Laman

Sabtu, 22 Januari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (370): Pahlawan Nasional Radin Inten II (1834-58);Lampung dan Sejarah Perjuangan era Hindia Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Wilayah Lampung adalah satu hal. Perjuangan rakyat Lampung adalah hal lain lagi. Di atas tanah Sai Bumi Ruwa Jurai inilah terdapat tokoh penting dalam era Pemerintah Hindia Belanda, Radin Intan II yang pada tahun 1986 telah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional.

Radin Intan II (1 Januari 1834-5 Oktober 1858) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai nama bandara dan perguruan tinggi. Berdasarkan penelitian, Radin Intan II masih keturunan Fatahillah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dari perkawinannya dengan Putri Sinar Alam, seorang putri dari Minak Jalan Ratu dari Kebandaran Keratuan Pugung, cikal-bakal pemegang kekuasaan di kebandakhan keratuan tersebut. Radin Intan II adalah putra tunggal Radin Imba II (1828-1834). Radin Imba II sendiri putra sulung Radin Intan I gelar Dalam Kesuma Ratu IV (1751-1828). Dengan demikian, Radin Intan II cucu dari Radin Intan I. Pada saat Radin Intan II lahir tahun 1834, ayahnya, Radin Imba II, ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Timor, akibat memimpin perlawanan bersenjata menentang kehadiran Belanda yang ingin menjajah Lampung. Istrinya yang sedang hamil tua, Ratu Mas, tidak dibawa ke pengasingannya. Pemerintahan Kebandaran Keratuan Lampung dijalankan oleh Dewan Perwalian yang dikontrol oleh Belanda. Radin Intan II tidak pernah mengenal ayah kandungnya tersebut, tetapi ibunya selalu menceritakan perjuangan ayahnya sehingga pada saat dinobatkan sebagai Negara Ratu, Radin Intan II melanjutkan berjuang memimpin rakyat di daerah Lampung Selatan untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayahnya. Perjuangannya didukung secara luas oleh rakyat daerah Lampung Selatan dan mendapatkan bantuan dari daerah lain, seperti Banten. Radin Intan II wafat dalam dalam usia sangat muda, 22 tahun yang disaksikan Kolonel Welson. Pada tahun 1986 Raden Intan II ditabalkan sebagai pahlawan nasional (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah wilayah Lampung dan Radin Intan I? Seperti disebut di atas, Radin Intan II memimpin rakyat di daerah Lampung Selatan melawan kehadiran Pemerintah Hindi Belanda. Radin Intan II (1834-1858) wafat pada usia muda 22 tahun. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Nasional Radin Inten II (1834-1858): Sejarah Lampung

WilayahLampoeng sejak zaman kuno sudah menjadi pusat peradaban dan pusat sumber-sumber komoditi perdagangan. Di wiliyah dekat pantai banyak diusahakan lada sedangkan di bagian wilayah pedalaman banyak dihasilkan hasil-hasil hutan. Inilah yang menjadi sebab kerajaan-kerajaan di wilayah Lampoeng dari masa ke masa tidak putus. Perdagangan wilayah Lampoeng pada zaman kuno awalnya berosientasi ke daerah aliran sungai Musi sebelum bergeser dan berkembang di daerah aliran sungai Toelangbawang. Hingga awal Pemerintah Hindia Belanda (pasca pendudukan Inggris di Jawa) kapal-kapal antara Batavia dan daerah aliran sungai Toelangbawang hailir mudik.  

Wilayah Lampoeng sudah sejak lama sebagai pusat perdagangan di orbit (kerajaan) Banten. Setelah Perang Pantai Barat Sumatra (1665) pantai barat Lampong (kini wilayah Bengkulu) perdagangan semakin ramai antarai Batavia dan kota-kota pantai barat Sumatra hingg ake Baroes. Demikian juga di wilayah perairan Teloek Betoeng, pasca Perang Gowa (1669) sudah mulai dihuni oleh orang-orang Manda yang menjadi agen perdagangan di kawasan. Di wilayah Lampoeng timur yang berpusat di daerah aliran sungai Toelangbawang perdagangan dari dan ke Jawa (khususnya Pelabuhan Banten) sangat ramai. Penduduk Lampoeng sendiri sebagian berada di belakang pantai yang berinteraksi dengan perdagangan luar dan sebagian yang lain di pedalaman hingga ke pedalaman (dekat danau Ranau).

Pada tahun 1824 terjadi perjanjian antara Belanda dan Inggris tentang tukar guling antara Bengkulu (Inggris) dan Malaka (Belanda). Dengan adanya tukar guling ini maka seluruh Sumatra (minus Atjeh) berada di bawah otoritas Pemerintah Hindia Belanda. Sebelum tukar guling Pemerintah Hindia telah memulai pembentukan cabang pemerintahan di Palembang (1816) dan kemudian diikuti di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) tahun 1819 (ibu kota di Tapanoeli).

Bengkoeloe sendiri diinvasi Inggris (yang berpusat di Calvutta dan Madras, India) pada tahun 1779 sehubungan dengan Inggris memulai koloni di Australia (setelah Inggris terusir dari Amerika Serikat tahun 1774). Dalam hubungan aneksasi Bengkoeloe ini pedagang-pedagang VOC/Belanda terusir dari pantai barat Sumatra. Kedudukan Inggris yang kuat di Bengkoeloe menjadi jalur perlayaran Inggris dari India ke Australia menjadi aman.  Namun dalam perkembangannya Bengkoeloe juga menjadi titik poin terpenting Ingggris untuk melakukan aneksasi di Jawa (1811-1816). Pasca dikembalikannya Jawa kepada Belanda secara adminitratif mulai di bentuk cabang-cabang pemerintahan di seluruh Hindia Timur yang dalam hal ini menjadi pemicu adanya tukar guling antara Bengkoeloe dan Malaka.

Pasca perjanjian Inggris-Belanda (Traktat London 1824) Pemerinntah Hindia Belanda (yang berpusat di Batavia) mulai membentuk cabang pemerintahan di wilayah Lampoeng (dari pantai barat di Bengkoeloe hingga pantai timur di Toelangbawang dan hingga pantai selatan di Lampong  (teluk Betung). Cabang-cabang pemerintahan ini kemudian menempatkan Residen di Palembang, di Tapanoelie (kemudian digeser ke Padang tahun 1824), di Teloek Betoeng dan kemudian di Riaouw (Bintan) yang kelak tahun 1863 dimekarkan dengan membentuk cabang pemerintahan pantai timur Sumatra (Sumatra’s Ooskust). Dalam konteks inilah perlawan penduduk Lampoeng dimulai terhadap kehadiran otoritas Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Lampoeng.

Nama Lampoeng sendiri sudah dikenal sejak masa lampau pada peta-peta Portugis yang diidentifikasi dan dicatat sebagai Lampin (diduga salah eja dari nama Lampoeng). Dalam teks Negarakertagama karangan Prapanca (1365) nama Lampung sudah diidentifikasi dan kemudian menjadi wilayah perdagangan (kerajaan) Banten pada era Portugis. Pada era VOC lalu lintas perdagangan ke wilayah Lampoeng hanya teridentifikasi jalur Batavia dan Toelangbawang. Dalam hal ini Lampoeng (Teluk Banten) wilayah perdagangan Banten dan Toelangbawang menjadi wilayah perdagangan VOC bahkan hingga era Pemerintah Hindia Belanda (misalnya lihat  Bataviasche courant, 07-11-1818). Gambaran penduduk Lampoeng (yang dibedakan dengan Redjang di barat dan Toelangbawang di timur) menurut William Marsden (1811) sebagai berikut: ‘Penduduk Lampong sangat mirip dengan orang Cina. Mereka adalah yang paling baik dari semua orang Sumatera, bahkan wanita dianggap adil. Penguasa mereka menanggung nama Pangeran Negeri, khususnya di bawah pangeran Palembang, menjadi sasaran serbuan dari Toelangbawang dari negeri itu, yang juga menjadi sasaran banyak penguasa Belanda. menyebabkan ketidakpedulian dan kelemahan pemerintah Palembangsch yang telah menjadi salah satu alasan mengapa negara ini telah berlalu di bawah kekuasaan langsung asing (Belanda). Adat-istiadat di Lampong jauh lebih bebas dan tidak teratur daripada di Redjang, yang dengannya mereka memiliki kebiasaan yang sama mengenai hukuman badan. Agama Islam tersebar luas di antara mereka, dan masjid terlihat di sebagian besar desa; sementara itu, seperti orang Cina, penduduk Lampoeng menghargai leluhur terlihat sangat khusus untuk pemakaman leluhur mereka seperti di Tanah Batak.

Tidak diketahui secara pasti kapan cabang pemerintahan dimulai di Lampong. Paling tidak tahun 1825 sudah diketahui ada pejabat (pegawai pemeritah sipil) Hindia Belanda yang ditempatkan di Telok Betong (lihat Bataviasche courant, 28-12-1825). Demikianlah cabang pemerintahan Hindia Belanda terus berlangsung di wilayah Lampong hingga muncul pemberontakan di Banten (terhadap otoritas Pemerintah Hindia Belanda) pada akhir tahuan 1840an. Lalu apa hubungannya dengan di Lampoeng?

Hubungan (kerajaan) Banten dengan Belanda, pasang surut bahkan sejak era VOC. Peristiwa penting pertama terjadi pada tahun 1682 yang dipicu perselisihan internal yang akhirnya melibatkan pemerintah VOC. Soeltan Banten terguling oleh anaknya sendiri. Pada tahun 1750 kembali terjadi dimana kesultanan Banten menyerang otoritas VOC di wilayah pedalaman. Pada saat permulaan Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1816 hubungan antara pemerintah para pemimpin Banten baik-baik saja. Namun situasinya mulai berubah pada tahun akhir 1840an terjadi pemberontakan. Pemberontakan ini juga dibantu oleh orang yang berasal dari Lampoeng. Sebagaimana diketahui hubungan antara Banten dan Lampoeng sudah ada sejak lama.

Para pemberontak Banten yang mulai tertekan oleh Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Banten banyak yang melarikan diri ke Lampoeng. Orang-orang Lampoeng yang ikut memmbantu Banten juga pulang kampoeng ke Lampoeng (lihat Leydse courant, 25-09-1850). Orang-orang Banten yang datang ke Lampoeng diterima karena mereka bersedia tunduk di bawah otoritas Pemerintah Hindia Belanda di Lampoeng. Sementara untuk orang Lampoeng sendiri yang baru pulang dari Banten dianggap pemerintah Hindia Belnada di Lampoeng paling tidak tidak menambah runyamnya di Banten.

Sebagaimana di Banten, di Sumatra bagian selatan terutama di Palembang juga terjadi pasang surut antara otoritas Pemerintah Hindia Belanda dan para pemimpin Palembang. Yang belum lama berselang pada tahun 1812 Pengeran Ratoe membunuh Residen Belanda di Palembang. Lalu kemudian pasukan Inggris yang telah menduduki Jawa dapat menetralisirnya kembali. Perjanjian damai yang dibuat kemudian diteruskan penerapannya hingga kembalinya Pemerintah Hindia Belanda (setelah tahun 1816). Dalam hal ini jika Lampoeng memiliki hubungan yang kuat dengan Banten sejak lama, Palembang memiliki hubungan yang sudah ada sejak lama dengan Jawa. Lalu pada tahun 1825 pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Palembang dengan menempatkan seorang Residen. Dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda di Lampong yang berpusat Telok Betoeng menjadi bagian dari otoritas di bawah Residen di Palembang. Kota Palembang tumbuh dengan cepat, sebagaimana kota Padang di pantai barat tumbuh dengan cepat.

Di Lampoeng dengan masuknya para pelarian dari Banten situasi dan kondis tetap kondusif. Demikian juga di Palembang semakin kondusif. Namun tiba-tiba muncul pemberontakan di wilayah hulu daerah aliran sungai Musi (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 19-12-1851). Perlawanan yang kuat dilakukan oleh Radja Tiang Alam (Pagar Alam?) di sekitar Tebingtinggi. Perlawawanan ini dapat diatasi oleh Letnan Kolonel de Brauw sehingga keamanan dapat dipulihkan hingga ke Tebingtinggi. Meski demikian Radja Pagar Alam bergeser ke Ampat Lawang dan tetap tidak mengakui otoritas Belanda (lihat  Algemeen Handelsblad, 14-04-1852).

Untuk menjepit Radja Tiang Alam dikirim satu detasemen yang dipimpin Majoor Jeekel dari Jawa ke Bengkoelen menyusuri hingga ke Tebingtinggi. Letnan Kolonel de Brauw kemudian menyerahkan komando kepada Majoor Jeekel. Untuk menambah dukungan dikirim dua detasemen ke wilayah Tebingtinggi (lihat Rotterdamsche courant, 20-07-1852). Radja Tiang Alam baru berhasil ditangkap pada tanggal 3 April 1856 dan kemudian diasingkan ke Jawa (lihat Leydse courant, 02-07-1856). Radja Tiang Alam meninggal di Salatiga (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-10-1873). Catatan: Mengapa nama (pahlawan) Raja Tiang Alam ini tidak muncul dalam sejarah? Melawan Luitenan Colonel dan Majoor bukanlah perkara kecil. perjuangan selama lima tahun (1851-1856) bukanlah waktu yang singkat. Sebelumnya, Sultan Palembang Machmoed Badaroedin yang diasingkan pada permulaan pembentukan cabang pemerintahan Hindia Belanda di Palembang dilaporkan telah meninggal di Ternate (lihat Algemeen Handelsblad, 17-03-1853). Disebutkan Sultan Palembang dalam usia tinggi 89 tahun meninggal pada tanggal 26 November (1852) di Ternate dan dikuburkan di hari esoknya.

Dalam konteks perlawana di wilayah hulu daerah aliran sungai Musi inilah perlawanan terhadap otoritas Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Lampoeng muncul.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lampung dan Sejarah Perjuangan Rakyat di Lampung

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar