Laman

Jumat, 13 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (588): Pahlawan Indonesia – Melayunisasi di Tanah Malaya; Minangkabau Sumatra Tanggalkan Melayu

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, Melayu di Malaysia (Semenanjung) mulai banyak yang menggunakan marga. Demikian juga warga Melayu Malaysia mulai banyak yang mengidentifikasi diri sebagai orang Minangkabau, orang Jawa, orang Bugis dan sebagainya. Hal itu juga yang terjadi sebelumnya di Sumatra Timur. Tampaknya proses Melayunisasi yang panjang mulai mengalami titik balik. Mengapa? Karena asal-usul mereka memang bukan Melayu.

Kesadaran berbangsa itu sudah sejak lama terjadi. Semua (suku) bangsa ingin merujuk kepada (asal-usul) nenek moyang. Saat politik kebangsaan di Malaysia semakin menguat (generalsiasi Melayu/Melayunisasi), di berbagai wilayah, terutama di Indonesia, proses politik kebangsaan justru sebaliknya. Orang Soenda menyadari bahwa mereka bukan orang Jawa, demikian juga orang Madura di pantai timur Jawa menyadari mereka bukan orang Jawa. Tentu saja orang Makassar menyadari mereka bukan orang Bugis. Di wilayah Melayu mulai muncul politik kebangsaan meski merekan orang Melayu tetapi merasa lebih nyaman disebut orang Palembang, orang Djambi. Secara khusus orang Minangkabau menyadari mereka bukan orang Melayu dan mempromosikan sebagai orang Minangkabau. Idem dito, orang Karo dan orang Mandailing menyangkal sebagai orang Batak. Mengapa begitu? Yang jelas ras adalah satu hal, (suku) bangsa sebagai wujud peradaban (kebudayaan) adalah suatu afiliasi. Agama yang dianut adalah hal lain lagi. Meski demikian ada juga yang mengasosiasikan (suku) bangsa sama dengan agama: misalnya adanya sebagian suku Melayu yang mengusung bahwa Melayu adalah Islam.  

Lantas bagaimana sejarah Melayunisasi di Tanah Semenanjung Malaya? Seperti disebut di atas, Melayunisasi di Malaysia adalah proses politik daripada proses kebudayaan. Sebaliknya yang terjadi orang Soenda menyadari bukan orang Jawa dan orang Minangkabau menanggalkan identitas Melayu. Lalu bagaimana sejarah Melayunisasi di Tanah Melayu Semenanjung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia – Melayunisasi di Tanah Malaya: Proses Politik vs Proses Kebudayaan

Sebelum kita mendeskripsikan Melayunisasi, ada baiknya dideskripsikan terlebih dahulu nama Melayu. Nama Melayu kali pertama ditemukan pada prasasti Tanjore (1030 M). Disebutkan ada nama-nama tempat antara lain Kadaram, Vidyadhara-torana, Sriwijaya; Pannai, Malaiyur, Mayirudingam, Ilangasogam, Mappappalam, Mevilimbangam, Valaippanduru, Takkolam, pulau Madamalingam, Ilamuri-Desam dan Nakkavaram. Jika Kadaram diartikan para peneliti sebagai Kedah dan Pannai adalah nama tempat di muara sungai Baroemoen di Padang Lawas, pantai timur Sumatra, maka nama-nama yang lain tersebut diduga berada di seputar selat Malaka. Hal ini juga didukung pendapat lain bahwa Ilamuri adalah nama tempat di ujung utara pulau Sumatra (Lamuri), Sriwijaya yanng diduga di pantai timur Sumatra dan Malaiyur dapat diartikan di pantai timur Sumatra (sungai Batanghari( atau wilayah pantai barat Semenanjung Malaka.

Seperti kita lihat nanti nama Melayu digunakan sebagai nama bahasa (bahasa Melayu). Catatan bahasa Melayu tertua ditemukan dalam teks prasasti Kedoekan Boekit (682 M) yang ditemukan di wilayah Palembang sekaramg. Tidak ada catatan bahasa Melayu dalam prasasti-prasasti terdahulu di wilayah Semenanjung Malaka. Dalam teks Negarakertagam (1365 M) disebutkan nama tempat Malayu yang menjadi tujuan ekspedisi Madjapahit di wilayah pantai timur Sumatra. Lalu apakah nama Malayu dalam teks Negarakertagama merupakan nama tempat yang sama yang dicatat dalam prasasti Tanjore? Dalam teks Negarakertagama terdapat nama-nama tempat seperti Kedah, Panai, Lamuri, Dharmasraya, Kelang (Klang?) dan Muwar. Dua nama terakhir berada di opantai barat Semenanjung. Tidak ada nama yang mengindikasikan nama Malaiyur, Malaya maupun Malaka. Kosa kata bahasa Melayu sejak prasasti Kedoekan Boekit semakin kerap muncul hingga prasasti-prasati pada abad ke-14. Lalu kapan teks bahasa Melayu dalam prasasti-prasasti disebut bahasa Melayu? Dalam hal ini bahasa Melayu adalah satu hal, nama bahasa disebut Melayu adalah hal lain lagi..Peta interpretasi dari teks Negarakertagama oleh Prof Kern (1919)

Berdasarkan toponimi asal-usul nama Melayu diduga merujuk pada nama Himalaya, nama gunung tinggi di India bagian utara. Dalam peta-peta lama terdapat nama gunung Malaya di tiga tempat: di wilayah Angkola Mandailing terdapat nama gunung Raja dan gunung Malea. Nama yang sama juga ditemukan nama gunung Malela dan gunung Raja di wilayah Simaloengoen. Di wilayah Semenanjung juga ditemukan nama gunung Malaya dan gunung Raja. Hanya nama gunung Malea dan gunung Raja di Angkola Mandailing dan gunung Melela di Simaloengoen serta gunung Raja di Kedah yang masih eksis hingga masa kini.

Nama gunung Malaya di Semenanjung tidak eksis lagi pada masa ini. Akan tetapi pada masa lampau nama gunung Malaya menjadi hulu sungai Malaka. Dalam hal ini nama gunung Malaya menjadi nama tempat Malaya di muara sungai dan sungainya disebut sungai Malaya. Boleh jadi bahwa kota/sungai/gunung Malaya ini yang disebut Malaiyur pada prasasti Tanjore (1030). Dalam teks Negarakertagama (1365 M) nama yang disebut di kawasan adalah nama Kedah serta nama Kelang dan Muwar. Diantara tempat Kelang dan Muwar inilah kemudian dikenal nama tempat Malaka. Ketika nama Malaya menjadi Malaka (sebagai nama kota), nama Malaya sendiri dijadikan sebagai nama wilayah (semenanjung). Penyebutan nama Malaya (India) menjadi Malaka diduga karena pelafalan orang-orang Moor beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara. Dalam teks Negarakertagama (1365 M) sudah disebut nama tempat Muwar yang diduga tempat komunitas (pos perdagangan) orang-orang Moor. (Moor. Moar, Muwar dan Muar). Dalam catatan sejarah juga pernah utusan Moor berkunjung ke selat Malaka yakni Ibnoe Batoetah (1345 M). Lalu apakah nama Kelang/Klang merujuk pada nama Keling. Olah karena itu, diduga Klang ditempati orang-orang India, Muwar ditempati orang-orang Moor, maka Malaya (Malaka sebutan orang Moor) ditempati oleh orang pribumi. Dalam perkembangannya Malaya/Malaka ini menjadi pelabuhan yang penting diantara dua nama lainnya (Klang dan Muwar) yang menjadi icaran orang Eropa (Portugis) pada tahun 1511. Saar Portugis menduduki Malaya.Malaka, orang India di Kelang dan orang Moor masih eksis. Sebagaimana diketahui kemudian para pangeran Malaka melarikan diri ke wilayah Djohor. Orang-orang Portugis di Malaka tidak menulis nama sebagai Malaya atau Malaka tetapi dengan ejaan sendiri Malacca.  

Lalu bagaimana dengan nama Melayu sendiri, apakah sebagai bahasa atau sebagai etnik? Besar dugaan bahwa nama Melayu tidak diturunkan dari nama Malaya (yang kemudian menjadi Malaka/Malacca), akan tetapi merujuk pada nama etnik/kerajaan/bahasa yang terdapat di wilayah pantai timur Sumatra. Nama Melayu ini meluas di wilayah pulau-pulau (kepulauan Riau). Dalam hal ini, jika dipercaya nama Melayu bermula di pantai timur Sumatra, maka pemakaian nama Melayu di pulau-pulau adalah proses Melayunisasi. Lantas kapan orang yang berada di pulau-pulau (kepulauan Riau) menyebut/disebut Melayu tidak diketahui secara pasti.

Penggunaan bahasa Melayu sudah sejak lama eksis (paling tidak sejak era prasasti Kedoekan Boekit), Bahasa Melayu ini menjadi bahasa pengantar yang berdampingan dengan bahasa Sanskerta. Ibarat di Hindia Belanda sejak era VOC bahasa pengantar (lingua franca) adalah bahasa Belanda dan bahasa Melayu (demikian juga di Semenanjung bahasa lingua franca adalah bahasa Inggris dan bahasa Melayu). Semakin berkurangnya pengaruh India (Sanskerta) yang kemudian digantikan pengaruh Arab (Islam) lingua franca yang terus bertahan adalah bahasa Melayu (awal dari proses Melayunisasi: penggunaan nama Melayu). Oleh karena hanya satu-satunya lingua franca (bahasa Melayu), maka pengaruh bahasa Melayu ini pada era peradaban Islam (menggantikan Hindoe-Boedha) semakin meluas tidak hanya di pulau-pulau sebelah timur pulau Sumatra (termasuk di Semenanjung), tetapi juga hingga ke Borneo (Broenai, sungai Kapuas, sungai Barito dan sungai Mahakam), Jawa (Banten, Soenda Kalapa, Semarang, Demak dan Soerabaja), Sulawesi (Makassar/Gowa dan Manado), Nusa Tenggara (Koepang) dan Maluku (Ternate, Tidore dan Amboina).

Pada era Madjapahit (teks Negarakertagama 1365 M) yang disebut wilayah Melayu merujuk pada pantai timur Sumatra, pada era Moor dan era Portugis nama Melayu meluas ke pulau-pulau yang semakin jauh ke bagian timur di Maluku (bahkan hingga ke pantai timur Tiongkok di Makao dan Manila). Lantas bagaimana dengan penamaan (wilayah) geografis dalam peta-peta navigasi pelayaran? Itu baru dimulai pada era kehadiran orang-orang Eropa.

Orang-orang Portugis tidak menamai nama Melayu di dalam peta-peta mereka. Nama yang diberikan adalah (kepulauan) [H]india Timur (yang pada era Madjapahit disebut Nusantara). Boleh jadi karena mereka berasal dari barat yang memandang pulau-pulau dimana lingua franca bahasa Melayu berada di sebelah timur India. Namun Hindia Timur ini semakin dipatenkan oleh orang-orang Belanda (Oost Indie). Orang-orang Inggrsi juga kemudian yang datang belakangan mengacu pada sebutan orang Belanda yakni East Indisch. Nama Oost Indie atau East Indisch yang digunakan untuk waktu yang lama semua wilayah (pulau-pulau dan Semenanjung) di timur India sebagai Kepulauan Hindia Timur (Oost Indie Archipelag)..

Nama Malay Archipelago bersumber dari orang-orang Inggris. Lha, mengapa tidak lagi merujuk pada Oost Indie Archipel atau East Indisch Archipelago? Cilaka! Pada era pertarungan Inggris dan Belanda pada era VOC (Belanda) keduanya menggunakan nama yang sama yakni Indisch Archipel. Laku para akademik Inggris kemudian memperkenalkan nama Malay Archipelago, yakni sejak orang-orang Inggris tahun 1824 berkuasa sepenuhnya di wilayah Malaysia yang sekarang, yang kemudian ‘diproklamasikan’ AR Wallace dengan membuat judul bukunya The Malay Archopelago tahun 1869. Dari sinilah orang Malaysia yang sekarang kukuh menamakan Nusantara sebagai Malay Archipelago (nama Wallace selalu menjadi rujukan).

Pada Maret 1869 Alfred Russel Wallace menerbitkan buku dengan judul yang menginkari kelaziman yakni The Malay Archipelago. Alfred Russel Wallace di dalam buku mendeskripsikan banyak aspek ilmu pengetahuan seperti keragaman flora dan fauna serta keragaman budaya di Nusantara/Indisch Archipel yang digantinya dengan terminologi baru sebagai Malay Archipelago. Boleh jadi karena Russel memulai kajiannya dari Semenanjung yang menjadi wilayah yurisdiksi Inggris. Faktanya bahwa Russel melakukan penyelidikan ilmiah lebih banyak, lebih luas dan lebih lama selama interval waktu (1654-1862) di wilayah yurisdiksi Hindia Belanda seperti Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, Borneo, Celebes, Timor, Moluccas dan Papua. Satu fakta lainnya yang juga penting adalah Russel meminta/mendapat izin melakukan penyelidikan ilmiah di wilayah Hindia Belanda justru dari Pemerintah Hindia Belanda. Nah, lho! Tentu saja ketidakjujuran AR Wallace adalah fakta bahwa wilayah yurisdiksi Inggris, termasuk Semenanjung tidak memiliki wilayah kepulauan (archipel/archipelago). Semenanjung dan India adalah tanah daratan yang terhubung dengan benua Asia, idem dito (benua( Australia yang juga terbilang bukan kepulauan. Sepantasnya Wallace tidak membuat judul Malay Archipelago tetapi faktanya Indisch Archipel. Namun, tentu saja Wallace motif lain.

Lantas apakah ada orang-orang Belanda yang keberatan dengan judul yang diberikan Russel dengan nama Malay Archipelago? Ada, tetapi show must go on. Boleh jadi itu karena Kerajaan Belanda/orang-orang Belanda selalu kalah dari Kerajaan Inggris/orang-orang Inggris.Kekalahan satu-satunya yang dialami Inggris sepanjang sejarah adalah terusirnya mereka dari Amerika Utara dimana pada akhirnya Amerika Serikat memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1774. Hal itulah yang menyebabkan orang-orang Belanda kuasa Inggris yang show must go on disikapai orang-orang Belanda dengan cepat melupakan yasng sebelumnya menjadi isu.  

Kepongahan orang Inggris, dalam hal ini, AR Wallace memberi nama The Malay Archipelago, boleh jadi atas dasar hegemonisasi. Ini dimulai sejak persaingan antara Belanda dan Inggris di pantai barat Sumatra. Pada mulanya orang Inggris di pantai barat Sumatra hanya mendapatkan ‘kue perdagangan’ yang hanya porsi kecil dan kurang memadai dengan armadanya yang besar dan jangkauannya yang luas. Seiring dengan kekalahan dan tersingkirnya Inggris di Amerika. Untuk mengganti Amerika, kerajaan Inggris mengirim seorang pelaut ulung James Cook 1772 ke wilayah selatan dan wilayah timur Hindia (Australia dan Pasifik). Pada tahun dimana Amerika memproklamirkan kemerdekaaan 1774, James Cook dalam laporannya merekomendasikan kepada pemerintah Inggris untuk menjadi wilayah koloni baru. Gayung bersambut, perdana menteri Inggris meresponya dengan cepat dengan mengirim migran baru berangkat ke Australian. Migran ini terus meningkat. Orang-orang Belanda sempat protes, tetapi show must go on. Gubernur Jenderal Inggris di Calcutta (India) di satu sisi telah berhasil menjalin kerjasama yang baik dengan Tiongkok, lalu di sisi lain wilayah koloni baru di Australia perlu diperkuat. Celaka bagi Belanda di Hindia terutama orang-orang Belanda di pantai barat Sumatra. Inggris yang berbasis di India dan hanya mendapat porsi perdagangan yang kecil di pantai barat Sumatra di Bengkulu, Natal dan Tapanoeli,k dan dalam hubungannya dengan meratakan jalan ke Tiongkok dan menjaga wilayah yurisdiksi baru Inggris di Australia, maka skuadron Inggris yang ditempatkan di Madras (India) dipindahkan ke Bengkoeloe pada tahun 1879. Ini dipandang Belanda di Hindia sebagai ekspansi Inggris dan telah berada di halaman sendiri. Orang-orang Belanda yang terjepit di Indrapoera, Padang, Pariaman, Barus dan Singkil, lalu tersingkir dari tekanan Inggris. Ini dengan sendirinya Sumatra secara keseluruhan telah dikuasai Inggris (minus Palembang). Prancis yang awalnya hanya satu titik kecil di pantai barat Sumatra di Air Bangis, boleh jadi mengetahui gelagat Inggris, lalu mendahulu dengan pengiriman skuadron Prancis menyerang Jawa tahun 1795. Orang-orang Belanda (VOC) di Hindia terutama di Jawa (setelah lebih dahulu melemah di Sumatra) akkhirnya melemah dan VOC dibubarkan pada tahun 1779. Tamat VOC yang sejak 1619 membuat koloni di Batavia. Perjanjian kerajaan Belanda dan kerajaan Prancis yang sifatnya kolaboratif akhirnya properti VOC di Hindia diakuisi dan kemudian dibentuk Pemerintah Hindia Belanda tahun 1800. Namun konsolidasi pemerintahan ini belum sepenuhnya mengunat, pada era GG Daendel (1809-1811) Inggris yang berada di sekitar akhirnya menyerang Jawa pada tahun 1811. Inggris menjadi penguasa tunggal dari India hingga Australia, termasuk di dalamnya Hindia (plus hubungan kerjasama dengan Tiongkok). Wilayah yang tersisa VOC/Hindia Belanda hanya di Ternate. Saat ini Semenanjung hanya satu titik dalam ratusan titik di bawah kekuasan Inggris yakni di Malaka (wilayah yang direbut Belanda dari Portugis tahun 1641). Keperkasaan Inggris terbukti jika dibandingkan Belanda dan Prancis. Namun situasi politik di Eropa, menyebabkan Hindia Belanda dikembalikan kepada Belanda pada tahun 1816 (minus Bengkulu). Pada fase ini  Inggris enggan keluar sepenuhnya, dengan basis di Bengkulu tetap bercokol di Padang. Selama fase transisi ini (1816-1819) Inggris menjalin kerjasama dengan pemimpin lokal di Semenanjung dengan mendapat hak bebas di pulau Penang (yang menjadi terminal transit antara India dan Tiongkok; sementara Bengkoeli juga menjadi terminal transis antara India dan Australia). Dua titik inilah yang terus dipertahankan Inggris selama fase transisi hingga terjadi proses politik yang berujung pada perjanjian Traktat London 1824. Perjanjian ini semacam win-win solution dimana Bengkoeloe dan Malaka dilakukan tukar guling yang kemudian ditarik batas-batas yurisdiksi yang dalam hal ini pulau Singapoera dan pulau Bintan yang dipisahkan oleh selat sempit menjadi batas yurisdiksi Inggrsi diutara dan batas yurisdiksi Belanda di selatan. Saat inilah dimulai pembangunan Singapoera yang akan menggantikan Penang. Dalam hal ini  meski rugi Inggris dari sisi finansial (terhafap tukar guling Bengkoeloe dan Malaka) tetapi Inggris secara geopolitis beruntung. Sejak 1824 inilah secara perlahan orang-orang Inggris ingin mengubah nomenklatur Easr Indisch Arvhipelago/India Achipelago dengan nama yang lebih nyaman buat Inggris dengan memperkenalkan nama baru The Malay Archipelago (dan puncanya pada nama buku AR Wallace tahun 1869). Bayang-bayang kekuasaan Inggrsi dari India hingga Australia tidak hilang dari pikiran orang-orang Inggris, Apalagi penulis-penulis Inggris telah memberi judul buku-buku mereka atas nama bahasa Inggris seperti The History of Sumatra (William Marsden, 1781) dan The History of Jawa (Raffles, 1818). Kekayaan Hindia Belanda (budaya, bahasa, flora dan fauna dan kandungan alam serta lainnya) tidak bisa dilupakan orang Inggris meski secara administratif telah dipisahkan oleh batas-batas wilayah yurisdiksi. Dalam konteks inilah diduga batin AR Wallace memberi nama The Malay Archipelago yang isinya justru hampir semuanya berada di wilayah yurisdiksi Hindia Belanda. Ada hal yang bagi orang-orang Inggris tidak terlupakan di Hindia Belanda, Memang orang Inggrsi di Hindia Belanda kalah secara politik, tetapi dengan membingkai nama baru The Malay Archipelago, paling tidak masih ada misi yang ingin dipaksakan di wilayah Hindia Belanda. Misi Inggris yang berhasil ini dapat dianggap sebagai kemenangan budaya Inggris (yang direpresentasikan oleh para ahli dan penelitinya). Seperti kita lihat nanti di bawah, pada masa ini, apakah orang-orang di Malaysia ingin memaksakan diri di wilayah Indonesia untuk meraih kemenangan budaya dengan cara mengklaim hal-hal tertentu?

Lambat laun orang-orang Belanda tidak memedulikannya lagi (dan lupa), tetapi nama Malay Achipelago menggelinding terus di tingkat internasional yang menjadi terminologi untuk menunjuk wilayah Nusantara (yang sebagian besar wilayah Indonesia/Hindia Belanda). Nasi sudah menjadi bubur. Sebagaimana diketahui, lebih-lebih pada masa kini, bubur inilah yang dinikmati orang Malaysia (termasuk para kademisi) yang juga mengklaim wilayah Indonesia sebagai wilayah (alam) Melayu.

Untuk urusan semacam ini orang-orang Belanda adalah untuk kali kedua kecolongan dari Inggris. Orang Inggris, dalam hal ini, Alfred Russel Wallace tidak jujur secara internasional, tetapi boleh jadi ia benar untuk hanya kalangan terbatas diantara (lingkungan) Inggris saja. Mengapa dikatakan tidak jujur? Sebab apa yang digambarkannya di dalam buku The Malay Archipelago, sebagian besar menggambarkan Indonesia (Indisch Archipel). Jauh sebelumnya di masa lampau James Cook melakukan penyelidikan wilayah dan navigasi pelayaran di wilayah Pasifik dan benua Australia pada tahun 1772. James Cook sendiri memulai persiapan pelayarannya justru dari Oost Indie (dari Jawa) dengan para kuli yang dibawanya dari orang-orang pribumi Hindia Timur. Lalu pada tahun 1775 terbit bukunya yang kemudian diperjualbelikan. Di dalam buku ini Cook merekomendasikan Australia agar dijadikan Pemerintah (kerajaan) Inggris sebagai koloni baru. Memang pada saat itu ada kebutuhan Inggris memeperluas wilayah koloni setelah terusir dari Amerika Serikat yang memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1774. Orang-orang Belanda di Jawa molohok. Sebab wilayah Australia sudah sejak era Abel Tasman (1642) menjadi wilayah yurisdiksi VOC dimana pedagang-pedagang Belanda dan pedagang pribumi Hindia melakukan perdagangan dan pemukiman. Nama pulau Tasmania merujuk pada nama Abel Tasman dan nama New Zealand merujuk pada nama Nieuw Zeeland (nama wilayah pantai utara Belanda). Orang-orang Belanda hanya menangisinya ketika imigran Inggris semakin banyak di Australia. Show must go on, orang-orang Belanda lama-lama menjadi lupa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Melayunisasi di Tanah Malaya: Minangkabau Sumatra Tanggalkan Melayu

Sementara buku AR Wallace menjadi buku penting yang terus dirujuk dalam dunia akademik, nama Oost Indisch Archipel tetap eksis. Nama OI Archipel dijadikan sebagai nama bidang keahlian di Universiteit te Leiden. Sebagaimana diketahui salah satu pribumi yang lulus sarjana pada bidang tersebut di Leidem adalah Raden Mas Kartono (abang dari RA Kartini) yang lulus tahun 1900 (lihat Het vaderland, 08-03-1909). Disebutkan ujian universitas di Leiden doctotral examen in de Taal- en Letterkunde vanm de Oost Indisch Archipel, Raden Mas Pandji Sosro Kartono.

Sarjana-sarjana Belanda dan sarjana-sarjana pribumi (Indonesier) tetap melestrikan nomenklatur Oost Indisch Archipel. Karena nama itulah yang sesuai dan nama yang pertama muncul jauh sebelum nama Malay Archipelago muncul. Archipelago dalam bahasa Belanda ditulis Archipel (kepulauan). Indisch Archipel sudah sejak lama eksis. Bahkan pada fase perjanjian Traktat London 17 Maret 1824 sangat jelas dibedakan antara Land van Indie (Tanah Semenanjung) di satu sisi dan Indisch[en] Archipel (kepulauan Hindia) di sisi lain (lihat Nederlandsche staatscourant, 19-05-1824). Setelah perjanjian untuk waktu yang lama orang Belanda mebedakannya Land van Indie menjadi British Indie dan Indisch Archipel sebagai Nederlandsch Indie. Dalam perkembangannya orang-orang Belanda tidak menggunakan Bristish Indie karena orang-orang Inggris di Semenanjung lebih suka menamai wilayah The Strait Settlement. Nama The Malay Archipelago adalah nama liar yang sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah bahkan sangat sulit dipahami secara politik. Penamaan Land van Indie untuk Semenanjung oleh orang-orang Belanda boleh jadi karena sebelum perjanjian Traktat London 1824 wilayah Malaka adalah wilayah yurisdiksi Hindia Belanda (yang dalam perjanjian 1824 dilakukan tukar guling antara Malaka dan Bengkoelen). Jauh sebelum itu nama Land van Indie disebut orang-orang Inggris dengan nama Indian Peninsula (lihat Java government gazette, 04-04-1812). Sebelum AR Wallace memberi judul The Malay Archipelago dalam bukunya, nama yang kerap muncul dengan nama Malay [Melayu] adalah Malay Peninsula (lihat Journal de La Haye, 12-04-1838). Ini tampaknya sebagai pengganti nama Indiaa Peninsula. Orang-orang Inggris sendiri di Singapoera telah mengakui Indisch Archipel (Indian Arechipelago) sebagai nomenklatur dengan menerbitkan jurnal ilmiah dengan nama JOURNAL OF THE INDIAN ARCHIPELAGO AND EASTERN ASIA yang dicetak di London. Pada edisi pertama bulan Agustus dan edisi kedua September 1949 terdapat tulisan Jonathan Rigg, anggota dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen menyumbang di Batavia yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris (lihat Algemeen Handelsblad, 20-12-1849).

Nama Oost Indisch Archipel tidak hanya tetap eksis. Sementara nama Malay Archipelago semakin dikenal. Meski demikian, Indisch Archipel dan Malay Archipelago dianggap biasa-biasa saja. Boleh jadi hanya dianggap nama yang berbeda dengan cara pandang yang sama pada suatu (kawasan) yang sama. Akan tetapi pemahaman di tingkat akar rumput dalam perkembangannya diinterpretasi berbeda (bahkan hingga ini hari).

Penamaan wilayah administratif dan penamaan wilayah budaya untuk identifikasi penduduk (orang) pada era Hindia Belanda sering saling menggantikan. Orang Tapanoeli vs Orang Batak, Orang Padang vs Orang Minangkabau, Orang Makassar vs Orang Bugis, Orang Jawa vs Orang Soenda. Hal itu juga yang terjadi dengan Orang Semenanjung vs Orang Melayu. Memang tidak salah Orang Semenanjung disebut Orang Melayu, tetapi tidak tepat Orang Melayu disebut Orang Semenanjung. Sebab tidak semua Orang Semenanjung adalah Orang Melayu, faktanya ada Orang asli Semang dan orang pendatang dari pulau-pulau lain. Tapi idiom Melayu semakin kuat di Semenanjung sehingga semua orang pribumi (di luare Cina, India atau Arab) disebut Orang Melayu. Proses ini yang disebut Melayunisasi. Hal serupa terjadi di tempat lain seperti di Jawa dan Sulawesi. Secara khusus di Sumatra muncul proses Padangisasi untuk seluruh penduduk di wilayah West Sumatra pada era Hindia Belanda.

Jauh sebelum Padangisasi di wilayah West Sumatra, di masa lampau sudah lama terjadi proses Melayunisasi. Akibatnya wilayah Minangkabau (merujuk pada nama Kerajaan Minangkabau) disebut wilayah Melayu (Melayunisasi). Boleh jadi itu seiring dengan Melayunisasi bahasa Minangkabau. Sebagaimana dipahami dalam waktu yang lama bahkan ini hari bahasa Minangkabau memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu (seperti halnya bahasa Melayu dialek Betawi; ada juga yang menginterpretasi bahasa Melayu dialek Minangkabau). Tentulah tidak ada bahasa Melayu dialek Batak, meski ada yang menyatakan bahasa Jawa dialek Soenda.

Bahasa Melayu sebagai bahasa yang berkembang sejak zaman kuno, umumnya digunakan di wilayah pantai (pesisir) sebagai lingua franca. Pengaruh bahasa Melayu ini di wilayah penduduk pedalaman (bahasa asli) berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Yang mengalami proses Melayunisasi adalah bahasa asli yang berada dekat di belakang pantai, semakin jauh ke pedalaman pengaruh bahasa Melayu semakin lemah. Ada dugaan yang kuat bahwa di pedalaman Sumatra sejak zaman kuno sudah eksis bahasa-bahasa asli mulai dari Lampung di ujung selatan hingga bahasa Gajo/Alas di ujung utara. Bahasa-bahasa asli besar kemungkinan adalah bahasa Batak, bahasa Minangkabau, bahasa Kerinci, bahasa Redjang dan bahasa Komering. Diantara bahasa-bahasa asli di pedalaman ini diduga hanya bahasa Minangkabau yang dipengaruhi secara singnifikan oleh bahasa Melayu. Akibatnya bahasa-bahasa asli pedalaman Sumatra seakan terputus di wilayah West Sumatra karena bahasa Minangkabau mirip dengan bahasa Melayu. Dalam hal ini bahasa asli Minangkabau telah berubah wujud yang dianggap sebagai salah satu (dialek) bahasa Melayu. Namun jika diperhatikan secara cermat untuk kosa kata elementer bahasa Minangkabau berbeda dengan bahasa Melayu umum di wilayah-wilayah pesisir. Oleh karena itu kosaka elementer itu adalah sisa bahasa Minangkabau yang asli sebagai bahasa pedalaman di jaman lampau. Hal serupa inilah yang terjadi di Jawa antara bahasa Jawa di satu sisi dengan bahasa Madura dan bahasa Soenda di sisi lain.   

Kesadaran berbangsa di bawah label bahasa (dalam hal ini bahasa Melayu), mulai muncul ke permukaan untuk mengidentifikasi diri tidak sebagai bangsa Melayu, meski fakta dapat dikatakan berbahasa Melayu. Di wilayah West Sumatra, paling tidak sejak 1890 sebagian penduduk mengidentifikasi diri sebagai Orang Minangkabau yang orang-orang Belanda menulisnya Minangkabauer (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-03-1890). Selama ini yang diidentifikasi atau dicatat adalah Orang Melayu (Maleijer atau Maleier). Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Apakah generalisasi Maleier terhadap orang Minangkabau dianggap kekeliruan atau sebaliknya orang Minangkabau (Minangkabauer) menyadari bukan orang Melayu? Faktanya hanya bahasa yang mirip (bahasa Melayu) tetapi elemen budaya yang lainnya bebeda antara Orang Minangkabu dengan Orang Melayu.

Hal serupa ini jugalah yang terjadi di wilayah Jawa bahwa Orang Soenda dengan sadar mengakui bukan Orang Jawa (seperti di Jawa bagian tengah). Demikian juga dengan Orang Madoera di wilayah tapal kuda (pantai timur Jawa) menyadari bukan orang Jawa (meski tinggal di bagian pulau Jawa). Sudah pasti Orang Betawi sadar bukan orang Jawa maupun orang Sunda.

Sejak tahun 1890an pengidentifikasian terhadap orang Minangkabau (Minangkabauer) semakin intens, tidak hanya Orang Minangkabau diantara sebutan Orang Padang atau Orang Melayu, tetapi juga orang-orang Belanda juga semakin intens menggunakan nama Minangkabuer daripada nama Maleier. Lalu apakah dalah hal ini Orang Minangkabau dengan sadar telah mulai menanggalkan nama Melayunya? Dalam konteks inilah kita bisa menjelaskan proses Melayunisasi di Semenanjung pada fase awal yang lalu kemudian menjelaskan proses demelayunisasi pada fase masa kini di Semenanjung.

Beberapa dekade terakhir di wilayah pantai timur Sumatra, semakin banyak penduduk di wilayah Melayu menggunakan marga. Tentulah penggunaan marga itu merujuk pada asal usulnya di masa lampau. Demikian juga ada hal yang aneh ketika hasil-hasil statistik Sensus Penduduk jumlah populasi orang Melayu di wilayah pantai timur Sumatra relatif menurun drastis, sementara jumlah populasi orang Batak relatif meningkat drastis. Hal yang sama juga ditemukan di wilayah Semenajung Malaya, beberapa deka terakhir semakin banyak orang Malaysia yang menggunakan nama marga dan bahkan para pejabat di Malaysia tidak malu-malu kucing lagi menyebut dirinya (berasal) orang Bugis, orang Angkola/Mandailing, orang Minangkabau dan orang Jawa. Meski mereka telah mengidentifikasi diri sebagai Orang Melayu (Malaysia) tetapi ini menunjukkan gejala proses deMelayunisasi.

Proses Melayunisasi di wilayah (teritorial) Semenanjung (Peninsula) diduga belum lama terjadi. Proses Melayunisasi diduga di sekitar tahun-tahun dimana AR Wallace memperkenalkan nama Malay Archipelago yang sedikit banyak terkesan berbenturan dengan nama lama Indian Archipelago (Indisch Archipelago). Dalam konteks payung Malay Archipelago inilah orang-orang dari berbagai asal (Sumatra, Jawa, Borneo dan Sulawesi) di Semenanjung berlindung dan memasang payung di bawah nama Malay (Archipelago). Tampaknya ada muatan politik dalam proses Melayunisasi di Semenanjung tersebut. Sebagaimana diketahui, sebagaimana halnya di Indonesia/Hindia Belanda, pemerintah Inggris di Semenanjung tetap melestarikan kepemimpinan lokal berada di tangan-tangan para Radja/Sultan.

Sejak zaman kuno, bahasa Melayu yang kali pertama berkembang di pantai timur, menjadi bahasa pengantar dalam navigasi pelayaran perdagangan hingga ke pulau-pulau lain seperti ke Jawa, Borneo, Semenanjung, pulau-pulau di Filipinan (bahkan ke Taiwan) serta ke Sulawesi, Maluku hingga Papua, Dalam konteks inilah terjadi proses Melayunisasi di wilauah yang sangat luas. Dalam proses Melayunisasi ini (introduksi bahasa Melayu di pusat-pusat perdagangan di kota-kota pelabuhan) harus bersaing dengan bahasa lokal (bahasa etnik). Proses (bahasa) Melayunisasi akan cepat terjadi di wilayah dimana pengaruh bahasa lokal lemah. Dalam hal ini terjadi pergantian bahasa (bahasa lokal punah). Sementara wilayah-wilayah dimana pengaruh bahasa lokal kuat (sehingga orang luar harus belajar bahasa lokal) maka proses Melayunisasi tidak berkembang. Hal itulah yang terjadi di wilayah bahasa Jawa, wilayah bahasa Sunda, wilayah bahasa Lampung, wilayah bahasa Bali, wilayah bahasa Bugis/Makassar, wilayah bahasa Minahasa, wilayah bahasa Batak dan wilayah-wilayah lain terutama yang berada di pedalaman. Proses Melayunisasi (bahasa) di pulau-pulau di pantai timur Sumatra berlangsung sempurna, sehingga tidak menyisakan bahasa lokal (bahasa lokal punah). Lalu bagaimana dengan di wilayah Minangkabau, oleh karena pusat kerajaan Melayu (Djambi) sangat kuat sehingga terjadi proses Melayunisasi bahasa Minangkabau, tetapi tidak sempurna (hanya menjadi dialek bahasa Melayu). Lantas bagaimana dengan wilayah Semenanjung? Proses Melayunisasi bahasa terjadi di wilayah pantai, seperti halnya di Jawa (terbentuknya bahasa Betawi kemudian) sebab bahasa lokal di pedalaman masih eksis yang disebut bahasa (etnik). Semang. Idem dito dengan di wilayah Sumatra Utara yang sekarang terjadi proses Melayunisasi bahasa di wilayah pantai, tetapi tidak seperti di wilayah Minangkabau, yang terjadi adalah bahasa lokal tetap eksis seperti bahasa Batak, bahasa Gayo/Alas. Tentu saja dalam proses Melayunisasi ini hanya terjadi secara masif pada bahasa, tetapi tidak pada orangnya. Orang Melayu di Sumatra Utara sebagian adalah pendatang dan sebagian besar adalah penduduk asli (katakanlah orang Batak pada awalnya) lalu menggantikan bahasa asalnya dengan bahasa Melayu (karena adanya proses kebudayaan). Hal serupa ini juga yang terjadi di Semenanjung, proses Melayunisasi bahasa semakin masif hingga ke wilayah-wilayah pedalaman dimana terjadi para pendatang berinteraksi dengan penduduk asli (etnik Semang) dan juga etnik-etnik lain seperti Sakai dan Jakun. Bahasa Sakai dan bahasa Jakun mungkin sudah punah tetapi bahasa Semang masih eksis seperti halnya bahasa orang Ulu, orang Sakai dan orang Kubu di Sumatra.     

Pada masa ini Melayunisasi bahasa di Semenanjung berlangsung sempurna. Bahasa asli Semang meski belum punah tetapi tidak berdaya untuk bersaing (kembali). Lalu bagaimana dengan di Banten, yang zaman dulu kota pelabuhan Banten yang besar dengan bahasa Melayu telah terjadi arus balik yakni dengan Jawanisasi bahasa dan Sundanisasi bahasa, karena semakin kuatnya kedua bahasa dari wilayah pedalaman ke wilayah-wilayah pantai. Diantara yang terus bertahan dengan bahasa Melayu di Jawa hanyalah bahasa Betawi. Di Sulawesi proses Buginisasi dan Makassarisasi terjadi, demikian juga di wilayah Manado terjadi proses Minahasasi bahasa.

Bagaimana dengan wilayah Kalimantan khususnyta di Kalimantan Selatan? Yang terjadi ada mirip dengan di wiilayah Betawi (bahasa Melayu dialek Banjar). Lalu bagaimana dengan di wilayah Minangkabau? Sebenarnya telah terjadi Minangkabausasi (anti=tesis bahasa Melayu). Idem dito dengan di wilayah Betawi dan wilayah Bandjar (pengaruih bahasa Betawi dan bahasa Banjar meluas di sekitar (udik). Oleh karena pengaruh bahasa Minangkabau sangat kuat maka Minangkabausasi telah terjadi yakni bergesernya para penutur bahasa Melayu di wilayah pantai (pesisir) khususnya pantai barat Sumatra dengan menggunakan bahasa Minangkabau (bahasa Melayu dialek Minangkabau). Bahasa Melayu yang tempo doeloe eksis di pantai barat Sumatra dapat dikatakan kini telah punah, tetapi masih ada yang bertahan dengan percampuran bahasa dengan bahasa lain (Bahasa Batak dan bahasa Minangkabau) di wilayah pantai barat Sumatra di wilayah Sumatra Utara yang sekarang yang diidentifikasi sebagai bahasa pesisir (bukan bahasa Melayu, bukan pula bahasa Minangkabau maupun bukan bahasa Batak, tetapi campuran ketiganya). Penutur bahasa pesisir juga makin berkurang karena kuatnya bahasa Batak (terjadi Bataksasi). Proses Bataksasi ini juga terjadi wilayah Melayu di pantai timur Sumatra Utara.

Last but not least: Bagaaimana situasi dan kodisi masa kini di wilayah Semenanjung? Oleh karena proses politik yang panjang (sejak era Inggris), bahasa Melayu tidak menjadi bahasa keseuluruhan penduduk Semenanjung, sebab sudah eksis sejak lama penutus bahasa asing (bahasa Tamil India dan bahasa Mandarin Cina). Sementra proses politik juga berlangsung di pulau-pulau (Indonesia) yakni terjadi proses bahasa Indonesia (tranformasi bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia). Kini, di wilayah Indonesia yang terjadi adalah Indonesiasi bahasa (dwi bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa daerah), sedangkan di Malaysia, khususnya di wilayah Semenanjung (termasuk Singapoera), tiga bahasa yang umum (Melayu, Tamil dan Mandarin), maka muncul ke permukaan bahasa Inggris sebagai lingua franca baru (menggantikan bahasa Melayu). Akibatnya, Melayunisasi bahasa berjalan pelan, sementara Ingrisasi berjalan cepat. Hal itulah mengapa di wilayah Semenanjung kini terjadi begitu kuatnya bahasa Inggrsi dibandingkan bahasa Melayu (deMelayunisasi tengah terjadi).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar