Laman

Kamis, 31 Oktober 2024

Sejarah Bahasa Indonesia (2): Imbuhan Ni, Ma, Na; Bahasa Indonesia Merujuk Bahasa Melayu, Bahasa Batak Asal Bahasa Melayu?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa Indonesia di blog ini Klik Disini

Bahasa Indonesia merujuk pada bahasa Melayu. Apakah bahasa Melayu merujuk pada bahasa Batak? Pertanyaan ini tentu dapat membingungkan pada masa ini. Sebaliknya jawaban yang ada pada masa kini juga membingungkan. Fakta bahwa awalan ma, mar dan ni ditemukan dalam bahasa Batak (bahkan hingga ini hari). Pertanyaan dan jawaban yang membingunkan tersebut menjadi menarik diperhatikan dalam konteks sejarah Bahasa Indonesia.

 

Secara populer diklaim bahwa bahasa Melayu Kuno ada pada prasasti-prasasti Sriwijaya dari Sumatera Selatan adalah leluhur bahasa Melayu Klasik. Namun, seperti yang dinyatakan oleh beberapa ahli bahasa, hubungan yang tepat antara kedua bahasa ini, baik leluhur maupun bukan, diragukan dan masih tidak pasti (lihat James N. Sneddon. 2003. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society). Hal ini disebabkan adanya sejumlah kekhasan morfologis dan sintaksis, serta imbuhan yang lazim dari bahasa Batak dan Jawa yang berkaitan, tetapi tidak ditemukan bahkan dalam manuskrip-manuskrip bahasa Melayu Klasik. Mungkin saja bahasa prasasti-prasasti Sriwijaya adalah sepupu dekat dan bukannya leluhur bahasa Melayu Klasik (lihat Teeuw, A. 1959. The history of the Malay language. A preliminary survey dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde 115-2). Selain itu, walaupun bukti terawal bahasa Melayu Klasik telah ditemukan di Semenanjung Malaya dari tahun 1303, bahasa Melayu Kuno tetap digunakan sebagai bahasa tulisan di Sumatra hingga akhir abad ke-14, dibuktikan dari Prasasti Bukit Gombak bertarikh 1357 dan manuskrip Tanjung Tanah zaman Adityawarman (1347–1375) (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu merujuk bahasa Batak? Seperti disebut di atas, narasi asal usul bahasa Melayu masa kini membingungkan. Awalan Ma, Mar, Ni disebut bahasa Melayu Kuno yang kemudian menjadi awalan Ba, Bar dan awalan Be, Ber. Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu merujuk bahasa Batak? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa Indonesia Merujuk Bahasa Melayu, Bahasa Melayu Merujuk Bahasa Batak? Awalan Ma dan Ni

Para ahli selama ini membedakan masa bahasa Melayu sebagai suatu kontinuitas: Melayu Kuno, Melayu Klasik dan Melayu Modern (pada masa ini). Seperti dikutip di atas, bahwa bahasa Melayu Kuno ditemukan pada prasasti-prasasti Sriwijaya di Sumatera Selatan yang dianggap sebagai leluhur bahasa Melayu Klasik. Namun pada masa ini James N Sneddon (2003) meragukannya. Boleh jadi James N Sneddon merujuk pada pendapat A Teeuw (1959). A Teeuw berpendapat bahwa bahasa dalam prasasti-prasasti Sriwijaya adalah sepupu dekat dan bukannya leluhur bahasa Melayu Klasik. Lantas bahasa apa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan?


Pendapat tersebut di atas, didasarkan pada fakta bahwa di bahasa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan memiliki sejumlah kekhasan morfologis dan sintaksis, serta imbuhan yang lazim ditemukan dalam bahasa Batak. Hal yang ditemukan dalam bahasa Batak justu tidak ditemukan dalam manuskrip-manuskrip berbahasa Melayu Klasik.

Mengapa bahasa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan lebih mirip dengan bahasa Batak? Dan sangat jauh berbeda dengan bahasa Melayu. Lalu apakah dalam hal ini bahasa Batak adalah pendahulu dari bahasa Melayu?


Ada sejumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan yang berasal dari abad ke-7. Prasasti-prasasti tersebut memiliki imbuhan yang khas? Dalam prasasti-prasasti Telaga Batu (Palembang), Talang Tuwo (Palembang), Kota Kapur (pulau Bangka) dan Karang Brahi (Jambi) memiliki imbuhan ni dan mar. Prasasti Kedukan Bukit (Palembang) hanya imbuhan mar saja; dan prasasti Palas Pasemah (Lampung) hanya imbuhan ni saja.

Imbuhan ni dan par dalam bahasa Batak masih eksis hingga ini hari. Dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink tahun 1936 dinyatakan: 1. Ni adalah kata depan seperti bagas ni Sianoe (rumah Sianoe); 2 adalah awalan dengan kata kerja seperti nipangan (dimakan), nilehen (diberikan). Sementara itu dalam kamus yang sama imbuhan mar adalah awalam ber dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia seperti mardalan (berjalan), mardahan (memasak nasi).


Dalam prasasti Talang Tuo ditemukan awalan ni antara lain niparbuat. Kata berimbuhan niparbuat dalam bahasa Angkola Mandailing dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia adalah dibuat. Dalam prasasti Kedukan Bukit ditemukan awalan mar antara lain marlapas, yang dalam bahasa Angkola Mandailing kata berimbuhan marlapas dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia berlepas atau berangkat; mangalap dalam bahasa Angkola Mandailing menjadi mengambil dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia; dan marbuat yang dalam bahasa Angkola Mandailing menjadi membuat dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia. Bandingkan antara kata berimbuhan niparbuat (kata kerja pasif) dan marbuat (kata kerja aktif). Perlu ditambahkan disini dalam prasasti Talang Tuo terdapat kata imbuhan niminumna. Dalam hal ini ada awalan ni dan akhirnya na. Dalam hal ini niminumna dalam bahasa Angkola Mandailing menjadi diminumnya dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia. Tambahan lagi: dalam bahasa Angkola Mandailing eksis kata depan di. Di dalam prasasti Kedukan Bukit dinyatakan ‘śuklapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di sāmvau maṅgalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṁ maŕlapas dari Miṉāṅgā’. Dalam teks ini ada penggunaan di. Dalam bahasa Angkola Mandailing kata depan di yang menunjukkan tempat yakni ‘di Samvau’ (besar dugaan Samvau adalah nama tempat) dan dalam bahasa Angkola Mandailing kata depan di yang menunjukkan waktu yakni ‘di saptamī śuklapakşa vulan jyeşţha’. Secara keseluruhan terjemahan ‘śuklapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di sāmvau maṅgalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṁ maŕlapas dari Miṉāṅgā’ menjadi ‘paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di Samvau mengambil siddhayātra, pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha’.

Bagaimana bisa disimpulkan imbuhan ni dan mar dalam prasasti Kedukan Bukit lebih mirip dalam bahasa Batak? Dalam prasasti Kedukan Bukit juga ditemukan sebutan bilangan seperti duaratus dan tluraus. Sebutan bilangan dua, tlu (tolu) dan ratus eksis dalam bahasa Batak. Sebutan bilangan yang lainnya yang juga eksis dalam bahasa Batak adalah saribu dan sapulu. Awalan sa dalam bahasa Angkola Mandailing menjadi awalan se dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia (an dalam bahasa Inggris).


Sebutan bilangan dalam bahasa Batak yang tidak ditemukan dalam bahasa Melayu/Bahasa Indonesia) adalah saribu tluratus sapulu dua (1312=seribu tigaratus dua belas). Dalam bahasa Batak tidak ditemukan sebutana bilangan belas seperti dua belas, tetapi disebut sebagai sapulu dua (biner: 12=10 dan 2). Catatan: sebutan belas adalah sebutan welas (Jawa Krama) dan belas (Melayu). Ini mirip sebutan dalam bahasa Eropa (teen) tidak tidak berlaku untuk angka 11 (eleven). Penyebutan cara biner dalam bahasa Batak ditemukan antara lain dalam bahasa-bahasa Armenia, Uzbek dan Tiongkok.

Dalam teks prasasti Kedukan Bukit ditemukan nama tempat yakni ‘di Sāmvau’ (kata depan di) dan ‘dari Miṉāṅgā Tāmvan’ (kata depan dari). Dimana itu Samvau dan Minanga Tamvan berada? Dalam perdebatan teks prasasti Kedukan Bukit pada era Pemerintah Hindia Belanda, terdapat satu ahli/pakar yang menginterpretasi nama tempat Samvau’ yang mana Samvau adalah nama tempat yang diduga Somba dan satu ahli/pakar lain menginterpretasi nama tempat Minanga Tamvan adalah Binanga.


Dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink tahun 1936 dinyatakan: ‘binanga’ adalah pertemuan (dua atau lebih) sungai. Nama tempat Binanga ditemukan di wilayah Padang Lawas (berbahasa Angkola Mandailing) yang mana di Binanga ini sungai Batang Pane dan sungai Sangkilon bertemu (yang ke hilir disebut sungai Barumun). Lantas apa arti Tamvan dalam nama tempat Minanga Tamvan? Tamvan diduga adalah Temuan (pertemuan) sehingga Binanga Temuan adalah dua kata yang berbeda tetapi memiliki arti sama. Pada peta-peta era Pemerintah Hindia Belanda, diidentifikasi nama tempat sebagai Perdagangan Tomoean, suatu nama tempat di wilayah Simalungun tepat berada di pertemuan sungai Binomon (Bah Bolon) dengan sungai Tonggoeron yang ke hilir disebut sungai Indrapoera. Tampaknya dalam hal ini sebutan Binanga (Minanga) dan Tamvan (Tomoean) memiliki arti yang sama. Bagaimana dengan nama Samvau atau Somba? Di hulu sungai Batang Pane ditemukan nama tempat Somba Debata (Sembah Tuhan) dan juga di Sulawesi Selatan ditemukan nama tempat Somba Opu (Sembah Leluhur). Tentu saja di wilayah Sulawesi Selatan ditemukan nama tempat Minanga.

Dengan merujuk kembali pada James N Sneddon (2003) yang meragukan bahasa Melayu Kuno dalam teks prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan dan pendapat A Teeuw (1959) bahwa bahasa dalam prasasti-prasasti Sriwijaya adalah sepupu dekat dan bukannya leluhur bahasa Melayu Klasik, lalu apakah bahasa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di Sumatra bagian selatan adalah bahasa yang ditemukan dalam bahasa Batak?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Awalan Ma dan Ni: Tata Bahasa adalah Satu Hal, Kosa Kata adalah Hal Lain

Banyak prasasti ditemukan di (wilayah pantai timur) Sumatra bagian selatan. Sebaliknya banyak candi ditemukan di (wilayah pantai timur) Sumatra bagian utara. Secara khusus candi-candi di (wilayah pantai timur) Sumatra bagian utara memusat di wilayah Padang Lawas berbahasa Angkola Mandailing. Sementara itu prasasti-ptasasti di wilayah pantai timur Sumatra bagian selatan satu per satu sangat tersebar: di hilir sungai Musi di Palembang, di hulu sungai Batanghari di Jambi, di pantai barat pulau Bangka, dan di ujung tenggara wilayah Lampung. Tentu saja prasasti-prasasti ditemukan di wilayah Padang Lawas.


Di wilayah pantai timur Sumatra bagian selatan, kecuali prasasti Kedukan Bukit memiliki teks tentang maklumat yang kurang lebih sama, yakni tentang peraturan perundang-undangan (kewajiban, hukuman dan denda). Isi teks prasasti Kedukan Bukit bercerita tentang Radja dan pasukannya berangkat dari suatu wilayah (Minanga Tamvan) yang jauh (karena pelayaran dilakakukan berminggu-minggu) dan kemudian tiba di suatu wilayah di Matajap dan kemudian membangun benteng (banua). Teks prasasti Kedukan Bukit ini dimulai dengan kalimat ‘Dapunta Hiyaṁ nāyik di Sāmvau maṅgalap siddhayātra (Dapunta Hiyam mendaki di Sanvau menjemput/mengambil siddhayātra) dan kemudian teks prasasti ditutup dengan kalimat ‘Srīvijaya, siddhayātra subhikşa’ (Śrīwijaya, siddhayātra sempurna). Isi teks prasasti Kedukan Bukit di Palembang mengindikasikan suatu penaklukan wilayah (dengan mendirikan benteng). Sedangkan isi teks prasasti-prasasti lainnya di wilayah pantai timur Sumatra bagian selatan kurang lebih sama tentang kewajiban, hukuman dan denda.

Seperti disebut dalam prasasti Kedukan Bukit di atas, ada nama-nama tempat yang disebut: Samvau, Minanga Tamvan dan Matajap. Tiga kata yang menjadi nama tempat tersebut (Samvau/Somba, Minanga/Tamvan dan Matajap) eksis dalam bahasa Angkola Mandailing. Ketiga penyebutan nama tempat itu bersifat sekuel (dimulai dari Samvau/Somba kemudian berlayar dari Minanga/Tamvan dan tiba di Matajap).


Dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink tahun 1936 dinyatakan: 1. Somba adalah penghormatan, dimana puncaknya jari-jari disatukan, sambil kedua telapak tangan saling berhadapan dan kepala menoleh pada saat yang bersamaan lengkung; manjomba, beribadah; marsomba untuk memberi isyarat hormat kepada, memuja; marsombahon, meminta sesuatu dengan hormat; manjombahon dosa, ampunan menanyakan dosa-dosanya; parsombaan, tempat orang beribadah; sombaon, semangat, siapa yang dihormati; 2. Sombajang adalah ritual keagamaan agama Islam (kata kerja: marsombajang). Dalam hal ini somba dihubungkan dengan cara menghormati dalam religi/tradisi kuno; dan sombajang dihubungkan dengan ibadah agama Islam. Kata sombajang dalam hal ini merupakan gabungan kata somba dan kata jang. Apakah dalah hal ini jang merujuk pada hiyang? Sementara nama Binanga dalam bahasa Angkola Mandailing diartikan sebagai pertemuan dua sungai besar. Bagaimana dengan Matajap? Dalam kamus Bahasa Angkola Mandailing yang disusun HJ Eggink tahun 1936 dinyatakan: tajap diartikan sebagai tunduk; madoeng tajap soede harangan na saroera I (semua hutan di lembah itu telah dikuasai). Dalam hal ini tajak adalah kata dasar dan jika ditambahkan awalan ma menjadi matajap (sudah tajap). Awalan ma dalam bahasa Angkola Mandailing mengandung pengertian sudah terjadi, menjadi atau sudah berlalu misalnya dabu (jatuh) dan madabu (sudah jatuh di tanah), makehe (sudah pergi).

Nama tempat Minanga/Binanga menjadi penanda navigasi sejarah yang penting dalam isi teks prasasti Kedukan Bukit, prasasti yang digurat pada permukaan batu andesit pada tahun 682 (yang kemudian ditemukan di Palembang). Beberapa ahli mengajukan pendapat dimana letak (posisi GPS) nama tempat Minanga Tamvan (lihat Wikipedia).


Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data sebagai berikut: Dapunta Hyang marlapas dari Miṉāṅgātāmwan dan menaklukkan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini (Sungai Musi, Sumatera Selatan) (Soekmono, 2002). Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Miṉāṅgātāmwan adalah sama dengan Miṉāṅgkābwa, yakni wilayah pegunungan di hulu Batang Hari. Ada juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu tempat Marlapas oleh Dapunta Hyang, isi prasasti ini menceritakan Perjalanan dari Minanga Tamwan (NKS Irfan.1983). Sementara, itu Soekmono berpendapat bahwa Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (karena tamwan berarti 'temuan'), yakni Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di Riau, (Soekmono.1973) yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Kemudian ada yang berpendapat Miṉāṅgā berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (Provinsi Sumatera Utara sekarang) (Slamet Muljana, 2006). Pendapat lain menduga bahwa armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatra, yakni dari Semenanjung Malaya (George Coedes. 1996). Namun demikian beberapa sejarawan, menyatakan bahwa Datu Sriwijaya lahir dari Sumatera Selatan itu sendiri, sejarawan menyebutkan bahwa Miṉāṅg-ā berada di muara Sungai Komering Sumatera Selatan (Arlan Ismail, 2002), Arlan Ismail menerangkan pula bahwa lokasi Miṉāṅg-ā terdapat di muara Sungai Komering, Sumatera Selatan (Wikipedia)

Hanya Slamet Muljana (2006) yang berpendapat bahwa Miṉāṅgā atau Binanga yang merupakan kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun di Padang Lawas, Sumatera Utara yang sekarang. Namun hampir semua para ahli memberi pendapat hanya didasarkan pada bukti minumun. Seperti disebut Slamet Muljana nama Minanga telah bergeser menjadin Binanga, suatu nama tempat pada masa kini sebagai nama kota kecamatan di kabupaten Padang Lawas.


Seperti disebut di atas, nama Minanga dalam teks prasasti Kedukan Bukit merujuk pada nama Binanga di wilayah Padang Lawas yang berbahasa Angkola Mandailing di pantai timur Sumatra bagian utara. Secara geografis nama Binanga terdapat di Padang Lawas dimana terdapat pertemuan sungai Pane dan sungai Sangkilon. Secara linguistrik kata ‘binanga’ dalam bahasa Angkola Mandailing adalah pertemuan sungai. Penyebutan nama Minanga Tamvan (Binangan Tomuan) di dalam prasasti Kedukan Bukit diperkuat dengan bahasa AngkolaMandailing bahwa binanga adalah pertemuan sungai dan kata tomu plus akhiran an juga eksis dalam bahasa tersebut. Tatabahasa dan kosa kata yang digunakan dalam teks prasasti Kedukan Bukit tampak lebih mirip dengan tata bahasa dan kota kata termasuk sebutan bilangan dalam bahasa Angkola Mandailing. Secara arkeologis bukti-bukti begitu banyaknya ditemukan situs dan benda kepurbakalaan termasuk prasasti di Binangan dan sekitar memperkuat nama Minanga/Binanga begitu penting di masa lampau. Secara geomorfologis posisi GPS Minanga/Binanga pada abad ke-7 berada di garis pantai sebagaimana kota Palembang. Proses sedimentasi jangka panjang dan terbentuknya daratan baru kini seakan Binangan dan Palembang terkesan jauh berada di pedalaman. Jika Binanga dan Palembang berarada di garis pantai, maka pelayaran dari Minanga (Binanga) ke Matajap (Palembang) menjadi masuk akal ditempuh dalam satu bulan dengan perahu/sampan menyusuri sepanjang pesisir pantai. Dengan demikian isi teks prasasti Kedukan Bukit mengindikasikan suatu penaklukan oleh raja dan pasukannya dari Minanga di Matajap (Palembang). Dalam hal ini Minanga dalam posisi superior/supremasi dan Matajap dalam posisi subordinat. Dalam bahasa Angkola Mandailing binanga adalah wilayah pertemuan dua sungai, matajap adalah wilayah yang ditundukkan. Dalam teks juga disebut setelah frase ‘datam di matajap’ (di wilayah penaklukan) diikuti dengan frase ‘datam marvuat vanua’ (membuat benteng).    

Kedukan Bukit dan lainnya di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 adalah satu-satunya teks (bahasa) yang digurat di zaman kuno dalam batu andesit yang dapat terlestarikan hingga pada masa ini. Dalam konteks inilah pembicaraan bahasa menjadi penting tentang sejarah bahasa di pantai timur Sumatra. Bahasa sendiri adalah warisan yang terus diturunkan dari generasi ke generasi. Warisan yang sulit tergerus oleh zaman. Demikianlah dengan bahasa-bahasa di pantai timur Sumatra. Jika bahasa Arab (seperti dalam kitab suci Agama Islam) tidak berubah dari abad ke-7 hingga masa ini, demikianlah dengan bahasa-bahasa di Sumatra termasuk bahasa Batak. Secara khusus bahasa Batak hingga ini hari tetap lestari. Mengapa? Dalam konteks inilah membaca isi teks prasasti Kedukan Bukit yang berasal dari abad ke-7 masih bersesuaian (relevan) dengan kamus bahasa Angkola Mandailing. Seperti disebut di atas, isi teks prasasti Kedukan Bukit bahasa yang digunakan mirip dengan bahasa Batak. Bagaimana dengan bahasa Melayu?


Secara linguistik bahasa pada dasarnya terdiri dari tatabahasa dan daftar kosa kata (kamus). Tatabahasa pada intinya menyangkut sintaksis (kalimat dan strktur), morfologis (morfem dan kata; pembentukan dan perubahanya) dan fonetis. Struktur kalimat seperti SPO(K) atau POS. Morfologis terutama yang berkaitan dengan imbuhan (awalan dan akhiran serta sisipan) dan komposisi (DM atau MD). Fonetik terkait dengan bunyi bahasa (fonem) seperti vocal dan konsonan dan penggabungannya. Dalam hal ini kalimat adalah kumpulan kata, dan kata adalah kumpulan fon (huruf) dan fonem (suku kata).

Bahasa Batak memiliki struktur kalimat SPO(K) dan secara morfologis memiliki sistem imbuhan pada kata. Imbuhan berupa awalan adalah mar dan ni. Bahasa Batak juga memiliki awalan yang khas yakni ma. Awalan mar pada kata kerja menjadi kata kerja aktif, sedangkan awalan ni menjadi kata kerja pasif. Awalan lainnya adalah par. Imbuhan akhiran dalam bahasa Batak antara lain on dan na.


Dalam teks prasasti Kedukan Bukit hanya terdapat awalan mar adalah marlapas dan marvuat. Awalam mar ini kelak menjadi awalan ber dalam bahasa Melayu. Bagaimana dengan awalan ma dalam teks prasasti? Dalam bahasa Batak awalan ma bukanlah me dalam bahasa Melayu. Awalam ma dalam bahasa Batak menunjukkan suatu yang telah terjadi/menjadi yang pada teks adalah mangalap (menjemput) dan mamava (membawa). Maknanya bahwa mangalap dalam hal ini sudah dijemput dan sudah dibawa. Awalan ni dalam bahasa Batak adalah awalan di dalam bahasa Melayu. Dalam teks prasasti Kedukan Bukit tidak ditemukan tetapi ditemukan dalam teks prasasti Talang Tio yakni niparbuat yang dalam bahasa Melayu menjadi diperbuat. Dalam hal ini awalan par dalam bahasa Batak menjadi awalan per dalam bahasa Melayu. Akhiran na dalam bahasa Batak di dalam teks prasasti Kedukabn Bukit adalah vanakna (banyaknya). Dalam hal ini akhiran na menjadi nya dalam bahasa Melayu. Selanjutnya kata depan dalam Bahasa Batak antara lain di. Kata depan di dalam bahasa Batak digunakan untuk keterangan tempat dan untuk keterangan waktu. Dalam teks adalah di Samvau dan di Matajap (tempat) dan di Saptami (waktu). Kata penghubung dongan dalam hal ini dalam bahasa Melayu menjadi dengan. Dalam teks adalah danan (dongan/dengan). Dalam teks prasasti tidak ditemukan akhiran on, yang hanya ditemukan adalah akhiran na.

Dalam teks prasasti struktur kalimat yang digunakan adalah SPO (subjek, predikat dan objek). Predikat dalam teks prasasti menggunakan awalan mar dan awalan ni dan par dan akhiran na. Lalu apakah dalam hal ini prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 teksnya menggunakan tatabahasa bahasa Batak? Lantas apakah bahasa Melayu sudah terwujud?


Tata bahasa adalah satu hal, kosa kata adalah hal lain. Tatabahasa dan kosa kata adalah dasar (azas) pembentukan/terbentuknya bahasa. Lantas bagaimana dengan isi teks prasasti Kedukan Bukit dan lainnya di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 apakah sudah terbentuk bahasa Melayu? Yang jelas dalam teks ada kosa kata yang mirip bahasa Batak maupun bahasa Melayu; hanya mirip bahasa Batak dan hanya mirip bahasa Melayu; sementara ada yang tidak mirip keduanya. Yang dimaksud mirip dalam hal ini adalah fonetik/bunyi dan morfem/makna.   

Satu yang jelas di dalam teks prasasti-prasasti terdapat sejumlah kosa kata yang tidak dikenal dalam bahasa Batak maupun bahasa Melayu. Kosa kata seperti itu diduga berasal dari bahasa asing (Sanskerta). Oleh karena di dalam teks tidak ditemukan tata bahasa Melayu, lalu apakah dalam teks prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 merupakan kombinasi bahasa Batak dan bahasa Sanskerta? Yang jelas, seperti kita lihat nanti, pada era Pemerintah Hindia Belanda kombinasi bahasa Belanda dan bahasa Melayu sangat umum ditemukan dalam komunikasi terutama surat kabar.


Pada masa ini dinarasikan bahasa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 adalah bahasa Melayu Kuno. Seperti di Wikipedia didaftarkan kosa kata yang terdapat dalam teks prasasti Talang Tuo adalah bahasa Melayu Kuno (tabel). Namun di dalam pengantar tabel disebutkan ‘beberapa kosakata Bahasa Melayu kuno yang digunakan dalam prasasti ini (Talang Tuo) dan hingga kini masih dapat ditemukan dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Ditemukan banyak persamaan dengan sedikit perubahan, antara lain awalan di- dahulu adalah ni- dan awalan me- dahulu adalah mar- atau ma-. Yang menjadi pertanyaan: Mengapa awalan ni dan awalan mar/ma diinterpretasi sebagai bahasa Melayu Kuno, padahal awalan-awalan tersebut eksis dalam bahasa Batak? Bahwa awalan ni kemudian menjadi awalan di, awalan mar/ma menjadi awalan me dalam bahasa Melayu adalah soal lain (apakah bahasa Melayu Kuno sudah terwujud atau belum terwujud). Selain imbuhan awalan ni dan mar/ma dan akhiran na, dalam prasasti juga banyak ditemukan kosa kata bahasa Batak.

Isi teks prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 tampaknya bahasam (tatabahasa dan daftar kata) yang digunakan lebih mirip bahasa Batak daripada bahasa Melayu (seperti diperlihatkan dalam tabel kosa kata dalam prasasti Talang Tuo). Yang menjadi pertanyaan: mengapa selama ini para ahli berasumsi bahasa bahasa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 adalah bahasa Melayu (Kuno)? Apakah para ahli abai membandingkannya dengan kamus bahasa Batak?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar