoer yang kemudian dijawab Ir Soekarno di dalam surat pembaca: ‘Tunggu tanggal mainnya, Bang’. Bah, memanggil Bang pula Ir Soekarno kepada Parada Harahap (boleh jadi saat itu sebutan Bung belum ada). Ketika Parada Harahap mengundang semua para pimpinan organisasi kebangsaan dalam suatu pertemuan pada bulan September 1927 di Batavia (di rumah Husein Djajadiningrat), terbukti Ir Soekarno hadir. Pertemuan tersebut berhasl membentuk supra organisasi yang dikenal PPPKI dimana Parada Harahap didaulat menjadi sekretaris.
Di Belanda sejak tahun 1924 yang memimpin organisasi mahasiswa pribumi di Belanda yakni Perhimpoenan Indonesia adalah Mohamad Hatta (hingga kini tahun 1927). Mohamad Hatta sudah dikenal Parada Harahap sejak lama. Pada saat diadakan Kongres Sumatranen Bond di Padang tahun 1919, Parada Harahap (pemimpin redaksi surat kabar Sinar Merdeka dan majalah Poestaha di Padang Sidempoean) adalah ketua delegasi dari wilayah Tapanoeli, sementara Mohamad Hatta adalah sekretaris Jong Sumatranen Bond di Padang yang juga turut hadir dalam kongres. Pada kongres kedua yang diadakan di Padang pada tahun 1921 mereka berdua sama-sama hadir (yang setelah itu Mohamad Hatta melanjutkan studi ke Belanda, sementara Parada Harahap hijrah ke Batavia setelah surat kabar Sinar Merdeka dibreidel tahun 1922). Perhimpoenan Indonesia adalah nama baru yang diubah Mohamad Hatta dkk dari nama sebelumnya Indische Vereeniging yang didirikan di Belanda pada tahun 1908 oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Saat pembentukan organisasi mahasiswa itu tahun 1908 yang menjadi ketua ada Soetan Casajangan dan yang menjadi sekretaris adalah Husein Djajadiningrat. Majalah yang diedit oleh Parada Harahap di Padang Sidempoean adalah majalah yang didirikan Soetan Casajangan tahun 1915 setelah kembali ke tanah air tahun 1913. Pada tahun 1927 ini Soetan Casajangan adalah direktur sekolah guru Normaal School di Mester Cornelis (kini di Salemba gedung SMA 68 Jakarta) sedangkan Husein Djajadiningrat (rumah dimana PPPKI dibentuk) sebagai direktur faskultas hukum Rechthoogeschool di Batavia. Last but not leas: Dr Soetomo yang hadir dalam pembentuk PPPKI tersebut pernah menjadi ketua Indische Vereeniging (tahun 1921/1922). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan; dan sejarah sendiri adalah narasi fakta dan data.
Tunggu deskripsi lengkapnya.
Ir Soekarno di Bandoeng, Dr Soetomo di Soerabaja, Dipertemukan Parada Harahap di Batavia
Ir Soekarno dan kawan-kawan di Bandoeng pada tahun 1926 diketahui telah mendirikan klub studi dengan nama Algemeeue Studieclub. Hal ini diketahui ketika di Solo diadakan pertemuan umum Studieclub Kaoem Indonesia (lihat De locomotief, 19-07-1926). Disebutkan dalam pertemuan itu juga dihadiri Indonesische Studieclub di Soerabaja yang diwakili antara lain Mr Singgih. Dalam pertemuan ini juga hadir Ir Soekarno dari Algemeeue Studieclub te Bandoeng. Dalam hal ini di Indonesia (Hindia Belanda) paling tidak sudah diketahui keberadaan tiga klub studi (di Soerabaja, Solo dan Bandoeng). Dari pertemuan di Solo tersebut, studi klub di Solo kemungkinan akan bekerjasama dengan yang ada di Soerabaia dan selanjutnya akan berpartisipasi dalam organ (media) Indonesische Studieclub di Soerabaia yaitu Soeloeh Indonesia.
Kapan Algemeeue Studieclub didirikan tidak diketahui secara pasti. Yang dalam pertemuan di Solo sudah diketahui Algemeeue Studieclub telah didirikan. Sementara Ir Soekarno sendiri baru dinyatakan lulus di THS Bandoeng pada bulan Mei 1926 dan pada bulan Juni Ir Soekarno dan Ir Anwari diberitakan telah mendirikan firma di Bandoeng, Besar dugaan Algemeeue Studieclub didirikan belum lama, sebelum Ir Soekarno hadi di pertemuan umum Studieclub Kaoem Indonesia. Indonesische Studieclub di Soerabaja didirikan oleh Dr Soetomo pada tahun 1924, tidak lama sepulang studi dari Belanda. Sebagaimana diketahui Dr Soetomo dkk pada tahun 1921/1922 telah mengubah nama Indische Vereeniging dengan Indonessische Vereeniging. Nama Indonesia sudah lama diperkenalkan sebagai nama geografi. Namun secara politis lebih populer dengan Nederlandsch Indie yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu menjadi Hindia Belanda. Namun penduduk asli (pribumi) lebih suka menyebut nama Hindia (saja). Nama Hindia pada era VOC umumnya di sebut Hindia Timur (Oost Indisch). Indonesia sendiri merujuk pada Indus dan nesia yang diintoduksi oleh orang-orang Inggris. Namun pengenalan nama Indonesia secara politis baru dimulai pada Kongres Hindia Belanda pada tahun 1917 di Belanda. Dalam kongres yang diketuai oleh HJ van Mook ini anggota Indische Vereeniging (Perhjimpunan Hindia) yakni Sorip Tagor Harahap, Dahlan Abdoellah dan Raden Goenawan meminta perhatian agar digunakan nama Indonesia (Indonesisch). Lalu dalam kongres yang kedua yang diadakan di Den Haag pada tahun 1919 nama kongres sudah mulai dipakai nama Kongres Indonesia. Lalu pada tahun 1921 Dr Soetomo dkk mengubah nama Indische Vereeniging dengan Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Pada tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubahnya lagi dengan nama Perhimpoenan Indonesia (semuanya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu).
Dalam pertemuan di Solo tersebut, Ir Soekarno menjelaskan tujuan klub mereka di Bandoeng, yang dapat digambarkan sebagai studi mata pelajaran teoritis tentang Hindia Belanda dan mata pelajaran di bidang internasional baru setelah itu klub studi ini berkeinginan untuk membentuk sebuah partai politik guna mempraktekkan teori-teori yang telah dibahas. Besar dugaan pembentukan klub studi di Bandoeng terinspirasi dari keberadaan klub studi di Soerabaja (klub studi di Soerabaja yang dibentuk Dr Soetomo merujuk pada klub-klub studi yang sudah banyak di Belanda). Saat mana klub studi baru dibentuk di Solo, klub studi di Soerabaja (yang dalam hal ini dihadiri Mr Singgih dkk) dan klub studi di Bandoeng (yang dalam hal ini dihadiri Ir Soekarno dkk).
Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 03-09-1926: ‘Persatuan Hindia. Di Bandoeng sebuah komite Persatoean Indonesia (Indonesische Vereeniging) didirikan, yang terdiri dari anggota dewan dari dua belas asosiasi pribumi dan individu swasta. Sebuah dewan (badan pengurus) kemudian dipilih yang terdiri dari Sartono, ketua; Soepardjo, wakil ketua; Sjahboedin Latif, sekretaris; Ir Soekarno juga sekretaris dan Oesman, bendahara. Pengurus harian terdiri dari Sartono dan Soekarno’. Catatan: Soepardjo adalah seorang dokter lulusan STOVIA; Sjahboedin Latif, dokter sebelumnya diketahui sebagai sekretaris badan pusat Sarikat Islam (SI).
Pada bulan September di Bandoeng dibentuk suatu komite Perhimpoenan Indonesia yang mana sebagai pengurus harian adalah Mr Sartono dan Ir Soekarno.Sartono sendiri belum lama pulang studi dari Belanda. Mr Sartono lulus ujian akhir dan mendapat gelar Mr di Universiteit Leiden pada bulan Januari 1925 (lihat De standaard, 31-01-1925). Dalam hal ini Perhimpoenan Indonesia yang baru dibentuk di Bandoeng diduga namanya merujuk pada nama Perhimpoenan Indonesia di Belanda (yang di tahun 1924 diperkenalkan Mohamad Hatta dkk). Dalam hal ini, Mr Sartono di Belanda adalah anggota federasi Perhimpoenan Indonesia (yang sebelumnya disebut Indische Vereeniging). Studi klub yang dibentuk Ir Soekarno dkk menjadi bagian dari Perhimpoenan Indonesia di bandoeng.
Di Bandoeng, Ir Soekarno meski nama klub studinya masih menggunakan nama Belanda, tetapi secara organisasi kebangsaan menjadi bagian dari Perhimpoenan Indonesia Bandoeng. Dalam hal ini Ir Soekarno telah bertransformasi dari seorang anggota Jong Java yang menyarankan penggunaan bahasa Melayu di Soerabaja dan mendirikan grup studi di internal Jong Java cabang Bandoeng. Dalam hal ini Ir Soekarno di satu sisi perlunya kajian (klub studi) juga perlunya persatuan nasional (Indonesia).
Nama Ir Soekarno mulai bersinar terang di Bandoeng. Oleh karena itu sinarnya mulai dideteksi oleh pengurus pusat Boedi Oetomo. Dalam hubungan ini, pengurus pusat Boedi Oetomo (yang berpusat di Djogjakarta) mendaftarkan nama Ir Soekanro sebagai salah satu kandidat anggota Volksraad dari daerah pemilihan West Java/Bandoeng (lihat De Indische courant, 23-09-1926). Lantas apakah Ir Soekarno tertarik dengan usulan badan pusat BO ketika banyak anggota BO sejati yang ingin mendaptkan kursi di Volksraad? Faktanya Mohamad Tabrani dan Ir Soekarno tidak ingin di pemerintahan ketika pesyaratan pendidikan yang dimiliki sangat memadai, justru memilih bisang non pemerintah (jurnalistik dan konsultan).
Pada bulan November Algemeeue Studieclub mengadakan pertemuan umum di Bandoeng (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 08-11-1926). Dalam pertemuan ini Mr JE Stokis (anggota ISDP) yang membahas tentang subjek: ‘Politik dan Ekonomi dalam pemerintahan kolonial’. Pertemuan yang dihadiri sekitar 600 orang juga terdacata tokoh-tokoh terkenal seperti Goenawan, Mohamad Sanoessi, Soeprodjo, Soediro, Darmopravviró, Dr. Tjipto dan Douwes Dekker. Pertemuan itu diketuai oleh Ir Darmawan Mangun Koesoemo, sedangkan Ir Anwari, Ir Soekarno dan guru Kadmirah duduk di meja dewan. Pidato Stokvis yang berbhasa Belanda diterjemahkan secara ringkas oleh Ir. Soekarno dalam bahasa Melayu. Dalam diskusi terjadi sahut menyahut, Stokvis menyatakan bahwa penduduk pribumi belum matang dan bahkan tdiak sampai setengah matang. Lalu Doewes Dekker (Setia Boedi) mengomentari bahwa itu memang betul bahwa penduduk pribumi ketidakdewasaan (hijau) atau setengah matang (kuning), soalnya menurutnya populasi itu tidak merah.Selanjutnya Ir Soékarno menunjuk pada hubungan ini dengan buah pinang, yang hanya memperoleh warna merah ketika matang. Kata-kata kiasan itu mudah dipahami dalam konteks pada masa itu.
Boedi Oetomo memperkuat posisi dengan melakukan langkah mundur ke belakang (bersifat kedaerahan), sementara Ir Soekarnotidak lagi di Jong Java tetapi sudah memperluas posisi dengan melakukan langkah maju ke depan (bersifat nasional). Ir Soekarno tidak lagi memilih cara berpikir kami dan mereka, tetapi sadar memilih cara berpikir kita. Ir Soekarno kini berada di tempat dan waktu yang tepat di Bandoeng. Ir Soekarno tidak hanya memajukan pikiran dengan membangun lembaga studi, tetapi juga mulai merangkul semua pihak siapa pun yang disebut orang Indonesia (asli). Seperti Parada Harahap, Ir Soekarno memulai kerja di ruang rapat yang paling dalam. Jabatan seperti itu biasanya bersifat kesekretariatan (yang mengepalai jantung sistem operasi di dalam suatu badan/organisasi).
Pada saat ini kaum komunis sedang diganyang habis oleh Pemerintah Hindia Belanda di satu sisi dan ciioerative sedang dininakbobokkan oleh Pemerintah seperti Boedi Oetomo. Ir Soekarno tidak ingin seperti Boedi Oetomo tetapi juga tidak ingin seperti komunis. Masalahnya di kedua ekstrim tersbeut ada baik dan ada buruknya, yang baiknya sayang tidak digunakan. Gambaran ini dapat dilihat dalam diskusi umum pada pertemuan Algemeeue Studieclub yang menghadirkan Mr Stokvis (lihat kembali Bataviaasch nieuwsblad, 08-11-1926). Stokvis menyatakan dalam kuliahnya bahwa benar tentang hukum yang mengatur gerakan ekonomi dan politik, tanpa pemahaman yang benar tentang prinsip-prinsip keduanya, penduduk disini diharapkan belum matang. untuk menerapkan hukum dan prinsip tersebut. Bahkan setengah matang belum bisa dikatakan. Stokvis menyatakan ekonomi harus diatasi dalam mengentaskan perut keroncongan dan menurut Stokvis bahwa dengan perut keroncongan omong kosong bicara politik dan kekuasaan. Lalu dalil ini segera disambar orang-orang dari berbagai sudut padang yang hadir dalam pertemuan ini. Mohamad Sanusi berpendapat soal semi-dewasa atau ketidakdewasaan anak-anak negara disini, tuan Stokvis tidak tahu apa-apa tentang menjadi orang asing di tempat ini. Masalah tersebut, sebagaimana dinyatakan, hanya dapat dinilai dengan benar oleh anak-anak negara. Stokvos menjawab bahwa di atas ekonomi dan politik, masalah perut lapar adalah faktor penentu. Semua pengetahuan tentang hukum dan prinsip dibahas tentang keduanya, dia menganggap omong kosong belaka, begitu perut mulai keroncongan. Kemudian Goenawan seorang komunis dan guru Sabirin berpendapata bahwa pertama-tama harus memiliki otoritas di tangan penduduka asli, bahwa Tuan Stokvis memang mengklaim bahwa pengetahuan tentang hukum dan prinsip yang dia rujuk sangat diperlukan, tetapi mereka berpikir lebih baik untuk mendapatkan otoritas terlebih dahulu, setelah itu teori itu dapat dipraktikkan nanti. Tanpa memiliki otoritas di tangan seseorang, masih mustahil untuk menerapkan teori apa pun dengan berhasil. Sabirin mengolok-olok seluruh argumen Stokvis memanfaatkan pernyataan Sanussi tentang keunggulan perut yang keroncongan, yang begitu menggairahkan tawa mayoritas dari mereka yang hadir sehingga membuat hadirin bertepuk tangan meriah dengan teriakan dan tepukan tangan. Terutama ketika Goenawan membuat pernyataan bahwa rumah berperabotan bagus tidak ada artinya jika tidak ada yang dikatakan di dalamnya. Lalu Douwes Dekker menyebut klaim tentang ketidakdewasaan (hijau) atau setengah matang (kuning) penduduk Hindia benar, soalnya, menurutnya populasi itu tidak merah. Akhirnya Ir Soékarno menunjuk pada hubungan ini dengan buah pinang, yang hanya memperoleh warna merah ketika matang. Intinya dalam dikusi umum yang diadakan di Algemeeue Studieclub ini bahwa terdapat tiga padangan yang yang sepintas tampak bertentanga, yakni pendapat pemerintah, suara pemimpin lokal dan suaru pemimpin nasional (kombinasi keduanya yakni mendapatkan kekuasan bersamaan dengan terbentuknya kesejahteraan). Ir Soekarno termasuk pada barisan nasional inii (bukan pemerintah dan bukan komunis). Seperti kita lihat nanti ketika para tahanan politik dari golongan komunis yang ditangkan di Bandoeng dan sekitar yang akan diberangkatkan ke Digoel, tokoh-tokoh nasional Tjipto, Sartono dan Soekarno bersuara (Tjipto bersedia memerika kesehaatan dan Sartono siap memberikan hak hukum).
Ir Soekarno pemikirannya terus berkembang dengan caranya sendiri yang dapat diyakininya. Ini terlihat segera pada tanggal 16 November di Bandoeng di pagurubab Mardi Hardjo (lihat De locomotief, 17-11-1926). Disebutkan pada pertemuan tahunan Mardi Hardjo di Bandoeng yang anggotanya komposisi masyarakat Jawa, Sunda dan Sumatera, Ir. Soekarno, berbicara sebagai ketua panitia 'Persatoean Indonesia’' yang meminta untuk berada dalam kontak dekat satu sama lain sebelum fusi terjadi. Dalam pertemuan ini pengurus baru terpilih kembali secara aklamasi. Dalam hal ini Persatuan Indonesia yang telah didirikan di Bandoeng terus memperlua dan memperkuat persatuan (paling tidak di Bandoeng). Tentu prinsip ini bertentangan dengan prinsip di dalam Jong Java dan Boedi Oetomio yang sama-sama cenderung tidak menginginkan adanya federasi. Tentu saja dalam hal ini, Ir Soekarno tidak lagi Jong Java maupun Boedi Oetomo; Ir Soekarno meyakini dirinya adalah Indonesia (persatuan nasional).
Bagaimana dinamika ini tengah berlangsung di Bandoeng dengan pusat perhatian pada tokoh muda Ir Soekarno tentu saja dipantai dari Batavia oleh Parada Harahap, WR Soepratman dan Mohamad Tabrami. Ketiganya adaklah orang-orang muda revolusioner yang bersifat nasionalis (Indonesia) yang bergelut dalam dunia jurnalistik (yang juga terus menggalang persatuan). Tentu saja sepak terjang Ir Soekarno masuk dalam ypo news pemberitaan pada kantor berita Alpena (WR Soepratman), surat kabar Hindia Baroe (Mohamad Tabrani) dan surat kabar yang baru Bintang Timoer (Parada Harahap). Sementara itu Hadji Agoes Salim di Batvia dan Abdoel Moeis di Bandoeng semakin mengkristal sebagai pendukung fanatik Sarikat Islam (yang dalam banyak hal berseberangan dengan barisan nasionalis).
Di Batavia, Parada Harahap mulai menggagas pembentukan organisasi kebangsaan supra nasional (seperti kita lihat nanti terbentuknya PPPKI) dan Mohamad Tabrani dan WR Soepratman serta Bahder Djohan dan Diapari Siregar (dari kalangan mahasiswa) mulai merencanakan persiapan Kongres Pemuda yang kedua yang akan dilaksanakan pada tahun 1928.
Saat ini muncul rumor bahwa tokoh-tokoh Algemeeue Studieclub mendukung tokoh-tokoh komunis di Bandoeng. Ini bermula ketika surat kabar AID yang mengutip surat kabar (majalah) berbahasa Melayu yang dikelola orang-orang Cina bahwa pengurus Algemeeue Studieclub di Bandoeng, terdiri dari Ir Dermawan, Ir Sukarno dan Ir Anwari dan tiga orang lain yang kurang dikenal terkait dengan perihal komunis di bawah negara dalam pengawasan polisi. Lebih lanjut dilaporkan bahwa pengacara pribumi Bandoeng Mr Sartono dan Mr Soenarjo juga ditempatkan di bawah penjagaan polisi, dengan maksud untuk kemungkinan gangguan ketertiban dan perdamaian. Namun dalam edisi AID berikutnya hal itu telah dibantah keras oleh Residen Midden Priangan (lihat De nieuwe vorstenlanden, 13-12-1926). Lantas timbul pertanyaan apakah ada yang sengaja membuat gaduh ketika kaum komunis sudah mulai terentaskan, ada kekhawatiran baru dari gerakan Bandoeng baru ini yang akan digiring ke dalam cara berpikiran pemerintah yang harus juga memberantas calon penggati gerakan komunis yakni gerakan Bandoeng yang berpusat di Algemeeue Studieclub? Tapi ternyata pemerintah jesnih melihatnya yang dibantah oleh Rasiden Priangan Tengah. Tetapi tentu saja apa yang dikatakan pemerintah bisa berbeda dengan apa yang dipikirkannya. Yang jelas tokoh-tokoh Algemeeue Studieclub bukanlah orang sembarangan, didalamnya banyak yang berpendidikan tinggi.
Boleh jadi banyak pandangan liar terhadap kehadiran Algemeeue Studieclub ini. Suatu klub studi yang tampaknya berbeda dengan klub studi di Soerabaya dan klub studi di Solo. Boleh jadi para revolusioner muda masih wait en see terhadap arah gerakan Algemeeue Studieclub di Bandoeng ini. Anggota klub studi di Bandoeng ini terlihat hadir pada saat keberangkatan para tahanan politik dari kelompok komunis dari Bandoeng yang akan diasingkan ke Digoel.
De Indische courant, 26-01-1927: ‘Kemarin pihak berwenang di Bandoeng memberi kesempatan untuk berpamitan kepada tokoh komunis yang akan segera diasingkan itu, tulis AID tanggal 24 ini. Untuk tujuan ini, barak polisi lapangan di Tjigareleng, tepat di luar dan selatan kotamadya, dibuka untuk pengunjung selama 2 jam di pagi hari dan untuk waktu yang sama di sore hari. Kerumunannya cukup banyak, terutama dari kerabat. Sungguh luar biasa bahwa intelektual pribumi yang terpelajar, bukan komunis, sepenuhnya hadir. Demikian dicatat para insinyur Sukarno dan Anwari, para ahli hukum Sartono, Boediarto dan Soenario, para dokter Latif dan Tjipto. Tidak banyak bicara. Dr. Tjipto mengajukan diri sebagai asisten petugas kesehatan; Mr Sartono senang ditunjuk sebagai penasihat hukum, untuk warga Boven-Digoul. Pagi ini, 10 pemimpin komunis yang sedang diinternir, ditambah 14 kerabat (perempuan dan anak-anak) menemani mereka ke Nieuw Guinea dibawa dengan mobil ke Tjimahi dan dari sana diangkut dengan kereta ekspres pagi kelas 3 yang terpisah ke Batavia, dimana mereka dipenjara untuk sementara waktu di penjara Glodok lalu dipindahkan ke Ambon oleh kapal uap pemerintah dan ditahan disana untuk sementara, menunggu transportasi mereka ke Nieuw Guinea Selatan (Digoel, red)’.
Dalam hal ini orang-orang Algemeeue Studieclub bukanlah komunis, tetapi bagian dari orang Indonesia, yang mana tokoh komunis yang diasingkan juga adalah orang Indonesi (rekan sebangsa dan setanah air). Bahkan terlihat Mr Sartono dan Dr Tipto bersedia bekerja untuk mereka di Digoel. Jika diperhatikan kata-kata Ir Soekarno dalam dialog dengan Mr Stokvis terkesan bahwa Ir Soekarno adalah pengusung paham tengah tetapi jika diperlukan dapat digunakan dengan cara (metode) yang dilakukan komunis (merah) yakni dengan pengambilalihan otoritas (pemerintahan) dahulu. Hal serupa ini juga pernah dilontarkan oleh Parada Harahap dalam polemik dengan pers Eropa/Belanda pada tahun 1925 (seperti disebut di atas).
Persatuan nasional menjadi begitu penting saat itu. Suatu gerakan Indonesia yang baru. Tokoh-tokoh pendukungnya dalam hal ini adalah Parada Haraha, WR Soepratman dan Mohamad Tabrani dan lainnya di Batavia dan Dr Tjipto, Mr Sartono dan Ir Soekarno dan lainnya di Bandoeng. Apapun ideologinya, suku bangsa dan agamanya. Dukungan terhadap komunis dapat diperhartikan pada tulisan Dr Tjipto yang dimuat pada buletin Algemeeue Studieclub (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 01-02-1927). Disebutkan brosur bagus dari Dr Tjipto yang dimuat redaksi Indonesia Moeda di Bandoeng yang menerbitkan brosur yang dibuat oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, berjudul: 'Komunisme di Indonesia' yang ditulis sebagai tanggapan atas 'kerusuhan'. Salinan brosur ini telah dikirim ke PG untuk meminta nasihat. Awalnya 500 eksemplar brosur itu disita, tetapi PG mencabut penyitaan ini lagi; juga memuat artikel berjudul ‘Dengan kekuatan dan dengan tangan seorang penguasa menunjukkan kelemahan batinnya. Yang kuat memerintah dengan kelembutan dan puas dengan kemenangan moral’ (Rama). Buletin ini datang sebagai nomor perkenalan dari pengurus Algemeene Studieclub, yang juga sebagai redaktur Indonesia Moeda, yang terdiri dari: Putuhena, cand. ingienuer, wd. presiden, Ir Soekarno, Ir Anwari, Sjamsoeddin and K Karnadidjaja, Tulisan Dr Tjipto meski dia bukan komunis (dia lebih berideologi nasionalis NIP) mendiskusikan pembelaan terhadap komunis yang tengah dipojokkan pemerintah. Dalam hal ini Dr Tjipto skk dan Ir Soekarno dkk di Bandoeng adalah golongan nasuonalis yang di satu sisi saat itu ada gerakan komunis dan di sisi lain ada gerakan Islam (SI). Namun gerakan muda yang sekarang Parada Harahap dkk di Batavia dan Ir Soekarno dkk di Bandoeng lebih mempertajam gearakan nasional dalam konteks minus komunis, Pan Islam (SI) dan kedaerahan (BO) yang secara umum sangat terlihat ada gerakan muda yang bersifat penduduk asli (pribumi) dan non cooperative. Hal itulah dapat dipahami Mohamad Tabarani dan para insinyur muda serta lulusan fakultas lainnya yang tidak bekerja dengan lembaga pemerintah tetapi dengan usaha sendiri dan bersatu dalam gerakan nasional Indonesia yang tidak kooperatif. Gerakan ini juga terjadi di lingkungan Perhimpoenan Indonesia di Belanda yang dimotori oleh Mohamad Hatta dkk sejak tahun 1924. Tapi gerakan muda revolusioner ini masih mentoleransi gerakan kooperatif berhaluan kanan seperti studieclub di Soerabaja (Dr Soetomo dkk).
Demikianlah gerakan muda revolusioner Indonesia telah lahir paling tidak di Batavia (Parada Harahap dkk) dan di Bandoeng (Ir Soekarno dkk). Di Bandoeng Algemeeue Studieclub melakukan pertemuan internal (lihat De Indische courant, 23-02-1927). Disebutkan kemarin pagi, Algemeeue Studieclub mengadakan pertemuan rumah tangga, yang ditentukan oleh statuta (AD/ART), untuk memilih dewan pengurus baru. Pertemuan itu dihadiri dengan baik. Yang harus diingat secara khusus disini, karena biasanya sebaliknya dalam pertemuan rumah tangga. Ini mungkin disesalkan sebagai sebuah fenomena, tapi bisa dimengerti. Hanya masalah internal yang dibahas dalam pertemuan rumah tangga, tidak ada usulan yang diajukan, tidak ada yang perlu diperdebatkan, dan para anggota berpikir bahwa mereka dapat menghabiskan waktu mereka dengan lebih baik. Tapi, seperti yang dikatakan, pertemuan 20 Februari lalu. pengecualian yang menguntungkan. Mungkin karena menurut catatan pemanggilan, Dr. Tjipto akan mengungkapkan gagasannya tentang kerusuhan yang terjadi belakangan ini, tetapi mungkin juga karena belakangan ini, di bawah pengaruh Digoel dan pergantian takhta, kehidupan pesta yang semarak dapat terlihat.
Juga disebutkan bahwa pemilihan pengurus berjalan lancar. Ketua Putuhena menyerahkan palu kepada ketua baru Ir. Anwari sementara sekretariat tetap pada Ir. Soekarno. Beberapa kesulitan memunculkan usulan salah satu anggota untuk melengkapi dewan dengan seorang Eropa (Mr DMG Koch) dan seorang Cina. Perdebatan mengenai hal ini bukannya tanpa fokus. Orang-orang telah menemui jalan buntu. Dewan telah dipaksa untuk menunda diskusi lebih lanjut mengenai hal ini sampai pertemuan berikutnya, ketika yang merupakan item agenda, telah memberikan anggota kesempatan untuk memikirkannya terlebih dahulu. Usulan itu, menurut pendapat dewan, terlalu berprinsip untuk dibiarkan mendorongnya atau menolaknya dengan ‘serangan anggota’. Setelah palu diserahkan dari Putuhena kepada ketua yang baru terpilih, Ir. Anwari, dan yang terakhir mengucapkan terima kasih kepada para anggota atas kepercayaan yang telah mereka berikan kepadanya dan para anggota pengurus baru lainnya, ketua pengurus baru diberikan kesempatan berbicara. Pembicara tidak melakukan apa-apa selain berpikir. Dalam kuliahnya dia menjelaskan bahwa dia mungkin bisa berteman baik dengan polisi bertopi, tetapi dia memiliki adik laki-laki yang mati dengan 'polisi tanpa galon'. Beberapa dikatakan telah mengubah dinding putih di sisi penonton. Nama mereka dicatat dengan papan klub. Tetapi beberapa orang berpikir bahwa hobi polos polisi lebih berbahaya bagi diri mereka sendiri daripada klub yang dimata-matai. Pertemuan itu pada tingkat yang terlalu tinggi untuk mata-mata yang dilepaskan kesana untuk melakukan apa pun. Banyak penggunaan dibuat dari kesempatan untuk berdebat. Bukan untuk menyerang pembicara, tetapi untuk melengkapinya. Atau untuk menyelesaikan perselisihan kecil dengan dewan. Alhasil, terciptalah suasana yang lebih murni. Disebutkan secara khusus layak untuk ditambahkan oleh Mr. Koch ke dalam presentasi pembicara hari itu. Dia telah membuktikan dengan terampil bahwa apa yang dirasakan Tjipto dapat ditunjukkan secara deduktif: bahwa karakter kapital pasti telah menyebabkan letusan disini, dan mungkin akan memimpin lebih jauh. Brosur Koch juga akan muncul di media cetak (Indonesia Meoda?, red). Setelah ketua, atas permintaan Tjipto, menyampaikan ucapan terima kasih pembicara kepada Pak Koch, dan para anggota dewan atas minatnya, rapat ditutup’.
Pada saat inilah, pada saat dimana Ir Soekarno yang sudah mulai banyak menulis, tetapi masih tetap berada di belakang layar (Algemeeue Studieclub sebagai sekretaris), Parada Harahap, pemilik surat kabar Bintang Timoer (yang juga sekretaris Sumatranen Bond) di Batavia melalu surat kabar Bintang Timoer mulai menantang Ir. Soekarno turun gunung di dalam suatu editorial Bintang Timoer, yang lalu kemudian pada kesempatan lain Ir Soekarno mengirim sinyal melalui surat pembaca di surat kabar Bintang Timoer: ‘Tunggu tanggal mainnya, Bang!’. Saat ini di Bandoeng sejatinya sudah terbentuk organisasi yang disebut Persatoean Indonesia.
Apa yang ditunggu Parada Harahap tampaknya sinyal dari Bandoeng sudah mulai menjadi kenyataan. Terbentuk organisasi kebangsaan yang lebih definitif sesuai ekspektasi Parada Harahap terhadap gerak-gerik pemikiran Ir Soekarno yang terus diikuti/dianalisis oleh Parada Harahap di Batavia. Organisasi kebangsaa tersebut diberi nama Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI). Kata ‘nasional’ telah ditambahkan pada nama organisasi sebelumnya Persatoean Indonesia (yang diduga saat itu merujuk pada nama Perhimpoenan Indoenesia di Belanda (Mohamad Hatta dkk). Nama Perhimpoenan Nasional Indonesa sudah tampak lebih tegas, lebih garang dan lebih berjarak antara sini (PNI) dan sana (Belanda). Organisasi kebangsaan Indonesia yang baru Perhimpoenan Nasional Indonesia diresmikan pada tanggal 4 Juli 1927, tanggal yang sama dengan hari kemerdekaan rakyat Amerikan Serikat (1774).
Perhimpoenan Indonesia di Belanda (sejak 1924 oleh Mohamad Hatta dkk), Sarikat Jurnalis Indonesia (sejak 1925 Parada Harahap dkk) dan Kongres Pemuda Indonesia (sejak 1926 Mohamad Tabrani) dan Perhimpoenan Nasional Indonesia (sejak Juli 1927 Ir Soekarno dkk), maka Parada Harahap di Batavia mulai menyegerakan impian lamanya yakni membentuk federasi organisasi kebangsaan Indonesia. Seperti disebut di atas, yang dimotori oleh Parada Harahap terbentuklah supra organisasi kebangsaan Indonesia (federasi) yang disebut PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaa Indonesia) pada bulan September 1927 yang mana Parada Harahap sebagai sekretaris.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pahlawan Nasional Dr Soetomo di Soerabaja: Radjamin Nasution dan WR Soepratman
Pada tahun 1912 di Bandoeng terjadi peristiwa yang baru kali pertama terjadi. Dr Tjipto Mengoenkoesoemo, EF Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat melakukan agitasi terhadap pemerintah. Pemerintah menagkap ketiganya dan kemudian mengasingkannya ke Belanda. Mereka ini kelak dikenal sebagai Tiga Serangkai. Dr Tjipto di Eropa mengalami sakit. Lalu Dr. Tjipto meminta permohonan kembali ke Hindia. Permohonan kepada Menteri Koloni dikabulkan tanggal 24 Juli unruk kembali ke tanah air karena alasan kesehatan (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 29-07-1914). Sementara Soewardi Soerjaningrat lulusan OSVIA Bandoeng yang telah bergabung dengan Indische Vereeniging mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Soewardi Soerjaningrat diterima di sekolah untuk mendapatkan akta guru LO (akta guru sekolah dasar yang bisa mengajar di ELS).
Dalam pidatonya, Dr Soetomo meminta perhatian kepada anggota Boedi Oetomo. Dr Soetomo mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi sendiri. Banyak orang pintar di luar sana terutama orang-orang Tapanuli, Tampaknya Dr Soetomo di satu sisi telah bergaul dengan orang Tapanuli (khususnya Angkola Mandailing di Medan) dan tentu saja di Batavia (selama kuliah di STOVIA). Di sisi yang lain Dr Soetomo telah melihat sendiri dan berbicara dengan kuli perkebunan yang berasal dari Jawa. Saat itu yang berlaku adalah ordonansi poenalie sacntie.
Dalam hal ini, Dr Soetomo mulai paham bahwa penderitaan kuli asal Jawa di Deli harus menjadi perhatian Boedi Oetomo, tetapi Boedi Oetomo tidak bisa sendiri di Jaw dan harus bekerjasama dengan suku bangsa lain. Oleh karena itulah Dr Soetomo perlu meminta pertemuan umum para anggota Boedi Oetomo di Batavia untuk mendengar apa yang ingin disampaikannya. Dr Soetomo meminta perhatian anggota bahwa untuk mengatasi penderitaan kuli asal Jawa di Deli tidak bisa dilakukan sendiri harus bekerjasama dengan orang Tapanoeli. Orang Tapanoeli di Medan pada saat itu sudah bisa mengatasi permasalahan sendiri dan bahkan sudah bisa bersaing dengan orang-orang Cina sejak dibentuknya Sarikat Tapanoeli pada tahun 1907 dan mendirikan surat kabar Pewarta Deli tahun 1909. Anak-anak orang Tapanoeli sudah banyak yang studi ke negeri Belanda dan juga Batavia serta Buitenzorg.
Boedi Oetomo belum sempat memikirkan apa yang dihimbau Dr Soetomo, tiba-tiba pada tahun 1918 muncul berita dari Medan bahwa seorang krani di perkebunan membongkar kasus poenali sanctie. Hasil investigasi krani tersebut dilaporkan surat kabar Benih Mardika yang terbit di Medan yang kemudian dilansir surat kabar Soeara Djawa, lalu heboh di Djawa. Dr Soetomo yang kala itu sedang bertugas sebagai dokter di Palembang. Dr Soetomo tersenyum. Prediksinya tepat. Krani yang membongkar kasus poenalie sanctie tersebut yang telah dipecat oleh tempat ia bekerja akibat kasus itu bernama Parada Harahap.
Pada waktu kasus poenali sanctie merebak di tanah air, dalam kepengurusan Dahlan Abdoellah di Indische Vereeniging (1918), RM Soewardi yang sudah mendapat akta guru LO dilibatkan untuk memimpin sebuah organ baru yang didirikan yakni majalah mingguan Hindia Poetra. Majalah Hindia Poetra fokus pada pandangan-pandangan tentang Hindia dari kalangan pribumi (mahasiswa dan alumni). Dalam perkembanganya RM Soewardi memimpin Indonesisch Persbureau yang ruang lingkupnya lebih luas untuk menjembatani isu-isu terkini tentang antara Hindia dan Belanda. Indonesisch Persbureau menyajikan isu-isu tersebut dengan dukungan wawancara terhadap orang-orang Belanda yang memahami betul tentang Hindia.
Pada tahun 1919 Dr. Soetomo melanjutkan studi ke Belanda. Dua rekannya yang sama-sama dokter melanjutkan studi ke Belanda adalah Dr. Sardjito dokter yang bertugas di Batavia dan Dr Mohamad Sjaaf yang bertugas di Medan. Pada waktu yang relatif bersamaan pada tahun 1919 ini RM Soewardi Soerjaningrat kembali ke tanah air (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-08-1919). Saat itu Soekarno masih duduk di sekolah menengah (HBS) di Soerabaja.
Pada tahun 1919 ini, Parada Harahap setelah sempat bekerja sebagai editor si surat kabar Benih Mardika di Medan, karena surat kabar itu dibreidel, Parada Harahap pulang kampong dan mendirikan surat kabar baru di Padang Sidempoean dengan nama Sinar Merdeka. Di Padang Sidempoean sudah ada sebuah majalah (Poestaha) yang didirikan pada tahun 1915 oleh Soetan Cassangan sepulang dari Belanda tahun 1913. Majalah ini juga ditangani oleh Parada Harahap. Masih pada tahun ini ketika Kongres Sumatranen Bond yang pertama diadakan di Padang, Parada Harahap memimpin delagasi dari wilayah Tapanoeli. Pada kongres ini Parada Harahap kenal Mohamad Hatta yang menjadi sekretaris Jong Sumatranen Bond di Padang. Masih pada tahun 1919 ini di Belanda, diketahui Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia telah berhasil memperoleh akta guru MO (Middlebare Onderwijzer) kira-kira setara dengan sarjana pendidikan (sarjana penuh). Akta guru LO kira-kira setara dengan sarjana muda. Mahasiswa Indonesia pertama yang mendapat akta guru MO adalah Soetan Casajangan pada tahun 1911 (pendiri Indische Vereeniging). Pada akhir tahun 1919 Soetan Goenoeng Moelia kembali ke tanah air (dan akan ditempatkan sebagai direktur HIS yang baru dibuka di Kotanopan).
Pada tahun 1920 Soetan Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah air untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah 19 halaman yang berjudul ‘De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek’ (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Forum ini juga dihadiri oleh Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan di hadapan para ahli Belanda sebagaimana tahun 1911, Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya:
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara ‘coklat’ dan ‘putih’...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan (Tweede Kamer)..’
Saat kehadiran Soetan Casajangan di Belanda tahun 1920, sudah barang tentu Dr Soetomo dan Dr Sardjito hadir dalam pertemuan berkelas itu. Boleh jadi Dr Soetomo teringat kata-katanya di hadapan anggota Boedi Oetomo cabang Batavia (yang ketuanya adalah Dr Sardjito) pada tahun 1915. Nama Soetan Casajangan cukup terkenal di Belanda, hal ini karena Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah pendiri Indische Vereeniging pada tahun 1908. Apakah Dr Soetomo ingin menjadi ketua Indische Vereeniging? Yang jelas pada tahun 1921 Dr Soetomo di Belanda terpilih menjadi ketua Indische Vereeniging. Pada saat kepengerusan Dr Soeotmo ini nama Indische Vereeniging diganti dengan nama Indonesia Vereeniging. Sementara itu, pada tahun ini (1921) di Soerabaja, Soekarno lulus ujian akhir HBS dan akan melanjutkan studi ke THS Bandoeng (diterima pada tahun 1922). Masig pada tahun 1921 di Belanda Sorip Tagor Harahap lulus sekolah kedokteran hewan dan mendapat gelar Dokter Hewan (dokter hewan Indonesia pertama). Pada tahun ini dari tanah air Mohamad Hata lulusan HBS di PHS Batavia melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun 1921 ini Soetan Goenoeng Moelia, direktur HIS di Kotanopan diangkat sebagai anggota Volksraad mewakili bidang pendidikan (lihat De Preanger-bode, 03-03-1921).
Sementara Soewardi Soerjaningrat yang telah mendapat akta guru LO di Belanda, di tanah air tidak bekerja sebagai guru pemerintah, tetapi membuka sekolah sendiri dengan metode pengajaran yang berbeda (yang dikembangkannya sendiri). Sekolah yang dikembangkan sendiri ini yang dimulai tahun 1922 disebut sekolah Taman Siswa. Nama Soewardi Soerjaningrat kemudian mulai dikenal tahun 1928 dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Sekolah Taman Siswa ini diadakan di Djogjakarta.
Dr Soetomo dan Dr Sardjito lulus dan mendapat gelar dokter (dokter penuh). Dr Sardjito melanjutkan ke tingkat doktoral untuk meraih gelar doktor (Ph,D). Sementara Dr Soetomo tidak melanjutkan pendidikannya, tetapi pulang ke tanah air pada tahun 1923 dan ditempatkan di Soerabaja. Pada tahun 1924 Dr Soetomo dkk di Soerabaja mendirikan studieclub. Inilah studieclub pertama di Indonesia (baca: Hindia Belanda).
Seperti kita lihat nanti, sebagaimana telah disebut di atas, pada bulan September 1927 Parada Harahap (sekretaris Sumantranen Bond) menggagas pembentukan PPPKI dimana dalam pembentukan tersebut turut hadir Dr Soetomo dari studieclub Soerabaja dan juga turut hadir Ir Soekarno dari Perhimpoenan Nasional Indonesia di Bandoeng. Boleh jadi pada saat inilah untuk kali pertama Dr Soetomo sanga senior bertemu dengan sang junior Ir Soekarno
Tunggu deskripsi lengkapnya
Ir Soekarno dan Dr Soetomo: Boedi Oetomo (BO) dan Partai Bangsa Indonesia (PBI) Menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra)
Ir Soekarno di Bandoeng selain intens di Algemene Studieclub, juga terus memperluas dan memperkuat persatuan. Tentu saja Ir Soekarno dan Ir Anwari terus mengembangkan firma arsitektur mereka. Mereka juga aktif dalam pengajaran di sekolah non pemerintah.
De koerier, 31-05-1927: ‘Taman Siswo akan membuka sekolah MULO dan sekolah National Middlebare School di Bandoeng pada tanggal 6 Juli dengan kurikulum yang sesuai dengan Sekolah Menengah Umum pemerintah, Sekolah yang berpusat di Djogjakarta Drs Sosrokartono akan bertanggung jawab untuk pengelolaannya. Selanjutnya sekolah Taman Siswa di Bandoeng sebagai guru adalah sebagai berikut: Dr Sjahboedin Latif, Ir. Soekarno, K. Karnadidjaja, Ir. Anwari, Mr Soenaria, Mr Samsi Sastrawidagda, Ph.D dan RM Soorjoadiputro. Kepengurusan sehari-hari akan dipimpin oleh: Drs Sosrokartono, Dr. Samsi Sastrawidagda dan RM Soorjoadiputro. Kurikulum mencakup mata pelajaran berikut: Bahasa dan Sastra Sunda, Bahasa dan Sastra Melayu, Matematika, Fisika, Kimia, Ilmu Alam (Biologi?), Sejarah Nasional, Geografi, Hukum Tata Negara, Sejarah Nasional dan Dunia, Sejarah Islam, Bahasa dan Sastra Belanda, Bahasa dan Sastra Inggris, Bahasa Jerman dan Prancis, Ilmu Perdagangan, Ekonomi Politik, Menggambar, Olah Raga dan Menyanyi. Dalam berita ini juga disebutkan di sekolah pertanian Landbouw Middlebare School di Buitenzorg lulus ujian dari kelas satu naik ke kelas dua antara lain Hoemala Harahap, Madjoedin dan Soedarmadi. Yang naik dari kelas dua ke kelas tiga antara lain Joesoef Modjo, LG Niehoff dan A Habibie. Sedangkan yang lulus ujian akhir antara lain Soewandi Hatmosoetjiro, Tan Hoat Tjiang dan P. van der Veen. Catatan: Drs Sosrokartono adalah abang dari RA Kartini dan A Habibie adalah ayah dari BJ Habibie.
Pada bulan Juni 1927 dimana Ir Soekarno dkk menyiapkan suatu kongres nasional di Bandoeng (lihat Haagsche courant, 24-06-1927). Disebutkan persiapan Kongres Nasionalis. panitia Rapat Besar telah dibentuk yang akan mempersiapkan kongres nasionalis di Bandung. Promotornya adalah Insinyur Soekarno dan Mr Iskaq. Sebagaimana disebut di atas, di Bandoeng telah dibentuk sebelumnya Persatoean Indonesia. Tidak disebutkan kapan kongres akan diadakan. Besar dugaan kongres diadakan sebelum atau tepat pada tanggal 4 Juli 1927. Sebagaimana diektahui (pada masa ini) Perhimpoenan Nasional Indonesia dibentuk pada tanggal 4 Juli 1927.
De koerier, 05-07-1927: ‘Sore Pertanyaan’. Salah satu hari terakhir minggu lalu, Algemene Studieclub mengadakan pertemuan disini, yang disebut malam tanya jawab, di clubhouse societeit Pasamoan Pasoendan di jalan Poengkoerweg. Pertanyaan dapat diajukan oleh yang hadir, yang akan dijawab oleh Dr. Sosrokartono. Diantara lebih dari 70 yang hadir adalah Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Dr Sarnsi, Mr. Soenarjo, dsb. Ketuanya, Soekarno, membuka rapat sekitar pukul setengah tujuh malam itu dengan mengucapkan selamat datang kepada yang hadir. Disini, di Indonesia, menurut pembicara, belum pernah ada pertemuan seperti itu, tetapi malam-malam seperti itu berulang kali diselenggarakan di Eropa. Mereka berguna untuk saling bertukar ide. Hal ini menurut ketua dengan maksud untuk menyelenggarakan beberapa malam seperti itu. Penanya pertama adalah Soerioadiputro yang menanyakan tentang arti penting Sastra Rakyat bagi pembangunan bangsa Indonesia. Dosennya Dr. Sosrokartono menyatakan Volkslectuur diatur sesuai sistem perdagangan dan karena itu lebih ditujukan untuk keuntungan daripada untuk mengejar kepentingan rakyat. Semua buku diterbitkan setelah melalui pertimbangan yang matang dan tidak berbau politik. Dengan cara ini masyarakat mengetahui apa yang disajikan tetapi bukan apa yang diinginkan oleh masyarakat itu sendiri, keinginannya terpenuhi. Sebagian besar buku yang diterbitkan oleh de Volkslectuur adalah terjemahan dari dongeng Eropa, yang sangat cocok untuk dibaca oleh anak-anak, tetapi tidak dapat memuaskan orang dewasa. Singkatnya: de Volkslectuur tidak menawarkan sastra yang memenuhi kebutuhan dan keinginan penduduk. Bapak Sahip berkomentar tentang ini bahwa dia tidak setuju dengan pembicara. Volkslectuur telah menerbitkan beberapa karya populer di bidang kesehatan, pertanian dan hortikultura, dll, yang tentunya disukai penduduk. Lebih banyak lagi yang dikemukakan tentang Volkslectuur oleh peserta lain, yang menunjukkan bahwa pendapat terbagi. Saat itu jam sepuluh ketika pertemuan ditutup dan bubar’.
Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) dan Sarikat Islam (SI) menjadi dua organisasi kebangsaan yang paling menyita perhatian pemerintah. Hal ini karena dua organisasi kebangsaan ini sama-sama memiliki pemikiran yang kritis.
Tidak diketahui apakah buletin Indonesia Moeda masih eksis yang sebelumnya menjadi bagian (organ) Algemenen Stidieclub, Namun yang jelas kini Ir Soekarno telah menjadi ketua Perhimpoenan Nasional Indonesia. Saat ini diketahui surat kabar SI yang terbit di Bandoeng Bandera Islam yang juga menjadi revolusioner nasionalis (bagian khusus di majalah itu dikhususkan untuk perjuangan nasional dan Ir Soekarno adalah editornya dengan yang lain) (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 06-08-1927). Sementara itu, surat kabar yang lebih revolusioner di Batavia adalah Bintang Timoer yang dipimpin yang sekaligus pemimpin redaksi.
Sehubungan dengan kasus penangkapan sejumlah mahasiswa di Belanda termasuk Mohamad Hatta, Ir Soekarno dan Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) akan mengadakan suatu protes dalam rapat umum di Bandoeng (lihat De koerier, 08-08-1927). Disebutkan Minggu pagi, sebagaimana diumumkan oleh kami bahwa PNI, PSI, Pasoendan dan Boedi Oetomo akan memprotes di bioskop Oriental atas tuduhan terhadap [Mohamad[ Hatta dan beberapa mahasiswa Indonesia. Sekitar dari 200 orang memenuhi gedung bioskop, diantaranya kami melihat Mr Van der Plas dari Penasehat Pribumi. Suatu festival gamelan di lokasi yang berdekatan dan menyebabkan kebisingan yang juga sorak sorai penonton yang tidak dapat diredam dan desas-desus bahwa ketua Soekarno melakukan yang terbaik yang dia bisa, yaitu menunda pertemuan untuk kesempatan yang lebih baik. Pertemuan umum akan dijadwal ulang.
De Maasbode, 15-08-1927: Bandoeng, 15 Agustus. (ANETA). Sebuah pertemuan publik skala organisasi nasionalis diadakan disini. Pokok bahasan adalah penggeledahan dan penyitaan barang milik mahasiswa Indonesischo di Belanda. Pertemuan dipimpin oleh Ir. Soekarno. Juga membahas Liga melawan Penindasan Kolonial. Sebuah komite pendukung dibentuk untuk kepentingan para mahasiswa, yang rumahnya digeledah. Ketua komite ini adalah Dr. Samsi. Sekitar 500 orang hadir dalam pertemuan tersebut dan diantaranya adalah Tuan van der Plas, dari Biro Nasihat untuk Urusan Inlandsche, dan Stokvis, inspektur pendidikan menengah’.
Lantas bagaimana reaksi Parada Harahap dengan kasus mahasiswa Indonesia yang terjadi di Belanda. Tidak diketahui apakah Sumatranen Bond di Batavia melakukan hal yang sama dengan Perhimpoenan Nasional Indonesia.Yang jelas Parada Harahap sedang mempersiapkan pertemuan para pemimpin organisasi kebangsaan untuk membentuk federasi. Bagi Parada Harahap pembentukan federasi akan lebih kuat untuk membicarakan dan membahas perihal yang sangat besar termasuk soal penangkapan mahasiswa Indonesia di Belanda. Seperti disebut di atas, pada bulan September dibentuk federasi organisasi kebangsaan yang diberi nama PPPKI.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar