*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Di Nusantara, beda pulau
beda struktur populasi. Ada pulau besar sedikit ragam etnik dan populasi
penduduk besar (mayoritas) seperti di Sumatra, Jawa dan Bali dan ada juga pulau
besar dengan banyak ragam bahasa etnik dengan populasi kecil seperti di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Di pulau
Kalimantan di wilayah Sabah wilayah sempit terbilang memiliki ragam bahasa etnik
banyak.
The 2015 Malaysian Census reported the population of Sabah at 3,543,500, being the third most populous state in Malaysia with the highest non-citizens population at 870,400. A 2019 government estimate put the population at 3.9047, making it the second most populous state after Selangor. People from Sabah are generally called Sabahans and identify themselves as such. There are an estimated 42 ethnic groups with over 200 sub-ethnic groups with separate own languages, cultures and belief systems. The three largest indigenous groups in Sabah are the Kadazan-Dusun, Bajau and the Murut. There are large Malay, Suluk and other Bumiputera ethnic minorities, Sabah culture is diverse due to a wide range of different ethnicity. In the coastal areas, Sabahan culture has been influenced by the Bruneian Malays and West Coast Bajaus on the west coast side while in the east coast it is influenced by either East Coast Bajau, Bugis, and Suluk cultures with Islam being the important part of their lives. Christianity plays an important part to the indigenous cultures in the interior side in the daily lives of the Kadazan-Dusun, Lundayeh, Murut and Rungus beside their old practice of the traditional Animism and Paganism. Penduduk aslinya atau lebih dikenal sebagai bumiputera, terdiri dari setidaknya 30 kelompok dengan menggunakan lebih dari 50 bahasa dan tidak kurang dari 90 dialek. Berikut adalah beberapa kelompok penduduk asli di Sabah: Kadazandusun, Bajau, Melayu Brunei, Murut, Orang Sungai, Iranun, Bonggi, Kwijau, Paitan, Lun Bawang, Lundayeh, Kedayan, Suluk, Binadan, Bisaya, Kokos, Rumanau, Lotud, Minokok, Tidung, Rungus, Kagayan, Tatana, Tagaas, Ubian, Kimaragang, Bajau Laut, Ida'an, Inokang, Dayak dan Orang Ulu (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Sabah menjadi banyak ragam bahasa etnik? Seperti disebut di atas, ada wilayah luas yang sedikit ragam bahasa etnik tetapi banyak populasi dan sebaliknya ada wilayah sempit yang banyak ragam bahasa etnik dengan populasi kecil. Lalu bagaimana sejarah Sabah menjadi banyak ragam bahasa etnik? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber
baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Sabah Banyak Ragam Bahasa Etnik, Mengapa? Populasi Mayoritas vs Minoritas Berimbang
Negara Sabah, dalam sejarahnya, tergabung dalam pembentukan (supra) negara (federasi Malaysia tahun 1963. Dalam konstitusi Malaysia yang dijadikan Bahasa resmi adalah Bahasa Melayu. Selain ada Bahasa Cina dan Bahasa India di Malaysia, juga penduduk pribumi terutama di (negara) Sabah dan Serawak tidak semua orang Melayu, bahkan banyak etnik. Dalam hal ini menjadi penting Bahasa Melayu menjadi Bahasa resmi yang dengan sendirinya menjadi Bahasa persatuan di Malaysia. Namun anehnya, Bahasa Melayu di Sabah, jauh berbeda dengan Bahasa Melayu di Semenanjung Malaya, akan tetapi justru lebih mirip dengan Bahasa Indonesia. Bagaimana bisa?
Secara garis besar Bahasa etnik di Malaysia dibagi menjadi Melayu, Cina, India,
Kadazan-Dusun dan Dayak (Iban, Kayan, Kenyah, Murut, Lun Bawang, Kelabit, dan
Bidayuh). Di Malaysia Barat (Semenanjung Malaya), di luar Bahasa Cina
(Mandarin) dan Bahasa India (Tamil), identifikasi Bahasa hanya dengan nama
tunggal ‘bahasa Melayu’. Tidak dinyatakan secara eksplisit Bahasa-bahasa minoritas
seperti Bahasa Batak (Angkola Mandialing), bahasa Minangkabau, Bahasa Jawa dan Bahasa
Banjar serta lainnya. Mengapa? Para penduduk migran (sejak lampau iyu) ke atas
mengidentifikasi sebagai ‘orang Melayu’ tetapi ke bawah berperilaku seperti penduduk
di tempat asal masing-masing. Di Malaysia Timur (Serawak dan Sabah) Bahasa Melayu
tidak menjadi dominan, dan di luar bahasa Cina (Mandarin) secara eksplisit dinyatakan
bahasa-bahasa etnik yang banyak ragamnya seperti Bahasa Melanau (di Serawak) dan
Bahasa Kadazan-Dusun (di Sabah) serta Bahasa-bahasa etnik yang minoritas. Dalam
hal ini di Malaysia Barat telah terjadi Melayunisasi, sedangkan di Malaysia Barat
yang terjadi adalah identifikasi sesuai Bahasa etnik. Dengan beragam Bahasa
etnik di Serwak dan Sabah, yang menjadi persatuan adalah Bahasa Melayu meskipun
tidak terjadi Melayunisasi (yang terjadi dwibahasa seperti di Indonesia)..
Proses migrasi di masa lampau pada dasarnya kurang lebih sama di Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Di Semenanjung Malaya awalnya sudah ada penduduk asli yakni etnik Semang (negroid). Lalu kemudian muncul pendatang yang membentuk etnik sendiri seperti Orang Laut, Sakai dan Orang Banua. Kesemua pendatang awal ini memiliki Bahasa yang mirip Bahasa Melayu. Lalu kemudian disusul pendatang berikutnya dari Siam, Seumatr, Jawa dan Borneo yang kemudian. Dalam perkembangannya terjadi Melayunisasi yang kemudian terjadi dominasi Melayu dengan keajayaan Kerajaan Malaka. Hal serupa di Malaysia Timur (Borneo) penduduk asli juga dalah orang negroid. Pendatang pertama berasal dari Indocina. Namun kemudian orang negroid menghilang di Borneo (tetapi masih tersisa di pulau-pulau Filipina seperti Palawan). Pendatang berikutnya menyusul datang dari pantai timur Sumatra yang kemudian berbaur dengan penduduk pendatang pertama, tetapi sebagian terdesak atau bergeser ke wilayah pedalaman (para pendatang pertama inilah yang secara umum disebut dengan nama tunggal Orang Dayak).
Orang Dayak yang bercampur dengan para pendatang dari berbagai wilayah
seperti Sumatra dan Jawa membentuk mix population di wilayah-wilayah pesisir
seperti Orang Melanau, Orang Brunai, Orang Tidung, Orang Kutai, Orang Banjar, Orang
Sukadana/Matan, dan Orang Sambas. Dalam perkembangannya antara lain Orang
Brunai dan Orang Sambas menjadi Melayu sedangkan yang lainnya mengidentifikasi
diri sebagai Orang Melanau, Orang Tidung, Orang Koetai dan Orang Banjar. Hal
itulah mengapa etnik-etnik baru yang berada di wilayah pesisir/belakang pantai
dibedakan dengan populasi di pedalaman yang disebut dengan nama tunggal Dayak
(seperti Punan, Murut, Oot Danum, Kayan, dan sebagainya).
Kelompok populasi pertama yang terdiri dari tiga kelompok besar populasi di Borneo Utara adalah Melanau (Serawak), Brunai (Brunai) dan Tidung (Sabah) yang memiliki kemiripan Bahasa, namun Brunai menjadi Melayu. Kelompok populasi kedua yang terdiri dari Orang Dayak yang berada lebih dekat ke pesisir antara lain Iban (di Serawak) dan Kadazan Dusun (di Sabah). Di luar pendatang baru (Cina), diantara populasi-populasi besar tersebut terdapat banyak sub-etnik atau etnik-etnik yang minoritas dengan populasi yang kecil. Jumlah etnik/sub etnik yang kecil-kecil ini cukup banyak di Sabah (dibandingkan di Serawak). Oleh karena itu di dalam negara (federasi) Malaysia, susunan populasi di Sabah bersifat unik. Dengan kata lain, seperti dikutip atas, bahwa di Sabah terdapat ragam bahasa etnik yang banyak.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Populasi Mayoritas vs Minoritas Berimbang: Bagaimana Sabah Menjadi Banyak Ragam Bahasa Etnik
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar