*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa Indonesia di blog ini Klik Disini
Prasasti
Trengganu disebut prasasti tertua berbahasa Melayu dalam aksara Jawi (huruf Arab
gundul). Teks Tanjung Tanah (Kerinci) juga diklaim sebagai teks Melayu yang
tertua, dan juga satu-satunya yang tertulis dalam aksara Sumatera Kuno yang
juga disebut sebagai Aksara Malayu. Bagaimana dengan prasasti-prasasti di pantai
timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7? Sebagaimana dalam artikel sebelumnya,
isi teks prasasti-prasasti juga ada yang mengklaim sebagai bahasa Melayu Kuno.
Teks Tanjung Tanah adalah undang-undang kerajaan Melayu abad ke-14. Teks ini merupakan teks Melayu yang tertua, dan juga satu-satunya yang tertulis dalam aksara Sumatera Kuno yang juga disebut sebagai aksara Malayu. Selain bahasa Melayu, naskah ini juga menggunakan bahasa Sanskerta (lihat U Kozok, 2004, The Tanjung Tanah code of law: The oldest extant Malay manuscript, Cambridge: St Catharine's College and the University Press). Teks ini ditemukan di Tanjung Tanah di Mendapo Seleman (terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci) dan masih disimpan sampai sekarang oleh pemiliknya. Teks Tanjung Tanah sebetulnya ditemukan dua kali, pertama pada tahun 1941 oleh Petrus Voorhoeve yang pada saat itu menjabat sebagai taal ambtenar (pegawai bahasa pada zaman kolonial) untuk wilayah Sumatra dan kemudian didaftarkan oleh sekretarisnya dengan nomor 252 di dalam Tambo Kerinci. Uli Kozok pada tahun 2002 membawa sampel teks untuk diperiksa di laboratorium menggunakan metode penanggalan radiokarbon. Hasil pengujian penangggalan antara tahun 1304 dan 1436 ditulis selama masa pemerintahan Adityawarman (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah terbentuknya bahasa Melayu sejak kapan? Seperti disebut di atas teks yang terdapat dalam prasasti di Trenggano (aksara Jawi) dan teks Tanjung Tanah di Kerinci (aksara Sumatra) sama-sama diklaim yang tertua. Lalu bagaimana sejarah terbentuknya bahasa Melayu sejak kapan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Terbentuknya Bahasa Melayu Sejak Kapan? Prasasti di Trenggano dan Teks Tanjung Tanah di Kerinci
Prof Ahmad Adam telah membaca kembali prasasti Trenggano (Batu Bersurat Terengganu) dan telah melakukan koreksi terhadap narasi sebelumnya tentang prasasti tersebut (lihat Batu Bersurat Terengganu oleh Ahmat Adam, 2017). Ahmad Adam menunjukkan bukti baru teks prasasti Trenggano dibuat tahun 708 H (1308). Interpretasi baru juga dilakukan Ahmad Adam dalam teks prasasti tersebut.
Teks Tanjung Tanah dibaca kembali oleh Dr Uli Kozok pada tahun 2002. Dr Uli
Kozok juga melukukan uji laboratorium dengan metode penanggalan radiocarbon pada
bahan teks yang hasil pengujian penangggalan antara tahun 1304 dan 1436. Dr Uli
Kozok melakukan penyalinan teks dari bahan asli dan melakukan interpretasi
terhadap teks yang banyak aksaranya kurang terbaca. Dalam hal ini teks prasasti
Trenggano lebih terjaga (karena digurat pada permukaan batu andesit).
Prasasti Trenggano (1308) satu abad lebih awal dari terbentuknya kerajaan Malaka (bahasa di Malaka dan Maluku akan dideskripsikan pada artikel berikutnya). Satu yang terpenting dalam koreksi Ahmad Adam pada teks prasasti Trenggano di baris petama sebelumnya dibaca sannabi, tetapi Ahmad Adam menunjukkan bacaan yang sebenarnya adalah santabi. Ahmad Adam menerjemahkan santabi sebagai permintaan maaf atau permisi. Namun Ahmad Adam tidak menyebut kosa kata santabi berasal dari mana?
Kosa kata santabi ditemukan dalam karya Charles Adriaan van Ophuijsen berjudul
Bataksche teksten: Mandailingsch dialect yang diterbitkan Drukker/Uitgever Van
Doesburgh, 1914. Dalam karya H Kern berjudul Verspreide geschriften yang diterbitkan
Drukker/Uitgever Nijhoff, 1920 santabi dinyatakan bahasa Batak yang artinya
permohonan maaf atau permisi. H Kern mencatat kosa kata yang mirip dengan
santabi adalah sangtabi di dalam bahasa Tagalog. Sebelumnya J Alb T Schwarz
dalam karyanya berjudul Tontemboansche teksten: Vertaling yang diterbitkan Drukker/Uitgever
Brill tahun 1907 bahwa kosa kata santabi adalah bahasa Batak, sangtabi dalam
bahasa Tagalog; tabia dalam bahasa Bisaya, tabea dalam bahasa Sangir, tabe
dalam bahasa Jawa dan tabik dalam bahasa Melayu. Kosa kata santabi ini juga di
dalam catatan J Alb T Schwarz ditemukan dalam bahasa Sanskerta sebagai
kshantawya.
Ahmad Adam dalam membaca teks prasasti Trenggano
mengartikan mandalika di dalam teks adalah wilayah jajahan. Dalam hal ini,
Trenggano tempat ditemukan prasasti suatu mandalika dari kerajaan yang besar (Islam).
Dalam teks Tanjung Tanah juga ditemukan kosa kata mandalika. Jika merujuk pada
interpretasi Ahmad Adam, (wilayah) Krinci tempat ditemukan teks Tanjung Tanah
juga menjadi mandalika suatu kerajaan yang besar (Boedha). Kedua teks berbahasa
Melayu tersebut menyatakan isi suatu undang-undang yang diberlakukan (di
wilayah).
Dua undang-undang berbahasa Melayu ini yang berasal dari abad ke-14,
mengingatkan pada undang-udang serupa di pantai timur Sumatra yang berasal dari
abad ke-7 seperti prasasti Talang Tuo dan prasasti Kota Kapur (lihat artikel
sebelumnya). Meskipun prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal
dari abad ke-7 disebut berbahasa Melayu Kuno, tetapi fakta lebih tepat disebut
berbahasa Batak. Catatan: Prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang
berasal dari abad ke-7 beraksara Pallawa; prasasti Trenggano beraksara Jawi
(Arab gundul); teks Tanjung Tanah disebut beraksara Sumatra (aksara yang lebih
mirip aksara Batak daripada aksara Jawa).
Perbedaan teks berbahasa Melayu antara Trengganu dengan aksara Jawi yang digurat pada permukaan batu dan teks berbahasa Melayu dengan aksara Sumatra yang ditulis dalam medium semacam kertas dan tinta. Kedua teks ini berisi tentang maklumat undang-undang. Wadah batu di Trengganu tentu saja untuk bisa dibaca public di luar ruangan (karena itu prasasti itu tetap terlestarikan). Bagaimana dengan wadah bahan kertas di Kerinci?
Wadah kertas ini mengingatkan tentang teks Negarakertagama (1365) yang
ditulis di atas wadah semacam kertas yang ditemukan di Tjakranegara tahun 1896.
Namun isi tentang teks Negarakertagama bukan tentang hukum tetapi seputar kisah
dalam bentuk kidung. Teks Negarakertagama hanya digunakan terbatas dan kerenanya
akan tetap terjaga dari kerusakan. Bagaimana dengan teks Tanjung Tanah?
Teks Tanjung Tanah sangat rapuh, banyak aksara yang telah terhapus sehingga tidak utuh apa yang bisa dibaca Ulu Kozok. Sementara teks prasasti Trengganu lebih terjaga dan lebih mudah dan lebih lengkap dibaca Ahmad Adam. Meski teks Tanjung Tanah kurang lengkap dan memiliki kesulitan untuk membacanya, tetapi masih banyak kosa kata yang dapat dipahami dan kemudian dapat diperbandingkan dengan kosa kata yang digunakan di dalam teks prasasti Trenggano. Dalam hal inilah kedua teks yang diduga sejaman ini yang dianggap sama-sama menggunakan bahasa Melayu menjadi penting dijadikan sebagai sumber sejarah bahasa (khususnya sejarah bahasa Melayu).
Satu yang terpenting dari dua teks berbahasa Melayu tersebut adalah imbuhan.
Dalam teks prasasti Trengganu beraksara Jawi, yang dibaca pada masa ini antara
lain terdapat kosa kata yang telah mendapatkan awalan me dan ber seperti
meneguhkan, meraksa, berbajiki, mendudukkan, berpihutang, berbuat dan lainnya.
Aksara Jawi yang digunakan benar-benar aksara gundul, tidak menggunakan pananda
vocal dan mereduksi bunyi konsonan. Jadi, pada dasarnya apa yang tertulis sulit
membedakan apakah saat itu diucapkan dengan vocal a atau e untuk imbuhan me dan
ber. Dalam teks prasasti Trengganu lebih mudah membaca kosa kata yang berawalan
di seperti ditanam, dihempangkan dan dijadikan. Sementara itu di dalam teks
Tanjung Tanah yang menggunakan aksara Sumatra menggunakan awalan ma seperti
marusak, mambawa, mamunu dan malawan. Di dalam teks Tanjung Tanah juga
ditemukan penggunaan awalan di seperti didanda, dibunu, dimakan dan dibawa. Ada
juga penggunaan awalan tar seperti tarisi.
Teks bahasa Melayu di Trenggano dan di Kerinci tidak menggunakan awal mar dan ni sebagaimana ditemukan dalam prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7. Mengapa? Satu yang jelas dalam teks bahasa Melayu di Trenggano dan di Kerinci sama-sama menggunakan awalan di. Untuk awal me atau ma tidak dapat dipastikan untuk teks di Trengganu karena menggunakan aksara Jawi tanpa penanda vocal. Dengan demikian antara teks bahasa Melayu di Trenggano dan di Kerinci sama-sama memiliki tatabahasa yang kurang lebih sama. Tetapi berbeda dengan teks prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7.
Tata bahasa adalah satu hal, kosa kata adalah hal lain. Tatabahasa dan
kosa kata adalah dasar (azas) pembentukan/terbentuknya bahasa. Lantas bagaimana
dengan isi teks prasasti Kedukan Bukit dan lainnya di pantai timur Sumatra yang
berasal dari abad ke-7 apakah sudah terbentuk bahasa Melayu? Yang jelas dalam
teks ada kosa kata yang mirip bahasa Batak maupun bahasa Melayu; hanya mirip
bahasa Batak dan hanya mirip bahasa Melayu; sementara ada yang tidak mirip
keduanya. Yang dimaksud mirip dalam hal ini adalah fonetik/bunyi dan
morfem/makna. Dalam hal inilah dilakukan perbandingan bahasa di wilayah yang
berdekatan, bahasa yang digunakan pada abad ke-7 dengan abad ke-14.
Secara khusus dalam teks bahasa Melayu di Kerinci menggunakan imbuhan akhiran na seperti pahuluna dan sarupana. Akhiran na ini dalam bahasa Melayu menjadi nya. Dalam teks bahasa Melayu di Trenggano digunakan akhiran nya seperti dandanya. Untuk kosa kata danda digunakan dalam dua teks tersebut (tidak menggunakan huruf e). Dalam teks bahasa Melayu di Kerinci ditemukan awalan ba seperti balawanan dan batiga.
Sebutan bilangan dalam teks bahasa Melayu di Trenggano dan di Kerinci
memiliki sebutan yang sama untuk bilangan tiga. Berbeda dengan teks prasasti yang
digunakan pada abad ke-7 dengan sebutan tlu/tolu. Bilangan sepuluh dalam teks
Krinci disebut sapulu. Untuk bilangan tujuh dalam teks Krinci disebut tuju,
sementara dalam teks Trengganu dengan tujuh (ada tambahan huruf h). Untuk pembanding
dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa adalah tlu/tolu dan pitu.
Singkatnya ada garis continuum bahasa yang digunakan pada abad ke-7 dengan bahasa yang digunakan pada abad ke-14. Akhiran ni tidak digunakan dalam teks Trenggano dan teks Kerinci, tetapi menggunakan awalan di. Namun untuk awalan mar yang digunakan pada abad ke-7, di dalam teks Kerinci digunakan ma dan ba, sedangan di dalam teks Trenggano menggunakan awalan me dan ber. Sebagaimana disebut sebelumnya, awalan mar dan ni pada masa ini terdapat pada bahasa Batak. Sedangkan awalan ma dan ba ditemukan dalam bahasa Kerinci. Selanjutnya awal me dan ber ditemukan dalam bahasa Melayu (Trengganu).
Lantas apakah bahasa Batak lebih tua dari bahasa Kerinci dan kemudian
bahasa Kerinci lebih tua dari bahasa Melayu? Tentu saja dari tinjauan aspek
linguistik tidak cukup. Lalu bagaimana dengan bahasa Minangkabau? Bahasa Minangkabau
pada masa ini menggunakan awalan ma dan ba seperti manangih, mamasak, baretong,
batanam, mananam dan baraja. Bahasa di Kerinci abad ke-14 tidak sama dengan
bahasa Minangkabau pada masa ini seperti ditunjukkan akhiran nyo yang mana di
Kerinci adalah akhiran na sementara di Trenggano menggunakan akhiran nya.
Demikian juga untuk kata imbuhan batiga di Kerinci dengan batigo dalam bahasa Minangkabau.
Tentu saja dengan kosa kata lainnya seperti sebutan tuju di Kerinci dan sebutan
tujuah di Minangkabau. Catatan: Tidak ada awalan par/per dalam bahasa
Minangkabau (tetapi digantikan dengan kata sinonim). Sementara awalan par dalam
bahasa Batak dan awalan per dalam bahasa Melayu.
Perlu diperhatikan, sejatinya pemberian label terhadap
nama bahasa-bahasa tidak/belum diketahui sejak kapan bermula. Misalnya bahasa
yang digunakan dalam prasasti-prasasti di pantai timur yang berasal dari abad
ke-7 tidak dapat diberi label sebagai bahasa Melayu (Kuno). Hanya bisa diberi label
sebagai bahasa yang digunakan mirip bahasa Batak atau bahasa Melayu yang
sekarang. Demikian juga teks Trengganu (abad ke-14) tidak bisa diberi label
bahasa Melayu (Klasik) dan tidak pula bisa diberi label bahasa yang digunakan
di Kerinci (abad ke-14) sebagai bahasa Minangkabau. Dalam hal kemiripan bahasa
adalah satu hal, pemberian label nama pada bahasa adalah hal lain lagi. Idem dito,
sangat konyol memberi nama dengan nama Bahasa Indonesia pada buku tatabahasa yang ditulis oleh Charles Adrian van Ophuijsen.
Seperti kita lihat nanti, karena kurang memperhatikan bagaimana sejarah terbentuk klaim-klaim bahasa menjadi lazim. Bahasa yang digunakan dalam prasasti-prasasti di pantai timur yang berasal dari abad ke-7 diklaim sebagai bahasa Melayu Kuno; bahasa dalam teks di Trenggano dan di Kerinci diklaim bahasa Melayu Klasik. Lalu sejak kapan muncul pemberian nama bahasa Melayu? Itu satu soal. Bagaimana suatu bahasa diberi nama adalah soal lain. Bahasa Indonesia merujuk bahasa Melayu, lalu apakah Bahasa Indonesia disebut lagi bahasa Melayu? Azas sebaliknya juga dapat berlaku. Oleh karena berdasarkan kekinian, bahasa Melayu juga akan ada yang mengklaim sebagai Bahasa Indonesia. Sebab hal itulah yang terjadi pada bahasa dalam prasasti-prasasti di pantai timur yang berasal dari abad ke-7 diklaim sebagai bahasa Melayu. Faktanya justru lebih mirip bahasa Batak pada masa kini. Bahasa dalam teks di Trenggano dan di Kerinci diklaim sebagai bahasa Melayu. Lalu sejak kapan bahasa Melayu bermula, seperti halnya sejak kapan Bahasa Indonesia bermula? Diantara dialek-dialek bahasa Melayu sendiri juga saling mengklaim seperti disebutkan berikut: ‘Kita adalah kepulauan Riau, tempat lahirnya bahasa Melayu, dibuktikan dengan bukti autentik, dengan bukti sejarah, Raja Ali Haji itu adalah seorang pahlawan yang sudah diakui negara, banyak karya-karyanya seperti gurindam 12. Di kepulauan Riaulah kita bisa klaim bahwasanya provinsi Riau sebagai provinsi bahasa’. Apakah narasi ini dapat dibuktikan? Fakta bahwa Raja Ali Haji hidup di pertengahan abad ke-19, sementara bahasa Melayu di Kerinci dan di Trenggano menurut catatan sejarah pada abad ke-14 sudah ada bahasa mirip bahasa Melayu. Bagaimana dengan abad ke-7 di pantai timur Sumatra tentang bahasa mirip bahasa Batak atau bahasa mirip bahasa Melayu? Dalam hal inilah mengapa perlu mempelajari sejarah bahasa, supaya tidak saling klaim, lebih-lebih salah klaim.
Seperti disebut di atas, sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, penyelidikan sejarah yang komprehensif diperlukan. Sejarah adalah narasi fakta dan data. Fakta adalah suatu kejadian yang benar-benar terjadi dan data adalah bukti yang valid yang dapat diverifikasi oleh orang lain.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Prasasti di Trenggano dan Teks Tanjung Tanah di Kerinci: Aksara Batak, Aksara Jawa, Aksara Jawi
Pada dasarnya bahasa mengikuti perkembangan peradaban itu sendiri. Aspek lainnya dalam peradaban adalah aksara, religi dan lainnya. Aksara mendokumentasikan bahasa. Dalam bahasa yang didokumentasikan mengandung makna peradaban itu sendiri seperti nama-nama geografis, wujud pemerintahan, religi yang eksis dan tentu saja aspek tatabahasa dan daftar kosa kata. Aksara tertua yang terdokumentasi di wilayah nusantara adalah aksara Brahmi yang digurat di permukaan batu andesit (prasasti Muara Kaman dan prasasti Tugu.
Dalam sejarah aksara disebut merujuk Mesir Kuno (hieroglif) yang melahirkan aksara Semit. Dalam perkembangannya dari aksara Semit ini terbebntuk aksara Aramaik dan aksara Fenesia. Cabang dari aksara Aramaik ini antara lain aksara Arab dan aksara Brahmi. Sementara aksara Fenesia menjadi rujukan dalam terbentuknya aksara Yunani dan kmeudian terbentuk aksara Latin. Dalam struktur/bentuk aksara dibedakan: aksara abjad, aksara alfabet dan aksara abugida. Aksara Brahmi di nusantara digantikan aksara cabang baru yakni aksara Pallawa. Dalam hubungan ini aksara yang terdapat di nusantara adalah aksara bentuk: abjad (aksara Arab dan aksara Batak); aksara alfabet (aksara Latin); dan aksara Abugida (aksara Pallawa dan aksara Jawa). Dalam hal ini struktur aksara Batak dan aksara Jawa pada dasarnya berbeda. Aksara Batak lebih mirip aksara Fenesia daripada aksara Brahmi/Aramaik (lihat EEW Gs Schröder berjudu A Phoenician Alphabet on Sumatra yang dimuat dalam Journal of the American Oriental Society, Vol. 47, 1927).
Prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 menggunakan aksara Pallawa. Aksara Batak berbeda dengan aksara Pallawa. Bahasa yang digunakan pada prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7 mirip bahasa Batak dan juga mirip bahasa Melayu. Dalam hubungan inilah penting memperbandingkan bahasa-bahasa yang digunakan pada abad ke-7 dengan abad ke-14 (Trengganu dan Kerinci). Prasasti Trengganu menggunakan aksara Jawi (aksara Arab) dan teks Tanjung Tanah di Kerinci menggunakan aksara Kerinci (yang mirip dengan aksara Batak).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar